BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1. Pajak Secara Umum 2.1.1.1 Definisi Pajak Ada beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak yang beberapa diantaranya akan penulis kutip sebagai berikut: Menurut Rochmat Soemitro : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan untuk pengeluaran umum. Menurut Fieldman yang diterjemahkan oleh Waluyo, Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2009) ada dua yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. Contoh:
7
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. 2.1.1.2. Syarat Pemungutan Pajak Agar
pemungutan
pajak
tidak
menimbulkan
hambatan
atau
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut, seperti yang ada dalam buku Mardiasmo (2009): 1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undangundang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat Yudiris) di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
8
3. Tidak menggangu perekonomian (syarat Ekonomis) pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan,
sehingga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian masyarakat. 4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat Finansiil) sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpanjangannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. Contoh: •
bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
•
Tarif PPN yang beragam disederhakan hanya satu tarif, yaitu 10%.
•
Pajak
perseroan
untuk
badan
dan
pajak
pendapatan
untuk
perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi).
2.1.1.3 Pengelompokan Pajak pengelompokan pajak menurut Waluyo terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak langsung.
9
Pajak langsung adalah pajak yang pembebananya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) Pajak tidak langsung adalah Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contoh: Pajak pertambahan nilai (PPN).
1. Menurut sifat Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip: a. Pajak
subjektif,
adalah
pajak
yang
berpangkal
atau
berdasarkan pada subjek yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Penghasilan b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 2. Menurut pemungutnya dan pengelolaannya a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.
10
b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: •
Pajak propinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
•
Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel, pajak restaurant, dan pajak hiburan.
Namun PBB akan menjadi Pajak Daerah sesuai UU Pajak dan Retribusi Daerah No 29 tahun 2009
2.1.1.4. Tata cara pemungutan pajak Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2009) dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Stelsel Pajak Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 stelsel: a. Stelsel nyata (riil stelsel) pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak
yang
dikenakan
lebih
realistis.
Sedangkan
kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui) 11
b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapay ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan, kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang
dibayar
tidak
berdasarkan
pada
keadaan
yang
sesungguhnya. c. Stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. 2. Asas- asas Azas-azas pengenaan pajak adalah : a. Azas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan
wajib
pajak
yang
bertempat
tinggak
di 12
wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Azas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri b. Azas sumber negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak c. Azas kebangsaan pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara 3. sistem pemungutan pajak a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus 2) Wajib pajak bersifat pasif 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus
13
b. Self assessment system Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri 2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, meyetor dan melapor sendiri pajak yang terutang 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi c. Witholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, selain fiskus dan wajib pajak.
14
2.1.1.5. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak Menurut Mardiasmo (2009) ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak: 1. Ajaran formil Utang pajak timbul dikarenakan keluarnya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system 2. Ajaran materiil Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system. Hapusya utang pajak menurut Mardiasmo (2009) dapat disebabkan oleh: 1. Pembayaran 2. Kompensasi 3. Daluwarsa 4. Pembebasan dan penghapusan
2.1.1.6. Tarif Pajak ada empat macam tarif pajak menurut Mardiasmo (2009): 1. Tarif sebanding/proporsional Tarif berupa presentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang erhutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenakan pajak
15
2. Tarif tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapaun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terhutang tetap 3. Tarif progresif Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar 4. Tarif degresif Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar
2.1.1.7 Pajak Negara dan Pajak Daerah Pajak di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok ditinjau dari lembaga pemungut pajak yaitu pajak Negara dan pajak Daerah. Pajak daerah dibagi menjadi dua bagian menurut Mardiasmo (2009), yaitu: a.
Pajak Propinsi, terdiri dari: i.
Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air
ii. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor iii.
Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
16
b.
Pajak kabupaten/kota, terdiri dari: i. Pajak hotel ii. Pajak restaurant iii. Pajak hiburan iv. Pajak reklame v. Pajak penerangan jalan vi. Pajak pengambilan bahan galian golongan C vii. Pajak parkir viii. Pajak lain-lain
2.1.2 Pajak Bumi dan Bangunan 2.1.2.1 Sejarah PBB PBB merupakan jenis pajak objektif yang berlaku sejak Januari berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Jenis pajak ini bukanlah tergolong jenis pajak baru karena pada dasarnya terdapat jenis pajak yang memiliki kesesuaian dengan PBB yang telah lama dikenal dan jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Secara umum latar belakang sejarah ke-PBB-an terbagi menjadi tiga bagian yaitu sebelum penjajahan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Pada masa sebelum penjajahan, pajak atas tanah telah lama dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di nusantara dengan nama drwyahaji. Salah satu kerajaan besar di masa lalu, Mataram, dalam sejarah disebutkan telah menerapkan tanah pertanian ssebagai objek pajak. 17
Saat itu pajaknya dipungut berdasarkan luas tanah. Selain di Jawa, di kerajaan Aceh dikenal pula pungutan atas tanah ladang yang dikenal dengan istilah wase tanah disamping pungutan-pungutan lainnya. Pada masa penjajahan, dikenal adanya jenis pajak bumi yang disebut Land Rent. Jenis pajak ini diperkenalkan oleh Sir Stanford Rafles, Seorang Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1816. Land Rent dikenakan terhadap semua jenis tanah produktif dan wajib pajaknya adalah desa (kepada desa), bukan perseorangan, karena kepada desa dianggap sebagai penyewa yang harus membayar sewa tanah. Besarnya tarif Land Rent bervariasi antara 20% hingga 50% dari hasil produksi pertania tergantung pada jenis produksinya. Pada masa penjajahan Belanda (1986) pemungutan Land Rent tetap dipertahankan dengan mengganti namanya menjadi Landrente dan besarnya tarif juga diubah menjadi 20% dari produksi pertanian. Selanjutnya pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia (1942-1945), nama Land Rent diubah menjadi Land Tax. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, nama Land Tax atau pajak tanah disebut Pajak Bumi. dan pada tahun 1951 sampai dengan 1959 nama Jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) yang mempunyai tugas mendaftar dan mengeluarkan surat pendaftaran sementara bagi tanah-tanah milik terdaftar. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat dipungut pajak yang dikenal sebagai Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda). Selain Ipeda, pada masa itu dipungut pula enam pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan bangunan yang menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak 18
lainnya dan menyebabkan adanya beban pajak berganda bagi masyarakat. Dengan adanya reformasi perpajakan pertama yang dimulai pada tahun 1983, antara lain dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui pengundangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, maka tujuh jenis pajak kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan disederhakan menjadi PBB. Dalam halaman Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan bangunan, pertimbangan-pertimbangan Pemerintah dalam membentuk undang-undang pajak nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah: a. Bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat
penting
artinya
bagi
pelaksanaan
dan
peningkatan
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena
itu
perlu
dikelola
dengan
meningkatkan
peran-serta
masyarakat sesuai dengan kemampuannya; b. Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan
sebagian
dari
manfaat
atau
kenikmatan
yang
diperolehnya kepada negara melalui pajak; c. Bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem 19
perpajakan,
sehingga
dapat
mewujudkan
peran
serta
dan
kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional; d. Bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan pajak kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum; e. Bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan
2.1.2.2 Definisi Definisi bumi dan bangunan Menurut Siti Resmi yang adalah: Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawarawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan menurut Mardiasmo (2009) adalah: 1. Jalan lingkungan dalan satu kesatuan komplek bangunan 2. Jalan tol 3. Kolam renang 4. Pagar mewah 5. Tempat olahraga 20
6. Galangan kapal, dermaga 7. Taman mewah 8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat Menurut Suharno, (2003) yang dimaksud Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagi hasil pajak. Sedangkan pengertian PBB yang diambil dari www.pajak.go.id adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Dari pengertian tentang Pajak Bumi dan Bangunan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan negara yang berasal dari rakyat atas kebendaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah masing-masing untuk meningkatkan pendapatan daerah tersebut.
21
2.1.2.3 NJOP Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menurut Mardiasmo (2009) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pengganti. Yang dimaksud dengan: •
Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
•
Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut;
•
Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Besarnya NJOP berdasarkan klasifikasi: 1. Objek pajak sektor pedesaan dan perkotaan 2. Objek pajak sektor perkebunan
22
3. Objek pajak sektor kehutanan atas hak penguasaan hutan, hak pengusahaan hasil hutan, izin pemanfaatan kayu serta izin sah lainnya selain penguasaan hutan tanaman industri 4. Objek pajak sektor kehutanan atas hak pengusahaan hutan tamanan industri 5. Objek pajak sektor pertambangan minyak dan gas bumi 6. Objek pajak sektor pertambangan energi panas bumi 7. Objek pajak sektor pertambangan non migas selain energi panas bumi dan galian c 8. Objek sektor pertambangan non migas galian c 9. Objek pajak sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan kontrak karya atau kontrak kerjasama 10. Objek pajak usaha bidang perikanan laut 11. Objek pajak usaha bidang perikanan darat 12. Objek pajak bersifat khusus
2.1.2.4 Objek PBB Berikut ini adalah Objek pajak bumi dan bangunan menurut Mardiasmo (2009): 1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan bangunan 2. yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. 23
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan daktor-faktor sebagai berikut: a. Letak b. Peruntukan c. Pemanfaatan d. Kondisi lingkungan dan lain-lain dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain 3. Pengecualian objek pajak adalah: a. Digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dan tidak mencari keuntungan, antara lain: 1) di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara 2) di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit 3) di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren 4) di bidang sosial, contoh: panti asuhan 5) di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu
24
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dukuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internsional yang ditentukan oleh menteri keuangan 4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerinthan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang dimiliki.dikuasai/digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang anatara lain dipergunakan untuk penyediaan fasillitas yang juga dinikmati oleh pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Oleh sebab ituwajar pemerintah pusat juga ikut membiayai fasilitas tersebut melalui pembayaran pajak bumi dan bangunan. Mengenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan atau bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan. 5. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah) untuk 25
setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak memiliki beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
2.1.2.5 Subjek PBB Menurut Widodo, (2010) yang dimaksud dengan subjek PBB adalah: Yang menjadi subjek PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata: a. Mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau; b. Memperoleh manfaat atas bumi, dan atau; c. Memiliki bangunan, dan atau; d. Menguasai bangunan, dan atau; e. Memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak yang disebutkan
di atas adalah yang dikenakan
kewajiban membayar pajak. Apabila suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak yang disebutkan diatas sebagai wajib pajak (subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak). Subjek pajak yang ditetapkan sebagai wajib pajak dapat menolak untuk dijadikan wajib pajak dengan cara memberi keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa wajib pajak tersebut bukan wajib pajak terhadap objek yang dimaksud. Direktur Jenderal Pajak dapat menyetujui maupun menolak keterangan tertulis yang diajukan oleh wajib 26
pajak. Jika Direktur Jenderal Pajak menyetujui keterangan tertulis wajib pajak yang menolak penetapan sebagai wajib pajak, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keterangan tertulis. Apabila keterangan tertulis yang diajukan oleh wajib pajak tidak disetujui (ditolak) maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat keterangan dari wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap di setujui.
2.1.2.6 Tarif PBB Menurut Undang-undang PBB tahun 1985 Bab IV pasal 5, Tarif pajak yang dikenakan atas Obyek Pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).
2.1.2.7 Dasar Pengenaan Pajak Berikut ini adalah dasar pengenaan pajak menurut Mardiasmo (2009): 1. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP) 2. Besarnya nilai jual objek pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh kepala kantor wilayah direktorat jenderal pajak atas nama menteri
keuangan
dengan
mempertimbangkan
pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah) setempat
27
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari nilai jual objek pajak 4. Besarnya presentase ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/
Walikota
(Pemerintah
Daerah)
setempat
serta
memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak. Yaitu suatu presentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
2.1.2.8 Tempat dan tata cara pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan : 1. Petugas Pemungut adalah petugas yang ditunjuk untuk memungut PBB sektor Pedesaan/atau sektor Perkotaan dan menyetorkannya ke tempat pembayaran. 2. Tempat Pembayaran yang selanjutnya disingkat TP, adalah Bank Umum/Kantor
Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
menerima pembayaran PBB dan memindahbukukan ke Bank Persepsi/Pos Persepsi. 28
3. TP Elektronik adalah Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran PBB secara elektronik dan memindahbukukan ke Bank Persepsi Elektronik/Pos Persepsi Elektronik. 4. Bank Persepsi/Pos Persepsi, yang selanjutnya disebut Bank/Pos Persepsi, adalah Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pemindahbukuan hasil penerimaan PBB dari TP dan melimpahkan hasil penerimaan PBB ke Bank Operasional III. 5. Bank Persepsi Elektronik/Pos Persepsi Elektronik, yang selanjutnya disebut Bank/Pos Persepsi Elektronik, adalah Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangn untuk menerima pemindahbukuan hasil penerimaan PBB dari TP Elektronik dan melimpahkan hasil penerimaan PBB ke BO III.6. Bank Operasional III, yang selanjutnya disebut BO III, adalah Bank Umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pelimpahan hasil penerimaan PBB dari Bank/Pos Persepsi dan Bank/Pos Persepsi Elektronik, melakukan pembagian hasil penerimaan PBB dan membayar pengembalian kelebihan pembayaran PBB.
29