BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.I Penelitian Terdahulu Efendi (2003), melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Penghasilan Pedagang Kaki Lima Pasar Singosari Malang”. Penelitian dilakukan dengan pendekatan survey dengan jenis penelitian deskriftif kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pedagang kaki lima di pasar singosari Malang. Besarnya sampel ditetapkan sebanyak 150 pedagang dengan teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Dimana penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana hubungan dan pengaruh lama usaha, modal kerja dan jenis barang dagangan terhadap tingkat penghasilan pedagang kaki lima di pasar Singosari Malang. Dari analisis yang dilakukan diperoleh bahwa secara simultan lama usaha, modal kerja dan jenis barang dagangan berpengaruh terhadap tingkat penghasilan pedagang kaki lima di pasar Singosari Malang. Sedangkan secara parsial ditemukan bahwa modal kerja merupakan variabel yang dominan dalam mempengaruhi tingkat penghasilan pedagang kaki lima di pasar Singosari Malang. Selanjutnya dengan menggunakan uji determinasi keseluruhan faktor yang diajukan dapat menjelaskan tingkat penghasilan pedagang kaki lima di pasar Singosari Malang.
Universitas Sumatera Utara
Simanjuntak (2004) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pendapatan Pedagang Rokok Pekerja Sektor Informal Dalam Pengembangan Wilayah Kota Medan”. Penelitian dilakukan dengan pendekatan survey dengan jenis penelitian deskriptif kuantitatif . Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja sektor informal (pedagang rokok) diperempatan jalan kota Medan. Besarnya jumlah sampel penelitian ini adalah 60 pedagang rokok berdasarkan purposive sampling di sepuluh kecamatan kota Medan. Metode analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh faktor modal, pengalaman berdagang dan jam kerja pedagang terhadap pendapatan pedagang rokok pekerja sektor informal di kota Medan. Dari analisis yang dilakukan diperoleh bahwa secara simultan faktor modal, pengalaman berdagang dan jam kerja pedagang berpengaruh terhadap pendapatan pedagang rokok pekerja sektor informal di kota Medan. Kemudian secara parsial ditemukan bahwa variabel pengalaman berdagang merupakan yang dominan mempengaruhi pendapatan pedagang rokok pekerja sektor informal. Selanjutnya dengan menggunakan uji determinasi ketiga variabel tersebut yang diuji dapat menjelaskan pendapatan pedagang rokok pekerja sektor informal di kota Medan. Sutrisno (2005) melakukan penelitian dengan judul ” Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta”.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian dilakukan dengan pendekatan survey dengan jenis penelitian deskriptif kuantitatif . Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang kaki lima di pusat kota Surakarta. Besarnya jumlah sampel penelitian ini adalah 90 pedagang kaki lima. Teknik penarikan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan tujuan untuk menggambar pengaruh tingkat pendidikan, usia pedagang kaki lima, modal usaha serta jam kerja perhari terhadap pendapatan pedagang kaki lima di kota Surakarta. Berdasarkan analisis secara simultan didapatkan bahwa faktor tingkat pendidikan, usia pedagang kaki lima, modal usaha serta jam kerja perhari berpengaruh terhadap pendapatan pedagang kaki lima di kota Surakarta. Kemudian dengan uji secara parsial ditemukan bahwa modal usaha merupakan variabel yang dominan mempengaruhi pendapatan pedagamg kaki lima di kota Surakarta. Selanjutnya uji determinasi menunjukkan bahwa semua variabel yang di uiji di atas dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap pendapatan pedagang kaki lima di kota Surakarta. Mukhlis (2007) melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Pedagang Kaki Lima (Studi Pada Pedagang Kaki Lima di Pasar Pandaan)”. Penelitian dilakukan dengan pendekatan survey dengan jenis penelitian eksplanatory research. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang kaki lima di pasar Pandaan yang berjumlah 164 pedagang. Besarnya jumlah sampel penelitian ini adalah
Universitas Sumatera Utara
36 pedagang. Teknik penarikan sampel dilakukan dengan accidental sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh faktor modal, jam kerja, lama usaha dan jenis barang dagangan terhadap pendapatan pedagang kaki lima di pasar Pandaan. Dari analisis secara simultan didapatkan bahwa faktor modal, jam kerja, lama usaha dan jenis barang dagangan berpengaruh terhadap pendapatan pedagang kaki lima di pasar Pandaan. Uji secara parsial di dapatkan bahwa modal merupakan variabel yang dominan mempengaruhi pendapatan pedagang kaki lima di pasar Pandaan. Kemudian uji determinasi menunjukkan bahwa semua variabel independen yang di uji di atas dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap pendapatan pedagang kaki lima di pasar Pandaan.
II.2 Teori Tentang Pendapatan II.2.1 Konsep Pendapatan Kebutuhan dan keinginan manusia tidak terbatas jumlahnya, hanya saja kebutuhan dan keinginan tersebut dibatasi dengan jumlah pendapatan yang diterima oleh seseorang. Pendapatan yang diterima oleh masyarakat tentu berbeda antara yang satu dengan lainnya, hal ini disebabkan berbedanya jenis pekerjaan yang dilakukannya. Perbedaan pekerjaan tersebut dilatarbelakangi oleh tingkat pendidikan, skill dan pengalaman dalam bekerja. Indikator tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan pendapatan yang diterimanya. Peningkatan taraf hidup masyarakat dapat digambarkan dari kenaikan hasil real income perkapita, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
taraf hidup tercermin dalam tingkat dan pola konsumsi yang meliputi unsur pangan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan untuk mempertahankan derajat manusia secara wajar, (Djojohandikusumo, 1991). Pendapatan merupakan suatu hasil yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga dari berusaha atau bekerja. Jenis dari usaha masyarakat bermacam ragam, seperti bertani, nelayan, berternak, buruh serta berdagang dan juga bekerja pada sektor pemerintah dan swasta. Menurut Ningsih (2001:13) “pendapatan merupakan hasil kerja dari suatu usaha yang telah dilakukan”. Kemudian menurut Longenecker, et.al (2001:266) ”pendapatan merupakan jumlah yang dihasilkan oleh perusahaan selama periode tertentu, sering kali dalam waktu satu tahun”. Nudirman (2001:11) juga menyatakan bahwa “pendapatan adalah nilai yang didapat dari suatu usaha yang telah dilaksanakan dalam waktu kurun tertentu”. Rizal (2001:13) menyatakan bahwa ”setiap kegiatan seseorang mengharapkan imbalan atau pendapatan, pendapatan yang dimaksud disini adalah adalah pendapatan yang diterima dari hasil kerja dan hasil usaha yang dilakukan secara maksimal dalam suatu pekerjaan”. Selanjutnya Harahap (2002:113) menyatakan bahwa “Pendapatan merupakan sebagai hasil dari penjualan barang atau pemberian jasa yang dibebankan kepada langganan, atau mereka yang menerima jasa”. Pendapatan (revenue) berasal dari penjualan. Sementara itu, nilai penjualan ditentukan oleh jumlah unit yang terjual dan harga jual (Noor, 2007:186).
Universitas Sumatera Utara
Niswonger (1996:40)
berpendapat
“pendapatan
(revenue)
merupakan
kenaikan faktor-faktor dalam modal, yang berasal dari kegiatan usaha, pendapatan ini dihasilkan dari penjualan barang dagangan, pelaksanaan jasa kepada pelanggan atau klien persewaan harta, meminjamkan uang dan semua kegiatan usaha dari profesi yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan”. Sementara menurut Baridwan (2000:30) “pendapatan merupakan selisih penghasilan-penghasilan sesudah dikurangi biaya-biaya yang timbul”. Selanjutnya menurut Kiesno, et.al (2002:48) menyatakan bahwa “pendapatan merupakan arus masuk atau peningkatan lainnya atas aktiva sebuah entitas atau pelunasan kewajiban (atau kombinasi dari keduanya) selama suatu periode dari pengiriman atau produksi barang, penyediaan jasa, atau aktivitas-aktivitas lain yang merupakan operasi utama atau operasi sentral perusahaan”. Pendapatan yang diterima oleh seseorang apabila telah melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu usaha baik harian, mingguan dan bulanan bahkan tahunan. Sementara pendapatan yang diterima oleh perusahaan atau usaha dagang bersumber dari penjualan barang dan jasa. Nilai penjualan dan jasa tersebut diperoleh dari jumlah unit yang terjual dan harga jual kemudian dikurangi dengan semua biaya yang timbul. Pendapatan pedagang merupakan hasil yang diterima dari seluruh penjualan barang dagangannya yang digelarkannya. Menurut Madura (2001:126) menyatakan bahwa “pendapatan konsumen
menentukan jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli oleh individu. Suatu
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan ekonomi tingkat tinggi mengakibatkan pendapatan lebih bagi konsumen. Apabila pendapatan konsumen naik, mereka mungkin akan meminta kuantitas lebih besar daripada barang dan jasa tertentu yaitu, jadwal permintaan untuk berbagai barang dan jasa mungkin tergeser keluar sebagai reaksi pendapatan yang lebih tinggi”. Menurut Boediono (1999) pengertian pendapatan adalah “sebagai saluran penerimaan baik berupa uang maupun barang, baik dari pihak lain maupun dari hasil sendiri, dengan jalan dinilai dari jumlah uang atau jasa atas dasar harga yang berlaku pada saat itu“. Kemudian menurut Antonio (2002:204) “pendapatan adalah kenaikan kotor dalam asset atau penurunan dalam liabilitas atau gabungan dari keduanya selama periode yang dipilih oleh pernyataan pendapat yang berakibatkan dari investasi yang halal, perdagangan, memberikan jasa atau aktivitas lain yang bertujuan meraih keuntungan”. Assauri (1987:104) “Besarnya pendapatan masyarakat merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan besarnya pasar barang konsumsi. Apabila tingkat pendapatan masyarakat cukup tinggi, maka terdapat kecenderungan cukup besarnya potensi pasar barang konsumsi. Demikian pula dengan tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat ini cukup besar, maka hal ini tentunya akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan besarnya pasar barang konsumsi”. Simamora (2000:72) “Pendapatan merupakan potensi pasar yang paling indikatif bagi sebagian besar produk konsumsi dan industri serta jasa”. Sementara
Universitas Sumatera Utara
Nanga (2004:15) mendifinisikan “pendapatan perorangan yaitu pendapatan agregat yang berasal dari berbagai sumber yang secara aktual diterima oleh seseorang atau rumah tangga”. Menurut Sukirno (1997:50) “Pendapatan pribadi yaitu semua jenis
pendapatan termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apapun yang diterima oleh suatu negara”. Menurut Mankiw (2004:9) “Pendapatan Perorangan (personal income) adalah pendapatan yang diterima oleh rumah tangga dan usaha yang bukan perusahaan. Sementara Pendapatan perorangan yang dapat dibelanjakan (disposible personal income) adalah pendapatan yang tersisa pada rumah tangga dan usaha yang bukan perusahaan setelah semua kewajiban mereka kepada pemerintah dibayar. Pendapatan ini sama dengan pendapatan perseorangan dikurangi pajak perorangan dan pembayaran non pajak lainnya. Kemudian pendapatan nasional (national income) adalah total pendapatan yang diperoleh penduduk suatu negara dalam produksi barang dan jasa”. Dalam pendekatan ilmu ekonomi mikro dan makro para ahli lebih banyak menekankan pada pendapatan nasional, seperti yang dikemukakan oleh Nasution (1997:62) “pendapatan nasional merupakan alat ukur bagi tinggi rendahnya tingkat kemakmuran suatu negara yaitu di ukur dengan income perkapita”. Kemudian Menurut Todaro (2000:52) angka total pendapatan atau produk nasional bruto (gross national products) per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolak ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara”.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Menurut Sobri (1990:41) “pendapatan nasional kotor (gross national income) adalah jumlah dari seluruh pendapatan yang diterima dari faktor produksi, upah sewa, bunga modal dan laba perusahaan yang diterima oleh seluruh warga masyarakat selama menghasilkan produk nasional tersebut”. Berdasarkan beberapa pengertian pendapatan di atas dapat disimpulkan bahwa pendapatan terdiri dari pendapatan perorangan atau pribadi dan pendapatan perusahaan serta pendapatan nasional. Tujuan dari meraih pendapatan yang tinggi tidak lain hanyalah untuk mencapai tingkat penghidupan yang layak serta menaikkan tingkat kesejahteraan. Tingkat penghidupan yang layak dan tingkat kesejahteraan seseorang dapat diukur dari tingkat pendapatan yang diterimanya, begitu juga tingkat kejahteraan dan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara maupun daerah juga diukur dari pendapatan perkapita.
II.3 Teori Tentang Pedagang Kaki Lima II.3.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima Dewasa ini istilah pedagang kaki lima sangat populer di seluruh Indonesia, kepopuleran pedagang kaki lima ini mungkin dalam arti positif dan mungkin juga arti negatif. Positifnya pedagang kaki lima secara pasti dapat menyerap lapangan pekerjaan, dari sekian banyak penganggur. Para penganggur ini mencoba berkreasi, berwirausaha, dengan modal sendiri ataupun tanpa modal. Mereka adalah orangorang yang berani menempuh kehidupan, berjuang memenuhi tuntutan hidup, jika tidak demikian berarti mereka mati. Menteri Tenaga Kerja beserta Ketua Kadin Pusat
Universitas Sumatera Utara
telah mencanangkan, agar kehidupan pedagang kaki lima dibina, diatur, jangan dikejar-kejar,
dan
juga
jangan
dimatikan.
Karena
mereka
sudah
turut
menyumbangkan andil dalam membangun lapangan kerja. Pedagang kaki lima sangat membantu konsumen, mudah mendapat barang, servis cepat, sambil lewat di kaki lima, dapat membeli sekedar oleh-oleh buat anak-anaknya. Kebanyakan barangbarang yang dijual oleh pedagang kaki lima ini, adalah barang-barang conveniences, yang dibeli dengan emosional, begitu melihat barang langsung timbul keinginan membeli. Harga yang mereka tawarkan, biasanya mula-mula tinggi, tapi akhirnya dapat ditawar serendah mungkin. Dengan demikian baik pembeli maupun penjual merasa mendapat keuntungan (Alma, 2006:139). Negatifnya pedagang kaki lima tidak menghiraukan tata tertip, keamanan kebersihan dan kebisingan, dimana ada pedagang kaki lima disana pula kesemrautan, bising dan banyak sampah. Inilah ciri lain suatu kampung yang tumbuh menjadi kota besar, dimana masyarakat kotanya belum sanggup menerima pertumbuhan kota, sejalan dengan pertumbuhan sikap dan tingkah laku warganya. Dalam hal ini masalah pendidikan , disiplin, upaya perlakuan hukum harus ditegakkan secara terus menerus, dengan rencana yang matang dan terarah, tidak sporadis dengan cara menangkap mereka sewaktu-waktu. Tindakan sporadis tersebut hanya akan merugikan sebagian warga negara. Dengan penegakan disiplin secara terus menerus, pengarahan yang bersifat mendidik maka akan dapat membenahi permasalah pada pedagang kaki lima. Perlu diketahui pedagang kaki lima tidak pernah habis dan mereka berada dimanamana seiring dengan pertambahan penduduk, habis satu angkatan maka muncul
Universitas Sumatera Utara
angkatan lainnya, mereka selalu melakukan usaha dengan tujuan memenuhi tuntutan hidup (Alma, 2006:140). Wangsatmaja dalam Alma (2006:141) menyatakan bahwa ”PKL bukan untuk dilarang, bukan untuk diusir, bahkan bukan untuk dijadikan sapi perahan. Namun lebih dari itu PKL merupakan asset yang potensial apabila dibina, ditata dan dikembangkan status usahanya. Lebih khusus dalam peningkatan laju pertumbuhan ekonomi kota atau dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)”. Masalah pedagang kaki lima ini merupakan masalah yang tidak bisa dilepaskan dari masalah ledakan penduduk dari suatu pertumbuhan perkotaan, sebagian besar mereka tergolong dalam masyarakat dari lapisan ekonomi yang rendah, dalam struktur ekonomi dan sosial Indonesia. Ciri khas yang menonjol dari kelompok ini ialah ketidakteraturan mereka menjajakan barang dagangannya, yang secara hukum sebenarnya melanggar ketentuan yang berlaku (Wangsatmaja dalam Alma, 2006:141). Masalah pedagang kaki lima tersebut sudah pernah diseminarkan di negara lain yang diprakarsai oleh International Development, mengenai hawkers dan vendors seperti diadakan di Malaysia, Philipina dan Singapura dan Indonesia sendiri. Pemecahan masalah yang paling sederhana yang muncul dari pemikiran sekelompok masyarakat kecil untuk bertahan hidup antara lain adalah berjualan untuk mencari sedikit keuntungan yang menyajikan berbagai jenis barang, makanan atau minuman. Sekelompok inilah yang sekarang lebih dikenal tentang definisi pedagang kaki lima (PKL). Dalam kamus Bahasa Indonesia memang belum dikenal tentang definisi PKL, namun tidak berlebihan apabila PKL ini diartikan sebagai suatu bentuk
Universitas Sumatera Utara
usaha informal yang dilakukan oleh seorang/badan/lembaga yang menjual barang atau produk dagangan yang tidak memiliki tempat usaha permanen dan sewaktuwaktu dapat berpindah-pindah tempat untuk menjajakan barang dagangannya (Litbang Gresik). Pengertian pedagang kaki lima bermacam ragam ditafsirkan, ada yang menyatakan bahwa istilah pedagang kaki lima berasal dari orang yang berdagang yang menggelarkan barang dagangannya, mereka cukup menyediakan tempat darurat, seperti bangku-bangku yang biasanya berkaki empat ditambah sepasang kaki pedagangnya sehingga berjumlah lima, sehingga timbullah julukan pedagang kaki lima. Terlepas dari asal usul nama dari kaki lima tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki lima ialah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tidak tetap, kemampuan terbatas, berlokasi ditempat atau pusat-pusat konsumen dan tidak memiliki izin usaha (Alma, 2006:140). Dalam referensi lain disebutkan bahwa pedagang kaki lima atau disingkat dengan PKL adalah istilah untuk penyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak, istilah tersebut sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga kaki gerobak, yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki. Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintah pada waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang
Universitas Sumatera Utara
dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Kalau dahulu sebutannya adalah pedagang emperan jalan, lama-lama berubah menjadi pedagang kaki lima, padahal menurut sejarah mestinya sebutannya pedagang kaki lima. Menurut Veronicakumuru (2006), ”Pedagang kaki lima merupakan pedagang yang kebanyakan bermodal kecil yang menjalankan profesi ini hanya untuk memenuhi tuntutan biaya hidup yang makin tinggi. Sementara menurut BPS ”Usaha kaki lima adalah bagian dari usaha sektor informal (mencakup seluruh sektor ekonomi yang ada seperti sektor perdagangan, jasa-jasa dan industri) yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya menggunakan bagian jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum dan peruntukkannya bukan tempat usaha atau tempat lain yang bukan miliknya, kecuali pada lokasi resmi”. Selanjutnya United Nation dan Untaet (2000) sepakat mendefinisi pedagang kaki lima sebagai perusahaan yang: a). Mengurus kegiatan usaha yang bersifat penjualan, b).Tidak mempunyai tempat perusahaan yang tetap, c). Pendapatannya bulanan kurang dari U$ 200. Pedagang kaki lima mempunyai karakteristik pribadi wirausaha, antara lain mampu mencari dan menangkap peluang usaha, memiliki keuletan, percaya diri dan kreatif serta inovatif. Pedagang kaki lima juga mempunyai potensi yang sangat besar
Universitas Sumatera Utara
dan dapat dimanfaatkan antara lain: a). Pedagang kaki lima tidak dapat dipisahkan dari unsur budaya dan eksistensinya tidak dapat dihapus, b). Pedagang kaki lima dapat dipakai sebagai penghias kota apabila ditata dengan baik, c). Pedagang kaki lima menyimpan potensi parawisata, d). Pedagang kaki lima dapat menjadi pembentuk estetika kota bila didesain dengan baik (Alma, 2006:141) Damsar (1997:58) memandang dari segi aktivitas
perdagangan, yang
dimaksudkan dengan pedagang adalah orang/institusi yang memperjual belikan produk atau barang kepada konsumen baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Lebih lanjut Damsar mengklasifikasi pedagang adalah sebagai berikut: a. pedagang distributor (tunggal), yaitu pedagang yang memegang hak distribusi satu produk dari perusahaan tertentu. b. Pedagang (partai) besar, yaitu pedagang yang membeli suatu produk dalam jumlah besar yang dimaksudkan untuk dijual pedagang lain. c. Pedagang eceran, yaitu pedagang yang menjual produk langsung kepada konsumen. d. Pedagang profesional, yaitu pedagang yang menganggap aktivitas perdagangan merupakan pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber utama dan satu-satunya ekonomi keluarga. e. Pedagang semi profesional, yaitu pedagang yang mengakui aktivitasnya untuk memperoleh uang tetapi pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber tambahan bagi ekonomi keluarga.
Universitas Sumatera Utara
f. Pedagang subsistensi merupakan pedagang yang menjual produk atau barang dari hasil aktivitas atas subsistensi untuk memenuhi ekonomi rumah tangga. g. Pedagang semu adalah orang yang melakukan kegiatan perdagangan karena hobbi atau untuk mendapatkan suasana baru atau mengisi waktu luang. Berdasarkan beberapa pengertian pedagang kaki lima di atas dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki lima merupakan suatu bentuk usaha informal yang dilakukan oleh seseorang yang menjual barang atau produk dagangan yang tidak memiliki tempat usaha permanen dan sewaktu-waktu dapat berpindah-pindah tempat untuk menjajakan barang dagangannya seperti di trotoar, depan toko dan tepi jalan. serta memiliki modal yang relatif kecil dan juga tidak mempunyai keahlian khusus, akan tetapi mereka mempunyai semangat untuk bertahan ditengah persaingan yang semakin ketat demi mempertahankan tuntutan hidup. II.3.2 Determinan Pendapatan Kaki Lima Pada hakikatnya pendapatan yang diterima oleh seseorang maupun badan usaha tentunya diterminasi atau dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat pendidikan dan pengalaman seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengalamannya maka semakin tinggi pula tingkat pendapatannya, kemudian juga tingkat pendapatan sangat dipengaruhi oleh modal kerja, jam kerja, pengalaman, jenis barang dagangan (produk) dan banyak faktor lainnya. Pada umumya masyarakat selalu mencari tingkat pendapatan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, akan tetapi dibatasi oleh beberapa faktor tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Boediono (1992) menyatakan bahwa salah satu unsur yang mempengaruhi pendapatan adalah faktor produksi yang variabel di dalamnya adalah modal. Kemudian Winardi (1994) juga menyatakan bahwa modal merupakan salah satu faktor produksi yang dapat mempengaruhi pendapatan. Nasution (2002) berpendapat bahwa salah satu faktor determinan pendapatan adalah rutinitas yaitu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, dalam hal ini pengalaman dalam berusaha. Mukhlis (2007) dalam penelitiannya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pedagang kaki lima memasukkan variabel modal, jam kerja, lama usaha dan jenis barang dagangan. Pada umumnya pendapatan yang diterima oleh pedagang kaki lima berasal dari usaha sendiri yang dikenal dengan mandiri tidak tergantung pada usaha orang lain dalam artian tidak bekerja pada sektor formal. Walaupun tidak bekerja pada sektor formal pedagang kaki lima mampu mempertahankan kelangsungan hidup usahanya, bahkan pada saat krisis sekalipun dia masih survival. Karena pedagang kaki lima memiliki tekat dan ketekunan yang kuat dalam berusaha walaupun tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Dalam menjalankan sebuah usaha termasuk berdagang baik formal maupun informal harus memiliki sejumlah modal yang cukup disamping faktor lainnya, kerena modal tersebut merupakan urat nadi dalam sebuah usaha. Semakin banyak modal yang dikeluarkan atau diinvestasikan maka semakin banyak pula pendapatan yang diharapkan. Begitu juga jam kerja yang digunakan, semakin banyak jam kerja yang dipergunakan maka semakin tinngi pula pendapatan yang diharapkan.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian pengalaman juga mendukung terhadap tingkat pendapatan seseorang, karena semakin lama dia berdagang maka semakin banyak jumlah pelanggannya untuk membeli barang dagangannya yang akhirnya berdampak pada pendapatannya. Selanjutnya banyaknya jenis barang dagangan (produk) yang tersedia biasanya calon pelanggannya lebih tertarik untuk membelinya karena dihadapkan banyak pilihan yang akhirnya juga berdampak pada tingkat pendapadatannya. Pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk usaha informal yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja tanpa memandang status, usia dan tingkat pendidikan. Umunnya yang mendeterminasi atau mempengaruhi pendapatan pedagang kaki lima antara lain modal kerja, jam kerja dan pengalaman dalam berdagang serta jenis barang (produk) yang disediakan. II.3.2.1 Modal Kerja Modal kerja merupakan salah satu unsur yang terpenting dan esensial dalam sebuah usaha, karena modal kerja adalah kunci utama dalam menjalankan sebuah unit bisnis. Tanpa adanya modal kerja sangat sulit sebuah unit usaha dapat melakukan kegiatannya seperti memproduksi suatu barang bagi perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur. Begitu juga usaha yang bergerak dibidang perdagangan baik kecil maupun besar juga tidak sedikit membutuhkan modal kerja. Modal kerja sangat erat hubungannya dengan pendapatan, semakin tinggi modal kerja
yang
diinvestasikan maka semakin tinggi pula tingkat return atau pendapatan yang yang diharapkan. Dengan demikian setiap badan usaha selalu membutuhkan modal kerja yang banyak agar dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Modal kerja
Universitas Sumatera Utara
merupakan sejumlah dana yang dibutuhkan untuk melakukan suatu aktivitas usaha sehari-hari. Menurut Martono dan Harjito (2005:72) ”modal kerja merupakan dana yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan operasi perusahaan sehari-hari”. Selanjutnya pendapat Kasmir (2006:85) ”modal kerja yaitu modal yang digunakan untuk membiayai operasional perusahaan pada saat perusahaan sedang beroperasi”. Dengan demikian modal kerja selalu dipergunakan oleh suatu badan usaha untuk membiayai kegiatan usahanya sehari-hari secara terus menerus. Modal kerja yang dimiliki oleh suatu badan usaha tentunya mempunyai sumbernya baik bersumber dari modal sendiri atau yang dikenal dengan ekuitas maupun bersumber dari pinjaman atau dari utang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Noor (2007:376) mengartikan modal dari sudut sumber dananya, dikatakan bahwa sumber dana jangka panjang yang ada dalam perusahaan, terdiri dari modal sendiri (equity) dan utang jangka panjang. Definisi modal yang dikemukakan oleh Noor hanya menggambarkan struktur modal dalam suatu perusahaan. Sedangkan menurut Longenecker, et.al (2001:304) “modal kerja merupakan aktiva likuid yang dapat diubah menjadi kas dalam siklus operasi sebuah perusahaan”. Menurut Weston, et.al (1990:410) ”modal kerja adalah investasi perusahaan pada aktiva jangka pendek yaitu kas, sekuritas yang mudah di pasarkan, persediaan dan piutang usaha”. Modal kerja didefinisikan oleh para ahli bermacam ragam, mereka memandang dari masingmasing konsep modal kerja itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Sartono (2001:385) berpendapat bahwa “ada dua pengertian modal kerja yaitu gross working capital adalah keseluruhan aktiva lancar, sementara net working capital adalah kelebihan aktiva lancar di atas hutang lancar. Lebih lanjut Sartono (2001:412) menyatakan bahwa “konsep modal kerja nol (zero working capital) merupakan selisih antara persediaan ditambah dengan piutang dikurangi dengan hutang jangka pendek”, konsep ini tidak termasuk di dalamnya alat-alat yang paling likuid dalam harta lancar, seperti kas, efek atau sekuritas, akan tetapi yang termasuk di dalamnya adalah persediaan dan piutang. Menurut Syamsuddin (1992:201) ”modal kerja bersih yaitu sebagai selisih antara aktiva lancar dengan utang lancar”. Tujuan dari manajemen Modal kerja adalah untuk mengelola masing-masing pos aktiva lancar dan utang lancar sedemikian rupa, sehingga jumlah modal kerja bersih yang di inginkan tetap dapat dipertahankan. Pendapat Syamsuddin di atas sejalan dengan pendapat Brealey, et.al (2004:509) yang menyatakan bahwa “Working capital is current assets minus current liabilities. Often called working capital” modal kerja adalah harta lancar dikurangi dengan hutang lancar yang sering disebut dengan modal kerja. Kedua pendapat di atas juga didukung oleh Muslich (2000:142) menyatakan bahwa ” modal kerja secara kolektif mencakup aktiva dan passiva lancar atau jangka pendek. Sedangkan modal kerja netto mencerminkan perbedaan antara aktiva lancar dan passiva lancar perusahaan. Dengan demikian dalam manajemen modal kerja berkaitan dengan manajemen investasi dalam aktiva lancar dan kebijaksanaan dalam pasiva lancar”. Kemudian Alwi (1991:1) menyatakan bahwa “modal kerja
Universitas Sumatera Utara
mengandung dua pengertian pokok yaitu gross working capital yang merupakan keseluruhan dari aktiva lancar dan net working capital yang merupakan selisih antara aktiva lancar dikurangi hutang lancar. Kemudian Ahmad (1997:2) menyatakan modal kerja dari segi konsepnya yaitu modal kerja secara umum dapat berarti: 1). Seluruh aktiva lancar atau modal kerja kotor (gross working capital) atau konsep kuntitatif, 2). aktiva lancar dikurangi utang lancar (net working capital) atau konsep kuantitatif, 3). Keseluruhan dana yang diperlukan untuk menghasilkan tahun berjalan atau functional working capital atau konsep fungsional. Selanjutnya Riyanto (2001:57) juga menyatakan bahwa ada tiga konsep modal kerja yaitu: 1). Konsep kuantitatif, konsep ini mendasarkan pada kuantitas dari dana yang tertanam dalam unsur-unsur aktiva lancar dimana aktiva ini merupakan aktiva yang sekali berputar kembali dalam bentuk semula atau aktiva di mana dana yang tertanam didalamnya akan dapat bebas lagi dalam waktu yang pendek. Dengan demikian modal kerja menurut konsep ini adalah keseluruhan dari jumlah aktiva lancar. Modal kerja dalam pengertian ini sering disebut dengan gross working capital, 2). Konsep Kuantitatif menurut konsep ini adalah sebagian dari aktiva lancar yang benar-benar dapat digunakan untuk membiayai operasinya perusahaan tanpa menganggu likuiditasnya, yaitu merupakan kelebihan aktiva lancar di atas utang lancarnya. Modal kerja dalam pengertian ini disebut modal kerja netto (net working capital), 3). Konsep fungsionil, konsep ini mendasarkan pada fungsi dari dana dalam menghasilkan pendapatan (income). Setiap dana yang dikerjakan atau digunakan
Universitas Sumatera Utara
dalam perusahaan adalah dimaksudkan untuk menghasilkan pendapatan, baik pendapatan saat ini (current income) maupun pendapatan dimasa yang akan datang (future income). Konsep modal kerja fungsionil merupakan konsep mengenai modal yang digunakan untuk menghasilkan current income. Sementara Van Horne,et.al (2005:308) berpendapat bahwa ada dua konsep modal kerja yaitu modal kerja bersih dan modal kerja kotor. modal kerja bersih (net working capital) yang merupakan perbedaan nilai uang antara aktiva lancar dan kewajiban jangka pendek. Ini adalah salah satu pengukuran untuk melihat sejauh mana perusahaan terlindung dari masalah likuidasi. Sedangkan modal kerja kotor (gross working capital) merupakan investasi perusahaan dalam aktiva lancar (seperti kas, sekuritas yang dapat diperjual belikan, piutang dan persediaan) terutama kewajiban jangka pendek yang dibutuhkan untuk mendukung aktiva lancar. Konsep modal kerja yang dikemukakan oleh Riyanto di atas didukung oleh William et.al dalam Prawirosentono (2002:131) konsep modal kerja yaitu 1). The gross consep of working capital, konsep ini menyatakan bahwa working capital merupakan seluruh jumlah aktiva lancar yang terdapat dalam neraca suatu perusahaan. the gross consep of working capital ini merupakan konsep yang banyak diaplikasi oleh para ekonom dan pengusaha. Para pengusaha sebagai praktisi menitik beratkan penggunaan seluruh modal kerja untuk memperoleh keuntungan yang optimum. Semua pengusaha akan berusaha agar seluruh modal kerja yang dimiliki bisa memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, 2). The net consep of working capital, menurut konsep ini modal kerja adalah selisih antara current assets dengan
Universitas Sumatera Utara
current liabilities. Konsep ini dianut para akuntan dengan anggapan bahwa modal kerja merupakan kekayaan bersih dari suatu perusahaan, jadi mereka hanya meninjaunya dari segi likuiditas, yakni kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban (utang) jangka pendek. Modal kerja yang dimiliki oleh pedagang adalah sejumlah dana yang dibutuhkan untuk membeli barang-barang dagangannya atau produk yang kemudian dijual kembali kepada konsumen dengan tujuan untuk mencari keuntungan yang optimal. Dalam mencari keuntungan yang optimal tentunya menganut efisiensi, artinya menekan seminimal mungkin semua biaya yang timbul. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa modal kerja merupakan sejumlah dana yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan operasi sehari-hari. Kemudian modal kerja yang dimiliki oleh badan usaha bersumber dari modal sendiri juga bersumber dari pinjaman atau dari utang. Adapun sumber pinjaman atau utang mempunyai jangka waktu baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kemudian konsep modal kerja terdiri dari konsep kuantitatif yang disebut dengan gross working capital atau modal kerja kotor, yaitu semua unsur harta lancar. Kemudian konsep kualitatif yang disebut juga net working capital atau modal kerja bersih, yaitu kelebihan antara harta lancar dengan hutang lancar. Selanjutnya konsep fungsionil yaitu mengfungsikan semua dana yang ada dalam badan usaha untuk mendapatkan pendapatan.
Universitas Sumatera Utara
II.3.2.2 Jam Usaha Dalam melakukan suatu pekerjaan pada sektor formal seperti perusahaan swasta maupun kantor pemerintah tentunya di berlakukan jam kerja standar, di sektor swasta di berlakukan jam kerja lembur, jam kerja lembur ini di hitung apabila seorang karyawan atau pegawai
bekerja melebihi jam kerja standar. Menurut Undang-
Undang No.13 Tahun 2003, Pasal 77, Ayat 1 Tentang Ketenagakerjaan jam kerja standar yaitu 7 jam perhari untuk 6 hari kerja sedangkan 5 hari kerja 8 jam per hari atau 40 jam perminggu. Bekerja pada sektor informal tidak mengenal yang namanya jam kerja standar, mereka bekerja pada jam yang tidak terbatas sesuai dengan keinginannya. Yang terpenting bagi mereka adalah mencari tingkat pendapatan yang tinggi tanpa menghiraukan jam usahanya. Seperti kelompok pedagang kaki lima yang merupakan salah satu usaha informal, mereka selalu bekerja dalam artian berdagang tanpa memperhatikan curahan jam usaha. Jam usaha erat hubungannya dengan tingkat pendapatan seseorang, semakin banyak jam usaha yang dipergunakan maka semakin tinggi tingkat pendapatan yang akan diterimanya. Mubyarto (1990:36) berpendapat bahwa ”curah jam kerja adalah jumlah jam kerja yang di curahkan oleh setiap tenaga kerja selama proses produksi artinya banyaknya jumlah jam kerja yang dikeluarkan tenaga kerja dalam suatu proses produksi, sedangkan tingkat pencurahan adalah prosentase banyaknya jam kerja yang dicurahkan terhadap jumlah kerja yang tersedia artinya jumlah jam kerja yang dicurahkan terhadap suatu pekerjaan yang dinyatakan dalam persentase”.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang yang mempunyai nilai waktu yang tinggi akan menyebabkan nilai waktunya bertambah mahal. Orang yang nilai waktunya relatif mahal cenderung untuk menggantikan waktu senggangnya untuk bekerja. Peningkatan tingkat partisipasi kerja akan menyebabkan terjadinya income dan substitution efek, income efek dimaksudkan orang yang berpendapatan tinggi akan mengurangi waktu bekerjanya dengan menggantikan waktu senggang sehingga tingkat parstisipasi kerja mengalami penurunan, sedangkan yang di maksud dengan substitution efek adalah orang yang berpendapatan rendah akan menambah waktu kerjanya karena waktu kerja semakin mahal sehingga banyak orang menggantikan waktu senggangnya untuk bekerja yang menyebabkan tingkat parstisipasi angkatan kerjanya mengalami kenaikan. Kenaikan tingkat upah mempengaruhi penyediaan tenaga kerja melalui jalur yang berlawanan. Kenaikan tingkat upah di satu pihak meningkatkan pendapatan (income effect) yang cenderung mengurangi tingkat parstisipasi kerja, sedangkan di pihak lain substitusi effect yaitu penambahan waktu kerja akan meningkatkan parstisipasi kerja. Kenaikan upah ke tingkat yang lebih tinggi menyebkan substitusi effect lebih dominan dari income effect sehingga mengakibatkan kenaikan tingkat parstisipasi kerja. Setelah mencapai tingkat upah relatif lebih tinggi efek kembali berpengaruh dari pada substitusi efek mengakibatkan pengurangan waktu kerja sehingga berdampak pada tingkat parstisipasi kerja semakin menurun. Kepala keluarga yang berpendapatan tinggi akan mengurangi waktu kerjanya dengan waktu senggang, sehingga income efek lebih besar dari substitusi efek
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan penurunan waktu kerja yang mengakibatkan penurunan tingkat parstisipasi kerja anggota keluarga. Sebaliknya keluarga yang berpendapatan rendah akan menambah waktu kerjanya akan mengganti waktu senggangnya untuk bekerja, sehingga substitusi efek lebih besar dari income efek yang menyebabkan penambahan waktu kerja sehingga mengakibatkan penambahan tingkat parstisipasi kerja anggota keluarga. Menurut Hudiyanto dalam Nusantara (2000) ada dua pengertian dalam hal curahan jam kerja, pertama, pengertian jam kerja yang dicurahkan menyangkut jumlah jam kerja yang digunakan seseorang dalam suatu waktu, kedua, tingkat curahan jam kerja, menunjukkan prosentase banyaknya jam kerja yang tersedia. Semakin banyak jumlah jam kerja yang tercurah dalam suatu waktu tertentu semakin besar peluang untuk menghasilkan output yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jam kerja yang sedikit. Atau dengan kata lain, semakin banyak waktu yang digunakan untuk suatu pekerjaan akan semakin banyak pula produk yang dihasilkan, dengan banyaknya menghasilkan produk atau output maka akan menaikkan pendapatannya. Selanjutnya Schroeder (1989:147) menyatakan bahwa Jam kerja adalah jumlah waktu yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas atau kegiatan. Pengertian ini di dukung oleh Warman (1997:219) menyatakan bahwa Jam usaha merupakan waktu yang diperlukan untuk melakukan usaha atau pekerjaan. Adisaputro dan Anggarini (2007:219) mendefinisikan bahwa ”Jam kerja adalah waktu yang dibutuhkan untuk setiap gerakan yang dilakukan dalam rangka proses
Universitas Sumatera Utara
produksi”. Selanjutnya menurut Handoko (2000:192) Jam kerja merupakan jumlah waktu yang harus digunakan untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Berdasarkan pengertian yang di kemukakan oleh para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa jam kerja merupakan jumlah waktu yang diperlukan oleh seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Semakin banyak waktu yang di gunakannya maka semakin tinggi tingkat pendapatannya, dan juga semakin sedikit waktu yang digunakannya maka semakin rendah pula tingkat pendapatannya. Tinggi dan rendahnya waktu yang digunakannya mencerminkan produktivitas kerja seseorang. II.3.2.3 Pengalaman Kemampuan dan keahlian seseorang dilatarbelakangi oleh pendidikan dan pengalaman, karena pendidikan membutuhkan proses yang panjang, begitu juga dengan pengalaman. Pengalaman muncul akibat dari panjangnya waktu yang dipergunakan dalam bekerja atau berusaha pada lapangan usaha tertentu. Melalui pengalaman tersebut timbul keahlian, kemampuan dan keuletan serta pengetahuan. Pada umumnya semakin berpengalaman seseorang semakin mudah menjalankan usahanya kearah keberhasilan, dari pengalaman tersebut seseorang terus belajar dan berusaha memperbaiki dari keadaan yang tidak menguntungkan kepada arah yang lebih baik dan menguntungkan. Pengalaman dapat mengajarkan bagaimana cara menghadapi calon konsumen, menemui dan mempengaruhi calon konsumen, memperoleh perhatian konsumen dan memenuhi keinginan serta selera konsumen, dan yang terpenting lagi adalah bagaimana menciptakan kepuasan konsumen. Apabila konsumen merasa puas atas
Universitas Sumatera Utara
barang atau produk yang ditawarkan maka konsumen akan setia terhadap barang atau produk tersebut. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan calon konsumen tersebut menjadi konsumen tetap atau dengan kata lain pelanggan tetap bagi pedagang tersebut. Semakin banyak pelanggan semakin banyak pula barang dagangan yang terjual yang pada akhirnya berdampak pada pendapatannya. Karena pengalaman seseorang dapat mempengaruhi tingkat pendapatannya. Semakin bertambahnya
pengalaman
seseorang
maka
semakin
tinggi
kemungkinan
meningkatkan pendapatannya. Akibat bertambahnya pengalaman didalam mengerjakan suatu pekerjaan atau memproduksikan suatu barang dapat menurunkan rata-rata ongkos per satuan barang (Gitosudarmo,1999).
Bertambahnya
pengalaman
pekerja
maka
dia
mampu
melakukan efisiensi atau menekan biaya seminimal mungkin yang pada akhirnya berdampak pada tingkat pendapatan yang diperoleh. Faktor penentu produktivitas dari modal manusia ditujukan pada pengatahuan dan keahlian yang diperoleh pekerja melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Modal manusia meliputi keahlian-keahlian yang diperoleh, juga pelatihan-pelatihan kerja (Mankiw,2001). Pengalaman tersebut merupakan salah satu modal yang dimiliki oleh pekerja untuk meningkatkan produktivitasnya. Semakin tinggi produktivitas seseorang maka semakin tinggi kemungkinan pendapatan yang diterimanya. Melalui pengalaman yang dimiliki pekerja mampu menciptakan strategistrategi dalam bekerja begitu juga pengalaman yang dimiliki oleh pedagang mengerti
Universitas Sumatera Utara
menjalankan strategi pemasaran. Pengalaman sangat penting sekali dalam menjalankan suatu usaha, karena pengalaman dapat menuntun dan mengajarkan apa yang harus dikerjakan. Dengan demikian dapat tercapai tujuan yang telah ditetapkannya. II.3.2.4 Jenis Barang Dagangan (Produk) Berbicara masalah barang dagangan pikiran orang akan tertuju pada suatu produk tertentu. Produk merupakan semua yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan pemakainya (Kotler dan Amstrong, 2003:337) Banyaknya jenis barang atau keragaman barang yang digelarkan oleh pedagang dapat menarik minat calon konsumen untuk membeli, mempergunakan atau mengkonsumsi, karena dihadapkan banyak pilihan. Lebih lanjut Kotler dalam Kasmir (2006:174) menyatakan pengertian produk dapat dijabarkan bahwa ”produk merupakan sesuatu, baik berupa barang maupun jasa, yang ditawarkan ke konsumen agar diperhatikan, dan dibeli oleh konsumen. Tujuan menawarkan produk ke pasar adalah untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen”. Sesuai dengan definisi di atas, produk dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: 1). Produk yang berupa benda fisik atau benda berwujud, seperti buku, kursi, rumah, mobil, dan lain-lain, (2). Produk yang tidak berwujud, biasanya disebut jasa. Jasa dapat disediakan dalam berbagai wahana, seperti pribadi, tempat, kegiatan, organisasi, dan ide-ide. Menurut Mc.Carty dalam Simamora (2001:139) ”produk
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu tawaran dari sebuah perusahaan yang memuaskan atau memenuhi kebutuhan”. Dalam produk itu sendiri terkandung pengertian yang mencakupi segi fisik dan hal-hal lain yang lebih ditentukan oleh konsumen seperti masalah jasa yang menyertainya, masalah psikologis seperti kepuasan pemakaian, simbol status, segi artistik dan lain sebagainya. (Mursid, 2003:71). Kemudian Swastha dan Ibnu (1995:194) menyatakan bahwa ”produk adalah suatu sifat yang komplek baik dapat diraba maupun tidak dapat diraba, termasuk bungkus, warna, harga, prestise perusahaan dan pengecer, pelayanan perusahaan dan pengecer, yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan keinginan atau kebutuhannya”. Dalam hal ini, konsumen membeli sekumpulan sifat fisik dan kimia tersebut merupakan produk tersendiri sebab setiap kombinasi akan memberikan kepuasan yang berbeda-beda. Kemudian menurut Stantion dalam Angipora (2002:152) mendefinisikan produk dalam dua pengertian dasar yaitu 1). pengertian sempit, produk adalah sekumpulan atribut fisik nyata (tangible) yang terkait dalam sebuah bentuk yang dapat diindentifikasikan, 2). Pengertian luas, produk adalah sekumpulan atribut yang nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible) di dalamnya sudah tercakup warna, harga, kemasan, prestive pengecer dan pelayanan dari pabrik serta pengecer yang mungkin diterima oleh pembeli sebagai sesuatu yang bisa memuaskan keinginannya. Menurut Schroeder (1989:89) ”produk merupakan sebagai keluaran dari fungsi operasi baik barang maupun jasa”. Kemudian menurut Gitisudarmo (1999:68)
Universitas Sumatera Utara
“Produk merupakan segala sesuatu yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan manusia atau organisasi”. Selanjut Longenecker,et.al (2001:353) ”Produk adalah seikat total kepuasan sebuah jasa, barang yang ditawarkan pada para konsumen dalam sebuah transaksi pertukaran”. Produk merupakan hasil keluaran dari produksi yang kemudian ditawarkan kepada konsumen sesuai dengan keinginannya melalui transaksi pertukaran dengan harapan dapat memuaskan kebutuhannya. Jenis barang dagangan dimaksudkan adalah banyaknya jenis barang yang tersedia untuk dijual, misalnya pedagang sayur mayur menyediakan jenis sayur seperti bayam, kangkung, kol dan sayuran lainnya, pedagang makanan menyediakan jenis makanan dan minuman berupa nasi, mie dan kue, jus, sirup serta makanan dan minuman lainnya. Begitu juga pedagang buah menyediakan jenis buah berupa apel, anggur, jeruk, salak dan buah lainnya. Dan juga pedagang pakaian menyediakan pakaian berupa baju, celana, sepatu, sandal, handuk dan pakaian lainnya.
II.4 Teori Tentang Usaha Informal II.4.1 Pengertian Usaha Informal Kegiatan perekonomian yang diusahakan oleh masyarakat pada prinsipnya terdiri dari sektor formal dan sektor informal. Sektor formal merupakan kegiatan usaha yang bentuknya terorganisasi, cara kerjanya teratur dan pembiayaan secara resmi, menggunakan buruh dengan upah dan sebagainya Sedangkan sektor informal bentuknya tidak terorganisasi kebanyakan usaha sendiri, cara kerja tidak teratur,
Universitas Sumatera Utara
biaya sendiri atau sumber tidak resmi, dikerjakan oleh anggota keluarga (Jayadinata, 1999). Konsep sektor informal sudah diperkenalkan pada tahun 1973 oleh Hart dalam penelitiannya di Ghana. Selanjutnya konsep tersebut diterapkan dalam sebuah laporan oleh suatu tim International Labour Organization (ILO) dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Sebagai tindak lanjut gagasan tersebut, maka muncullah berbagai studi empiris mengenai sektor informal di berbagai negara di dunia ketiga untuk menerapkan konsep tersebut secara operasional (Hart dalam Pasaribu, 1991). Selanjutnya banyak peneliti yang meneliti diseputar sektor informal, seperti Arnold (1998) meneliti tentang sektor informal (hawkers dan vendors) di Afrika Selatan. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa sektor informal dalam hal ini pedagang kaki lima dan pedagang keliling selalu berdagang di pinggir jalan dan juga di stasiun kereta api. Yang berdagang di pinggir jalan kebanyakan didapatkan kaum wanita yang menjual buah-buahan dan sayur-sayuran, tingkat penghasilan yang diterima paling sedikit per bulan sebesar R300. Sementara yang berdagang di stasiun kereta api kebanyakan kaum pria, mereka menjual pakaian dan sepatu. Cutsinger (2000) juga meneliti tentang sektor informal (street vendors) di Barbados India Barat. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa di tahun 1991 terjadinya krisis ekonomi yang melanda Barbados India Selatan banyak karyawan kehilangan pekerjaan, dan pada saat itu tingkat pengangguran mencapai 18%. Dalam
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagian dari mereka bekerja pada sektor informal. International
Labour
Organization
(ILO)
dalam
Mathur
(1993)
mendefinisikan ”sektor informal adalah sektor-sektor yang mudah dimasuki oleh pengusaha pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya dan teknologi yang dibutuhkan di luar bangku sekolah, tidak diatur oleh pemerintah, dan bergerak dalam pasar penuh persaingan”. Menurut Anoraga dan Djoko (2002:225) ”Usaha kecil Informal adalah berbagai usaha yang belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hukum, antara lain petani penggarap, industri rumah tangga, pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima, dan pemulung. Sedangkan usaha kecil tradisonal adalah usaha yang menggunakan alat transportasi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun, dan atau berkaitan dengan seni dan budaya”. Menurut Astomoen (2005:337) ”Usaha Informal adalah usaha yang berjalan tetapi tidak berbentuk badan hukum usaha. Status usaha ini biasanya terdapat pada pengusaha pemula, usaha kecil dan menengah, warung-warung, pedagang kaki lima, toko-toko kecil, dan lain-lain”. Kemudian menurut Seturrahman (1995 :14) “Sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil”.
Universitas Sumatera Utara
Definisi secara umum dari sektor informal adalah bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau yang belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan atau sudah menerima bantuan tetapi belum sanggup berdikari (Hidayat, 1983). Dari definisi tersebut dapat dibedakan antara sektor informal yang berada di pedesaan yang seringkali disebut sektor informal tradisional yang bergerak di bidang pertanian, dengan sektor informal yang berada di daerah perkotaan yang sebagian besar bergerak dalam kegiatan pedagang kaki lima. Usaha informal mampu berusaha secara mandiri tanpa harus mengantungkan hidupnya pada usaha orang lain (mandiri) dan juga mampu menolong diri sendiri (self help) dan anggota keluarganya. Ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi pekerja di sektor informal. Anne (2003:8) menyatakan bahwa ”sektor informal dipandang sebagai usaha tradisional yang mandiri dimana ketergantungannya kepada faktor-faktor luar sangat kecil dan lebih cenderung memanfaatkan tenaga kerja dikalangan keluarga terdekat”. Sementara Bremen (1996 :138) menyatakan perbedaan kegiatan ekonomi antara sektor informal dan formal dengan kriteria sebagai berikut: 1). Sektor formal yaitu digunakan dalam pengertian pekerjaan tetap, harian, yang digaji untuk pekerjaan yang permanen, seperti pekerjaan dalam perusahaan, kantor pemerintah yang meliputi : a). Sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan dan terorganisir, b). Pekerjaan terdaftar secara resmi dalam statistik ekonomi, d). Syarat-syarat pekerjaan dilindungi oleh hukum, sedangkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak memenuhi
Universitas Sumatera Utara
kriteria ini dimasukkan dalam sektor informal. 2). Sektor Informal merupakan suatu istilah yang mencakup pengertian berbagai kegiatan yang seringkali disebut dalam istilah umum sebagai usaha sendiri, karena merupakan jenis kesempatan kerja yang terorganisir, sulit dicacah sehingga sering dilupakan dalam sensus-sensus resmi sehingga akhirnya merupakan kesempatan kerja yang persyaratan kerjanya jarang atau sulit dijangkau oleh aturan-aturan hukum. Munculnya usaha informal akibat dari sempitnya lapangan kerja yang disediakan oleh perusahaan dan pemerintah, hal ini disebabkan tidak sebanding lapangan kerja yang tersedia dengan pertumbuhan penduduk . Disamping itu juga terbentur dengan persyaratan yang ditentukan oleh penampung tenaga kerja karena tidak terpenuhi kualifikasi tertentu, seperti minimnya tingkat pendidikan, keahlian dan kemampuan yang dipersyaratkan.
Universitas Sumatera Utara