BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN II.1. Rerangka Teori dan Literatur II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Liberti Pandiangan (2010:v) adalah salah satu jenis pajak yang berhubungan dan berkaitan erat dengan orang pribadi, badan, maupun instansi pemerintahan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan orang pribadi. Sebelum tahun 1984, menurut Atep Adya Barata (2011:1-2), pelaksanaan Pajak Penghasilan di Indonesia menggunakan Undang – Undang pajak warisan kolonial, yaitu Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944. Selanjutnya pada tahun 1983 dilakukan reformasi di bidang perpajakan yang menghasilkan beberapa Undang – Undang Perpajakan, salah satunya adalah Undang – Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang muli berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Undang – Undang tersebut kemudian beberapa kali diubah dengan Undang – Undang : a. Nomor 7 Tahun 1991 tentang perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; b. Nomor 10 Tahun 1994 tentang perubahan kedua atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
8
c. Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan d. Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. II.1.2. Pajak Penghasilan Pasal 21 II.1.2.1. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Primandita Fitriandi dan Yuda Aryanto (2009:162), Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (1) yaitu pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh : a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan; c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalan rangka pensiun;
9
d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegitan. Menurut Primandita Fitriandi dan Yuda Aryanto (2009:162), Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (2) yaitu tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi – organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Menurut Primandita Fitriandi dan Yuda Aryanto (2009:162), Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (3) yaitu penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan penghasilan tidak kena pajak. Menurut Primandita Fitriandi dan Yuda Aryanto (2009:162), Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (4) yaitu penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan.
10
Menurut Primandita Fitriandi dan Yuda Aryanto (2009:162), Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (5) yaitu tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan Pasal 21 ayat (5a) yaitu besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Menurut Primandita Fitriandi dan Yuda Aryanto (2009:163), Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (6) dan ayat (7) telah dihapuskan, sedangkan Pasal 21 ayat (8) yaitu ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 mulai Tahun 2009 harus dilakukan sesuai dengan Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana ditentukan dalam PMK-252/PMK.03/2008 jis. PER-31/PJ/2009 dan PER57/PJ/2009 dengan penerapan tarif sesuai dengan PMK-254/PMK.03/2008. II.1.2.2. Pemotongan dan Tidak Termasuk Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Dalam Pasal 21 Undang – Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 jo PER.31/PJ/2009 jo PER.57/PJ/2009 ditegaskan
11
bahwa Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2010:119-120) terdiri dari : a.
Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorariu, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagaimana imbaan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b.
Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada pemerintah pusat termasuk institusi TNI / POLRI, Pemerintah Daerah, Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,, dan kegiatan;
c.
Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan – badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d.
Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan / atau jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, Subjek Pajak luar negeri, peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
12
e.
Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Pemberi kerja yang tidak wajib melakukan pemotogan, penyetoran, dan
pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21, terdiri dari : a.
Kantor perwakilan negara asing;
b.
Organisasi – organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang – Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan Menteri Keuangan;
c.
Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata – mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
II.1.2.3. Pengurangan yang Diperbolehkan Pajak Penghasilan Pasal 21 II.1.2.3.1. Biaya Jabatan, Biaya Pensiun, dan Iuran Pensiun / Jaminan Hari Tua Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang pengurangan yang diperbolehkan untuk penghasilan bruto pegawai tetap terdiri dari biaya jabatan dan iuran pensiun / jaminan hari tua. Untuk penerima pensiun, pengurang yang diperbolehkan adalah biaya pensiun. 13
a.
Besarnya biaya jabatan yang dapat dkurangkan dari penghasilan bruto untuk perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi – tingginya Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan;
b.
Iuran pensiun / jaminan hari tua, yaitu iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c.
Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi – tingginya Rp 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.
II.1.2.3.2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) Undang – Undang Pajak Penghasilan dan PMK254/PMK.03/2008 kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) diberikan pengurangan berupa PTKP. Menurut Pasal 7 Undang – Undang Pajak Penghasilan, PTKP pertahun diberikan paling sedikit sebesar :
14
a.
Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b.
Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang berstatus kawin;
c.
Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suaminya; dan
d.
Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
Besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut : a. Bagi karyawati berstatus kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; b. Bagi karyawati berstatus tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
15
Dalam hal karyawati berstatus kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah – rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. II.1.2.4. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang – Undang Pajak Penghasilan adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang – Undang Pajak Penghasilan, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. Petunjuk pelaksanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-31/PJ/2009 jo PER-57/PJ/2009. Tarif umum Pajak Penghasilan Pasal 21, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang – Undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut : Tabel II.1. Tarif Umum Pajak Penghasilan Pasal 21 Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
5%
Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00
15%
Di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp500.000.000,00
25%
Di atas Rp 500.000.000,00
30%
16
II.1.2.5. Petunjuk Umum Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dalam PER-31/PJ/2009 jo PER-57/PJ/2009 mengenai perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : a. Perhitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak yang dilaporkan dalam SPT masa Pajak Penghasilan Pasal 21, selain masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja; b. Perhitungan kembali sebagai dasar pengisian form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja. Mengenai perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, pemagang dan calon pegawai yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, uang saku harian atau mingguan, ditentukan sebagai berikut : a. Tentukan jumlah upah / uang saku harian, atau rata – rata upah / uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari;
17
b. Dalam hal upah / uang saku harian atau rata – rata upah / uang saku harian belum melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) maka tidak ada Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong; c. Dalam hal upah / uang saku harian atau rata – rata upah / uang saku harian telah melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) maka Pajak Penghasilan yang harus dipotong adalah sebesar upah / uang saku harian atau rata – rata upah / uang saku harian setelah dikurangi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) dikalikan 5% (lima persen); d. Dalam hal jumpah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) dan kurang dari Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah / uang saku harian atau rata – rata upah / uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5% (lima persen); e. Dalam hal jumpah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) maka Pajak penghasilan Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang – Undang Pajak Penghasilan atas jumlah upah bruto dalam
18
satu bulan yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar Pajak Penghasilan Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12 (dua belas). Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, pemagang dan calon pegawai yang menerima upah yang dibayarkan secara bulanan, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang – Undang Pajak Penghasilan atas jumlah upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar Pajak Penghasilan Pasal 21 hasil perhitungan tersebut, dibagi 12 (dua belas). II.1.2.6. Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus Menurut Atep Adya Barata (2011:395-397), tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, tanggal 25 Januari 2010. Ketentuan mengenai pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus tersebut adalah sebagai berikut :
19
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final; b. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua sebagaimana yang dimaksud dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender; c. Penghasilan berupa manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada : •
Pembayaran sebanyak – banyaknya 20% (dua puluh persen) dari manfaat pensiun yang dibayarkan sekaligus pada saat pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal dunia;
•
Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus;
•
Pengalihan uang manfaat pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan dana pensiun membeli anuitas seumur hidup;
d. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final ini terutang pada saat dilakukan pembayaran uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
20
II.1.3. Pajak Penghasilan Pasal 23 II.1.3.1. Dasar Hukum dan Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23, menurut Atep Adya Barata (2011:435-436) adalah: a.
Pasal 23 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
b.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang – Undang Nomor 7 Tahun1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir kali dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008. Pengertian Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 23 mengatur mengenai
pemotongan pajak atas penghasilan berupa : a. Dividen; b. Bunga; c. Royalti; d.
Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya, selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21;
21
e.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lainsehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 5 ayat (2);
f.
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21;
Atau penghasilan dengan menggunakan nama dan dalam bentuk apapun, yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. II.1.3.2. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23, menurut Atep Adya Barata (2011:439) adalah oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang membayarkan jenis – jenis penghasilan di atas kepada subjek pajak dalam negeri dan badan usaha tetap. II.1.3.3. Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Tabel II.2. Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 No.
Jenis Penghasilan
1.
Deviden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
Tarif Dasar Perhitungan 15%
Jumlah Bruto
(1) huruf g;
22
2.
Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
15%
Jumlah Bruto
huruf f; 3.
Royalti;
15%
Jumlah Bruto
4.
Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain
15%
Jumlah Bruto
2%
Jumlah Bruto
2%
Jumlah Bruto
2%
Jumlah Bruto
yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; 5.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
6.
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manejemen, jasa kontruksi, dan jasa konsultan;
7.
Jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
II.1.3.4. Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Menurut Atep Adya Barata (2011:442-443), tata cara pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dilakukan oleh pemotong pajak dengan tata cara sebagai berikut : 23
a. Dipotong pada saat dilakukan pembayaran; b. Memberikan bukti pemotongan yang telah diisi lengkap, Lembar ke-1 bukti pemotongan diserahkan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan sebagai bukti pemotongan. Tata cara penyetoran pajak oleh pemotongan dilakukan dengan cara menikuti ketentuan sebagai berikut : a. Besar potongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang tercantum dalam bukti pemotongan selama satu bulan dijumlahkan; b. Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah dipotong selama satu bulan disetor ke bank Persepsi atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur nasional maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya; c. Penyetoran dilakukan melalui bank / kantor pos. Dari bank / kantor pos pihak penyetor menerima SSP lembar 1 dan 3. Tata cara pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Lembar ke-2 bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dibuat selama 1 (satu) bulan dicatat dalam Daftar Bukti Pemotongan Pajak (rangkap dua)
24
b. Bendahara / Pemotong Pajak mengisi dengan lengkap dan benar form SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 rangkap dua dilampiri lembar ke-3 SSP, Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 , dan lembar ke-2 bukti pemotongan; c. Atas SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah diisi lengkap beserta lampirannya, harus dilaporkan ke KPP selambat – lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila tangga 20 jatuh pada hari libur nasional maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya; d. Bendahara menerima Tanda Terima pelaporan SPT dari Kantor Pelayanan Pajak (lembar LPAD) sebagai bukti telah melapor.
25