BAB II LANDASAN TEORI
A. Dasar Perpajakan Secara Umum 1. Pengertian Perpajakan Pajak merupakan suatu bidang yang sangat luas, sehingga banyak definisidefinisi untuk menjelaskan pengertian pajak, yakni menurut R. Santoso Brotodiharjo dalam buku yang di karang oleh Waluyo (2007 : 2) adalah sebagai berikut : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan. 2. Fungsi Pajak Fungsi
pajak
secara
sederhana
adalah
kepentingan bersama para warga masyarakat.
untuk
menyelenggarakan
Berdasarkan ciri-ciri yang
melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terdapat dua fungsi pajak menurut Mardiasmo (2008:1), yaitu : a. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. b. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. 3. Klasifikasi Pajak Pajak dikelompokkan menjadi 3 menurut Mardiasmo (2008:1), yaitu :
8
a. Menurut Golongannya 1) Pajak Langsung Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak (WP) dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) 2) Pajak Tidak Langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) b. Menurut Sifatnya 1) Pajak Subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri WP. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh). 2) Pajak Objektif Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri WP. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. c. Menurut Lembaga Pemungutnya. 1) Pajak Pusat Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai. 2) Pajak Daerah Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Terdiri atas : a) Pajak Propinsi Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. b) Pajak Kabupaten atau Kota Contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan
B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Untuk memahami pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perlu diketahui defenisi dari PPN yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Soemarso S.R (2003 : 269) dalam buku Akuntansi Suatu Pengantar mengatakan bahwa :
9
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan pada waktu perusahaan melakukan pembelian atas Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Menurut Yusdianto (2002 : 117) dalam buku Akuntansi Perpajakan Terapan mengatakan bahwa : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang menggantikan Pajak Penjualan (PPn) karena memiliki karakter positif yang tidak dimiliki olek Pajak Penjualan. Menurut Wirawan dan Rudy (2007 : 8) dalam buku Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah mengatakan bahwa : Dalam UU PPN tidak terdapat defenisi mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pejualan atas Barang Mewah (PPnBM), sehingga setiap orang dapat secara bebas memberikan defenisi mengenai pajak tersebut. Dari pengertian di atas, walaupun pada hakekatnya defenisi tersebut berbeda, tapi pada dasarnya maksud dan tujuan yang terkandung di dalamnya adalah sama. Secara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdiri dari dua komponen, yaitu Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Menurut UU PPN No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 : Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan atau ekspor Jasa Kena Pajak. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai adalah UU Nomor 8 Tahun 1983. Kemudian UU ini dirubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994, berikutnya
10
dengan UU Nomor 18 Tahun 2000, dan dirubah lagi yang terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).
2. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai a. Pajak Tidak Langsung Pemikul beban pajak atau pembeli dan penanggung jawab pembayaran atau penjualan berada pada pihak yang berbeda. Apabila terjadi penyimpangan pemungutan pajak, maka fiskus akan meminta pertanggung jawaban penjual. b. Pajak Objektif Timbulnya kewajiban membayar PPN ditentukan oleh adanya objek pajak. c. Multi Stage Tax PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. d. Indirect Subtraction Method atau Credit Method atau Invoice Method PPN yang dipungut tidak langsung disetorkan ke Kas Negara. PPN yang disetor ke Kas Negara merupakan hasil perhitungan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Pajak Masukan yang diperhitungkan untuk memperoleh jumlah PPN yang harus dibayar ke Kas Negara merupakan kredit pajak. Untuk mendeteksi kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran dibutuhkan suatu dokumen sebagai alat bukti yang
11
dinamakan Faktur Pajak. e. Pajak dikenakan atas Konsumsi Umum Dalam Negeri PPN hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam negeri. f. Netral PPN
dikenakan
atas
konsumsi
barang
maupun
jasa
dan
pemungutannya menganut prinsip tempat tujuan (PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi). g. Tidak Menimbulkan Dampak Pajak Berganda PPN hanya dikenakan atas nilai tambah dan PPN yang dibayar dapat diperhitungkan dengan PPN yang dipungut. h. Consumption Type Value Added Tax (VAT) Dalam Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
3. Subjek Pajak Pertambahan Nilai a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya: 1) Menghasilkan barang, merakit, memasak, mencampur, mengemas, membotolkan, menambang, menyediakan makanan dan minuman
12
yang dilakukan oleh usaha catering. 2) Mengimpor barang. 3) Mengekspor barang. 4) Melakukan usaha perdagangan. 5) Memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean. 6) Melakukan usaha jasa, atau 7) Memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 1) Yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP (Ps.4 huruf a UU PPN). 2) Yang mengekspor BKP (Ps. 4 huruf f UU PPN). 3) Yang menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (Ps. 16 D UU PPN). b. Pengusaha Kecil 1) Pengusaha yang menyerahkan BKP dan atau JKP dalam 1 tahun buku memperoleh
peredaran
penerimaan
bruto
tidak
lebih
dari
Rp.600.000.000,2) Meskipun peredaran bruto dalam 1 tahun buku tidak lebih dari
13
Rp.600.000.000,- Pengusaha Kecil dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP. 3) Pengusaha Kecil yang telah melampaui Rp 600.000.000,- dalam suatu masa pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir bulan setelah bulan terlampauinya batasan tersebut. 4) Jika pelaporan tidak tepat waktu, maka saat pengukuhan adalah awal bulan berikutnya setelah akhir bulan seharusnya kewajiban pelaporan usaha dilakukan. 5) Jika pengukuhan PKP dilakukan secara jabatan, maka saat pengukuhan adalah awal bulan berikutnya setelah akhir bulan seharusnya kewajiban pelaporan usaha dilakukan. c. Bukan Pengusaha Kena Pajak (Non PKP) 1) Siapapun yang mengimpor BKP (Ps. 4 huruf b UU PPN). 2) Siapapun yang memanfaatkan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean (Ps.4 huruf d ,e UU PPN). 3) Siapapun
yang
membangun
sendiri
tidak
dalam
lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya (Ps. 16 C UU PPN).
4. Objek dan Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai a. Objek Pajak Pertambahan Nilai 1) Barang Kena Pajak (BKP) BKP adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya
14
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenai PPN. Penyerahan barang dapat dikenakan PPN bila memenuhi unsur : a) Penyerahan BKP b) Daerah Pabean c) Dilakukan dalam lingkungan kegiatan usaha atau pekerjaan d) Yang melakukan harus PKP. PPN dikenakan atas : a) Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. b) Impor BKP. c) Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. d) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. e) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. f)
Ekspor BKP oleh PKP.
g) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. h) Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak digunakan untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN
15
yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. 2) Jasa Kena Pajak (JKP) JKP adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan yang dikenakan PPN. Penyerahan jasa dapat dikenakan PPN bila penuhi unsur : a) Penyerahan JKP b) Daerah Pabean c) Dilakukan dalam lingkungan kegiatan usaha atau pekerjaan d) Yang melakukan harus PKP. b. Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai 1) Barang Tidak Kena Pajak (Non BKP) a) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti Minyak Mentah (Crude Oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil. Batubara sebelum diolah menjadi briket, biji besi, biji timah, biji emas, biji nikel, biji tembaga, biji perak dan biji bauksit. b) Barang–barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti beras, jagung, sagu, kedelai dan garam. c) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya.
16
d) Uang, emas batangan dan surat–surat berharga. 2) Jasa Tidak Kena Pajak (Non JKP) a) Jasa pelayanan kesehatan medik. b) Jasa pelayanan sosial. c) Jasa pengiriman surat dengan perangko. d) Jasa keuangan. e) Jasa asuransi f) Jasa keagamaan. g) Jasa pendidikan. h) Jasa kesenian dan hiburan. i) Jasa penyiaran yang bukan bersifat iklan. j) Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air. k) Jasa di bidang tenaga kerja. l) Jasa di bidang perhotelan. m) Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. n) Jasa penyediaan tempat parkir. o) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam. p) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos. q) Jasa boga atau katering.
5. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai Dari beberapa karakteristik PPN tersebut diatas, dapat dikemukakan
17
bahwa PPN memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh Pajak Penjualan. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem ternyata PPN juga tidak bebas sama sekali dari beberapa kekurangan. a. Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai : 1) Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda. 2) Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri. 3) Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan sesuai dengan tipe konsumsi (consumption type VAT) dan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method). 4) Ditinjau dari sumber pendapatan Negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat sebagai “money maker” karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya. b. Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai : 1) Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung lainnya, baik dipihak administrasi pajak maupun dipihak wajib pajak. 2) Menimbulkan
dampak
regresif,
yaitu
semakin
tinggi
tingkat
kemampuan konsumen semakin ringan beban pajak yang dipikul, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Dampak ini timbul sebagai konsekuensi karakteristik PPN sebagai pajak objektif.
18
3) PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. Kerawanan ini ditimbulkan sebagai akibat dari mekanisme pengkreditan yang merupakan upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh pengusaha dalam bulan yang sama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur administrasi fiskus. Konsekuensi dari kelemahan PPN tersebut menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
C. Prosedur dan Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai 1. Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan UU No.42 tahun 2009 saat terutangnya pajak terjadi saat : a. Penyerahan Barang Kena Pajak. b. Impor Barang Kena Pajak. c. Penyerahan Jasa Kena Pajak. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud. g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. h. Ekspor Jasa Kena Pajak i. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran
19
dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
2. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) DPP adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang di tetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, yaitu: a. Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Harga jual dapat diperoleh dengan menjumlahkan harga pembelian bahan baku, bahan pembantu, alat pelengkap lainnya, ditambah biaya–biaya seperti penyusutan barang modal, bunga pinjaman dari bank, gaji dan upah tenaga kerja, manajemen, serta laba usaha yang diharapkan. b. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk pajak yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Nilai penggantian merupakan taksiran biaya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan profesi, keterampilan dan pengalaman yang memberikan pelayanan dalam arti jasa tersebut. Jika harga jual atau nilai penggantian menggunakan mata uang asing, maka harus
20
dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai kurs yang berlaku saat itu. c. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Nilai Impor yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah harga patokan impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar penghitungan bea masuk ditambah dengan semua biaya dan pungutan lain menurut
Ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan
Pabean.
Rumus
menghitung Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah : CIF + BEA MASUK = NILAI IMPOR. Dalam Nilai Impor tidak pernah termasuk PPN dan PPnBM. d. Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. e. Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut: 1) Untuk pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. 2) Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. 3) Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan
21
Harga Jual Rata-rata. 4) Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film. 5) Untuk persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar yang wajar. 6) Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan adalah harga pasar wajar. 7) Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari harga jual. 8) Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. 9) Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. 10) Untuk jasa anjak piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon. 11) Untuk penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. 12) Untuk penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.
22
3. Tarif Pajak Pertambahan Nilai Sistem PPN menganut tarif tunggal yaitu sebesar 10% (sepuluh persen). Namun demikian, mengingat UU PPN menganut azas destination principle dalam pengenaan pajaknya maka untuk kegiatan ekspor dikenakan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) atas ekspor BKP adalah dimaksudkan agar dalam harga barang yang di ekspor tidak terkandung PPN. Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 7 ayat 1, tarif PPN adalah sebagai berikut : a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak merupakan tarif tunggal yang dikenakan terhadap semua jenis Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Dalam keadaan tertentu sesuai Peraturan Pemerintah, tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat dinaikkan menjadi setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dan serendah-rendahnya 5% (lima persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen). Tarif Tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang Kena Pajak sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas : 1) Ekspor barang Kena Pajak Berwujud. 2) Ekspor barang kena pajak tidak berwujud. 3) Ekspor jasa kena pajak.
23
Berikut adalah contoh dari perhitungan PPN : a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000 Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000 Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh PKP A. b. Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp 20.000.000 Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp 20.000.000 = Rp 2.000.000 Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 2.000.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B. c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp 15.000.000 Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp 15.000.000 = Rp 1.500.000 d. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp 10.000.000 Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp 10.000.000 = Rp 0 Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 0 tersebut merupakan Pajak Keluaran.
24
e. PKP "B" Menjual 80 pasang sepatu @ Rp 120.000 = Rp 9.600.000 Memakai sendiri 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri. DPP adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu : Rp 100.000 per pasang = Rp 500.000 PPN yang terutang atas penjualan 80 pasang sepatu 10% x Rp 9.600.000 = Rp 960.000 Atas pemakai sendiri 10% x Rp 500.000 = Rp 50.000 Jumlah PPN terutang = Rp 1.010.000
4. Pajak Keluaran Pajak Pertambahan Nilai Terutang adalah Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, kekurangan bayar pajak tersebut harus dilunasi Pengusaha Kena Pajak sesuai jangka waktu pembayaran dan pelaporannya. Jika Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran maka pembayaran pajak lebih besar sehingga Pengusaha Kena Pajak dapat memilih untuk meminta restitusi atau kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak tersebut. Dan jika selisih antara Pajak Keluaran sama besarnya dengan Pajak Masukan, maka muncul nihil atau tidak adanya pembayaran pajak. Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2010 Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. Secara umum Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dipungut oleh
25
Pengusaha Kena Pajak Penjual. Dengan demikian, pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan wajib membayar kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual sebesar harga jual ditambah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang 10 % (sepuluh persen) . Contoh : a. Penyerahan BKP yang terutang pajak Rp 45.000.000 maka Pajak Keluaran : 10 % X Rp 45.000.000 = Rp 4.500.000 Apabila yang bertindak sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut berstatus Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (pembeli khusus) maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tidak dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual, melainkan disetor langsung ke Kas Negara oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut. Dengan demikian, Pemungut Pajak Pertambahan Nilai hanya membayar kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual sebesar harga jual, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai-nya (10 %) disetor langsung ke Kas Negara. Yang ditunjuk pemungut PPN (KMK 563/KMK.03/2003) terdiri dari: a. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) serta Bendaharawan Pemerintah (Pusat atau Daerah) yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. b. Pertamina c. Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, termasuk Bank Pemerintah dan
26
Bank Pembangunan Daerah. d. Perusahaan Kontrak Karya (KK) dan Kontrak Bagi Hasil (KBH) Pertambangan atau Pengeboran.
5. Pajak Masukan Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama dengan menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan. Apabila dalam suatu masa, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya atau dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan diatur dalam Pasal 9 ayat (8) dan Pasal 16B ayat (3) Undang-undang PPN. Rinciannya adalah sebagai berikut : a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
27
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana. f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN (faktur pajak cacat). g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN (faktur pajak cacat). h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak. i. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
28
j. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
6. Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif dengan jumlah harga jual atau penggantian atau nilai impor atau nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.42 Tahun 2009. Pajak yang terutang ini merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.
D. Faktur Pajak 1. Pengertian Faktur Pajak Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), (Pasal 1 angka 23 UU PPN No.42 Tahun 2009). Faktur Pajak juga merupakan sarana untuk pengkreditan Pajak Masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun secara material. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap
29
penyerahan maupun ekspor Barang Kena Pajak berwujud dan tidak berwujud dan Jasa Kena Pajak (Pasal 13 UU PPN No. 42 Tahun 2009). Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak, dan apabila Faktur Pajak telah dibuat maka orang pribadi atau badan tersebut harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara. Dengan demikian pengusaha yang memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak namun belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak. Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat (Pasal 13 Ayat 5 UU No 42 Tahun 2009) : a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga. d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut. e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut. f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak, dan g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
30
Syarat yang harus dipenuhi Faktur Pajak yaitu syarat formal maupun material. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah bahwa Faktur Pajak paling sedikit harus memuat keterangan berupa nama, alamat dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP atau JKP seperti yang sudah disebutkan diatas. Adapun yang dimaksud dengan syarat material adalah bahwa barang yang diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian juga pengusaha yang melakukan dan yang menerima penyerahan BKP tersebut sesuai dengan keterangan yang tercantum. Bentuk, isi dan tata cara pengisian Faktur Pajak telah diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-13/PJ/2010. Faktur Pajak pada umumnya dibuat pada saat penyerahan kepada pembeli yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena pembeli yang dikukuhkan sebagai PKP tersebut berkepentingan untuk dapat mengkreditkan Pajak Masukan tersebut, sedangkan hanya Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang dapat dipergunakan sebagai bukti pengkreditan Pajak Masukan. Dokumen-dokumen yang dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak adalah: a. Pemberitahuan Impor Barang yang dilampiri Surat Setoran Pajak (SSP) dan atau bukti pungutan pajak oleh Dirjen Bea dan Cukai untuk impor BKP. b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah dimuat oleh pejabat yang berwenang dari Dirjen Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut. c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat atau dikeluarkan
31
oleh BULOG atau DOLOG untuk penyaluran tepung terigu. d. Faktur Nota Bon Penyerahan (FNBP) yang dibuat atau dikeluarkan oleh Pertamina untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM. e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi. f. Ticket, Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkatan udara dalam negeri. g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean. h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa ke pelabuhan. i. Tanda pembayaran atau kwitansi listrik. Faktur Pajak dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua yaitu: a. Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP atau penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan. b. Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti Pajak Keluaran. Dalam hal Faktur Pajak dibuat lebih dari rangkap dua, maka peruntukan lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas dalam Faktur Pajak yang bersangkutan. Misalnya lembar ke-3: Untuk PKP dalam hal penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada Pemungutan PPN. Selain itu Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak dengan menggunakan kode dan nomor seri sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan
32
Direktur Jendral Pajak (PER No.13/PJ/2010) diantaranya yaitu : a.
Kode Faktur Pajak terdiri dari : 1)
Dua digit kode transaksi. Kode transaksi di isi dengan ketentuan sebagai berikut : a)
01, digunakan untuk penyerahan kepada selain pemungut PPN
b)
02, digunakan untuk
penyerahan kepada pemungut
bendahara pemerintah c)
03, digunakan untuk penyerahan kepada pemungut PPN lainnya (selain bendahara pemerintah) dalam hal ini KPS Migas selaku Pemungut PPN.
d)
04, digunakan untuk penyerahan yang menggunakan DPP Nilai Lain kepada selain Pemungut PPN.
e)
06, digunakan untuk penyerahan lainnya kepada selain Pemungut PPN dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing).
f)
07, digunakan untuk penyerahan yang PPN tidak dipungut dan penyerahan ke Kawasan Bebas
g)
08, digunakan untuk penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN kepada selain pemungut PPN
h)
09, digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D kepada selain pemungut PPN.
2)
Satu digit kode status, dan
33
3) b.
Tiga digit kode cabang
Nomor seri Faktur Pajak terdiri dari : 1)
Dua digit tahun penerbitan.
2)
Delapan digit nomor urut.
Sehingga format Kode dan Nomer Seri Faktur Pajak secara keseluruhan menjadi sebagai berikut : 0
0
0
.
0
0
0
.
Kode Transaksi Kode Cabang
0
0
.
0
0
0
th Penerbitan
0
0
0
0
0
Nomer urut
Kode Status
Kode FP
No FP
2. Faktur Pajak Gabungan Merupakan Faktur Pajak yang cara penggunaannya diperkenankan kepada PKP atas beberapa kali penyerahan BKP atau JKP kepada pembeli atau penerima jasa yang sama, yang dilakukan dalam satu Masa Pajak dan harus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP atau JKP. Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP atau JKP atau terdapat pembayaran sebelum Faktur Pajak Gabungan tersebut dibuat, maka untuk pembayaran tersebut dibuat Faktur Pajak tersendiri pada saat diterima pembayaran. Faktur Pajak yang dibuat meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan kalender
34
kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama (Pasal 13 ayat 2 UU PPN No.42 Tahun 2009). Bentuk Faktur Pajak Gabungan sama dengan Faktur Pajak , hanya terdapat perbedaan dalam pengisiannya, yaitu: a. Faktur Pajak dibuat untuk tiap–tiap transaksi. b. Faktur Pajak Gabungan dibuat untuk transaksi selama 1 (satu) bulan kepada pembeli BKP atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama.
E. Surat Setoran Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak 1. Surat Setoran Pajak Pertambahan Nilai Wajib pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kas Negara. SSP dibuat dalam rangkap 5 (lima), terdiri dari : a. Lembar ke-1 = Untuk arsip wajib pajak b. Lembar ke-2 = Untuk KPP melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). c. Lembar ke-3 = Untuk dilaporkan wajib pajak ke KPP. d. Lembar ke-4 = Untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran e. Lembar ke-5 = Untuk arsip Pemungut atau Pihak lain Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Mengenai Ketentuan Umum Perpajakan, Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau
35
telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan (Pasal 15A UU No. 42 Tahun 2009). Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 pasal 9 ayat (2A) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran (dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan ). 2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai PPN Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai
36
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, dan b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain perpajakan dalam satu masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengisian dan penyampaian SPT memenuhi kriteria :
a. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. b. Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
37
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a. Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan, dan c. Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsurunsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, dan aturan pelaksanaannya terakhir diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ./2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-147/PJ./2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata CaraPenyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
38
Nilai (SPT Masa PPN) Bagi Pemungut PPN, maka dikenal 2 (dua) SPT Masa PPN, yaitu:
a. SPT Masa PPN bentuk Formulir 1107, yang wajib digunakan bagi semua PKP dan mulai berlaku sejak Masa Pajak Januari 2007, dan b. SPT Masa PPN Bagi Pemungut PPN bentuk Formulir 1107 PUT, yang wajib digunakan bagi Pemungut PPN dan mulai berlaku sejak Masa Pajak Januari 2007.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai wajib disampaikan paling lambat akhir bulan berikut. Apabila tidak disampaikan dalam jangka waktu tersebut maka dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 7 Undang-Undang KUP).
Menurut pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang KUP bahwa SPT yang pengisiannya salah dan dengan kemauan sendiri Wajib Pajak dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan SPT menyatakan rugi atau lebih bayar maka pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluarsa penetapan. Dalam hal kurang bayar harus dilunasi terlebih dahulu
39
ditambah sanksi 2% (persen) yang dapat dilunasi bersama dengan kurang bayar atau menunggu ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak.
F. Manajemen Pajak
Secara umum manajemen pajak menurut Sophar Lumbantoruan (Suandy, 2003 : 7) dapat didefinisikan sebagai berikut “Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.”
Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak merupakan kewajiban yang harus dijalankan sebagai warga negara dengan mendasarkan legalitas dari pelaksanaannya atas dasar Undang-Undang yang menurut ketentuan sanksi dan denda yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang melalaikan pelaksanaan kewajibannya. Dan dalam melaksanakan kewajibannya, Wajib Pajak selalu berusaha membayar pajak yang terutang sekecil mungkin, sepanjang hal tersebut dimungkinkan dalam Undang-Undang.
Sedangkan menurut Achmad Tjahjono definisi manajemen pajak ( Zain, 2005 : 5 ), yaitu : Secara umum manajemen pajak adalah suatu proses mengorganisasikan usaha Wajib Pajak atau kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi seminimal mungkin, sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku. Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
40
a. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar.
b. Usaha efisisensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya.
1. Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Menurut Suandy (2003 : 7) Tax Planning adalah langkah awal dalam manajemen pajak, dimana dalam tahap ini dilakukan penelitian dan pengumpulan ketentuan peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Perencanaan perpajakan umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak yang dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain sebagainya.
Dalam perencanaan pajak terdapat aspek formal dan material yang harus diperhatikan. Aspek formal yaitu aspek dimana seorang Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya dalam perpajakan seperti kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, menyelenggarakan pembukuan, membayar pajak, menyampaikan Surat Pemberitahaun, dan melunasi pajak. Sedangkan aspek material adalah aspek yang meliputi tindakan yang dilakukan oleh wajib Pajak dalam rangka mengoptimalisasi alokasi sumber dana manajemen untuk merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih dan tidak kurang. Pembayaran pajak yang lebih dapat mengurangi optimalisasi alokasi sumber
41
daya dan pembayaran pajak yang kurang dapat menyebabkan sanksi administrasif dan hal itu merupakan pemborosan.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak, yaitu :
a.
Tidak melanggar ketentuan perpajakan. Apabila suatu perencanaan pajak ingin dipaksakan dengan melanggar ketentuan perpajakan, buat wajib Pajak merupakan resiko (tax risk) yang berbahaya dan mengancam keberhasilan perencanaan pajak. Karena itu, sebaiknya wajib Pajak menghindari hal tersebut karena dapat sangat merugikan Wajib Pajak sendiri.
b.
Secara bisnis masuk akal, karena perencanaan pajak yang dibuat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan menyeluruh (global strategy) perusahaan baik jangka panjang maupun jangka pendek, maka perencanaan pajak yang tidak masuk akal akan memperlemah perencanaan itu sendiri.
c.
Bukti-bukti pendukungnya memadai, misalnya dukungan perjanjian (agreement), faktur (invoice) dan juga perlakuan akuntansinya (accounting treatment).
2. Motivasi Dilakukannya Tax Planning
Menurut Suandy (2003 : 11) banyak motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak, namun semua itu bersumber dari adanya 3 unsur perpajakan yaitu : a. Kebijaksanaan Perpajakan (Tax Policy)
42
Dari berbagai aspek kebijaksanaan pajak, maka faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax planning), yaitu : 1) Pajak yang akan dipungut Agar tidak mengganggu atau tidak memberatkan cashflow perusahaan, perlu adanya perencanaan pajak yang baik agar bisa menganalisis atas transaksi apa akan terkena pajak apa dan perlu dana berapa sehingga dapat diketahui berapa penghasilan bersih setelah pajak. 2) Siapa yang akan dijadikan subjek pajak Adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran dividen dari Badan Usaha kepada pemegang saham perorangan dan kepada pemegang saham berbentuk badan usaha maka di sini akan menimbulkan usaha untuk perencanaan pajak dengan baik agar beban pajaknya rendah dan meringankan arus kas (cashflow) perusahaan sehingga bisa dimanfaatkan untuk tujuan lain. Di samping itu adanya pertimbangan untuk menunda pembayaran dividen dengan cara meningkatkan jumlah laba ditahan (retained earnings) bagi perusahaan juga akan menimbulkan penundaan pembayaran pajak. 3) Apa saja yang merupakan objek pajak. Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama akan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah. Oleh karena itu, objek pajak merupakan basis perhitungan besarnya pajak (tax bases), maka dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pajak yang tidak lebih (bisa mengurangi optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (kuatir harus membayar transaksi bersifat pemborosan dana). 4) Berapa besarnya tarif pajak Dengan adanya penerapan shedular taxation tariff yang diterapkan di Indonesia mengakibatkan seorang perencana pajak akan berusaha sedapat mungkin dikenakan tarif yang paling rendah. 5) Bagaimana prosedurnya Adanya Self Assessment System dan Payment System mengharuskan seorang perencana pajak untuk melakukan perencanaan pajak dengan baik. Self Assessment System merupakan kebebasan dan kepercayaan penuh untuk menghitung, memungut, dan melaporkan
43
pajak terutang dari penghasilan usahanya, sedangkan Payment System (sistem pembayaran) yang berlaku adalah sistem pembayaran yang dapat dilakukan sendiri oleh wajib Pajak maupun melalui pemotongan oleh pihak ketiga ( with holding system). b. Undang-Undang Perpajakan (Tax Law) Dalam kenyataannya, tidak ada Undang-Undang yang mengatur setiap permasalahan dengan sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijaksanaan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk digunakan perencanaan pajak yang baik. c. Administrasi Perpajakan (Tax Administration) Indonesia merupakan negara yang begitu luas dan begitu banyak penduduknya, dan sebagai negara yang sedang membangun masih mengalami kesulitan-kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakannya secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan Wajib Pajak dari begitu luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif.
3. Langkah-Langkah dalam Tax Planning
Dalam membuat suatu perencanaan pajak harus memperhatikan strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan (global company strategy) agar tax planning dapat berhasil sesuai yang diharapkan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam perencanaan pajak adalah :
a. Menganalisis Laporan Keuangan
44
Tahap pertama dari proses tax planning adalah menganalisis komponenkomponen dari laporan keuangan sehingga dapat diketahui apa saja yang mempengaruhi besarnya pajak.
b. Memperkirakan Besarnya Pajak Terhutang
Memperkirakan besarnya pajak terhutang kemudian memahami undangundang yang berlaku untuk memanfaatkan pengecualian-pengecualian yang diperbolehkan
dalam
undang-undang
untuk
dapat
memaksimalkan
penghasilan yang dikecualikan dan sehingga dapat meminimalkan besarnya pajak terhutang.
c. Melaksanakan Perencanaan Pajak
Melaksanakan perencanaan pajak dengan memanfaatkan celah-celah dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Mengevaluasi Pelaksanaan Perencanaan Pajak
Mengevaluasi hasil yang diperoleh dalam melakukan perencanaan pajak dengan melihat :
1) Jika rencana tersebut tidak dilaksanakan. 2) Jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik. 3) Jika rencana tersebut dilaksanakan tetapi gagal.
45
Ketiga hal di atas pastilah memiliki hasil yang berbeda, kemudian dari hasil tersebut barulah ditentukan apakah perencanaan pajak layak untuk dilaksanakan atau tidak. Contohnya :
1) Tidak
melaksanakan
perencanaan
pajak,
maka
pajak
yang
ditanggung Rp 100.000.000. 2) Melaksanakan perencanaan pajak dan berhasil, maka pajak yang ditanggung Rp 75.000.000. 3) Melaksanakan perencanaan pajak dan gagal, maka pajak yang harus ditanggung Rp 125.000.000
Apabila melihat ketiga hasil yang dicapai, tentunya perusahaan memilih dilaksanakannya perencanaan pajak karena ia bisa menghemat pajak sebesar Rp 25.000.000 jika perencanaan pajak yang dilakukan berhasil. Karena itu dalam melakukan tax planning harus dilakukan dengan benar dan sesuai aturan yang berlaku, karena apabila tidak malah akan semakin merugikan perusahaan.
e. Mencari Kelemahan dan Memperbaiki Kembali Rencana Pajak
Hasil suatu perencanaan pajak bisa dikatakan baik atau tidak tergantung dengan apa yang kita lakukan, dan semua itu harus sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya peraturan perundang-undangan. Tindakan perubahan tersebut harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan
46
keberhasilan yang sangat kecil. Sepanjang masih besar penghematan pajak (tax saving) yang bisa diperoleh, rencana tersebut harus tetap dijalankan, karena bagaimanapun juga kerugian yang ditanggung merupakan kerugian minimal.
f. Memantapkan Perencanaan Pajak
Meskipun suatu rencana pajak sudah dijalankan dan proyek sudah berjalan, masih perlu mempertimbangkan setiap perubahan yang terjadi termasuk perubahan undang-undang. Pemantapan suatu perencanaan pajak adalah konsekuensi yang perlu dilakukan. Dengan memperhatikan keadaan saat ini dan perkembangan-perkembangan yang mungkin terjadi, seorang manager akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan tersebut, dan saat bersamaan dapat mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
4. Penerapan Tax Planning untuk Pajak Pertambahan Nilai
Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai dapat dilakukan antara lain, yaitu :
a. Memaksimalkan pajak masukan yang dapat dikreditkan, perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak, supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum dikreditkan lagi.
47
Cara lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk memaksimalkan pajak masukan yang dapat dikreditkan antara lain, yaitu meningkatkan jumlah ekspor karena berdasarkan ketentuan atas transaksi ekspor dikenakan tarif sebesar 0 %, dengan demikian apabila perusahaan membeli barang untuk diekspor maka pajak masukannya akan lebih besar daripada pajak keluarannya sehingga kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau dikompensasikan untuk masa pajak berikutnya. Perusahaan juga dapat mengkreditkan pajak masukannya atas perolehan barang modal seperti misalnya pembelian mesin-mesin pabrik untuk memproduksi barang-barang yang akan diekspor maupun yang akan dijual di dalam negeri, juga pembelian bahan baku untuk proses produksinya.
b. Melaporkan pajak masukannya dalam Surat Pemberitahuan Masa
Apabila perusahaan membeli bahan baku untuk keperluan proses produksinya, perusahaan sebaiknya melaporkan pajak masukannya dalam Surat Pemberitahuan Masa karena apabila hal ini tidak dilakukan maka pajak masukan atas pembelian bahan baku tersebut tidak dapat dikreditkan.
c. Melakukan Impor Inden pada Importir yang telah memiliki NPWP
Adapun yang dimaksud dengan impor inden adalah suatu kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh importir untuk dan atas nama pemesan (indentor) berdasarkan perjanjian pemasukan
48
barang impor antara importir dengan indentor, yang segala pembiayaan impor antara lain L/C, bea, pajak, maupun biaya yang berhubungan dengan impor sepenuhnya menjadi beban indentor dan sebagai balas jasa importir memperoleh komisi dari indentor.
Berdasarkan ketentuan mengenai Impor Inden ini maka atas barang yang diberikan dari Importir ke Indentor tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sedangkan komisi yang diberikan kepada Importir oleh Indentor dikenakan atau terutang Pajak Pertambahan Nilai dan dapat dikreditkan. Dengan demikian impor inden akan menguntungkan perusahaan karena dapat meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Terutangnya, dan perusahaan juga dapat mengkreditkan komisi yang diberikan kepada importir.
d. Membuat faktur pajak dengan lengkap serta melaporkannya tepat waktu
Salah satu kriteria umum bahwa suatu pajak masukan dapat dikreditkan adalah tercantum dalam Faktur Pajak atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Seorang pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat faktur pajak dengan lengkap dan melaporkannya dengan tepat waktu, maka akan dikenai sanksi sebesar 2 % dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Hal ini akan merugikan perusahaan karena akan menambah beban pajaknya sehingga bertambah besar.
49
Contoh Tax Planning untuk Pajak Pertambahan Nilai :
PT. A merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri sepatu. Adapun data-data perusahaan tersebut pada tahun 2005 adalah sebagai berikut :
Penjualan dalam negeri
Rp 235.000.000
Penjualan ekspor
Rp 325.000.000
Pembelian mesin pabrik (dalam negeri)
Rp 40.000.000
Pembelian bahan baku
Rp 150.000.000
Pembelian yang dilakukan PT. A sebagian berasal dari Pengusaha Kena Pajak dan sebagian lagi bukan dari Pengusaha Kena Pajak. Dalam proses penjualannya, PT. A melaporkan semua faktur pajaknya dengan lengkap dan tepat waktu, dan untuk pembelian bahan bakunya, PT. A melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa.
Dari contoh dapatlah diketahui jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang dan jumlah pajak yang direncanakan untuk meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang.
Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang :
50
Jumlah Pajak Masukan
= 10 % x Total Pembelian
= 10% x (Rp 150.000.000 + Rp 40.000.000)
= 10 % x Rp 190.000.000
= Rp 19.000.000
Jumlah Pajak Keluaran
= 10 % x Total Penjualan
= 10 % x (Rp 235.000.000 + Rp 325.000.000)
= 10 % x Rp 560.000.000
= Rp 56.000.000
Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang
= Jumlah Pajak Keluaran – Jumlah Pajak Masukan
= Rp 56.000.000 – Rp 19.000.000
= Rp 37.000.000
Perhitungan Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dapat direncanakan : Berdasarkan data-data di atas maka PT. A dapat mengkreditkan Pajak Masukannya dengan Pajak keluarannya untuk hal-hal seperti ekspor, pembelian maesin pabrik, pembelian dari Pengusaha Kena Pajak serta
51
pembelian dengan impor inden, dengan demikian maka jumlah perencanaan pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai yaitu :
a. Penjualan Ekspor
Dari penjualan ekspor ini, PT. A dapat mengkreditkan semua pajak masukannya yaitu sebesar 10 % x Rp 325.000.000 = Rp 32.500.000 karena dalam ekspor dikenakan tarif 0 % sehingga PT. A dapat meminta kembali atau mengkompensasi pembayaran pajaknya untuk masa pajak berikutnya.
b. Pembelian Mesin Pabrik
PT. A juga dapat mengkreditkan pajak masukannya atas penbelian mesin pabrik ini sebesar Rp 10 % x Rp 40.000.000 = Rp 4.000.0000.
c. Pembelian Bahan Baku Dalam Negeri
Untuk pembelian bahan baku dalam negeri ini, dapat mengkreditkan pajak masukannya sebesar Rp 10 % x Rp 150.000.000 = Rp 15.000.000 karena jumlah tersebut merupakan pembelian dari Pengusaha Kena Pajak.
d. Pembelian dengan Impor Inden
Dengan adanya impor inden ini, maka atas penyerahan barang dari Importir ke PT.A tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, tetapi komisi yang diberikan PT. A kepada Importir terutang Pajak Pertambahan Nilai dan
52
dapat dikreditkan. Dengan demikian, pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 10 % x Rp 5.000.000 = Rp 500.000.
Jadi, Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang setelah diterapkan Tax Planning adalah:
Jumlah Pajak Masukan setelah Tax Planning
= Rp 15.000.000 + Rp 4.000.000 + Rp 500.000
= Rp 19.500.000
Jumlah Pajak Keluaran setelah Tax Planning
= Rp 32.500.000
Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang setelah Tax Planning
= Jumlah Pajak Keluaran – Jumlah Pajak Masukan
= Rp 32.500.000 – Rp 19.500.000
= Rp 13.000.000
Dengan penerapan tax planning tersebut maka terjadi penghematan Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang sebesar :
= Rp 37.000.000 – Rp 13.000.000
= Rp 24.000.000