BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu Mayashafira (2007) melakukan penelitian dengan judul Tentang Perspektif Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perlindungan HAM Narapidana Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan di daerah Lampung memberikan gambaran sebagai berikut : 1. Pada proses terpidana berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP), yaitu tahap integrasi yaitu dimulai setelah terpidana menjalani 2/3 dari masa pidananya atau paling sedikit 9 (sembilan) bulan, terpidana dapat diusulkan memperoleh: Cuti Menjelang Bersyarat (CMB) atau Pembebasan bersyarat . 2. Pada
tahap
ini
terpidana
sudah
sepenuhnya
diletakkan
di
dalam
masyarakat/keluarganya. 3. Selama memperoleh CMB atau PB, terpidana diberi surat pas, yang bila telah habis masa CMB atau Pembebasan bersyarat, ia segera melapor ke Balai Pemasyarakatan (BAPAS) untuk memperoleh surat kebebasannya. 4. Pendekatan pembinaan sejak konsep pemasyarakatan dicetuskan, kedudukan terpidana telah berubah dari yang dijaga menjadi yang dibina. Artinya orientasi memenjarakan atau berubah menjadi merehabilitasi atau perlakuan.
Universitas Sumatera Utara
5. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan dapat dikatakan “berubah” menjadi lembaga pendidikan dan pembangunan seperti tertuang dalam GBHN bukan lagi diartikan sebagai “sekolah penjahat” lazimnya orang awam memberikan nama/predikat tersebut. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Triadi,
Rd
(2008)
dengan
judul
”Penanggulangan Over Kapasitas di Rumah Tahanan Negara (Tinjauan Khusus Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Pusat)”. Penelitian ini untuk mengetahui perencanaan strategi yang layak diterapkan dalam upaya penanggulangan over kapasitas di Rutan khususnya Rutan Klas I Jakarta Pusat. Pembangunan sarana dan prasarana yang terus dikembangkan juga kelihatannya tidak cukup mampu mengimbangi laju pertambahan jumlah pelaku tindak kejahatan yang mengalami pertambahan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi strategi penempatan tahanan dan narapidana dalam lingkungan RUTAN terutama dalam mengantisipasi over capasitas.
35 Universitas Sumatera Utara
2.2. Lembaga Pemasyarakatan 2.2.1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Dalam proses pembinaan narapidana oleh lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pendukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi : 1. Sarana Gedung Pemasyarakatan Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinan yang sesuai harapan. Di Indonesia, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, terbuat dari tembok yang tinggi dengan trali besi. 2. Pembinaan Narapidana Bahwa sarana untuk pendidikan ketrampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau jika berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar. 3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Berkenaan dengan maslaha petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan 36 Universitas Sumatera Utara
pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan. Dengan demikian dalam suatu lembag pemasyarakatan, ketiga unsure tersebut di atas mutlak perlu ada. 2.2.2. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Teori pemidanaan yang dari masa ke masa mengalami perubahan, pada masa kini sudah tidak lagi berorientasi kepada tujuan pembalasan/penjeraan yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan lebih pada tata perlakuan yang bertujuan bukan saja agar para terpidana bertobat dan tidak melakukan tindak pidana lagi, melainkan juga melindungi masyarakat dari tindak kejahatan ( Sistem Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008) Dengan berlandaskan prinsip tersebut, maka LAPAS diharapkan dapat menampilkan fungsi yang diharapkan, antara lain : 1. Merupakan komunitas yang teratur dengan baik, seperti : tidak membahayakan nyawa, kesehatan dan integritas personal. 2. Kondisinya tidak menambah kesulitan yang dialami narapidana akibat pemidanaan. 3. Aktivitas di dalamnya sebanyak mungkin membantu narapidana untuk mampu kembali ke masyarakat setelah menjalani pidananya.
37 Universitas Sumatera Utara
Menurut Matalata (2004) pada hakekatnya, secara sosiologis Pemasyarakatan menyelenggarakan pelayanan publik dalam dua tataran : a. Pelayanan
secara
makro
yaitu
Pelayanan
yang
dilaksanakan
Pemasyarakatan sehubungan dengan tugas dan fungsinya dalam rangka pembinaan pelanggar hukum. Ketika pelanggaran yang dilakukan seseorang berada dalam kualitas yang tidak bisa tolerir oleh keadilan masyarakat, negara (dalam hal ini pemasyarakatan) mengambil ahli peran pembinaannya agar bersangkutan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. b. Pelayanan secara mikro yaitu Pelayanan pemasyarakatan terhadap hakhal pelanggar hukum yang dijamin oleh undang- undang. Misalnya, hak berkunjung, hak perawatan jasmani, hak mendapatkan Pembebasan bersyarat,
Cuti
menjelang
bebas
dan
sebagainya
(http://hukumham.info/index).
2.3. Kerawanan Kriminalitas Berbicara mengenai kriminalitas, tidak berarti sampai kepada deskripsi numeris berbagai bentuk pelanggaran hukum pidana atau peraturan- peraturan lain yang menerapkan sangsi yang ditentukan ataupun hanya melihat statistik kriminal resmi belaka, melainkan juga bentuk pelanggaran lain yang dianggap merugikan secara sosial dan mengguncangkan persaan keadilan yang ada didalam masyarakat.
38 Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, usaha untuk memeperoleh gambaran kriminalitas yang sesungguhnya terjadi dikota- kota besar maupun daerah- daerah lainnya, paling tidak dapat diktelusuri lewat dua sumber yakni statistik kriminal resmi dan keteranganketerangan yang diperoleh langsung dari masyarakat. Kejahatan dalam arti kriminologis adalah gejala sosial yang merupakan masalah sosial. Kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan kriminal. Perbuatan kriminal ini lebih luas lingkupnya dari kejahatan. Bukan meliputi perbuatan pidana baik yang berbentuk pelanggaran maupun yang berbentuk kejahatan, tetapi juga perbuatan- perbuatan yang oleh seorang kriminolog disebut perbuatan yang menyimpang. Perbuatan yang menyimpang ini merugikan masyarakat dipandang dari sudut sosial etis
yang sudah mapan.Dengan demikian perbuatan kriminal tidak hanya
mencakup perbuatan yang didapat dipidana dan perbuatan-perbuatan yang tidak dapat dipidana tetapi juga oleh pandangan masyarakat merupakan perbuatan tercela dan patut dipidana. Dilihat dari segi sosial patologik, maka perbuatan kriminalpun merupakan gejala sosial patologik yaitu gejala didalam masyarakat dimana nampak tidak adanya persesuaian anatara beberapa unsur dari keseluruhan sehingga dapat membahayakan kelanjutan dari kelompok atau merintangi pemuasan dan keinginan fundamental dari anggota kelompok, sehingga mengakibatkan pecahnya kelompok. Gejala sosial seperti pengemisan, pelacuran, perjudian, pemadatan, perdagangan manusia, peghisapan, gelandangan merupakan sebagian dari gejala sosial patologik. 39 Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Kerawanan sosial Menurut Biro Pusat Stasistik Sumatera Utara(2003), ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kerawanan sosial, diantaranya adalah tingginya angka kriminalitas didaerah, a.
Jumlah pengangguran yang tinggi,
b.
Jumlah miskin yang besar
c.
Adanya tempat- tempat terlarang seperti perjudian dan tempat pelacuran/ lokalisasi didaerah tersebut juga dapat memicu adanya potensi kerawanan sosial.
d.
Keanekaragaman suku dan agama, didaerah tersebut juga dapat mengakibatkan adanya pertentangan dan persaingan tidak sehat sehingga dapat memicu konflik antar suku atau agama.
2.3.2. Kejahatan Kejahatan yang secara kualitatif maupun kuantitatif meningkat dewasa ini, pada skala global, nasional maupun regional telah diungkapkan pada data resmi maupun pernyataan para pejabat penegak hukum. Kejahatan merupakan usaha pelanggaran hukum dalam suatu situasi sosial ekonomi yang sulit yang bersumber pada tatanan sosial. Adalah fakta bahwa kejahatan tertentu dapat dipandang sebagai pernyataan kekurangna kebutuhan jasmani maupun rohani yang disebabkan dan dipertahankan oleh struktur koleksos masyarakat yang bersangkutan. Pencurian dapat dilakukan karena kebutuhan ekonomi yang tidak adil. Kejahatan atas harta benda dapat disebabkan oleh keserakahan yang diransang oleh alat- alat produktif dan 40 Universitas Sumatera Utara
sarana reklame yang kapitalis. Kejahatan yang menggunakan kekerasan dapat merupakan suatu penyaluran harga diri yang difrustasikan dalam suatu masyarakat yang memepertahankan keterbelakangan sosial yang mustahil diatasi oleh individu,tetapi sekali- kali mempropagandakan kesamaan harkat dan martabat manusia. Penjelasan tersebut diatas menunjukan bahwa kejahatan- kejahatan tertentu terutama kejahatan individual harus dilihat dan dijelaskan dalam konteks ketidak adilan struktural yang ada dalam masyarakat. Kejahatan yang ada adalah kejahatan dalam masyarakat dan merupakan bagian dari proses- proses sosial produk sejarah dan senantiasa terkait pada proses- proses ekonomi yang sangat mempengaruhi hubungan antar manusia. 2.3.3. Konflik Kita semua sudah pernah melihat orang atau kelompok orang terlibat dalam konflik. Johnson (1989), menyatakan bahwa konflik, perselisihan, percecokan, pertentangan merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar karena meskipun tidak harus tetapi bahkan amat mungkin terjadi. Konflik terjadi manakala dalam hubungan antar dua orang atau dua kelompok perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan lainnya, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Secara teoritis, konflik merupakan suatu bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi di setiap interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat (Ramlan, dkk, 2004).
41 Universitas Sumatera Utara
Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju keseimbangan sosial. Bahkan bila konflik dapat dikelola dengan baik sampai batas tertentu, maka dapat juga dipakai sebagai alat perekat kehidupan masyarakat. Namun konflik sosial menjadi tidak lumrah dan tidak dapat menjadi sumber kerawanan sosial semakin terasa sangat tidak patut karena sudah menuju kebentuk kekerasan sosial hampir diseluruh lapisan masyarakat disertai dengan terancamnya keutuhan hidup berbangsa. (Ramlan, dkk, 2004).
2.4. Kerawanan Pengangguran Pengangguran merupakan issue utama disuatu daerah atau negara berkaitan dengan memperdayakan dan pemanfaatan tenaga kerja. Berbagai kebijakan ketertenaga kerjaan diarahkan untuk menekan jumlah pengangguran dengan memutar lebih kencang lagi roda perekonomian. Jumlah pengangguran yang tidak terkendali akan berdampa pada kehidupan sosial dan kondisi politik suatu negara dimana jumlah pengangguran yang terlalu tinggi akan membuat kondisi suatu darerah tersebut menjadi rawan. Untuk penanganan pengangguran agar lebih terarah dan terkendali, diperlukan informasi yang lengkap berkaitan dengan jumlah pengangguran dan kondisi kerawanan menurut tingkat pengangguran. Ketidak seimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk dengan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja, cepat atau lambat akan menimbulkan berbagai masalah sosial dimana kriminalitas merupakan salah satu wujudnya (Ramlan, dkk 2004) 42 Universitas Sumatera Utara
2.5. Pembebasan bersyarat (PB) 2.5.1. Pengertian Pembebasan bersyarat Pembebasan bersyarat (PB) adalah proses pembinaan Narapidana di luar LAPAS setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan (Pasal 1 PP Nomor 32 Th.1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan). Izin Pembebasan bersyarat (PB) dapat diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan : 1. Dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam satu atau beberapa putusan; 2. Telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 7, Pasal 8 huruf a, b, c, d, e dan f angka 2 dan Pasal 9 Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan bagi narapidana tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, telah pula memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan b Permenkeh RI No. M.01PK.04.10 Th.1991;
43 Universitas Sumatera Utara
3. Tidak termasuk narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Permenkeh RI No.M.01-PK.04.10 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh RI No.M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas; 4. Telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya. Pemberian izin Pembebasan bersyarat adalah wewenang Menteri Kehakiman dan HAM yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Narapidana
yang
memperoleh
PEMBEBASAN
BERSYARAT
harus
memenuhi syarat-syarat : 1. Telah menjalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya, minimal 9 bulan. 2. Tanggal 2/3 dari masa pidana yang sekarang dihitung sejak tanggal eksekusi jaksa. 3. Tidak sedang menjalani Hukuman Disiplin Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan. Setelah bebas dari lapas selain dibebani oleh beberapa syarat, narapidana juga diberikan tambahan masa percobaan selama setahun dan langsung ditambahkan pada sisa pidananya (Suhardi, M, 2005).
44 Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Syarat-syarat Pembebasan bersyarat Syarat – syarat Pembebasan bersyarat yaitu : 1. Syarat Substantif a.
Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan penyebab dijatuhi pidana;
b.
Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral positif
c.
Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan semangat;
d.
Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan napi dan anak pidana yang bersangkutan;
e.
Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin sekurang-kurangnya sembilan bulan terakhir;
f.
Telah menjalani masa pidana 2/3 dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut tidak kurang dari sembilan bulan;
2. Syarat administratif a.
Kutipan putusan hakim (ekstrak vonis) ;
b.
Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan napi dan anak didik permasyarakatan yang dibuat oleh Wali permasyarakatan;
45 Universitas Sumatera Utara
c.
Surat pemberitahuan ke Kejaksaan negeri tentang rencana pemberian Pembebasan bersyarat terhadap napi dan anak didik permasyarakatan yang bersangkutan ;
d.
Salinan register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan napi dan anak didik permasyarakatan selama menjalani masa pidana )dari Kepala Lapas atau Kepala Rutan ;
e.
Salinan Daftar Perubahan atau Pengurangan Masa Pidana (grasi presiden, remisi, ) dari Kepala Lapas atau Kepala Rutan ;
f.
Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima napi dan anak didik permasyarakatan (pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah, swasta,atau lain-lain).
2.5.3. Tujuan Pembebasan bersyarat Adapun yang menjadi tujuan sekaligus manfaat diberikannya Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas kepada narapidana adalah : 1. Dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan nilai-nilai positif yang ada di masyarakat itu pula (Bahrrudin Surybroto, 1978). 2. Untuk
meningkatkan
keterlibatan
masyarakat
dalam
pembinaan
narapidana/pembinaan guna menguarngi peran Negara dalam pembinaan dan perawatan narapidana. 3. Negara atau pemerintah dalam keadaan ini tidak lagi mendapatkan beban anggaran dalam rangka pembinaan dan perawatan narapidana tersebut. Hal ini 46 Universitas Sumatera Utara
secara langsung akan mengurangi beban anggaran Negara. Karena dengan dibebaskannya narapidana melalui program Pembebasan bersyarat dan cuti mnjelang bebas, maka akan mengurangi hari tinggal narapidana itu di Lapas, dan dengan berkurangnya hari tinggal narapidana maka Negara tidak perlu lagi menyediakan anggaran guna membina dan merawat narapidana di dalam Lapas.
2.6. Cuti Menjelang Bebas 2.6.1. Pengertian Cuti Menjelang Bebas Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurangkurangnya sembilan bulan. Besarnya pemberian cuti menjelang bebas ini adalah sebesar remisi terakhir pada tahun berjalan. Berbeda dengan Pembebasan bersyarat, pada cuti menjelang bebas narapidana tidak diberikan masa percobaan. Cuti menjelang bebas pada prinsipnya hanya diberikan kepada narapidana hukuman pendek. Besarnya waktu/ jumlah waktu cuti menjelang bebas adalah sama dengan besarnya remisi terakhir yang diperoleh narapidana tersebut. Adapun syarat-syarat Izin cuti menjelang bebas dapat diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan : 1. Dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam satu atau beberapa putusan;
47 Universitas Sumatera Utara
2. Telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 7, Pasal 8 huruf a, b, c, d, e dan f angka 3 dan Pasal 9 Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan bagi narapidana tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, telah pula memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan b Permenkeh RI No. M.01PK.04.10 Th.1991; 3. Tidak termasuk narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas; 4. Telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya. 5. Pemberian izin cuti menjelang bebas adalah wewenang Menteri Kehakiman dan HAM yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah. 6. Proses penyelesaian usulan PEMBEBASAN BERSYARAT membutuhkan waktu yang relatif lama sehingga bagi Narapidana yang mempunya masa hukuman pendek, keputusan PEMBEBASAN BERSYARAT-nya menjadi terlambat dan merugikan Narapidana ybs.
48 Universitas Sumatera Utara
7. Diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat untuk diberikan PEMBEBASAN BERSYARAT. Remisi Istimewa, Remisi Khusus dan Remisi Tambahan dapat dijumlahkan dengan besarnya Remisi Umum untuk dijadikan dasar usulan besarnya CMB, dengan ketentuan tidak melebihi 6 bulan (Pasal 6 Kepres No.174 Tahun 1999). Menurut Suhardi, M, (2005) Diberikannya Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas kepada narapidana diharapkan mereka betul-betul dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan nilai-nilai positif yang ada di masyarakat itu pula. Selain bertujuan untuk mengintegrasikan kembali narapidana dengan masyarakat sesuai dengan proses dan tujuan dari pemasyarakatan, pemberian program Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas juga bertujuan untuk
meningkatkan
keterlibatan
masyarakat
dalam
pembinaan
narapidana
/pembinaan guna mengurangi peran negara dalam pembinaan dan perawatan narapidana. Karena dengan diberikannya hak Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas kepada narapidana yang telah memenuhi syarat, maka narapidana itu tidak dibina lagi di dalam lapas, melainkan dibina di tengah-tengah masyarakat. Dengan dibinanya narapidana di tengah-tengah masyarakat melalui program Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas, negara atau pemerintah dalam keadaan ini tidak lagi mendapatkan beban anggaran dalam rangka pembinaan dan perawatan narapidana tersebut. Hal ini secara langsung akan mengurangi beban anggaran negara. Karena dengan dibebaskannya narapidana melalui program Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas, maka akan mengurangi hari tinggal 49 Universitas Sumatera Utara
narapidana itu di lapas, dan dengan berkurangnya hari tinggal narapidana maka negara tidak perlu lagi menyediakan anggaran guna membina dan merawat narapidana di dalam lapas (Suhardi, M, 2005) Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi : 1. Asimilasi Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana. 2. Reintegrasi Sosial Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. a. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurangkurangnya adalah selama sembilan bulan. b. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.
50 Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Syarat-Syarat Cuti Menjelang Bebas Izin cuti menjelang bebas dapat diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan : 1. Dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam satu atau beberapa putusan. 2. Telah memenuhi persyaratan dimaksud Pasal 7, Pasal 8 hurf a,b,c,e dan f angka 3 dan Pasal 9 Permenkeh RI No.M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang bebas dan bagi narapidana tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Permenkeh RI No.M.01-O1-PK.0410 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh RI No. RI No.M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, telah pula memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan b Permenkeh No.M.01-PK.04.10th 1991 ; 3. Tidak termasuk narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Permenkeh RI No.M.01-O1-PK.0410 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh RI No. RI No.M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, 4. Telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya. 5. Pemberian izin cuti menjelang bebas adalah wewenang Menteri Kehakiman dan HAM yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah. 51 Universitas Sumatera Utara
6. Proses penyelesaian usulan PEMBEBASAN BERSYARAT membutuhkan waktu yang relatif lama sehingga bagi narapidana yang mempunyai masa hukuman pendek, keputusan PEMBEBASAN BERSYARAT-nya menjadi terlambat dan merugikan Narapidanya yang bersangkutan
2.7. Over Kapasitas 2.7.1. Pengertian Over Kapasitas Masalah over kapasitas lapas/rutan merupakan masalah yang terjadi pada hampir semua lapas/rutan di Indonesia sehingga perlu dilakukan langkah konseptual disamping upaya penambahan kapasitas bangunan, yang antara lain dilakukan dengan meningkatkan angka Pembebasan bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas. Menurut
Direktorat
Registrasi
dan
Statistik,
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Maret 2008, Perbandingan jumlah Penghuni dalam LAPAS dan RUTAN dengan kapasitas hunian sangat tidak seimbang. Triadi, RD (2008) menyatakan bahwa berbagai upaya dalam mengatasi dampak dari over kapasitas telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, antara lain: 1. Dengan melakukan pemindahan warga binaan yang berstatus narapidana secara bertahap dari RUTAN ke LAPAS, 2. Pembangunan gedung hunian baru secara bertingkat dan merenovasi gedung bangunan-bangunan lama,
52 Universitas Sumatera Utara
3. Pengembangan kegiatan Pembebasan bersyarat (PB) ataupun Cuti Bersyarat (CB). Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Registrasi dan Statistik, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Maret 2008 bahwa perbandingan jumlah Penghuni dalam LAPAS dan RUTAN dengan kapasitas hunian sangat tidak seimbang., hal ini dapat dilihat dari perbandingan komposisi pada Tabel 2.1. di bawah ini : Tabel 2.1. Perbandingan Jumlah Penghuni Dalam Lapas Dan Rutan Dengan Kapasitas Hunian Jumlah Jumlah Jumlah keseluruhan Kapasitas Over Lapas Rutan Penghuni hunian kapasitas 209 UPT 190 UPT 130.420 orang 81.384 orang 49.036 orang Sumber : Direktorat Registrasi dan Statistik, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Maret 2008 2.7.2. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Over Kapasitas di LP Menurut Raharjo dalam muktar (2008), yang menjadi penyebab over kapasitas : a. Faktor internal berkaitan dengan perilaku manusianya b. Faktor eksternal : 1.) Faktor lingkungan yang berperan besar membentuk watak seseorang 2.) Kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan 3.) Faktor ekonomi
53 Universitas Sumatera Utara
4.) Pembinaan yang tidak optimal yang disebabkan adanya ketidak keseimbangan diantara tenaga pembina dengan jumlah narapidana. 5.) Sistem penegakan hukum mulai dari tindak penyelidikan (polisi) penuntutan (kejaksaan) dan pengadilan harus lebih bersinergi dan berkesinambungan 6.) Sarana dan prasarana pada rutan daerah yang minim 2. Menurut Mustafa, (2008) a. Tingginya pelaku kasus Narkoba terutama unsur pengguna menjadi penyebab utama terjadinya over kapasitas (Kelebihan tingkat hunian) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) atau Rumah Tahanan (Rutan). b. Pertambahan jumlah penduduk c. Belum adanya persamaan persepsi diantara penegak hukum dalam hal pemberian hukuman yang cenderung memberi hukuman berupa pidana penjara, khususnya terhadap pelaku tindak pidana yang tergolong anakanak. 2.7.3. Dampak yang Ditimbulkan Over Kapasitas Akibat yang ditimbulkan dari keadaan ini adalah tidak optimalnya pemenuhan hak mutlak narapidana, antara lain: 1. Fasilitas hunian; Tidak seimbangnya jumlah napi dengan jumlah sel/kamar pada LAPAS/RUTAN dapat menyebabkan penempatan yang tidak terpisah antara tahanan dengan narapidana, wanita dengan pria, anak dengan dewasa;
54 Universitas Sumatera Utara
2. Sanitasi
dan
kesehatan;
kesulitan
mendapatkan
air
bersih
pada
LAPAS/RUTAN yang terletak jauh dari sumber mata air, ventilasi yang buruk, sulitnya mendapatkan bahan makanan tertentu seperti protein hewani pada LAPAS/RUTAN didaerah yang sulit dijangkau (kesulitan dalam hal distribusi bahan makanan), kurangnya tenaga medis dan obat-obatan, dll ; 3. Kurangnya pengawasan terhadap perilaku kekerasan/penyiksaan penghuni; keberadaan narapidana dalam LAPAS yang relative lama, menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan spesifik, seperti terbentuknya kelompok-kelompok narapidana, tumbuhnya sikap superior dan inferior di kalangan narapidana yang cenderung mengakibatkan terjadinya pelecehan dan penindasan. 2.7.4. Langkah untuk mengatasi Over Kapasitas Menurut Matalata (2004), program utama untuk menanggulangi kelebihan over kapasitas Lapas atau Rutan : 1. Meningkatkan kapasitas hunian dalam membangun Lapas atau Rutan yang baru dan menambah blok hunian 2. Melalui Pembebasan bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dengan program percepatan pembinaan (Remisi) 3. Salah satu program andalan Pemasyarakatan untuk meningkatkan kinerjanya adalah Bulan tertib Pemasyarakatan (BUTERPAS) adalah pengoptimalan pembinaan seingga bisa mempercepat proses pembinaan Narapidana dalam Lapas (http://hukumham.info/index).
55 Universitas Sumatera Utara