BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut : Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang –undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, “pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma – norma hukum, guna menutup biaya produksi barang – barang dan jasa – jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, “pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara dalam membiayai pengeluaran rutin dan surplus yang digunkan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”. II.1.2. Fungsi Pajak Menurut Sumarsan (2013:5), pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
1. Fungsi Penerima (Budgetair) Pajak yang berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk kas negara yang diperuntukan bagi pengeluaran pemerintah. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan dari sistem pajak tersebut agar tidak terjadi pertentangan antara kebijaksanaan negara dalam bidang ekonomi dan sosial. II.1.3. Syarat-syarat Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2011:2) syarat pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Syarat Keadilan Syarat berlandaskan tujuan hukum yaitu untuk mencapai keadilan serta untuk tujuan pemungutan yang adil. b. Syarat Yuridis Syarat pemungutan pajak yang berdasarkan undang-undang dan merupakan jaminan hukum serta pembayaran pajak yang harus diimbangi dengan kemampuan membayar Wajib Pajak tersebut. c. Syarat Ekonomis Syarat pemungutan pajak harus seimbang antara kehidupan ekonomis dan tidak menganggu aktifitas kegiatan produksi maupun perdagangan. d. Syarat Finansial Syarat pemungutan pajak yang dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
e. Syarat Sederhana Syarat pemungutan pajak yang dalam sistem pemungutannya sederhana akan memudahkan serta mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. II.1.4. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Sumarsan (2013:14), sistem pemungutan pajak dibagi atas 3 (tiga) macam yaitu : a. Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. b. Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. c. Withholding system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang. II.1.5. Asas Pengenaan Pajak Menurut Sumarsan (2013:11), asas utama yang digunakan oleh negara sebagai landasan dalam mengenakan pajak adalah : 1. Asas Domisili Berdasarkan asas ini negara memungut pajak atas penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh orang pribadi apabila suatu wajib pajak atau badan berkedudukan di negara tersebut.
2. Asas Sumber Asas yang berdasarkan negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi atau badan. 3. Asas Kebangsaan Asas yang berdasarkan pengenaan pajak terhadap status kewarganegaraan dari orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan. II.1.6. Hukum Pajak Menurut Sumarsan (2013:10), hukum pajak dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Hukum Pajak Materiil Hukum yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak. 2. Hukum Pajak Formal Hukum pajak yang dalam mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan. Yang memuat hukum pajak formal yaitu : a. Tata cara penetapan utang pajak. b. Hak-hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang dapat menimbulkan hutang pajak. c. Kewajiban Wajib Pajak sebagai contoh penyelenggaraan pembukuan, pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan dan banding. II.1.7. Pajak Menurut Lembaga Pemungutnya Menurut Suandy (2008:38), pajak menurut lembaga pemungutnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a. Pajak pusat adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. b. Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya oleh Dinas Pendapatan Daerah. II.1.8. Teori Yang Mendukung Pemungutan Pajak Menurut Suandy (2008:28), teori yang mendukung pemungutan pajak antara lain sebagai berikut : a. Teori Asuransi Teori ini tidak lagi digunakan. Dikarenakan perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yaitu apabila seseorang dinyatakan meninggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian seperti halnya dalam asuransi. b. Teori Kepentingan Menurut teori ini pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu. c. Teori Daya Pikul/Teori Gaya Pikul Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak sesuai dengan kekuatan ekonomi dari sisi Wajib Pajak. II.1.9. Tarif Pajak Menurut Suandy (2008:68), tarif pajak dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
a. Tarif Proporsional atau Sebanding Tarif proporsional atau sebanding adalah tarif pajak yang merupakan persentase yang tetap, tetapi jumlah pajak yang terutang akan berubah secara proporsional atau sebanding dengan dasar pengenaan pajak. b. Tarif Progresif Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat. c. Tarif Degresif Tarif degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat. II.2. Pajak Pertambahan Nilai II.2.1. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai telah mengalami beberapa kali perubahan dan
undang-undang terakhir yang digunakan sampai saat ini yaitu
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang dijadikan dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berikut ini merupakan perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai yaitu : a. Pertama Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai yang pertama kali digunakan sebagai dasar hukum yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1984. b. Kedua Perubahan Undang-undang Nomor 8 tahun 1984 digantikan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994. c. Ketiga Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mengalami perubahan kembali dengan diganti menjadi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
d. Keempat Perubahan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 diubah menjadi Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 dan digunakan sebagai dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai. II.2.2. Definisi Pajak Pertambahan Nilai Definisi Pajak Pertambahan Nilai menurut Undang-undang No.42 Tahun 2009 sebagai berikut : Menurut Undang-undang No. 42 Tahun 2009, Pajak Pertambahan Nilai adalah “Pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi”. II.2.3. Pengusaha Kena Pajak Menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, Pengusaha Pajak yang dimaksud adalah : 1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang perpajakan. 2. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. 3. Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut dengan PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. 4. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut dengan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 5. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut dengan SPPKP adalah surat yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang berisikan identitas dan kewajiban perpajakan Pengusaha Kena Pajak. 6. Saat usaha dijalankan adalah saat pendirian usaha atau pekerjaan bebas mulai dilakukan. 7. Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari administrasi Kantor Pelayanan Pajak. 8. Pencabutan Pengukuhan PKP adalah tindakan mencabut Pengukuhan PKP dari administrasi Kantor Pelayanan Pajak. II.2.4. Objek dan Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Undang-undang No.42 Tahun 2009 yang merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai adalah : a. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh PKP/PMPKP kepada pihak manapun juga. b. Penyerahan JKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. c. Impor Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh siapapun juga.
d. Atas penyerahan Barang Mewah pada tingkat pabrikan atau pada waktu impor, selain dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean didalam Daerah Pabean. f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Yang merupakan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah a. Penyerahan Barang Kena Pajak
kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; Makelar adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau pejabat yang dinyatakan Presiden telah berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja. b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang; c. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemusatan tempat pajak terutang; d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan e. Barang Kena Pajak berupa aktiva-aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf e Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. II.2.5. Saat dan Tempat Terhutangnya Pajak Menurut Undang-undang No. 42 Tahun 2009 Pajak Pertambahan Nilai terhutang terjadi pada saat : A. Penyerahan Dalam Negeri a. Saat Terutang Dalam Undang-undang No. 42 Tahun 2009 menyebutkan saat terutang pajak atas penyerahan dalam negeri adalah pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pasal 11 ayat 2 Undangundang Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan apabila pembayaran terjadi sebelum penyerahan maka saat terutangnya adalah saat pembayaran. Pasal 11 ayat 3 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan. b. Tempat Terutang Menurut Pasal 12 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean terutang pajak ditempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha.
II.2.6. Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran Serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai Dalam pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 42 Tahun 2009, dalam Peraturan Menteri Keuangan 62/PMK.03/2012 yaitu : 1. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut sebagai Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Cukai. 2. Tempat Lain Dalam Daerah Pabean adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan Tempat Penimbunan Berikat. 3. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 4. Endorsement adalah pernyataan mengetahui dari pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak atas pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, berdasarkan penelitian formal atas dokumen yang terkait dengan pemasukan Barang Kena Pajak tersebut. Dalam Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terutang harus dipungut dan disetor ke kas negara oleh orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak melalui kantor pos atau bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
II.2.7. Surat Setoran Pajak Surat Setoran Pajak (SSP) yang dimaksud dalam undang-undang No.42 Tahun 2009 diisi dengan cara : a. Pada kolom nama dan kolom Nomor Pokok Wajib Pajak diisi dengan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Orang yang menerima Barang Kena Pajak. b. Pada kolom Wajib Pajak/penyetor dicantumkan juga nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak. Penyetoran Pajak Pertambahan nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama pada saat Barang Kena Pajak tersebut dikeluarkan dari Kawasan Bebas. Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang dilampiri dengan invoice dan pemberitahuan pabean merupakan dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak Standar. Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilampiri dengan invoice dan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan Pajak Masukan yang dapat menerima Barang Kena Pajak Sesuai Peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang RI Nomor 42 Tahun 2009, bahwa Tata Cara penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dimaksud dalam Pasal 2 penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean adalah
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran (1) Peraturan Menteri Keuangan ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan. Dalam Pasal 10 Undang-undang RI Nomor 42 Tahun 2009, ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak di Kawasan Bebas yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. II.3.
Pajak Masukan
II.3.1. Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menurut Undang-undang No 42 Tahun 2009 yaitu : a. Pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusahan Kena Pajak yang masih dalam tahap belum produksi terbatas Pajak Masukan yang berasal dari perolehan atau impor barang modal (Pasal 9 ayat (2a)). b. Dalam Pasal 9 ayat 14 Pengkreditan Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dalam rangka restrukturisasi usaha, maka Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan dapat dikreditkan oleh PKP yang menerima pengalihan sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya. II.3.2. Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan Menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pengeluaran yang tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan yaitu :
a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan nomor Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. f. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6). g. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak. h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporakan dalam SPT Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, dan i. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum PKP berproduksi sebagaimana pada butir (2).
II.4.
Faktur Pajak
II.4.1. Fungsi Faktur Pajak Menurut Waluyo (2009) Faktur Pajak mempunyai fungsi yaitu : a. Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. b. Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Bea dan Cukai. c. Sebagai sarana pengawasan administrasi terhadap kewajiban perpajakan. II.4.2. Bentuk Faktur Pajak Pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Per-24/PJ/2012, dijelaskan bahwa : 1. Dalam Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut : a. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak dalam melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. b. Faktur Pajak Gabungan adalah faktur pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak selama satu bulan kalender. c. Faktur Pajak
Tidak Lengkap
adalah faktur pajak yang tidak
mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dengan mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut.
2. Dalam Pasal 2, terdapat 2 butir yang berbunyi sebagai berikut : a. Faktur pajak dibuat pada : 1. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. 2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak. 3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan. 4. Saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. 5. Saat lain yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 6. Faktur Pajak Gabungan dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak. II.4.3. Syarat Formal Pembuatan Faktur Pajak `
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
No.84/PMK.03/2012 bahwa dalam formal pembuatan faktur pajak dicantumkan sebagai berikut : a. Nama, alamat dan NPWP yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. b. Nama, alamat dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. c. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga. d. PPN yang dipungut.
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM yang dipungut. f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak. g. Nama dan tanda tangan yang berhak mendatangani Faktur Pajak.