BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Penelitian Terdahulu Herman (2003) melakukan penelitian dengan Judul Pengaruh Kualitas
Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Subang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Subang. Objek penelitian ini adalah pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Subang. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Deskriptif dan Verifikatif, sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Subang. Populasi penelitian ini adalah berdasarkan jumlah pasien selama satu bulan. Untuk menganalisis hipotesis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Subang, data penelitian meliputi data primer yang diambil melalui kuesioner berskala ordinal serta wawancara langsung dengan pasien, data sekunder yang diperoleh dari pustaka atau literatur. Data ordinal kemudian ditingkatkan skalanya menjadi interval melalui metode interval berurutan (Method Of Sucessive Interval) yang diuji validitasnya dengan menggunakan rumus product moment pearson dan uji reliabilitas dengan menggunakan rumus split half (teknik belah dua) dari spearman brown, maka dilakukan uji statistik t, dengan menggunakan metode analisis regresi korelasi
1
Universitas Sumatera Utara
31
Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan yang terdiri dari Tangible, Emphaty, Reliability, Responsiveness dan Assurance berpengaruh terhadap kepuasan pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Subang. Widagno (2010) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Pada Rumah Sakit Umum Daerah Sragen. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sragen dan menganalisis variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepuasan pasien. Dalam penelitian ini digunakan lima variabel independen yaitu: reliability (keandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (jaminan), empathy (empati), dan tangible (bukti fisik) sedangkan variabel dependennya adalah kepuasan pasien. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat di RSUD Sragen. Dalam penelitian ini diambil sampel dengan jumlah 100 responden, Cara pengumpulan data dengan menggunakan data primer yaitu pengambilan sampel dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Teknik pengambilan sampel ditentukan dengan Random Sampling yaitu pemilihan sekelompok subyek yang didasarkan atas setiap populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel. Selain itu peneliti juga menggunakan data sekunder yaitu data yang berhubungan dengan analisa data. Hasil dari uji t menunjukkan bahwa kelima variabel independen (Reliability, Responsiveness, Assurance, Empathy dan Tangible) secara individu berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Kepuasan Pasien). Hasil uji F menunjukkan bahwa kelima variabel independen secara bersama berpengaruh signifikan terhadap
Universitas Sumatera Utara
32
kepuasan pasien. Dari hasil koefisien determinasi diperoleh R² sebesar 0,646 yang menunjukkan semua variabel independen mempunyai pengaruh terhadap peningkatan maupun penurunan kepuasan pasien. Hasil penelitian menujukkan bahwa variabel yang paling signifikan adalah variabel reliability (keandalan).
II.2.
Teori Tentang Pelayanan
II.2.1. Pengertian Pelayanan Kotler dan Keller (2008) mengemukakan bahwa jasa/layanan (service) adalah semua tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain yang pada intinya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. Dalam Tjiptono (2008), ada empat definisi konsep service, pertama service menggambarkan berbagai subsektor dalam kategorisasi aktivitas ekonomi, seperti transportasi, finansial, perdagangan ritel, personal services, kesehatan, pendidikan dan layanan publik. Kedua, service dipadang sebagai produk intangible yang hasilnya lebih berupa aktivitas ketimbang obyek fisik, meskipun dalam kenyataan bisa saja produk fisik dilibatkan (umpamanya, makanan dan minuman direstoran dan pesawat di jasa penerbangan). Dalam hal ini lingkupnya adalah tawaran produk. Ketiga, service merefleksikan proses, yang mencakup penyampaian produk utama, interaksi personal, kinerja dalam arti luas (termasuk di dalamnya drama dan keterampilan) serta pengalaman layanan. Keempat, service bisa pula dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua komponen utama, yaitu service operation yang kerap kali tidak tampak atau tidak diketahui keberadaanya oleh pelanggan (back office atau
Universitas Sumatera Utara
33
backstage) dan
service delivery yang biasanya tampak (visible) atau diketahui
pelanggan (sering disebut pula front office atau fronstage). Sari (2008) mengemukakan bahwa pelayanan diharapkan membuat pasien merasa puas (customer satisfaction) adalah dengan memberikan kepada pelanggan apa yang betul-betul mereka butuhkan dan inginkan, bukan memberikan apa yang kita pikirkan dibutuhkan oleh mereka. Memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pelanggan merupakan merupakan hal penting yang mempengaruhi kinerja kompetitif organisasi dan kualitas maupun produktivitas yang tinggi, merupakan hal yang penting. Sedarmayanti (2004) mengemukakan bahwa pelayanan berawal dari desain produk dan termasuk interaksi dengan pelanggan, dengan tujuan memberikan kepuasan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Jika harapan pelanggan terpenuhi, pelanggan mungkin lebih puas, membuat komentar yang menyenangkan orang lain atau menjadi pelanggan yang berulang. Sehubungan dengan hal tersebut, organisasi harus meningkatkan daya saingnya, dengan cara bekerja untuk meningkatkan pelayanan. Menurut Kotler (2005) mengemukakan bahwa jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak ke pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan sesuatu. Menurut Albrecht dalam Sedarmayanti (2004) mendefinisikan palayanan sebagai “... a total organizational appoarch that makes quality of service as perceived by the customer, the number one driving force for the operation of the business”. (suatu pendekatan organisasi total yang menajdi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan
Universitas Sumatera Utara
34
penggerak utama dalam mengoperasikan bisnis). Dengan demikian pelayanan dapat diartikan sebagai suatu upaya atau tindakan yang memberikan sesuatu dalam bentuk jasa kepada orang lain dengan tujuan agar kebutuhan orang tersebut dapat terpenuhi yang akan menimbulkan kepuasan terhadap orang yang menerima pelayanan. Lebih lanjut Ratminto dan Winarsih (2005) mendefinisikan pelayanan publik atau pelayanan umum sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa public yang pada prinsipnya menjadi yanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Kotler (2005) pelanggan menciptakan harapan-harapan layanan dari pengalaman masa lalu, cerita dari mulut ke mulut, dan iklan. Jika persepsi jasa berada di bawah jasa yang diharapkan, pelanggan akan kecewa. Jika persepsi jasa memenuhi atau melebihi harapan mereka, mereka akan cenderung menggunakan penyedia tersebut lagi. Menurut Parasuraman, dkk dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009) jika kenyataan lebih dari yang diharapkan maka layanan dapat dikatakan berkualitas, dan sebaliknya. Sari (2008) mengemukakan untuk memenuhi harapan pelanggan, rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan prima ataupun dengan mengembangkan: 1. Kemampuan memahami kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan. 2. Pengembangan data base yang lebih akurat dibandingkan dengan organisasi yang lain.
Universitas Sumatera Utara
35
3. Pemanfaatan informasi yang diperoleh dari hasil riset pasar dalam suatu kerangka strategic. Menurut Moenir (2004) pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya pelayanan yaitu: a. Adanya rasa cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang membuat manusia bersedia mengorbankan apa yang ada padanya sesuai kemampuannya, diwujudkan menjadi layanan dan pengorbanan dalam batas ajaran agama, norma, sopan santun, dan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat. b. Adanya keyakinan untuk saling tolong menolong sesamanya. Rasa tolong menolong merupakan naluri yang sudah melekat pada manusia. Apa yang dilakukan oleh seseorang untuk orang lain karena diminta oleh orang yang membutuhkan pertolongan hakikatnya adalah pelayanan, disamping ada unsur pengorbanan, namun kata pelayanan tidak pernah digunakan dalam hubungan ini. c. Adanya keyakinan bahwa berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu bentuk amal saleh. Inisiatif berbuat baik timbul dari orang yang bukan berkepentingan untuk membantu orang yang membutuhkan bantuan, proses ini disebut bantuan.
Universitas Sumatera Utara
36
Selanjutnya menurut Payne (2000) layanan pelanggan memiliki pengertian: 1. Segala kegiatan yang dibutuhkan untuk menerima, memproses, menyampaikan dan memenuhi pesanan pelanggan dan untuk menindak lanjuti setiap kegiatan yang mengandung kekliruan. 2. Ketepatan waktu dan reliabilitas penyampain produk dan jasa kepada pelanggan sesuai dengan harapan mereka. 3. Serangkaian kegiatan yang meliputi semua bisnis yang terpadu untuk menyampaikan produk-produk dan jasa tersebut sedemikian rupa sehingga dipersepsikan memuaskan oleh pelanggan dan yang merealisasikan pencapaian tujuan-tujuan perusahaan. 4. Total pesanan yang masuk dan seluruh komunikasi dengan pelanggan. 5. Penyampaian produk kepada pelanggan tepat waktu dan akurat dengan tindak lanjut serta tanggapan dan keterangan yang akurat. Disamping itu ada suatu system pelayanan yang baik terdiri dari 3 elemen, yaitu: 1. Strategi layanan, suatu strategi untuk memberikan layanan dengan mutu yang sebaik mungkin kepada para pelanggan. 2. Sumber daya manusia yang memberikan pelayanan. 3. Sistem pelayanan, prosedur atau tata cara untuk memberikan layanan kepada para pelanggan yang melibatkan seluruh fasilitas fisik yang dimiliki dan seluru sumber daya manusia yang ada.
Universitas Sumatera Utara
37
Gasperz dalam Sedarmayanti (2004), mengutarakan tentang sejumlah kriteria yang menjadi ciri pelayanan atau jasa sekaligus membedakannya dari barang, yaitu: 1. Pelayanan merupakan output tak berbentuk (intangible output). 2. Pelayanan merupakan output variabel, tidak standart. 3. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi. 4. Terdapat hubungan yang langsung dan erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan. 5. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan. 6. Keterampilan personel “disarankan” atau diberikan secara langsung kepada pelanggan. 7. Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal. 8. Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang tinggi dari individu yang memberikan pelayanan. 9. Perusahaan jasa pada umumnya bersifat padat karya. 10. Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan. 11. Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyektif. 12. Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses. 13. Option penetapan harga lebih sulit.
Universitas Sumatera Utara
38
II.2.2. Karakteristik Pelayanan Pelayanan atau jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik barang. Kotler (2005) mengemukakan bahwa jasa memiliki empat karakteristik utama yang sangat mempengaruhi desain program pemasaran : tidak berwujud (intangibility), tidak terpisahkan (inseparability), bervariasi (variability), dan tidak tahan lama (perishability). Tidak berwujud berbeda dengan produk fisik, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum dibeli. Tidak terpisah dapat diartikan bahwa biasanya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Hal ini tidak berlaku barang-barang fisik, yang diproduksi, disimpan sebagai persediaan, didistribusikan melalui banyak penjual, dan dikonsumsi kemudian. Jika seseorang memberikan jasa tersebut, penyedianya adalah bagaian dari jasa itu. Jasa dikatakan bervariasi karena bergantung pada siapa memberikannya dan kapan dan dimana diberikan, jasa sangat bervariasi. Jasa dikatakan tidak tahan lama karena jasa tidak dapat disimpan. Sifat jasa yang mudah rusak (perishability) tersebut tidak akan menajdi masalah apabila permintaan tetap berjalan lancar, jika permintaan berfluktuasi perusahaan jasa akan menghadapi masalah yang rumit. Menurut Payne (2000), ada empat karakteristik yang paling sering dijumpai dalam jasa adalah: 1. Tidak berwuju; bersifat abstrak dan tidak berwujud. 2. Heterogenitas; merupakan variabel yang non standar dan sangat bervariasi. 3. Tidak dapat dipisahkan; biasa umunya dihasilkan dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan dengan partisipasi konsumen dalam proses tersebut.
Universitas Sumatera Utara
39
4. Tidak tahan lama; jasa tidak mungkin disimpan dalam persediaan. Lebih lanjut Kotler dan Keller (2008) mengemukakan bahwa ada beberapa sifat jasa antara lain: 1.
Tak berwujud (intangibility): tidak seperti produk fisik, jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar, atau dibaui sebelum jasa itu dibeli.
2.
Tak terpisahkan (inseparability): sementara barang fisik dibuat, dimasukkan dalam persediaan, didistribusikan melalui berbagai perantara dan dikonsumsi kemudian. Jasa umumnya diproduksi dan dikonsumsi sekaligus.
3.
Bervariasi (variability): karena kualitas jasa tergantung kepada siapa yang menyediakannya, kapan dan dimana dan kepada siapa, jasa sangat bervariasi.
4.
Dapat musnah (perishability): jasa tidak dapat disimpan, jadi musnahnya jasa bisa menjadi masalah ketika permintaan berfluktuasi.
II.2.3. Dimensi Kualitas Pelayanan Kotler dan Armstrong (2006), mendefinisikan Kualitas sebagai karakteristik produk atau jasa yang bergantung pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan pelanggan yang dinyatakan atau tersirat. Selanjutnya Siemens dalam Kotler dan Armstrong (2006) juga mengemukakan bahwa Kualitas adalah ketika pelanggan kita kembali dan produk kita tidak kembali. Menurut Goetsh dan Davis dalam Sari (2008) kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Dalam Kotler dan Keller (2008) kualitas (quality) adalah totalitas fitur dan karakteristik
Universitas Sumatera Utara
40
produk atau jasa yang bergantung pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Sviokla dalam dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009) mengemukakan kualitas memiliki delapan dimensi pengukuran yang terdiri atas aspek-aspek sebagai berikut: 1. Kinerja (performance). Kinerja di sini merujuk pada karakter produk inti yang meliputi merek, atribut-atribut yang dapat diukur, dan aspek-aspek kinerja individu. Kinerja beberapa produk biasanya didasari oleh preferensi subjektif pelanggan yang pada dasarnya bersifat umum. 2. Keragaman Produk (features). Dapat berbentuk produk tambahan dari suatu produk inti yang dapat menambah nilai suatu produk. Keragaman produk biasanya diukur secara subjektif oleh masing-masing individu (dalam hal ini konsumen) yang menunjukkan adanya perbedaan kualitas suatu produk (jasa). Dengan demikian perkembangan kualitas suatu produk menurut karakter fleksibilitas agar dapat menyesuaikan diri dengan permintaan pasar. 3. Keandalan (reliability). Dimensi ini berkaitan dengan timbulnya kemungkinan suatu produk mengalami keadaan tidak berfungsi (malfunction) pada suatu periode. Keandalan suatu produk yang menandakan tingkat kualitas sangat berarti bagi konsumen dalam memilih produk. Hal ini menjadi semakin penting mengingat besarnya biaya penggantian dan pemeliharaan yang harus terus dikeluarkan apabila produk yang dianggap tidak andal mengalami kerusakan. 4. Kesesuaian (conformance). Dimensi lain yang berhubungan dengan kualitas suatu barang adalah kesesuaian produk dengan standar dalam industrinya. Kesesuaian
Universitas Sumatera Utara
41
suatu produk dalam industri jasa diukur dari tingkat akurasi dan waktu penyelesaian termasuk juga perhitungan kesalahan yang terjadi, keterlambatan yang tidak dapat diantisipasi dan beberapa kesalahan lain. 5. Ketahanan atau daya tahan (durability). Ukuran ketahanan suatu produk meliputi segi ekonomis maupun teknis. Secara teknis, ketahanan suatu produk didefinisikan sebagai sejumlah kegunaan yang diperoleh seseorang sebelum mengalami penurunan kualitas. Secara ekonomis, ketahanan diartikan sebagai usia ekonomis suatu produk dilihat dari jumlah kegunaan yang diperoleh sebelum terjadi kerusakan dan keputusan untuk mengganti produk. 6. Kemampuan Pelayanan (serviceability). Kemampuan pelayanan bisa juga disebut dengan kecepatan, kompetensi, kegunaan dan kemudahan produk untuk diperbaiki. Dimensi ini menunjukkan bahwa konsumen tidak hanya memperhatikan adanya penurunan kualitas produk
tetapi juga waktu sebelum produk disimpan,
penjadwalan pelayanan, proses komunikasi dengan staf, frekuensi pelayanan perbaikan akan kerusakan produk dan pelayanan lainnya. Variabel-vaeiabel tersebut dapat merefleksikan adanya perbedaan standar perorangan mengenai pelayanan yang diterima. Dimana kemampuan pelayanan suatu produk tersebut menghasilkan suatu kesimpulan kualitas produk yang dinilai secara subjektif oleh konsumen. 7. Estetika (aesthetics). Estetika merupakan dimensi pengukuran yang paling subjektif. Estetika suatu produk dilihat dari bagaimana suatu produk terdengar oleh konsumen, bagaiman penampilan luar suatu produk, rasa, maupun bau. Dengan
Universitas Sumatera Utara
42
demikian, estetika jelas merupakan penilaian dan refleksi yang dirasakan oleh konsumen. 8. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality). Konsumen tidak selalu memiliki informasi yang lengkap mengenai atribut-atribut produk (jasa). Namun umumnya merek, nama, dan negara produsen. Ketahanan produk misalnya dapat menjadi hal yang sangat kritis dalam pengukuran kualitas produk. Fitzsimmons dalam Sedarmayanti (2004) mengutarakan bahwa kualitas pelayanan merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga untuk menentukan sejauhmana kualitas dari pelayanan, dapat dilihat dari lima dimensi yaitu: 1. Reliability, kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan. 2. Responsiveness, kesadaran atau keinginan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan, serta respek terhadap konsumen. 3. Assurance, pengetahuan atau wawasan, kesopanansantunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan, serta respek terhadap konsumen. 4. Emphaty, kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keingina dan kebutuhan konsumen. 5. Tangibles, penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan. Selanjutnya Parasuraman, dkk dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009) mengemukakan bahwa ada lima dimensi Service Quality yakni:
Universitas Sumatera Utara
43
1. Berwujud (tangible), yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan yang dapat diandalkan keadaaan lingkungan sekitarnya merupakan bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi fasilitas fisik (contoh: gedung, gudang, dan lain-lain), perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya. 2. Keandalan (reliability), yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan cepat. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi. 3. Ketanggapan (responsiveness), yaitu suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. 4. Jaminan dan kepastian (assurance), yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Hal ini meliputi beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy). 5. Empati (emphaty), yaitu memberi perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami
Universitas Sumatera Utara
44
keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Kotler
dan
Keller
(2008)
mengemukakan
atribut
Service
Quality
(SERVQUAL) sebagai berikut: 1. Keandalan merupakan kemampuan untuk melaksankan jasa yang dijanjikan dengan andal dan akurat. Misalnya: a. Menyediakan jasa sesuai dengan yang dijanjikan. b. Keandalan dalam penanganan masalah layanan pelanggan. c. Melaksanakan jasa dengan benar pada saat pertama. d. Menyediakan jasa pada waktu yang dijanjikan. e. Mempertahankan catatan bebas kesalahan. f. Karyawan yang mempunyai pengetahuan untuk menjawab pertanyaan pelanggan. 2. Responsivitas merupakan kesediaan membantu pelanggan dan memberikan layanan tepat waktu. a. Selalu memberi tahu pelanggan tentang kapan pelayanan akan dilaksanakan. b. Layanan tepat waktu bagi pelanggan. c. Kesediaan untuk membantu pelanggan. d. Kesiapan untuk merespons permintaan pelanggan. 3. Jaminan merupakan pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menunjukkan kepercayaan dan keyakinan.
Universitas Sumatera Utara
45
a. Karyawan yang menanamkan keyakinan pada pelanggan. b. Membantu pelanggan merasa aman dalam transaksi mereka. c. Karyawan yang selalu sopan. 4. Empati merupakan kondisi memperhatikan dan memberi perhatian pribadi kepada pelanggan. a. Memberi perhatian pribadi kepada pelanggan. b. Karyawan yang menghadapi pelanggan dengan cara yang penuh perhatian. c. Mengutamakan kepentingan terbaik bagi pelanggan. d. Karyawan yang memahami kebutuhan pelanggan mereka. e. Jam bisnis yang nyaman. 5. Wujud merupakan penampilan fisik, peralatan, personel dan bahan komunikasi. b. Peralatan modern. c. Fasilitas yang tampak menarik secara visual. d. Karyawan yang memiliki penampilan rapi dan profesional. e. Bahan-bahan yang berhubungan dengan jasa mempunyai daya tarik visual. Dalam Tjiptono (2008) dikemukakan cara konsumen menilai lima dimensi kualitas jasa kesehatan yakni: 1. Reliabilitas: janji ditepati sesuai jadwal dan diagnosisnya terbukti akurat. 2. Daya Tanggap: mudah diakses, tidak lama menunggu dan bersedia mendengar keluh kesah pasien. 3. Jaminan: pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan reputasi.
Universitas Sumatera Utara
46
4. Empati: mengenal pasien dengan baik, mengingat masalah (penyakit, keluhan, dll) sebelumnya, pendengar yang baik dan sabar. 5. Bukti fisik: ruang tunggu, ruang operasi, peralatan dan bahan-bahan tertulis. Selanjutnya menurut Palmer dalam Sari (2008) mengemukakan ada lima dimensi mutu pelayanan yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Reliability (Keandalan) yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan dipercaya. Misalnya: a. Pelayanan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan yang tepat. b. Jadwal pelayanan dijalankan secara tepat. c. Prosedur pelayanan yang tidak berbelit-belit. 2. Responsiveness (Ketanggapan) yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat atau tanggap. Misalnya: a. Kemampuan dr/drg/perawat/bidan untuk tanggap menyelesaiakan keluhan pasien. b. Petugas memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti. c. Tindakan cepat pada saat pasien membutuhkan. 3. Assurance (Jaminan) yaitu pengetahuan dan kesopanan petugas serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan/assurance. a. Pengetahuan dan kemampuan medis menetapkan diagnosis. b. Keterampilan medis/ para medis dalam bekerja.
Universitas Sumatera Utara
47
c. Pelayanan yang sopan dan ramah. d. Jaminan keamanan, kepercayaan status sosial, dll. 4. Empathy (empati) merupakan syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi kepada pelanggan. Misalnya: a. Memberi perhatian khusus kepada setiap pelanggan. b. Kepedulian terhadap keluhan pelanggan. c. Pelayanan kepada semua pelanggan tanpa memandang status, dll. 5. Tangibles (keberwujudan) yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi. Misalnya: a. Kebersihan, kerapihan dan kenyamana ruangan. b. Penataan interior dan eksterior ruangan. c. Kelengkapan, persiapan dan kebersihan alat. d. Penampilan, kebersihan penampilan petugas. II.3. Teori Kepuasan Pelanggan II.3.1. Pengertian Kepuasan Pelanggan Kata kepuasan atau satisfaction berasal dari bahasa latin, yang terdiri dari kata satis yang artinya cukup baik atau memadai. Kata yang kedua adalah faction yang artinya melakukan atau membuat. Menurut Kotler dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009) kepuasan merupakan tingkat perasaan dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk (jasa) yang diterima dan yang diharapkan.
Universitas Sumatera Utara
48
Selanjutnya Engel dalam Hasan (2009) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan evaluasi purnabeli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidak puasan timbul apabila hasil tidak memenuhi harapan. Pasuraman, dkk dalam Tjiptono dan Chandra (2005) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan ukuran spesifik untuk setiap transaksi, situasi atau interaksi (ecounter) yang bersifat jangka pendek, sedangkan kualitas jasa merupakan sikap yang dibentuk dari evaluasi keseluruhan terhadap kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Tse dan Wilton dalam Tjiptono (2008) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai respon pelanggan terhadap evaluasi persepsi atas perbedaan antara harapan awal sebelum pembelian (atau standar kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk sebagaimana
dipersepsikan
setelah
memakai
atau
mengonsumsi
produk
bersangkutan. Selanjutnya menurut Kotler dan Keller (2008) mengemukakan bahwa kepuasan (satisfaction) adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pelanggan merasa puas atau tidak puas. Menurut Zeithamal dan Bitner dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009) mengemukakan bahwa faktor utama penentu kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Selanjutnya Hasan (2009), mengemukakan kepuasan terbentuk:
Universitas Sumatera Utara
49
1. Kepuasan terjadi bila rasio hasil dan input dalam pertukarang kurang lebih sama. 2. Ketidakpuasan terjadi jika pelanggan meyakini bahwa rasio hasil dan inputnya lebih jelek daripada perusahaan/penyedia jasa. 3. Kepuasan pelanggan terhadap transaksi tertentu dipengaruhi oleh perbandingan terhadap rasio hasil dan input pelanggan lain. 4. Evaluasi terhadap keadilan keseluruhan (overall equity) dalam transaksi pembelian produk berpengaruh terhadap kepuasan/ ketidakpuasan pelanggan. Menurut Kotler dalam Lupiyoadi dan Hamndani (2009), pencapaian kepuasan pelanggan melalui kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: 1. Memperkecil kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara pihak manajemen dan pelanggan. 2. Perusahaan harus mampu membangun komitmen bersama untuk menciptakan visi di dalam perbaikan proses pelayanan. 3. Memberi kesempatan kepada pelanggan untuk menyampaikan keluhan. Dengan membentuk sistem saran dan kritik. 4. Mengembangkan dan menerapkan accountable, proactive, dan partnership marketing sesuai dengan situasi pemasaran. Selanjutnya Tjiptono (2008) mengemukakan kepuasan pelanggan juga berpotensi memberikan sejumlah manfaat spesifik, di antaranya:
Universitas Sumatera Utara
50
1. Berdampak positif terhadap loyalitas pelanggan. 2. Berpotensi menjadi sumber pendapatan masa depan, terutama melalui pembelian ulang, cross-selling, dan up-selling. 3. Menekan biaya transaksi pelanggan di masa depan, terutama biaya komunikasi pemasaran, penjualan, dan layanan pelanggan. 4. Menekan resiko berkenaan dengan prediksi aliran kas masa depan. 5. Meningkatkan toleransi harga, terutama kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium dan pelanggan cendrung tidak mudah tergoda untuk beralih pemasok. 6. Menumbuhkan rekomendasi getok tular positif. 7. Pelanggan cendrung lebih reseptif terhadap product-line extensions, brand extensions dan new add-on services yang ditawarkan perusahaan. 8. Meningkatkan bargaining power relatif perusahan terhadap jaringan pemasok, mitra bisnis dan saluran distribusi. Menurut Fornell dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009) banyak manfaat yang diterima perusahaan dengan terciptanya tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi. Tingkat kepuasan yang tinggi dapat meningkatkan loyalitas pelanggan dan mencegah perputaran pelanggan, mengurangi sensitivitas pelanggan terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan pemasaran, mengurangi biaya operasional yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatkan efektifitas iklan, dan meningkatkan reputasi bisnis.
Universitas Sumatera Utara
51
Tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan kecewa, apabila kinerja sesuai dengan harapan maka pelanggan puas, dan apabila kinerja melebihi harapan maka pelanggan sangat puas, senang atau gembira.
II.3.2. Cara Mengukur Kepuasan Menurut Tjiptono (2008) prinsip dasar yang melandasi pentingnya pengukuran kepuasan pelanggan adalah ”doing best what matters most to customers” (melakukan yang terbaik aspek-aspek terpenting bagi pelanggan). Ada beberapa metode yang bisa dipergunakan setiap perusahaan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya dan pelanggan pesaing. Kotler, et al. Dalam Tjiptono dan Chandra (2005) mengidentifikasi empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan yakni: 1. Sistem Keluhan dan saran Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer-oriented) perlu menyediakan ksempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi para pelanggan guna menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran yang ditempatkan di lokasi-lokasi strategis (yang mudah di jangkau atau sering dilewati para pelanggan), kartu monetar (yang bisa diisi langsung atau dikirim via pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa, website, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
52
2. Ghost Shopping (Mystery Shopping) Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang gosht shoppers untuk berperan atau berpura-puras sebagai pelanggan potensial produk perusahaan dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan menggunakan produk/jasa perusahaan. Berdasarkan pengalaman tersebut, mereka kemudian diminta untuk melaporkan temuan-temuannya berkenaan dengan kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing. 3. Lost Customer Analysis Sedapat mungkin perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa
hal
itu
terjadi
dan
supaya
dapat
mengambil
kebijakan
perbaikan/penyempurnaan selanjutnya. Bukan hanya exit interview saja yang diperlukan, tetapi customer loss rate juga penting, dimana peningkatan customer loss rate menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya. Hanya saja kesulitan penerapan metode ini adalah pada mengidentifikasi dan mengkontak mantan pelanggan yang bersedia memberikan masukan dan evaluasi terhadap kinerja perusahaan. 4. Survei Kepuasan Pelanggan Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik survei melalui pos, telepon, e-mail, website, maupun wawancara langsung. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan balikan
Universitas Sumatera Utara
53
secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan kesan positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Setiap organisasi di dalam upaya mengukur kepuasan pelanggan memiliki tujuan tertentu. Tjiptono (2008) mengemukakan pengukuran kepuasan pelanggan dilakukan dengan berbagai macam tujuan, diantaranya: 1. Mengidentifikasi keperluan (requirement) pelanggan (importance ratings), yakni aspek-aspek yang dinilai penting oleh pelanggan dan memengaruhi apakah ia puas atau tidak. 2. Menentukan tingkat kepuasan pelanggan terhadap kinerja organisasi pada aspekaspek penting. 3. Membandingkan tingkat kepuasan pelanggan terhadap kepuasan dengan tingkat kepuasan pelanggan terhadap organisasi lain, baik pesaing langsung maupun tidak langgsung. 4. Mengidentifikasi (Priorities for improvement) melalui analisis gap antara skor tinggi kepentingan (importance) dan kepuasan. 5. Mengukur indeks kepuasan pelanggan yang bisa menjadi indikator andal dalam memantau kemajuan perkembangan dari waktu ke waktu. Menurut Umar (2003) ada enam konsep yang umum dipakai dalam mengukur kepuasan pelanggan: 1. Kepuasan pelanggan keseluruhan. Caranya, yaitu dengan menanyakan pelanggan mengenai tingkat kepuasan atas jasa yang bersangkutan serta menilai dan
Universitas Sumatera Utara
54
membandingkan dengan tingkat kepuasan pelanggan keseluruhan atas jasa yang mereka terima dari para pesaing. 2. Dimensi kepuasan pelanggan. Prosesnya melalui empat langka. Pertama, mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci kepuasan pelanggan. Kedua, meminta pelanggan menilai jasa perusahaan berdasarkan intem-item spesifik seperti kecepatan layanan atau keramahan staf pelayanan terhadap pelanggan. Ketiga, meminta pelanggan menilai jasa pesaing berdasarkan intem-item spesifik yang sama. Empat, meminta pelanggan menentukan dimensi-dimensi yang menurut mereka ada di kelompok penting dalam menilai kepuasan pelanggankeseluruhan. 3. Konfirmasi harapan. Pada cara ini, kepuasan tidak diukur langsung, namun disimpulkan berdasarkan kesesuaian/ketidaksesuaian antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual jasa yang dijual perusahaan. 4. Minat pembelian ulang. Kepuasan pelanggan diukur berdasarkan apakah mereka akan mengadakan pembelian ulang atas jasa yang sama yang dia konsumsi. 5. Kesediaan untuk merekomendasi. Cara ini merupakan ukuran yang penting, apalagi bagi jasa yang pembelian ulangnya relatif lama, seperti jasa pendidikan tinggi. 6. Ketidakpuasan pelanggan. Dapat dikaji misalnya dalam hal komplain, biaya garansi, word of mount yang negative, serta defections.
Universitas Sumatera Utara
55
II.4.
Teori Loyalitas Pelanggan
II.4.1. Pengertian Loyalitas Pelanggan Pada dasarnya kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan atas produk akan berpengaruh pada pola perilaku selanjutnya. Hal ini ditunjukkan pelanggan setelah terjadi proses pembelian. Apabila pelanggan merasa puas, maka dia akan menujukkan besarnya kemungkinan untuk kembali membeli produk yang sama. Pelanggan yang puas juga cendrung akan memberikan refrensi yang baik terhadap produk kepada orang lain (Lupiyoadi dan Hamdani, 2009). Loyalitas secara harfiah diartikan sebagai kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. Menurut Gremler dan Brown dalam Hasan (2009) loyalitas pelanggan adalah pelanggan yang tidak hanya membeli ulang suatu barang dan jasa, tetapi juga mempunyai komitmen dan sikap yang positif terhadap perusahaan jasa, misalnya dengan merekomendasikan orang lain untuk membeli. Selanjutnya Engel, et al. dalam Hasan (2009) mengemukakan bahwa loyalitas pelanggan merupakan kebiasaan perilaku pengulangan pembelian, keterkaitan dan keterlibatan yang tinggi pada pilihannya, dan bercirikan dengan pencarian informasi eksternal dan evaluasi alternatif. Menurut Dick dan Basu dalam Umar (2003), loyalitas pelanggan didefinisikan sebagai komitmen pelanggan terhadap suatu merek dan pemasok, berdasarkan sikap yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten. Lebih lanjut Ajzen dalam Hasan (2009) mengemukakan bahwa loyalitas merupakan kondisi Psikologis (attitudinal dan behavioral) yang berkaitan dengan sikap terhadap produk,
Universitas Sumatera Utara
56
konsumen akan membentuk keyakinan, menetapkan suka atau tidak suka, dan memutuskan apakah mereka ingin membeli produk. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan merupakan suatu pembelian dari waktu ke waktu ataupun merupakan pembelian ulang secara konsisten, dimana pelanggan memiliki suatu komitmen yang tinggi terhadap pembelian tersebut. Hasan (2009) mengemukakan ada beberapa manfaat loyalitas pelanggan bagi perusahaan, antara lain: 1. Mengurangi biaya pemasaran Pelanggan setia dapat mengurangi biaya pemasaran. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa biaya untuk mendapatkan pelanggan baru enam kali lebih besar dibandingkan dengan biaya untuk mempertahankan pelanggan yang ada. Biaya iklan dan bentuk-bentuk promosi lain dikeluarkan dalam jumlah besar, belum tentu dapat menarik pelanggan baru, karena tidak gampang membentuk sikap positif terhadap merek. 2. Trade Leverage Loyalitas terhadap merek menyediakan trade leverage bagi perusahaan. Sebuah produk yang memiliki pelanggan setia akan menarik para distributor untuk memberi ruang yang lebih besar dibanding dengan merek lain di toko yang sama. Merek yang memiliki citra kualitas yang tinggi, akan memaksa konsumen membeli secara berulang-ulang merek yang sama bahkan mengajak konsumen lain untuk membeli produk tersebut.
Universitas Sumatera Utara
57
3. Menarik pelanggan baruan merek yang dibelinya dapat mempengaruhi konsumen lain. Pelanggan yang tidak puas akan menyampaikan ketidakpuasanya kepada 8 hingga
10
orang.
Sebaliknya,
bila
puas
akan
menceritakan
bahkan
merekomendasikan kepada orang lain untuk memilih produk yang telah memberikan kepuasan. 4. Merspon ancaman pesaing Loyalitas terhadap merek memungkinkan perusahaan memiliki waktu untuk merespon tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pesaing. Jika pesaing mengembangkan produk yang lebih superior, perusahaan memiliki kesempatan untuk membuat produk yang lebih baik dalam jangka waktu tertentu, karena bagi pesaing relatif sulit untuk mempengaruhi pelanggan-pelanggan yang setia. Mereka butuh waktu yang relatif lama. Karena pentingnya loyalitas pelanggan, maka loyalitas pelanggan terhadap merek dianggap sebagai aset perusahaan dan berdampak besar terhadap pangsa pasar serta profitabilitas perusahaan. 5. Nilai kumulatif bisnis berkelanjutan Upaya mempertahankan (retensi) pelanggan dan loyal pada produk perusahaan sepanjang lifetime value, dengan cara menyediakan produk yang konstan dibutuhkan secara teratur dengan harga per unit yang lebih rendah. Cara ini akan mengakibatkan: a. Perusahaan dapat berbisnis dengan pelanggan tertentu untuk pereriode yang lebih panjang. b. Pelanggan tetap setia lebih lama.
Universitas Sumatera Utara
58
c. Pelanggan membeli lebih banyak ketika perusahaan memperkenalkan produk baru dan memperbaharui produk-produk yang ada. d. Memberi perhatian yang lebih sedikit kepada merek-merek dan iklan-iklan pesaing serta peka terhadap harga. e. Biaya pelayanannya lebih kecil dibandingkan biaya pelayanan pelanggan baru, karena transaksi yang sudah rutin. Kondisi itulah yang dapat menghasilkan laba yang jauh lebih besar dari pada pembelian individual. 6. Word of mouth communication Pelanggan yang memiliki loyalitas terhadap produk akan bersedia bercerita halhal baik (positive word of mount) tentang perusahaan dan produknya kepada orang lain, teman dan keluarga yang jauh lebih persuasif daripada iklan. Pelanggan yang loyal merupaka aset bagi perusahaan, dan untuk mengetahui pelanggan yang loyal perusahaan harus mampu menawarkan produk atau jasa yang dapat memenuhi harapan pelanggan serta dapat memuaskan pelanggannya. Apabila pelanggan melakukan pembelian secara berulang dan teratur maka pelanggan tersebut adalah pelanggan yang loyal.
II.4.2. Tahapan-Tahapan Loyalitas Untuk menjadi pelanggan
yang loyal seorang konsumen harus melalui
beberapa tahapan. Proses ini berlangsung lama, dengan penekanan dan perhatian yang berbeda-beda. Dengan memperhatikan masing-masing tahap dan memenuhi
Universitas Sumatera Utara
59
kebutuhan dalam setiap tahap tersebut, perusahaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk membentuk calon pembeli menjadi konsumen loyal dan klien perusahaan. Menurut Hasan (2009), loyalitas berkembang mengikuti empat tahap, yaitu: 1. Tahap pertama: Loyalitas Kognitif Konsumen yang memiliki loyalitas tahap pertama ini menggunakan basis informasi yang memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya, loyalitasnya hanya didasarkan pada aspek kognisi saja. 2. Tahap kedua: Loyalitas Afektif Loyaliyas tahap kedua didasarkan pada aspek afektif konsumen. Sikap merupakan fungsi dari kognisi (pengharapan) pada periode awal pembelian (masa konsumsi) dan merupakan fingsi dari sikap sebelumnya plus kepuasan diperiode berikutnya (masa pasca konsumsi). 3. Tahap ketiga: Loyalitas Konatif Dimensi konitif (niat melakukan) yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan afektif terhadap merek. Konasi menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu ke arah tujuan tertentu. Niat merupakan fungsi dari niat sebelumnya (pada masa prakonsumsi) dan sikap pada masa pasca konsumsi. Maka loyalitas konatif merupakan suatu kondisi loyal yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian.
Universitas Sumatera Utara
60
4. Tahap keempat: Loyalitas Tindakan Meskipun pembelian ulang adalah suatu hal yang sangat penting bagi pemasaran, penginterpretasian loyalitas hanya pada pembelian ulang saja tidak cukup, karena pelanggan yang membeli ulang belum tentu mempunyai sikap positif terhadap barang dan jasa yang dibeli. Pembelian ulang bukan dilakukan karena puas, melainkan mungkin karena terpaksa atau faktor lainnya, ini termasuk dimensi loyal. Oleh karena itu, untuk mengenali perilaku loyal dilihat dari dimensi ini ialah dari komitmen pembeli ulang yang ditunjukkan pada suatu produk dalam kurun waktu tertentu secara teratur. Griffin (2003), mengemukakan ada tujuh tahapan loyalitas yaitu: 1. Tersangka (suspect) adalah ornag yang mungkin membeli produk atau jasa anda. Kita menyebutnya tersangka karena kita percaya atau “menyangka” mereka akan membeli, tetapi kita masih belum cukup yakin. 2. Prospect adalah orang yang membutuhkan produk atau jasa anda dan memiliki kemampuan membeli. Meskipun prospek belum membeli dari anda, ia mungkin telah mendengar tentang anda, membaca tentang anda, atau ada seseorang yang merekomendasikan anda kepadanya. Prospek mungkin tahu siapa anda, dimana anda, dan apa yang anda jual, tetapi mereka masih belum membeli dari anda. 3.
Prospek yang diskualifikasi adalah prospek yang telah cukup anda pelajari untuk mengetahui bahwa mereka tidak membutuhkan, atau tidak memiliki kemampuan membeli produk anda.
Universitas Sumatera Utara
61
4. Pelanggan pertama kali adalah orang yang telah membeli dari anda satu kali. Orang tersebut bisa jadi merupakan pelanggan anda dan sekaligus pelanggan pesaing anda. 5. Pelanggan berulang adalah orang-orang yang telah membeli dari anda dua kali atau lebih. Mereka mungkin telah membeli produk yang sama dua kali atau membeli dua produk atau jasa yang berbeda pada dua kesempatan atau lebih. 6. Klien membeli apapun yang adan jual dan dapat ia gunakan. Orang ini membeli secara teratur. Anda memiliki hubungan yang kuat dan berlanjut, yang menjadikannya kebal terhadap tarikan pesaing. 7. Penganjur (advocate) seperti klien, pendukung membeli apapun yang adan jual dan dapat ia gunakan serta membelinya secara teratur. Tetapi, penganjur juga mendorong orang lain untuk membeli dari anda. Ia membicarakan anda, melakukan pemasaran bagi anda, dan membawa pelanggan kepada anda.
II.4.3. Jenis-Jenis Loyalitas Menurut Griffin (2003), loyalitas terdiri dari empat jenis yaitu: 1. Tanpa
loyalitas,
yaitu
keterikatan
yang
rendah
terhadap
produk/jasa
dikombinasikan dengan tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan tidak adanya loyalitas. Secara umum, perusahaan harus menghindari membidik para pembeli jenis ini karena mereka tidak akan pernah menjadi pelanggan yang loyal; mereka hanya berkontribusi sedikit pada kekuatan keuangan perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
62
2. Loyalitas yang lemah, yaitu keterikatan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi menghasilkan loyalitas yang lemah (inertia loyalty). Pelanggan ini membeli karena kebiasaan. Faktor non sikap dan faktor situasi merupakan alasan untuk membeli. Pembeli ini merasa tingkat kepuasan tertentu dengan perusahaan, atau minimal tiada ketidakpuasan yang nyata. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi pada produk yang sering dibeli. Pembeli ini rentan beralih ke produk pesaing yang dapat menunjukkan manfaat yang jelas. 3. Loyalitas tersembunyi, merupakan tingkat preferensi yang relatif tinggi digabung dengan tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi (latent loyalty). Bila pelanggan memiliki loyalitas yang tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang. 4. Loyalitas premium, merupakan jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan, terjadi bila ada tingkat keterkaitan yang tinggi dan tingkat pembelian berulang yang juga tinggi. Ini merupakan jenis loyalitas yang lebih disukai untuk semua pelanggan di setiap perusahaan. Selanjutnya Hasan (2009), mengemukakan ada empat jenis loyalitas, antara lain: 1. No loyalty, yaitu bila sikap dan perilaku pembelian ulang sama-sama lemah, maka loyalitas tidak terbentuk. 2. Spurious loyalty, yaitu bila sikap yang lemah disertai pola pembelian ulang yang tinggi, maka yang terjadi adalah Spurious loyalty. Situasi semacam ini ditandai
Universitas Sumatera Utara
63
dengan pengaruh faktor nonsikap terhadap perilaku, misalnya norma subyektif dan faktor situasional sering disebut situasi inertia. 3. Latent loyalty, tercermin bila sikap yang kuat disertai dengan pola pembelian ulang yang lemah. Situasi yang menjadi perhatian besar para pemasar ini disebabkan pengaruh faktor-faktor nonsikap yang sama kuat atau bahkan cendrung lebih kuat dari faktor sikap dalam menentukan pembelian ulang. 4. Loyalty, situasi ini merupakan situasi ideal yang paling diharapkan para pemasar, dimana kosumen bersikap positif terhadap produk atau produsen dan disertai pola pembelian ulang yang konsisten.
II.5. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan dan loyalitas Pelanggan Kotler dan Keller (2008) mengemukakan kualitas produk dan jasa, kepuasan pelanggan dan profitabilitas perusahaan adalah tiga hal yang terkait erat. Semakin tinggi pula tingkat kualitas semakin tinggi tingkat kepuasan pelanggan yang dihasilkan, yang mendukung harga yang lebih tinggi dan (sering kali) biaya yang lebih rendah. Kualitas jelas merupakan kunci untuk menciptakan nilai dan kepuasan pelanggan. Colgate dan Danaher dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009), juga mengemukakan bahwa kualitas pelayanan karyawan terhadap pelanggan berpengaruh secara asimetris terhadap kepuasan pelanggan, dimana pelayanan yang buruk berakibat lebih besar terhadap kepuasan pelanggan daripada pelayanan yang dikategorikan baik. Implementasi strategi dengan kategori terbaik akan meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
64
kepuasan dan kesetiaan pelanggan lebih besar daripada tidak ada pemasaran yang relasional yang dilakukan. Dan sebaliknya, implementasi strategi yang dikategorikan terburuk akan menurunkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan lebih besar daripada tidak ada pemasaran relasional yang dilakukan. Tjiptono dam Chandra (2005) mengemukakan kualitas jasa/layanan superior telah banyak dimanfaatkan sebagai strategi bersaing berbagai organisasi. Pada prinsipnya, konsistensi dan superioritas kualitas jasa berpotensi menciptakan kepuasan pelanggan yang pada gilirannya akan memberikan sejumlah manfaat seperti: 1. Terjadi relasi saling menguntungkan jangka panjang antara perusahaan dan pera pelanggan. 2. Terbuka peluang pertumbuhan bisnis melalui pembelian ulang, cross-selling, dan up-selling. 3. Loyalitas pelanggan bisa terbentuk. 4. Terjadinya komunikasi gethok tular positif yang berpotensi menarik pelanggan baru. 5. Persepsi pelanggan dan publik terhadap reputasi perusahaan semakin menarik positif. 6. Laba yang diperoleh bisa meningkat. Menurut Fornell dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2009), banyak manfaan yang diterima oleh perusahaan dengan tercapainya tingkat kepuasan yang tinggi. Tingkat kepuasan yang pelanggan yang tinggi dapat meningkatkan loyalitas
Universitas Sumatera Utara
65
pelanggan dan mencegah perputaran pelanggan, mengurangi sensivitas pelanggan terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan pemasaran, mengurangi biaya operasi yang di akibatkan oleh meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatkan efektivitas iklan, dan meningkatkan reputasi bisnis. Selanjutnya menrurut Lupiyoadi dan Hamdani (2009), kepuasan dan ketidak puasan pelanggan atas suatu produk (jasa) sebagai akhir dari suatu proses penjualan memberikan dampak tersendiri kepada perilaku pelanggan terhadap produk tersebut, diantaranya bagaimana perilaku pelanggan dalam melakukan pembelian kembali, bagaimana pelanggan dalam mengekspresikan produk yang dipakainya dan jasa yang diperolehnya, serta perilaku lain yang menggambarkan reaksi pelanggan atas produk dan jasa yang telah dirasakan. Hasan (2009), mengemukakan bahwa pelanggan yang loyal karena puas dan ingin meneruskan hubungan pembelian, loyalitas pelanggan merupakan ukuran kedekatan pelanggan dengan merek, merek menjadi top of mine (merek pertama yang muncul) jika mengingat sebuah kategori produk, komitmen merek yang mendalam memaksa preferensi pilihan untuk melakukan pembelian, membantu pelanggan menidentifikasi perbedaan mutu, sehingga ketika berbelanja akan lebih efisien. Lupiyoadi dan Hamdani (2009) yang mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan meskipun berpengaruh positif pada loyalitas pelanggan, tidak selalu menjadi syarat cukup untuk terjadinya efek seperti ini. Pada konteks ini, konsep switching barrier (hambatan pindah) mulai di usulkan. Hambatan pindah memainkan peran sebagai variabel penyesuai pada hubungan antara kepuasan pelanggan dan
Universitas Sumatera Utara
66
loyalitas pelanggan. Dengan kata lain, ketika tingkat kepuasan pelanggan diketahui, tingkat loyalitas pelanggan dapat berpariasi tergantung pada kuatnya hambatan pindah.
Universitas Sumatera Utara