BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2004–2006
Bab mengenai perkembangan ekonomi makro tahun 2004–2006 merupakan kerangka ekonomi makro (macroeconomic framework) yang dimaksudkan untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai prospek ekonomi tahun 2004 dan dua tahun berikutnya. Uraian dimulai dengan gambaran singkat perekonomian tahun 2002 hingga bulan April 2003 dan perkiraan keseluruhan tahun 2003; dilanjutkan dengan arah kebijakan ekonomi makro dan prospeknya tahun 2004–2006.
A.
Gambaran Singkat Perekonomian Tahun 2002 hingga April 2003 dan Perkiraan Keseluruhan Tahun 2003
Perekonomian Indonesia pada tahun 2002 hanya tumbuh 3,7 persen; lebih rendah dari sasaran yang diinginkan yaitu sekitar 4,0 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor pertanian yang tumbuh sekitar 1,7 persen; sedangkan industri pengolahan hanya tumbuh sekitar 4,0 persen. Dari sisi pengeluaran, perekonomian tahun 2002 lebih banyak didorong oleh konsumsi masyarakat dan pemerintah yang tumbuh masing-masing sekitar 4,7 persen dan 12,8 persen. Sedangkan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) serta ekspor barang dan jasa tumbuh negatif berturut-turut sekitar 0,2 persen dan 1,2 persen. Ringkasan pertumbuhan ekonomi tahun 2002 dapat dilihat pada tabel berikut.
RINGKASAN PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2002 (%)
PDB PDB Nonmigas Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa Pertanian Industri Industri Nonmigas Lainnya Sumber: BPS
2000 4,9 5,3 1,6 6,5 16,7 26,5 25,9 1,9 6,0
7,0 5,3
2001 3,4 4,2 4,4 9,0 7,7 1,9 8,1 1,0 4,1 5,0 3,8
2002 3,7 3,9 4,7 12,8 -0,2 -1,2 -8,3 1,7 4,0 4,2 4,0
Dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 212 juta orang, PDB per kapita tahun 2002 dalam harga konstan tahun 1998 mencapai Rp5,1 juta; masih lebih rendah dari sebelum krisis yaitu sekitar Rp5,4 juta pada tahun 1996. Dengan nilai tukar rata-rata tertimbang sebesar Rp9.967,-/US$, pendapatan per kapita tahun 2002 II – 1
mencapai sekitar US$ 811, masih jauh lebih rendah dibandingkan tahun 1996 sekitar US$ 1.166. Pertumbuhan ekonomi tahun 2002 sekitar 3,7 persen tersebut tidak cukup untuk menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi tambahan angkatan kerja baru. Pada tahun 2002, jumlah pengangguran terbuka mencapai 9,1 juta jiwa (9,1 persen dari total angkatan kerja) meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 8,0 juta orang (8,1 persen dari total angkatan kerja).1 Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata rendah selama tahun 2000 – 2002 tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2002, jumlah penduduk miskin diperkirakan sekitar 38,4 juta jiwa (18,2 persen); atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2000 yaitu sekitar 37,3 juta jiwa (19,0 persen).2 Meskipun dalam tahun 2002 perekonomian tumbuh lebih lambat dari yang diharapkan, stabilitas moneter tetap terkendali dengan baik. Nilai tukar rupiah menguat dari Rp10.400,-/US$ pada akhir tahun 2001 menjadi Rp8.940,-/US$ pada akhir tahun 2002. Stabilnya kondisi politik dan keamanan dalam negeri serta menguatnya rupiah membantu pengendalian uang beredar yang pada gilirannya membantu mengendalikan kenaikan harga barang dan jasa. Dalam keseluruhan tahun 2002, laju inflasi mencapai 10,0 persen, lebih rendah dari tahun 2001 (12,5 persen). Laju inflasi yang menurun memberi gerak bagi penurunan suku bunga. Suku bunga SBI 1 bulan secara bertahap menurun dari 17,6 persen pada akhir tahun 2001 menjadi 12,9 persen pada akhir tahun 2002. Di sektor eksternal, perekonomian dunia yang masih dalam pemulihan dari resesi tahun 2001 ikut mempengaruhi kinerja ekspor. Dalam keseluruhan tahun 2002, penerimaan ekspor hanya mencapai US$ 58,0 miliar. Dengan pengeluaran impor sekitar US$ 34,8 miliar dan defisit neraca jasa sekitar US$ 15,9 miliar, neraca transaksi berjalan pada tahun 2002 mengalami surplus sekitar US$ 7,3 miliar. Dalam tahun 2002, defisit neraca modal menurun menjadi US$ 6,4 miliar; lebih rendah dari tahun 2001 sebesar US$ 10,5 miliar. Penurunan terutama disebabkan oleh masuknya arus modal swasta lainnya yang mengalami surplus sekitar US$ 3,1 miliar. Dengan surplus neraca pembayaran sekitar US$ 3,7 miliar, cadangan defisa pada akhir tahun 2002 mencapai US$ 32,0 miliar atau cukup untuk membiayai impor selama 7,6 bulan. Dalam rangka mempertahankan kesinambungan fiskal, defisit APBN dapat diturunkan dari 2,8 persen PDB pada tahun 2001 menjadi 1,7 persen pada tahun 2002 dan stok utang pemerintah menurun dari 87,7 persen PDB pada tahun 2001 menjadi 81,2 persen PDB pada tahun 2002. Memasuki tahun 2003, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL), dan tarif telpon. Aksi masyarakat di berbagai daerah menentang kenaikan harga barang-barang sempat melemahkan nilai tukar rupiah. 1
2
Pengganguran terbuka adalah penduduk usia kerja yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan; atau penduduk sedang mempersiapkan usaha; atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan; atau penduduk yang sudah mendapatkan pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Termasuk angka estimasi untuk provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
II – 2
Adanya intervensi Bank Indonesia, cepatnya respon pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan harga, serta adanya sentimen positif yaitu disetujuinya paket bantuan bagi Indonesia senilai US$ 3,1 miliar (dengan rincian US$ 2,7 miliar berupa pinjaman lunak dan US$ 0,4 miliar berupa hibah) dalam forum CGI menguatkan kembali nilai tukar rupiah menjadi Rp8.876,-/US$ pada akhir bulan Januari 2003. Pecahnya perang AS – Irak tersebut sempat melemahkan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp9.120,-/US$ pada minggu keempat bulan Maret 2003. Namun sejalan dengan penguatan nilai tukar mata uang regional seperti Yen dan Euro terhadap US$, nilai tukar rupiah menguat hingga mencapai Rp8.675,-/US$ pada akhir bulan April 2003. Stabilnya nilai tukar rupiah selama empat bulan pertama (Januari – April) 2003 membantu pengendalian jumlah uang beredar. Posisi uang primer terus menurun dari Rp138,3 triliun pada akhir bulan Desember tahun 2002 hingga mencapai Rp125,0 triliun pada akhir bulan April 2003. Relatif stabilnya nilai tukar rupiah serta terkendalinya pertumbuhan uang primer, membantu stabilitas harga rata-rata barang dan jasa. Sampai dengan empat bulan pertama (Januari – April) tahun 2003 laju inflasi mencapai 0,92 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 3,26 persen. Terkendalinya laju inflasi memberi ruang gerak bagi turunnya suku bunga. Suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan terus menurun dari 12,9 persen pada akhir bulan Desember 2002 menjadi 11,1 persen pada akhir bulan April 2003. Kecenderungan menurunnya tingkat suku bunga SBI 1 bulan diikuti pula oleh tingkat bunga deposito. Suku bunga deposito 1 dan 3 bulan masing-masing turun dari 12,8 persen dan 13,6 persen pada akhir bulan Desember 2002 menjadi 11,9 persen dan 12,9 persen pada akhir bulan Maret 2003. Meskipun demikian suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi relatif tetap pada periode yang sama. Sementara itu, nilai ekspor selama tiga bulan pertama (Januari – Maret) tahun 2003 mencapai US$ 14,9 miliar atau naik 15,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Ekspor migas dan non-migas masing-masing meningkat sebesar 39,1 persen dan 9,7 persen. Peningkatan ekspor migas disebabkan kenaikan pada ekspor minyak mentah; hasil minyak; dan gas masing-masing sebesar 29,9 persen; 78,9 persen; dan 38,8 persen. Peningkatan nilai ekspor minyak mentah disebabkan oleh tingginya harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia terkait dengan pecahnya perang AS – Irak. Menurut penggolongan sektor, kenaikan ekspor non-migas berasal dari komoditi pertanian; industri; dan pertambangan dan lainnya yang masing-masing sebesar 13,3 persen; 7,5 persen; dan 37,8 persen. Sedangkan berdasarkan golongan barang HS 2 digit, kenaikan ekspor non-migas didorong oleh kenaikan pada hampir seluruh komoditas kecuali mesin-mesin/pesawat mekanik; pakaian jadi bukan rajutan; serta perabotan, penerangan rumah.
II – 3
Hingga tiga bulan pertama (Januari – Maret) tahun 2003, Amerika Serikat dan Jepang masih merupakan negara-negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai masing-masing mencapai US$ 1,6 miliar atau berturut - turut turun sebesar 4,7 persen dan naik 12,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dalam periode yang sama, ekspor ke RRC mencapai US$ 569,4 juta atau meningkat 47,7 persen. Hingga tiga bulan pertama tahun 2003 total nilai impor mencapai US$ 8,6 miliar atau 29,4 persen lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, didorong oleh kenaikan impor migas dan non-migas masing-masing sebesar 36,7 persen dan 27,4 persen. Berdasarkan penggolongan penggunaan barang, kenaikan impor non-migas didorong oleh kenaikan impor barang konsumsi; bahan baku/penolong; dan barang modal masing-masing sebesar 28,2 persen; 33,8 persen; dan 5,8 persen. Sedangkan berdasarkan golongan barang (HS 2 digit) kenaikan impor non-migas didorong oleh hampir seluruh golongan barang kecuali bahan kimia organik serta kendaraan dan bagiannya yang masing-masing turun sekitar 17,9 persen dan 25,1 persen. Fungsi intermediasi perbankan terus membaik, meskipun belum sepenuhnya pulih. Pada akhir bulan Maret 2003, jumlah kredit yang disalurkan melalui sistem perbankan nasional mencapai Rp376,1 triliun atau meningkat 24,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan total dana yang berhasil dihimpun pada akhir bulan Maret 2003 mencapai Rp838,7 triliun atau meningkat 5,5 persen dibandingkan akhir bulan Maret 2002. Seiring dengan berjalannya fungsi intermediasi perbankan, kinerja sektor riil juga mengalami peningkatan. Dalam tiga bulan pertama tahun 2003, total penjualan mobil dan sepeda motor meningkat masing-masing 11,4 persen dan 24,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya; penjualan listrik naik 1,2 persen; sedangkan penjualan semen naik 0,2 persen.
Berdasarkan perkembangan hingga April 2003 tersebut, stabilitas ekonomi dan moneter diperkirakan tetap terkendali. Dalam keseluruhan tahun 2003, nilai tukar rupiah diperkirakan stabil pada kisaran Rp8.200 – Rp9.000 per dolar AS; serta laju inflasi diperkirakan mencapai 7 – 9 persen. Dengan stabilitas ekonomi yang semakin mantap serta didukung oleh stabilitas politik dan kemanan yang tetap terpelihara maka pertumbuhan ekonomi nasional dalam tahun 2003 diperkirakan mampu mencapai 3,5 – 4,0 persen.
B.
Arah Kebijakan Ekonomi Makro
Meskipun kinerja perekonomian nasional tahun 2003 diperkirakan membaik, masih terdapat berbagai ketidakpastian yang dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi. Di sisi eksternal, hingga April 2003 perekonomian dunia masih dibayangi oleh ketidakpastian akibat konflik di Timur Tengah paska perang AS–Irak dan merebaknya SARS sehingga proses pemulihan perekonomian dunia relatif melambat. II – 4
Secara keseluruhan perekonomian dunia pada tahun 2003 diperkirakan tumbuh 3,2 persen (World Economic Outlook, IMF, April 2003) atau lebih rendah 0,5 persen dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya (September, 2002). Volume perdagangan dunia diperkirakan tumbuh 4,3 persen, lebih rendah 1,8 persen dari perkiraan sebelumnya. Dari sisi internal, pemulihan ekonomi Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah pokok antara lain: (i) belum pulihnya investasi; (ii) belum sepenuhnya pulih fungsi intermediasi perbankan, serta (iii) masih terbatasnya stimulus fiskal karena beratnya beban keuangan pemerintah untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang. Dengan berbagai masalah pokok yang berkembang dan yang harus segera ditangani dalam tahun 2003 dan tiga tahun berikutnya, maka kebijakan ekonomi makro pada tahun 2004–2006 diarahkan untuk memelihara momentum yang sudah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam kaitan itu, langkah-langkah pokok yang ditempuh adalah sebagai berikut. Pertama, memelihara kesinambungan fiskal, stabilitas moneter, dan keseimbangan eksternal paska program IMF melalui koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil yang makin baik dan terpadu. Langkah ini ditempuh agar momentum pemulihan ekonomi yang sudah dicapai sampai tahun 2003 tidak terganggu oleh gejolak baru yang dapat membahayakan kepastian usaha pada khususnya dan ketahanan ekonomi pada umumnya. Kedua, mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan termasuk kepada sektor usaha yang siap dan memiliki resiko yang rendah. Di samping itu, dilakukan pula langkah untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan melalui peningkatan efektivitas pengawasan bank dan pengembangan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian fungsi intermediasi perbankan dapat berkesinambungan. Ketiga, meningkatkan iklim investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable growth) serta agar dapat menjamin kesinambungan pembangunan (sustainable development). Hal ini penting untuk ikut membantu memecahkan masalah-masalah sosial mendasar seperti penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Keempat, meningkatkan efektivitas peran institusi ekonomi dan lembaga pemerintah berikut pengawasan dalam menunjang tercapainya langkah-langkah di atas. Untuk meningkatkan efektivitas langkah-langkah pokok tersebut, ditempuh kebijakan-kebijakan sebagai berikut. Di sektor fiskal, kebijakan keuangan negara, sejalan dengan arah kebijakan fiskal yang ditetapkan dalam GBHN 1999–2004, diarahkan pada upaya melanjutkan konsolidasi fiskal yang ditujukan untuk meringankan beban utang pemerintah dalam jangka menengah guna mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability). Hal ini dilakukan dengan tetap mengupayakan pemberian stimulus fiskal dalam batas-batas kemampuan keuangan negara guna mendukung proses pemulihan ekonomi, serta memantapkan proses desentralisasi dengan tetap II – 5
mengupayakan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah sesuai asas keadilan, dan sepadan dengan besarnya kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah pusat kepada daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, kebijakan penerimaan negara terutama dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan, serta pembenahan administrasi perpajakan. Di sisi belanja negara, ditempuh kebijakan pokok sebagai berikut. Pertama, mengendalikan kenaikan gaji pegawai pada tingkat yang mampu mempertahankan pendapatan PNS secara riil. Kedua, mempertajam alokasi anggaran, termasuk mempertegas pembagian belanja antara pemerintah pusat dan daerah dengan tetap diarahkan untuk memelihara netralitas fiskal. Ketiga, mengamankan rencana penyerapan pinjaman luar negeri berikut pelunasan cicilan dan bunga pinjaman. Untuk pinjaman proyek, akan dimatangkan kesiapan proyek dan ditetapkan secara jelas mekanisme pinjaman daerah. Dengan demikian, jumlah anggaran negara yang terbatas dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dalam rangka mengamankan sisi pembiayaan, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengupayakan pencapaian target penerimaan privatisasi. Untuk itu, RUU BUMN diupayakan segera dapat ditetapkan dan disusun peraturan pelaksanaannya. Kedua, menyiapkan dan melaksanakan secepat mungkin pengalihan pengelolaan aset BPPN kepada institusi yang ditunjuk untuk mengamankan sasaran penerimaan dari penjualan aset tercapai. Ketiga, mengkoordinasikan rencana penggunaan dana simpanan pemerintah dengan kebijakan moneter yang secara bertahap diarahkan untuk menurunkan laju inflasi. Keempat, merencanakan penerbitan obligasi pemerintah dengan mempertimbangkan dampaknya pada ketersediaan dana masyarakat dan periode jatuh temponya obligasi agar likuiditas di dalam masyarakat tetap terjaga sekaligus menghasilkan yield obligasi yang tidak memberatkan dalam pembayaran bunganya. Kelima, mengamankan pipeline pinjaman luar negeri, baik berupa pinjaman proyek maupun program untuk mengamankan pembiayaan anggaran negara di tahun-tahun berikutnya. Di sektor moneter, upaya-upaya akan terus ditingkatkan bagi terciptanya kestabilan harga. Pada tahun 2004, sasaran inflasi diperkirakan sekitar 6–8 persen. Dalam dua tahun selanjutnya Bank Indonesia mempunyai komitmen untuk secara bertahap menurunkan inflasi menjadi sekitar 6–7 persen. Melalui langkah ini, proses disinflasi dilakukan secara bertahap sehingga target inflasi yang ditetapkan akan lebih realistis. Sejalan dengan meningkatnya kredibilitas kebijakan ekonomi, ekspektasi inflasi oleh masyarakat diharapkan akan terbentuk dengan merujuk perkiraan inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia tersebut. Proses disinflasi secara bertahap ini akan menghindarkan penerapan kebijakan moneter yang terlampau ketat yang dapat berdampak negatif bagi proses pemulihan ekonomi. Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, kebijakan moneter akan diarahkan pada upaya pengendalian uang primer agar sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Secara operasional, pengendalian moneter akan dilakukan dengan mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter terutama melalui operasi pasar terbuka (OPT) dengan lelang SBI. Selain itu, upaya tersebut juga didukung dengan melakukan sterilisasi valuta asing yang dimaksudkan untuk mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan inflasi. Langkah ini akan dilakukan secara berhatiII – 6
hati agar kestabilan harga tetap terjaga untuk mendukung proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung sehingga dalam jangka menengah-panjang dapat dicapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Untuk terus meningkatkan keseimbangan eksternal ekonomi nasional, di sektor riil, kebijakan diarahkan pada program pengembangan ekspor nonmigas, pengembangan industri berkeunggulan kompetitif, dan penciptaan struktur produksi dan distribusi yang kukuh dan berkelanjutan. Peningkatan ekspor nonmigas menjadi prioritas sebagai andalan dalam jangka pendek bagi pemulihan ekonomi dan sebagai andalan dalam jangka menengah untuk mengakumulasi cadangan devisa. Sementara itu, industri berkeunggulan kompetitif juga diprioritaskan untuk dikembangkan untuk menghadapi persaingan, baik di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor. Sebagai konsekuensi pengembangan industri, struktur produksi dan distribusi yang kukuh dan berkelanjutan juga diprioritaskan karena pengembangan industri harus mencakup pengembangan seluruh mata rantai kegiatan produksi dan distribusi dari sektor penyedia bahan baku, pengolahan, hingga sektor jasa (primer, sekunder, dan tersier). Sementara itu, guna memulihkan fungsi intermediasi perbankan, sektor perbankan terus didorong untuk lebih banyak lagi menyalurkan kredit kepada sektor usaha yang siap dan memiliki resiko yang relatif rendah seperti ekspor dan UKM. Selain itu, kesehatan bank akan ditingkatkan dengan upaya untuk menurunkan angka NPL perbankan nasional. Sedangkan upaya untuk memperkuat infrastruktur perbankan nasional dilakukan dengan terus mendorong pengembangan bank syariah dan keberadaan BPR. Selanjutnya, untuk meningkatkan ketahanan sektor keuangan, khususnya di sektor perbankan, prioritas utama kebijakan diarahkan untuk memperkuat ketahanan sistem perbankan. Bank Indonesia akan memantapkan penerapan 25 Basle Core Principles for Effective Banking Supervision yang penjabarannya dituangkan dalam master plan peningkatan efektivitas pengawasan bank yang antara lain meliputi persyaratan dalam pendirian dan pemberian ijin perbankan, koordinasi antar otoritas pengawas, manajemen resiko, dan pengawasan atas dasar resiko. Upaya untuk memelihara CAR bank-bank yang telah mencapai 8 persen terus dilakukan khususnya terhadap pengaruh kemungkinan kenaikan suku bunga dan melemahnya nilai tukar serta menurunnya kualitas kredit. Disamping itu, dalam rangka memperkuat kelembagaan perbankan nasional akan dilakukan program pengembangan stabilitas sistem keuangan dengan kegiatan pokok meliputi: (a) pemantapan regulasi dan standar internasional terhadap seluruh lembaga, pasar, dan infrastruktur keuangan; (b) peningkatan riset dan surveilance terhadap aspek yang mempengaruhi stabilitas sistem keuangan; (c) peningkatan koordinasi dan kerjasama antar lembaga yang terkait dengan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan nasional; serta (d) penjabaran mekanisme jaring pengaman sistem keuangan. Selain langkah-langkah tersebut, pemerintah juga akan menempuh beberapa langkah pokok antara lain mengharmoniskan peraturan perundangan di bidang pasar modal, dana pensiun, usaha perasuransian, dan perbankan dengan peraturan perundangan mengenai otoritas jasa keuangan (OJK) dan lembaga penjamin simpanan (LPS), serta menyiapkan langkah-langkah pengalihan tugas OJK dan LPS. Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan sektor keuangan nasional dapat ditingkatkan ketahanannya.
II – 7
Selanjutnya, untuk mendorong investasi, pemerintah akan mengambil beberapa langkah pokok antara lain dengan memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha dengan mempercepat proses penyelesaian RUU Penanaman Modal agar segera dapat diundangkan selambatnya sebelum Pemilu tahun 2004; memperjelas kewenangan pusat dan daerah di bidang penanaman modal dengan mempercepat keluarnya peraturan pelaksana; menindaklanjuti penyederhanaan prosedur perizinan investasi melalui pelayanan satu atap (one roof service), sebagaimana yang disetujui Sidang Kabinet tanggal 25 November 2002; meningkatkan perlindungan investasi antara lain melalui pendayagunaan Tim Nasional Pengembangan Ekspor dan Perlindungan Investasi yang diketuai oleh Presiden RI yang merupakan tindak lanjut Sidang Kabinet tanggal 25 November 2002; meningkatkan konsistensi peraturan perundangan yang terkait dengan penanaman modal melalui sinkronisasi peraturan baik peraturan antar sektor ekonomi maupun antara pemerintah pusat dan daerah; serta menciptakan sistem insentif agar mampu bersaing dengan negara lain untuk menarik investasi pada sektor/bidang usaha dan lokasi tertentu. Peningkatan efektivitas peran institusi ekonomi dan lembaga pemerintah diharapkan dapat mewujudkan terlaksananya prinsip good governance (baik, bersih, dan berwibawa) pada penyelenggaraan tugas institusi dan birokrasi sehingga mampu mengantisipasi dinamika ekonomi dan tuntutan masyarakat yang makin berkembang serta mendorong penghapusan biaya rente ekonomi, serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Efektivitas dari langkah-langkah pokok dan kebijakan-kebijakan di atas sangat tergantung pada penciptaan lingkungan usaha yang kondusif bagi percepatan pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah penting lainnya antara lain: Pertama, menjaga stabilitas keamanan dan politik terutama menjelang Pemilihan Umum tahun 2004. Kedua meningkatkan kepastian hukum yang mendorong tumbuhnya kepastian usaha dan praktek usaha yang sehat. Ketiga melaksanakan prinsip penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance) dalam upaya mewujudkan birokrasi yang efisien dan mampu mengantisipasi dinamika ekonomi serta tuntutan masyarakat yang makin berkembang.
C.
Prospek Ekonomi Tahun 2004–2006
1.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2004 diperkirakan membaik dan tumbuh 4,1 persen, lebih tinggi dari tahun 2003 yang diperkirakan sekitar 3,2 persen. Perekononomian negara-negara industri paling maju (advanced economies) pada tahun 2004 diperkirakan tumbuh sekitar 2,9 persen dengan perekonomian Amerika Serikat sebagai motor penggerak diperkirakan tumbuh 3,6 persen didorong oleh kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar. Adapun perekonomian negaraII – 8
negara berkembang pada tahun 2004 diperkirakan tumbuh 5,8 persen dengan perekonomian Asia terutama Cina sebagai penggeraknya. Perekonomian negaranegara berkembang di Asia diperkirakan tumbuh sekitar 6,5 persen; sedangkan Cina sekitar 7,5 persen. Perekonomian dunia yang membaik akan mendorong perdagangan dunia. Volume perdagangan dunia dalam tahun 2004 diperkirakan meningkat 6,1 persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 4,3 persen. Impor negara-negara industri paling maju diperkirakan tumbuh sekitar 5,9 persen; sedangkan ekspor dari negara-negara berkembang diperkirakan akan tumbuh sekitar 7,6 persen. Dalam dua tahun berikutnya perekonomian dunia diperkirakan tumbuh lebih baik lagi sehingga akan mendorong lebih lanjut volume dan harga komoditi perdagangan dunia. Dengan prospek ekonomi dunia tersebut di atas, peranan masyarakat termasuk swasta terus didorong khususnya melalui kegiatan investasi. Dalam tahun tahun 2004 pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan sekitar 4,5 persen dan dalam dua tahun berikutnya diperkirakan meningkat lagi sekitar 5,0 persen dan 5,5 persen. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5 persen dalam tahun 2004–2006 tersebut, peranan investasi sebagai rasio terhadap Produk Nasional Bruto (PNB) diperkirakan meningkat dari 18,1 persen pada tahun 2004 menjadi 23,4 persen pada tahun 2006. Investasi dibiayai tabungan dalam dan luar negeri. Tabungan nasional, sebagai rasio dari PNB, diperkirakan meningkat dari 19,3 persen pada tahun 2004 menjadi 23,5 persen pada tahun 2006. Sejalan dengan membaiknya kepercayaan masyarakat internasional, tabungan luar negeri diperkirakan membaik secara bertahap dari -1,1 persen menjadi -0,1 persen dari PNB dalam kurun waktu yang sama. Masih negatifnya tabungan luar negeri tersebut disebabkan oleh tingginya pembayaran utang pemerintah. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi tahun 2004 didorong oleh pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang diperkirakan tumbuh sekitar 7,8 persen dan kemudian meningkat secara bertahap menjadi sekitar 17,0 persen tahun 2006. Sedangkan konsumsi masyarakat pada tahun 2004 diperkirakan tumbuh sekitar 4,3 persen dan kemudian melambat menjadi 3,9 persen pada tahun 2006. Sementara itu ekspor barang dan jasa dalam tahun 2004 diperkirakan tumbuh sekitar 4,5 persen dan secara bertahap meningkat menjadi 11,8 persen pada tahun 2006. Dari sisi produksi, pertumbuhan sektor pertanian dalam tahun 2004 diperkirakan sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni mencapai 2,0 persen dan terus meningkat hingga menjadi 2,2 persen tahun 2006. Dalam tiga tahun mendatang, sektor industri pengolahan nonmigas diperkirakan tetap menjadi pendorong perekonomian dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 7,0 persen per tahun. Pulihnya perekonomian yang didukung oleh alokasi sumber daya pembangunan yang lebih baik diharapkan akan meningkatkan efisiensi perekonomian, seperti tercermin pada penurunan angka incremental capital output ratio (ICOR). Pada tahun 2006 ICOR diperkirakan menurun menjadi 4,7 dari sekitar 5,1 pada tahun 2004. II – 9
Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan sekitar 3,5 – 4,0 persen pada tahun 2003 dan 4,0 – 5,0 persen pada tahun 2004 tidak cukup untuk menampung tambahan angkatan kerja baru. Pengangguran terbuka diperkirakan meningkat dari 9,8 persen dalam tahun 2003 menjadi sekitar 10,3 persen dalam tahun 2004. Dalam kaitan itu kegiatan ekonomi perlu didorong dengan menekankan pada kualitas pertumbuhan (quality of growth) yang memberi manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat termasuk dalam penciptaan lapangan kerja. Dengan upaya tersebut, pada tahun 2006 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mulai mengalami penurunan. Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita yang merosot pada masa krisis akan membaik. Dengan harga konstan tahun 1998, pendapatan riil per kapita pada tahun 2004 diperkirakan mencapai Rp5,4 juta dan tahun 2005 sebesar Rp5,6 juta, atau relatif sama dibandingkan dengan sebelum krisis (tahun 1997), atau meningkat dari US$ 1.051 pada tahun 2004 dan menjadi US$ 1.164 pada tahun 2005.
2.
Neraca Pembayaran
Dalam kurun waktu tiga tahun mendatang, kinerja ekspor diupayakan terus membaik. Nilai total ekspor diperkirakan meningkat dari US$ 59,4 miliar dalam tahun 2004, menjadi US$ 67,6 miliar pada tahun 2006. Peningkatan ekspor terutama didorong oleh ekspor nonmigas yang diperkirakan meningkat rata-rata 7,0 persen per tahun pada kurun waktu tersebut. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi dan pertumbuhan ekonomi, nilai total impor diperkirakan meningkat dari US$ 38,5 miliar pada tahun 2004 menjadi US$ 45,7 miliar pada tahun 2006, didorong oleh impor nonmigas yang diperkirakan meningkat rata-rata 8,6 persen per tahun. Sedangkan penerimaan devisa dari jasa pariwisata diperkirakan membaik dengan meningkatnya stabilitas politik dan keamanan. Surplus neraca transaksi berjalan diperkirakan menurun dari US$ 2,4 miliar (1,1 persen PDB) pada tahun 2004 menjadi US$ 135 juta (0,1 persen PDB) pada tahun 2006. Neraca arus modal yang diperkirakan masih akan defisit sekitar US$ 4,1 miliar dalam tahun 2004 diperkirakan menjadi surplus sekitar US$ 185 juta dalam tahun 2006. Membaiknya arus modal tersebut sejalan dengan menurunnya arus keluar penanaman modal asing (neto) yang pada tahun 2006 diperkirakan mengalami arus masuk (neto). Sementara itu, pada tahun 2004, 2005, dan 2006 arus modal pemerintah diperkirakan defisit masing-masing sekitar US$ 2,6 miliar, US$ 4,0 miliar dan US$ 3,6 miliar berkaitan dengan pemenuhan kewajiban utang luar negeri sehubungan dengan kemungkinan tidak diperolehnya penjadwalan pembayaran utang luar negeri Pemerintah melalui Paris Club. Dengan gambaran di atas dan semakin meningkatnya pembayaran pinjaman kepada IMF, cadangan devisa (reserve assets) diperkirakan menurun dari sekitar US$ 30,9 miliar pada tahun 2004 menjadi sekitar US$ 26,5 miliar pada tahun 2006.
II – 10
3.
Moneter
Besaran moneter (antara lain laju inflasi, suku bunga, dan kurs rupiah) bukan merupakan sasaran yang kaku melainkan gambaran yang konsisten dengan wujud perekonomian nasional mendatang. Dengan relatif stabilnya nilai rupiah dan terkendalinya uang beredar, laju inflasi diharapkan makin terkendali. Melalui koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil, laju inflasi, nilai tukar rupiah, dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan tahun 2004 berturut-turut diperkirakan antara 6 – 8 persen, Rp8.200 – Rp9.200 per US$, dan 9 – 10 persen. Dengan pelaksanaan kebijakan moneter yang makin konsisten, laju inflasi diharapkan menurun secara bertahap sehingga pada tahun 2006 diperkirakan menjadi sekitar 6 – 7 persen. Seiring dengan pulihnya kepercayaan masyarakat yang didorong oleh langkah kebijakan yang sungguh-sungguh serta makin terpadunya pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal, nilai tukar rupiah diharapkan tetap stabil pada kisaran Rp8.200 – Rp9.200 per US$ hingga tahun 2005
4.
Keuangan Negara
Dengan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan negara (terutama dengan meningkatkan rasio penerimaan pajak/PDB menjadi 13,6 persen pada tahun 2004 dan 13,8 persen pada tahun 2005) dan mengendalikan belanja negara seperti diuraikan di atas, defisit anggaran diharapkan dapat terus menurun dan menjadi lebih kurang berimbang pada tahun 2005, bergeser dari rencana semula (tahun 2004). Hal ini tidak terlepas dari perkembangan perekonomian dalam 3 (tiga) tahun terakhir yang lebih lambat dari perkiraan semula, sehingga masih diperlukan dorongan dari kebijakan fiskal. Oleh karena itu, defisit anggaran diperkirakan masih akan sekitar 1 persen PDB pada tahun 2004. Sementara itu, langkah-langkah untuk mengamankan pembiayaan defisit diharapkan dapat membawa anggaran negara keluar dari masa sulit di tahun 2004 dan 2005. Secara keseluruhan, upaya mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) diperkirakan akan semakin mantap seiring dengan menurunnya stok pinjaman sebagai persentase PDB. Demikian gambaran umum pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran, moneter, dan keuangan negara untuk kurun waktu tahun 2004–2006. Dengan upaya sungguh-sungguh untuk melaksanakan langkah-langkah pokok sebagaimana yang diagendakan dalam Propenas dan dituangkan penjabarannya dalam REPETA 2004, proses pemulihan ekonomi pada tahun 2004 akan berlanjut dan pada tahun-tahun berikutnya akan memperkokoh ketahanan ekonomi nasional. Dengan prospek ekonomi di atas, perekonomian Indonesia dalam tahun 2005 diperkirakan pulih dan makin kokoh. Ini akan tercermin pada: (i) meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat diiringi dengan menurunnya jumlah penduduk miskin, (ii) meningkatnya kegiatan produksi, utamanya yang berbasis sumber daya alam, yang didorong oleh sektor industri terutama agro-industri termasuk industri yang mempunyai kaitan ke depan atau ke belakang terhadap sektor pertanian, (iii) meningkatnya daya saing ekspor II – 11
yang tercemin dari makin baiknya kinerja ekspor nonmigas, (iv) menurunnya stok utang pemerintah (sebagai rasio dari PDB), (v) menurunnya defisit anggaran yang mengarah pada terwujudnya fiscal sustainability, (vi) tetap terjaganya keseimbangan neraca pembayaran dan tersedianya cadangan devisa yang memadai untuk meredam gejolak yang mungkin timbul, serta (vii) terkendalinya stabilitas ekonomi yang tercermin dari menurunnya tingkat inflasi, stabil dan menguatnya rupiah, serta menurunnya suku bunga. Gambaran ekonomi makro tahun 2004–2006 tersebut dapat dilihat pada Tabel II.1.
II – 12