BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Perpajakan 2.1.1
Pengertian Pajak Secara Umum Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi negara dalam menjalankan pemerintahan. Pemungutan pajak sudah sejak lama ada, dari adanya upeti wajib kepada penguasa berupa hasil tanam pada masa kerajaan, masa penjajahan hingga sekarang dengan pola masing-masing. Pemungutan pajak yang semula berdasarkan aturan penguasa/raja tanpa melibatkan pembayaran pajak, kini berubah dengan melibatkan pembayaran pajak melalui aturan yang dibuat antara penyelenggara pemerintah dengan rakyat melalui perwakilannya. Definisi pajak yang dikutip Amin Subiyakto (2011:1) berdasarkan Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah : Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
15
Sedangkan definisi pajak menurut Rochmat Soemitro yang dikutip Siti Resmi (2013:1) adalah : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Definisi tersebut kemudian disempurnakan menjadi : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan definisi pajak menurut Djajadiningrat yang dikutip Diaz Priantara (2012:2) adalah : Pajak adalah kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tetapi bukan sebagai hukuman menurut perarturan yang ditetapkan Pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk meelihara kesejahteraan secara umum.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut (Waluyo 2011:3) : 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
16
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh Pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh Negara baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran Pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
2.1.2 Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu (Waluyo 2011:6) : 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh : Dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak
berfungsi
sebagai
alat
untuk
mengatur
atau
melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Contoh : Dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras.
17
2.1.3 Jenis Pajak Pajak dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan menurut
golongan,
menurut
sifat,
menurut
lembaga
pemungutannya (Siti Resmi 2013:7). 1. Menurut Golongan, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut Sifat, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Pajak
Subjektif,
memperhatikan
yaitu
keadaan
pajak pribadi
yang
pengenaannya
Wajib
Pajak
atau
pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh : Pajak Pengahasilan. b. Pajak Objektif, yaitu yang pengenaannya memperhatikan objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa
yang mengakibatkan timbulnya
kewajiban
membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal.
18
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 3. Menurut Lembaga Pemungut, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Pajak Negara (Pajak Pusat), yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya. Contoh : PPh, PPN dan PPnBM b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik dari tingkat I (Pajak Provinsi) maupun daerah tingkat II (Pajak Kabupaten/Kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan, Pajak Rokok, Pajak Air Permukaan,Pajak Restoran, Pajak Hotel, Pajak hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangn Jalan, Pajak Parkir, serta Pajak Air Tanah.
2.1.4
Sistem Pemungutan Pajak Dalam
memungut
pajak
dikenal
pemungutan pajak, yaitu (Siti Resmi 2013:11) :
beberapa
sistem
19
a. Offical Assessment System Sitem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menetukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan perarturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. Contoh : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) b. Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan perarturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk: 1. Menghitung sendiri pajak yang terutang; 2. Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang; 3. Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;
20
4. Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang; dan 5. Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang. Contoh : PPh Orang Pribadi/Badan c. With Holding System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai perarturan perundangundangan perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Contoh : PPh Pasal 21, 22, 23 dan 26
2.2
Pajak Penghasilan Pasal 23
2.2.1
Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23 Pajak Penghasilan Pasal 23 ( PPh Pasal 23 ) adalah pajak yang dipotong dari penghasilan yang diperoleh dari transaksi antara dua pihak. Penghasilan yang termasuk dalam kategori ini meliputi dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan, sewa
21
dan pendapatan yang terkait dengan aset selain dari transaksi tanah dan bangunan, dan jasa.
2.2.2
Subjek Pajak Penghasilan Pasal 23 Penerimaan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 terdiri atas
(Siti resmi 2013:304) : 1. Wajib Pajak Dalam Negeri (orang pribadi dan badan); 2. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
2.2.3 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah sebagai berikut (Waluyo 2011:283) : 1. Badan Pemerintah 2. Subjek pajak badan dalam negeri 3. Penyelenggara kegiatan 4. Bentuk usaha tetap 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya 6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 :
22
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas ; atau b. Orang
pribadi
yang
menjalankan
usaha
dan
menyelenggarakan pembukuan, atas pembayaran berupa sewa.
2.2.4
Tarif dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 1. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : a. Dividen sebagaimana dimakasud dalam pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh. b. Bunga sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPh menyatakan pengertian bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. c. Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apapun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas : a. Penggunaan atau hak cipta di bidang kesustraan b. Penggunaan
atau
hak
menggunakan
perlengkapan industrial, atau komersial
peralatan/
23
d. Hadiah, pengahargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf e yang berkaitan dengan pemotongan PPh atas kerugian. Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf e menegaskan
bahwa
penyelenggara
kegiatan
wajib
memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. 2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas : a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; dan b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. Jasa lain yang dimaksud diatur dalam Perarturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 yang dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto, diantaranya : 1. Jasa penilai (appraisal) 2. Jasa aktuaris 3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan asestensi laporan keuangan
24
4. Jasa perancang (design) 5. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi, kecuali yang dilakukan oleh BUT 6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas 7. Jasa
penambangan
dan
jasa
penunjang
di
bidang
penambangan selain migas 8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara 9. Jasa penebangan hutan 10. Jasa pengolahan limbah 11. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing service) 12. Jasa perantara dan/atau keagenan 13. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek KSEI, dan KPEI 14. Jasa
kustodian/penyimpanan/penitipan,
kecuali
yang
dilakukan oleh KSEI 15. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/sulih suara 16. Jasa mixing flim 17. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan 18. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan WP yang
ruang
lingkupnya
di
bidang
konstruksi
dan
25
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi 19. Jasa perawatan/perbaikan, pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi /kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan WP yang
ruang
lingkupnya
di
bidang
konstruksi
dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi 20. Jasa maklon 21. Jasa penyelidikan dan keamanan 22. Jasa penyelenggara kegiatan (event organizer) 23. Jasa jasa pengepakan 24. Jasa jasa penyedia tempat dan/waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi 25. Jasa pembasmian hama 26. Jasa kebersihan atau cleaning service 27. Jasa katering atau tata boga 2.2.5
Bukan Objek Pajak Pengahasilan Pasal 23 Beberapa jenis penghasilan yag tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 (bukan Objek PPh Pasal 23) sesuai dengan pasal 23 ayat (4) UU No.17 Tahun 2000, yaitu (Siti resmi 2013:305) : 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
26
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi; 3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari pernyataan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; 4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas sahamsaham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; 6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan. Badan usaha yang dimaksud adalah
27
perusahaan pembiayaan yang telah mendapat ijin Menteri Keuangan.
2.2.6 Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23 1. Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan
yang
bersangkutan.
Yang
dimaksud
saat
terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya. 2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetorkan oleh Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos Indonesia. 3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. 4. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani Pajak Penghasilan yang dipotong. 5. Pelaksanaan pemotongan, penyetoran,dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi artinya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang
28
merupakan Objek PPh Pasal 23, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 tersebut. Transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor pusat, PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor pusat, sedangkan objek PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor cabang, misalnya sewa kantor cabang, PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor cabang yang bersangkutan.
2.2.7 Surat Pemberitahuan Masa dan Bukti Pemotongan Pemotongan Pajak harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atas Wajib Pajak Badan yang telah dipotong PPh Pasal 23. Contoh kasus yang dikutip (Siti Resmi 2013: 314) : PT. Perdana merupakan perusahaan penerbitan dan percetakan. Perusahaan ini didirikan pada tahun 2000, beralamat di Jl.
Tentara
Pelajar
No.
7
Yogyakarta,
NPWP
:
01.555.444.1.541.000. Pemabayaran honorarium dan imbalan lain sehubungan dengan PPh Pasal 23 selama bulan Oktober 2011 sebagai berikut :
29
1. Pada tanggal 10 Oktober 2011, membayar bunga pinjaman kepada Bank Mandiri beralamat Jl. Diponegoro No. 133 Yogyakarta, NPWP : 01.222.333.2.541.000. 2. Pada tanggal 15 Oktober 2011, membayar royalti kepada beberapa penulis, yaitu : Nama Monalisa
Yogananta
Riskayanti
Alamat Jl.Podang No.6 Yogyakarta Jl.Merdeka No.100 Yogyakarta Jl.Kalimantan No.10 Yogyakarta
NPWP 04.111.333.1.541.000
Jumlah Royalti Rp.20.000.000
Rp.5.000.000
04.222.555.1.541.000
Rp.10.000.000
3. Pada tanggal 20 Oktober 2011, membayar jasa perbaikan mesin produksi yang telah rusak sebesar Rp. 15.000.000 kepada PT. Maju Jaya, yang beralamat di Jl. Godean No.26 Yogyakarta, NPWP : 01.446.577.2.541.000. 4. Pada tanggal 22 Oktober 2011, membayar fee sebesar Rp.22.000.000 kepada Kantor Akuntan Publik Dwiananda, yang beralamat di Jl. Mrican No. 200 Yogyakarta, NPWP : 04.322.233.2.541.000. 5. Pada tanggal 29 Oktober 2011, membayar sewa kendaraan untuk mendistribusikan hasil produksi ke beberapa kota. Sewa dibayar kepada Andika Rental yang beralamat di Jl. Adisucipto
30
No.38 Yogyakarta, NPWP : 01.111.333.1.541.000 sebesar Rp. 6.000.000. Penghitungan PPh Pasal 23 dan bukti pemotongan yang dibuat oleh PT.Perdana dijelaskan sebagai berikut : 1. Atas pembayaran bunga sebesar Rp.1.000.000 kepada Bank Mandiri tidak dipotong pajak karena penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank merupakan pengecualian dari pengenaan PPh Pasal 23. 2. Atas pembayaran royalti kepada penulis dipotong PPh Pasal 23 sebagai berikut : Nama
Monalisa Yogananta Riskayanti
PPh yang dipotong
Tambahan PPh karena tidak BerNPWP -
Total PPh yang dipotong
15% x Rp. 20.000.000 = Rp.3.000.000 Rp. 3.000.000 15% x Rp. 5.000.000 100% x Rp750.000 = Rp.5.000.000 = Rp. 750.000 Rp. 750.000 15% x Rp. 10.000.000 = Rp.1.500.000 Rp. 1.500.000
Masing-masing Wajib Pajak dibuatkan bukti pemotongan nomor : 01/Ps-23/10/2011, 02/Ps-23/10/2009, dan 03/Ps23/10/2011. 3. Atas pembayaran imbalan jasa teknik kepada PT.Maju Jaya sebesar Rp.15.000.000 dipotong PPh Pasal 23 sebesar : Tarif 2% x penghasilan bruto = 2% x Rp. 15.000.000
31
= Rp.300.000 Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 nomor 04/Ps23/10/2011 4. Atas pembayaran fee kepada Kantor Akuntan Dwiananda & Co. Sebesar Rp. 22.000.000, dipotong PPh Pasal 23 sebesar : Tarif 2% x penghasilan bruto = 2% x Rp. 22.000.000 = Rp.440.000 Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 nomor 05/Ps23/10/2011 5. Atas pembayaran sewa
kendaraan kepada Andika Rental
sebesar Rp. 6.000.000, dipotong PPh Pasal 23 sebesar : Tarif 2% x penghasilan bruto = 2% x Rp. 6.000.000 = Rp.120.000 Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 nomor 06/Ps23/10/2011 Total PPh Pasal 23 yang dipotong dan disetor adalah : Penerima Atas Royalti : 1. Monalisa 2. Yogananta 3. Riskayanti
Jumlah PPh yang Dipotong/Disetor Rp.3.000.000 Rp.1.500.000 Rp.1.500.000 Rp.6.000.000
Atas Jasa : 1. PT. Maju Jaya 2. Kantor Akuntan Dwiananda Co
Rp.300.000 Rp.440.000 Rp. 740.000
Atas Sewa 1. Andika Rental Total
Rp. 120.000 Rp. 6.860.000
32
Bukti Pemotongan yang dilampirkan dalam kasus ini merupakan salah satu lampiran SPT Masa yang diserahkan oleh Pemotong Pajak yaitu PT. Perdana. Bukti Pemotongan seharusnya dibuat rangkap ke-3, lembar ke-1 untuk Wajib Pajak, lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak, dan lembar ke-3 untuk Pemotong Pajak.
2.2.8 Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Tata Cara Pemotongan sebagai berikut : 1. Pemotongan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26 dilakukan dengan memberikan bukti pemotongan yang telah diisi lengkap. 2. Pemotongan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26 dilakukan pada saat pembayaran dilakukan atau saat disediakan ataupun ketika pembayaran telah jatuh tempo. 3. Lembar ke-1 Bukti Pemotongan diserahkan kepada Wajib Pajak rekanan sebagai Bukti Pemotongan Tata Cara Penyetoran sebagai berikut : 1. PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26 yang tercantum dalam Bukti Pemotongan selama satu bulan takwim dijumlahkan. 2. Jumlah PPh pasal 23 atau PPh Pasal 26 yang telah dipotong selama satu bulan takwin disetor ke Bank persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan SSP paling lambat tanggal 10 bulan
33
takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak oleh Bendahara. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya. Contoh : a. PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang telah dipotong dari tanggal 1 s/d 31 Juli 2011 dijumlahkan. b. PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 tersebut harus disetor paling lambat tanggal 10 Agustus 2011 dengan menggunakan SSP. c. Karena tanggal 10 Agustus 2011 jatuh pada hari libur (minggu) maka PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 tersebut harus disetor paling lambat pada hari Senin tanggal 11 Agustus 2011. 3. Menerima kembali SSP lembar ke-1 dan ke-3 dari Bank/Kantor Pos a. Lembar ke-1 untuk arsip Bendahara pemotong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang berguna sebagai bukti sudah menyetorkan uang untuk pembayaran PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26; b. Lembar ke-3 untuk dilaporkan ke KPP Pratama/KPP bersama SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26.
34
Tata Cara Pelaporan sebagai berikut : 1. Lembar ke-2 bukti-bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang dibuat dalam satu bulan takwim dicatat pada formulir Daftar Bukti Pemotongan Pajak (rangkap dua); 2. Bendahara mengisi dengan lengkap dan benar formulir SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 rangkap 2 (dua) dan dilampiri dengan: a. Lembar ke-3 SSP Bukti Setoran PPh Pasal 23 dan /atau PPh Pasal 26; b. Daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26; c. Lembar ke-2 Bukti Pemotongan. 3. SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 lengkap bersama lampirannya harus dilaporkan ke KPP selambatlambatnya tanggal 20 bulan berikutnya dan disampaikan langsung atau dikirim melalui pos tercatat. Jika tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan pada hari kerja berikutnya. 4. Bendahara menerima kembali satu set lembar kedua SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26, sebagai bukti telah melapor. Contoh :
35
Bendahara
Direktorat
Jenderal
Pajak
telah
melakukan
pemotongan PPh Pasal 23 beberapa kali dalam bulan Juni 2011 (dari tanggal 1 s.d 30 Juni) dengan PPh Pasal 23 yang terutang berjumlah Rp 15.000.000,-. Maka PPh Pasal 23 yang terutang dan telah dipotong tersebut wajib disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lama pada tanggal 10 bulan berikutnya yaitu tanggal 10 Juli 2011, serta dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama/Kantor Pelayanan Pajak paling lama tanggal 20 bulan
berikutnya
atau
tanggal
20
Juli
2011
dengan
menggunakan dan melampirkan formulir yang ditentukan (SPT Masa PPh Pasal 23, Daftar Bukti Potong PPh Pasal 23, bukti potong PPh Pasal 23 dan/atau Surat Setoran Pajak