BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pajak Banyak definisi pajak yang dikemukan oleh para ahli. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam
bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Penghasilan : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi pajak yang dikemukakan oleh S.I. Djajadiningrat : Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang diebabkab suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbale balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.
Ciri-ciri
yang
melekat
pada
definisi
pajak
secara
umum
adalah
sebagai berikut : a. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang dan aturan pelaksananya. b. Tidak ada kontraprestasi langsung dari pemerintah kepada pembayar pajak. c. Pajak dipungut oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. d. Pajak dipergunakan untuk pengeluaran pembiayaan pemerintah. e. Pajak dapat mempunyai tujuan lain selain tujuan budgeter yaitu tujuan mengatur. B. Fungsi Pajak Pajak mempunyai dua fungsi yaitu fungsi budgeter (pendanaan) dan fungsi regulator (mengatur). 5
1. Fungsi budgeter adalah fungsi yang terletak disektor publik dan pajak merupakan suatu alat atau sumber untuk memasukan uang sebanyakbanyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. 2. Fungsi regulator adalah pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mengatur atau melaksanakan kebiajakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di bidang keuangan. Contoh : Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) C. Sistem Perapajakan Indonesia 1. Pengertian Sistem Self Assessment Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan dalam menetapkan pajak terutang menganut sistem self assessment yaitu suatu sistem penetapan pajak oleh Wajib Pajak sendiri, artinya wajib pajak diberikan kewenangan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. Dengan sistem self assessment dituntut peran aktif dan kejujuran Wajib
Pajak
dalam melakukan pemenuhan kewajiban
perpajakannya. Sedangkan sistem official assessment yaitu sistem pemungutan pajak pajak yang memberikan kewenangan kepada aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Perbedaan sistem self assessment dengan official assessment adalah Wajib Pajak bukan lagi dianggap sebagai 6
objek akan tetapi subyek yang harus dibina, diarahkan, dan diawasi agar mau dan mampu untuk melakukan kewajiban perpajakannya. 2. Subyek Pajak dan Kewajiban Mendaftarkan Diri Sebagai Wajib Pajak Unsur subyek pajak dalam pajak penghasilan terdiri dari : 1. Pajak Orang Pribadi 2. Badan 3. Bentuk Usaha Tetap 4. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Subyek pajak Orang Pribadi adalah setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia. Orang pribadi menjadi subyek pajak sejak mereka dilahirkan di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Kewajiban pajak subyektif dimaksud akan hilang apabila mereka meninggal dunia atau meninggalkan
Indonesia
untuk
selama-lamanya.
Wajib
Pajak
wajib
mendaftarkan diri pada kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan dan kepadanya diberikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) sebagai identitas wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Dengan mempunyai NPWP akan timbul kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan kewajiban pajak terutangnya. Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dijelaskan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut 7
ketentuan
peraturan
perundangan-undangan
perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu. Setiap orang pribadi termasuk pegawai negeri dan badan yang menurut ketentuan perundangan-undangan perpajakan ditentukan sebagai wajib pajak harus mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Sedangkan yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri/melaporkan usahanya dapat diterbitkan NPWP secara jabatan. Hal tersebut dapat dimungkinkan apabila terdapat data oleh Direktorat Jenderal Pajak bahwa orang pribadi atau badan tersebut telah memenuhi persyaratan untuk memperoleh NPWP dan atau dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah wajib pajak badan, wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya diatas PTKP, BUT, wajib pajak sebagai pemungut/ pemotong pajak ( wajib pajak non subyek ) seperti bendahara dan badan-badan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan pengusaha kena pajak untuk pajak pertambahan nilai. Wajib pajak yang akan mendaftarkan diri wajib mengisi formulir pendaftaran wajib pajak dan menandatanganinya atau dapat melalui orang lain yang diberi kuasa. Penyampaian formulir pendaftaran wajib pajak dapat dilakukan oleh wajib 8
pajak sendiri atau kuasanya. 3. Surat Pemberitahuan ( SPT ) Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam sistem self pajak
diharuskan untuk
melapor
sendiri
pajak
assessment
menghitung, memperhitungkan, terutang
yang
ini
menyetor
wajib dan
menjadi kewajibannya. Surat
pemberitahuan atau disingkat SPT mempunyai fungsi sebagai sarana bagi setiap wajib pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang, laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang telah dilakukan sendiri dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Bagi wajib pajak pemotong-pemungut surat pemberitahuan atau SPT berfungsi sebagai laporan pembayaran dari pemotong atau pemungut pajak orang atau badan lain dalam suatu masa pajak yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan pajak yang berlaku. Selain itu surat
pemberitahuan
atau
SPT
merupakan sarana penelitian bagi pihak Direktorat Jenderal Pajak/kantor pelayanan pajak atas kebenaran perhitungan pajak yang terutang yang dilaporkan oleh wajib pajak sebelum dilakukannya pemeriksaan untuk menguji kepatuhan wajib pajak terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku. Kepatuhan Wajib Pajak dapat dianggap sebagai produk yang diinginkan oleh organisasi Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian, kepatuhan Wajib Pajak dapat pula dianggap sebagai titik fokus suatu tujuan dan 9
pencapaian dari organisasi Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan Undangundang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak dinilai atas dasar dipenuhinya kewajiban yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Kewajiban tersebut
meliputi antara
lain
kewajiban untuk membayar/menyetor pajak terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan melaporkannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT). 4. Sanksi Administrasi dalam Sistem Perpajakan Indonesia Sanksi administrasi di bidang perpajakan dikenakan kepada wajib pajak yang dalam memenuhi kewajiban perpajakannya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sanksi administrasi ini di bedakan menjadi beberapa jenis antara lain : a. Denda Sanksi administrasi berupa denda ini dapat dikenakan dalam hal sebagai berikut : (i) Apabila wajib pajak tidak menyampaikan SPT tepat waktu. Untuk keterlambatan penyampaian SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan sanksi sebesar Rp. 500.000,- ( lima ratus ribu rupiah ), Rp. 100.000,- ( seratus ribu rupiah ) untuk SPT Masa lainnya, dan sebesar RP. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan serta sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi. (ii) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau 10
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan hal tersebut bukanlah perbuatan yang pertama, maka Wajib Pajak tersebut didenda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. b. Bunga Sanksi administrasi berupa bunga ini dapat dikenakan dalam hal sebagai berikut : (i) Apabila dengan adanya pembetulan SPT Tahunan yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak mengakibatkan pajak yang terutang menjadi bertambah besar. Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh. (ii) Apabila wajib pajak melakukan pembayaran atau penyetoran pajak setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, maka wajib pajak tersebut akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % per bulan dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran. c. Kenaikan Sanksi administrasi berupa kenaikan dapat dikenakan dalam hal sebagai berikut : (i) Apabila terjadi pengungkapan ketidakbenaran terhadap pengisian SPT yang telah disampaikan. Atas kejadian ini wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50 % dari pajak yang kurang dibayar. 11
(ii) Apabila wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak kenai sanksi pidana apabila kealpaannya tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200 % dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. D. Laporan Penerimaan Pajak Laporan Penerimaan Pajak adalah laporan yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk melaporkan jumlah penerimaan pajak setiap bulan dan jumlah penerimaan pajak dalam tahun anggaran berjalan dan disampaikan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan Laporan Penerimaan Pajak tersebut, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak mengkompilasi dan membuat laporan penerimaan gabungan serta menyampaikannya ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Komponen Laporan Penerimaan Pajak terdiri dari : 1. Pajak Penghasilan a. PPh Non Migas (Minyak dan Gas bumi) 1) PPh Pasal 21 yaitu pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri. 12
2) PPh Pasal 22 yaitu pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang. 3) PPh Pasal 22 Impor yaitu pajak yang dipungut oleh badan-badan tertentu dari wajib pajak yang melakukan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lainnya 4) PPh Pasal 23 yaitu pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan yang dibayarkan atau terutang oleh badan, pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentu usaha tetap. 5) PPh Pasal 25/29 OP (Orang Pribadi) yaitu angsuran pajak dalam tahun berjalan yang dibayar sendiri oleh wajib [pajak orang pribadi setiap bulan dan pelunasan pembayaran kekurangannya paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya tahun pajak berjalan. 6) PPh Pasal 25/29 Badan yaitu angsuran pajak dalam tahun berjalan yang dibayar sendiri oleh wajib pajak badan setiap bulan dan pelunasan pembayarannya paling lambat empat bulan setelah berakhirnya tahun pajak berjalan. 7) PPh Pasal 26 yaitu pajak atas penghasilan sehubungan denganpekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia. 8) PPh Final dan Fiskal Luar Negeri yaitu pajak atas penghasilan berupa 13
bunga depositi dan tabungan-tabungan lainnnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya yang diatur oleh peraturan pemerintah. 9) PPh Non Migas Lainnya b. PPh Migas 1) PPh Minyak Bumi yaitu pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang mempunyai usaha di sektor minyak bumi 2) PPh Gas Alam yaitu pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang mempunyai usaha di sektor gas alam 3) PPh Lain Minyak Bumi yaitu pajak atas penghasilan yang diterima wajib pajak yang mempunyai usaha selain di sektor minyak bumi 2. PPN dan PPnBM a. PPN Dalam Negeri yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang dibayarkan oleh Wajib Pajak dalam negeri. b. PPN Impor yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan sehubungan dengan kegiatan impor. c. PPnBM Dalam Negeri yaitu Pajak Penjualan Barang Mewah yang dibayarkan oleh wajib pajak dalam negeri.. d. PPnBM Impor yaitu Pajak Penjualan Barang Mewah yang dikenakan sehubungan dengan kegiatan Impor. e. PPN/PPnBM Lainnya. 3. Pajak Lainnya 14
a. Bea Materai b. Pajak Tidak Langsung Lainnya c. Bunga Penagihan PPh yaitu bunga atas keterlambatan pembayaran Surat Ketetapan Pajak untuk PPh d. Bunga Penagihan PPN yaitu bunga atas keterlambatan pembayaran Surat Ketetapan Pajak untuk PPN e. BPP atau Bermacam-macam Penerimaan Pajak yaitu pajak yang tidak secara jelas mencantumkan jenis pajaknya. f. Pemberian Imbalan Bunga yaitu Bunga atas kelebihan pembayaran pajak E. Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Sumitro secara umum teori tentang kepatuhan dapat digolongkan dalam teori paksaan dan teori konsensus. Menurut teori paksaan orang mematuhi hukum karena adanya unsur paksaan dari kekuasaan yang bersifat legal dari penguasa. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa paksaan fisik yang merupakan monopoli penguasa adalah dasar untuk terciptanya suatu ketertiban sebagai tujuan dari hukum. Sedangkan bagi teori konsensus, dasar ketaatan hukum terletak pada penerimaan masyarakat terhadap sistem hukum. Teori terakhir inilah yang sejalan dengan upaya mewujudkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Perilaku masyarakat terhadap beban pajak yang ditanggungnya tentu beragam dan menurut Kelman, motif orang mendaftarkan diri menjadi Wajib Pajak dan membayar pajak dapat bermacam - macam dan motif - motif tersebut antara lain : a. Compliance Orang membayar pajak karena takut dihukum, bila dia menyembunyikan 15
pajak atau tidak membayar pajak. Pada tingkatan ini orang membayar pajak bukan didasarkan akan pentingnya pajak bagi negara dan dirinya sendiri melainkan didasarkan berat tidaknya hukuman yang akan diterima jika tidak membayar pajak. b. Identification Orang membayar pajak didorong karena rasa senang dan hormat kepada petugas pemerintah, khususnya petugas pajak. Bila pegawai negeri khususnya petugas pajak dapat berbuat baik secara simpatik, jujur, penolong dan adil, orang akan gairah membayar pajak. c. Internalization Pada tingkat internalization orang membayar pajak karena kesadaran bahwa pajak berguna untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat luas. Dalam tingkatan ini orang sudah menginternalisasikan norma hidup bersama yang memang memerlukan pajak untuk kepentingan bersama. Kesadaran Wajib Pajak sering dikaitkan dengan kerelaan dan kepatuhan mereka dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Menurut Indra Ismawan agar tercapainya kepatuhan sukarela terdapat beberapa faktor yaitu : a. Pelayanan yang baik b. Prosedur yang sederhana dan mudah c. Pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif d. Pemantapan penegakan hukum. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.39/PJ.53/2002 tanggal 16
23 Juli 2002, yang termasuk Wajib Pajak patuh adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1). Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) untuk semua jenis pajak dalam 2 (dua) tahun terakhir; 2). Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; 3). Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan 4). Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik (yakni akuntan publik yang tidak
dalam
pembinaan
Direktorat
Jenderal
Lembaga
Keuangan) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dengan pendapat: a. wajar tanpa pengecualian; atau b.wajar dengan pengecualian, sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal; dimana laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long form report); c. menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal; 5). Dalam hal laporan keuangan tidak diaudit oleh akuntan publik, maka Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh sepanjang : a. memenuhi kriteria pada butir 1 sampai dengan 3 di atas; dan dalam 2 (dua) tahun terakhir; 17
b.menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 28 Tahun 2007; dan c.dalam hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5% (lima persen); d.permohonan diajukan paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku berakhir F. Kebijakan Sunset Policy Tahun 2008
1. Pengertian Sunset Policy Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Adapun yang bisa memanfaatkan Sunset Policy antara lain: a.
Orang pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 dan tahuntahun sebelumnya paling lambat tanggal 31 Maret 2009.
b.
Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2008 yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan. 18
Orang pribadi yang belum memiliki NPWP dapat memanfaatkan Sunset Policy dengan cara sebagai berikut: 1. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP Domisili) atau melalui e-registration. 2. Mengisi SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya (sejak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak). 3. Melunasi pajak yang harus dibayar berdasarkan SPT Tahunan PPh ke Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). 4. Menyampaikan SPT Tahunan PPh yang dilampiri dengan SSP, paling lambat tanggal 31 Maret 2009, ke KPP Domisili (KPP tempat Wajib Pajak terdaftar). 2. Latar Belakang Sunset Policy Adapun yang melatarbelakanginya Sunset Policy adalah terkait adanya Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tahun 2008 yang memberikan kewenangan kepada Ditjen Pajak untuk menghimpun data perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya
untuk
memberikan
data
kepada
Ditjen
Pajak.
Ketentuan
ini
memungkinkan Ditjen Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan masyarakat. Selain itu Sunset Policy juga dilatarbelakangi pemikiran bahwa Undang-Undang Pajak menganut sistem self assesment dimana setiap WNI yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan 19
obyektif harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, sebagai identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar, Ditjen Pajak di tahun 2008 memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela dan melaksanakan dengan benar. Jangka waktu Sunset Policy adalah satu tahun, terhitung mulai tanggal 01 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008. Tetapi dalam pelaksanaannya, jangka waktu pelaksanaa Sunset Policy diperpanjang sampai dengan 28 Pebruari 2009. Perpanjangan ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tanggal 25 Maret 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Di dalam Perpu Nomor 5 Tahun 2008 tersebut dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lambat tanggal 28 Pebruari 2009, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Perpajangan Sunset Policy ini dilakukan untuk memberikan
apresiasi
terhadap
antusiasme
para
Wajib
Pajak
dalam
memanfaatkan Sunset Policy. Pengunduran batas waktu Sunset Policy sampai 20
dengan 28 Pebruari 2009 hanya diperuntukkan bagi Wajib Pajak lama yang telah memiliki NPWP. Perpajangan waktu tersebut mencakup pelaporan pembetulan SPT sekaligus pembayaran pajaknya. Sementara Wajib Pajak yang baru mendaftar NPWP tahun 2008, batas waktu Sunset Policy hingga 31 Maret 2009. Dengan pemberian perpanjangan waktu tersebut Ditjen Pajak menekankan dua hal penting. Pertama, upaya tersebut diprediksi dapat memperkuat basis pajak nasional ke depan. Di samping itu penambahan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi akan meredam fluktuasi kegiatan bisnis dari sisi penerimaan pajak, karena penerimaan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi lebih stabil dibandingkan dengan Wajib Pajak Badan. Kedua, perpanjangan ini merupakan toleransi terakhir dari pemerintah, dan Ditjen Pajak tidak akan memberi dispensasi lagi bagi Wajib Pajak yang belum mengurus NPWP hingga akhir Pebruari 2009. Di samping itu untuk mendapatkan fasilitas Sunset Policy ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain : a. Bagi Wajib Pajak yang terdaftar sebelum 1 Januari 2008 syaratnya antara lain ; 1. Belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) 2.Belum dilakukan pemeriksaan atau dalam hal sedang diperiksa, pemeriksa pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemerisaan (SPHP) 3.Tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan atas tindak pidana perpajakan. 4.Telah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena tak ditemukan bukti permulaan tentang tindak pidana perpajakan 21
5. Membetulkan SPT Tahunan PPh Tahun 2006 dan atau sebelumnya dalam tahun 2008 dengan tambahan pembayaran pajak 6. Melunasi seluruh pajak kurang bayar sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan b. Bagi Orang Pribadi yang belum memiliki NPWP dalam kurun waktu tahun 2008 dapat menikmati Sunset Policy dengan syarat antara lain ; 1. Sukarela mendaftarkan diri memperoleh NPWP dalam tahun 2008 2. Tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan atas tindak pidana perpajakan. 3. Mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2007 dan sebelumnya terhitung sejak memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif paling lambat 31 Maret 2009 4. Melunasi seluruh pajak yang kurang bayar sebelum SPT Tahunan PPh tersebut disampaikan. 3. Dasar Hukum Sunset Policy Pada dasarnya kebijakan Sunset Policy Tahun 2008 itu telah diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, khususnya pasal 37 A. Dalam pasal 37 A ini dijelaskan pokok-pokok Sunset Policy sebagai berikut : a. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya undang-undang ini, dapat diberikan 22
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. b. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya undang-undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk tahun pajak sebelum diperoleh NPWP dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa SPT yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar. Selain diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 37 A, pelaksanaan Sunset Policy juga diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak. Di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : 30/PJ/2008 Tanggal 27 Juni 2008 Tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal
Pajak
Nomor
27/PJ/2008
Tentang
Tata
Cara
Penyampaian,
Pengadministrasian, serta Penghapusan Sanksi Administrasi Sehubungan dengan Penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, dan Sehubungan dengan Pembetulan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan untuk Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2007 dijelaskan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela dalam tahun 2008 dan telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya setelah 23
tanggal 31 Desember 2007 sampai dengan tanggal 30 Juni 2008, dapat menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dalam rangka Pasal 37A Undang-undang KUP satu kali setelah tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2008. Di samping itu dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini juga menjelaskan bahwa Wajib Pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2008 dan telah menyampaikan SPT Tahunan PPh atau pembetulan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007 setelah tanggal 31 Desember 2007 sampai dengan tanggal 30 Juni 2008, dapat menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007 dalam rangka Pasal 37A Undang-undang KUP satu kali setelah tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2008. Sedangkan di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE33/PJ/2008 Tanggal 27 Juni 2008 Tentang Tata Cara Pemberian NPWP, Penerimaan
dan
Pengolahan
SPT
Tahunan
PPh,
Penghapusan
Sanksi
Administrasi, Penghentian Pemeriksaan, dan Pengadministrasian Laporan Terkait dengan Pelaksanaan Pasal 37A Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan tentang Tata Cara Penghapusan Sanksi Administrasi yang dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) melalui prosedur sebagai berikut ; 1. Sistem menampilkan daftar Wajib Pajak yang menyampaikan SPT
Tahunan PPh/Pembetulan SPT Tahunan PPh dengan fasilitas Sunset Policy 24
2. Account Representative melakukan penghitungan sanksi yang dihapuskan 3. Kepala
Seksi
Pengawasan
dan
Konsultasi
meneliti
kebenaran
penghitungan penghapusan sanksi yang akan dicantumkan dalam surat ucapan terima kasih 4. Account Representative tidak memproses penerbitan Surat Tagihan Pajak
(STP) sanksi bunga atas penyampaian SPT Tahunan PPh/Pembetulan SPT Tahunan PPh terhadap Wajib Pajak dalam daftar. Adapun jenis pajak yang bisa dibetulkan dengan menggunakan fasilitas sunset policy adalah termasuk dalam lingkup penyampaian atau pembetulan SPT Tahunan PPh meliputi pembetulan SPT Tahunan PPh yang terkait dengan pembayaran: a) PPh Pasal 29; b) PPh Pasal 4 ayat (2); dan/atau c) PPh Pasal 15 PPh sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c adalah PPh yang dibayar sendiri dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
25