BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Pajak dan Saat Timbulnya Kewajiban Pajak 1.
Pengertian Pajak
Beberapa pengertian pajak menurut para ahli adalah sebagai berikut: a.
P.J.A. Adriani, yang dikutip kembali oleh Brotodiharjo (2003 :2);
adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksankan) yang temtang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan "tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. b.
Rochmat Soemitro (1992 :1);
Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengemaran mnum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara. c.
S.I. Djajadiningrat;
Pajak adalah suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara yang disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum (Rimsky 2002 :13).
Dari beberapa pengertian pajak di atas, secara umum pajak mempunyai unsurunsur antara lain:
1). Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2). Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah.
3). Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. 4). Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dan
pemasukkannya
masih
terdapat
surplus
dipergunakan
untuk
membiayai public investment.
5). Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yaitu mengatur.
2.
Saat Timbulnya Kewajiban Pajak a.
Kewajiban Pajak Subjektif
Yang dimaksud kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban untuk membayar pajak yang pengenaannya dan atau pemotongan pajak harus memperhatikan kondisi subjek pajaknya atau Wajib Pajak yang bersangkutan seperti status, pekerjaan,dan hal lainnya yang berhubungan dengan predikat Wajib Pajak (Rimsky 2002 : 50-51).
b.
Kewajiban Pajak Objektif
Yang dimaksud kewajiban pajak objektif adalah kewajiban untuk membayar pajak yang pengenaannya memperhatikan masalah objeknya seperti penerimaan penghasilan, adanya perbuatan dan/atau peristiwa pengalihan kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya, dan banyak hal lagi yang berkenaan dengan objek pajak (Rimsky 2002 : 51). Sedangkan menurut Gunadi:
"... dalam hal seseorang sudah menerima atau memperoleh penghasilan pada suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak, berarti dipenuhinya kewajiban pajak objektif (Gunadi 2004 :16). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban pajak objektif dimulai saat dipenuhinya sebab-sebab yang dapat menimbulkan adanya kewajiban membayar pajak seperti keadaan, perbuatan, dan peristiwa tertentu.
3.
Ketentuan Umun Perpajakan
a.
Defenisi-defenisi dalam Ketentuan Umum Berikut ini beberapa pengertian istilah dalam perpajakan Indonesia
yang relevan dengan tema skripsi yang akan dikaji berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagai berikut: 1) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraruran
perundang-undangan
perpajakan
ditentukan
untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
2) Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha atau tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, firma, kongsi, koperasi, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan usaha lainnya. 3) Masa Pajak adalah jangka waktu lamanya sama dengan satu bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama tiga bulan takwim.
4) Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim atau tahun
kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
5) Pajak yang terutang adalah pajak yang hams dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Gunadi2004: 1).
b.
Surat Pemberitahuan (SPT)
Sesuai dengan Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
6
Tahun
1983
Tentang Ketentuan Umum
dan
Tata
Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU KUP Tahun 1984):
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak, objek pajak dan bukan objek pajak atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Menurut
Gunadi,
fungsi
SPT
dilihat
dari
sisi
Wajib
Pajak
dan
pemotong/pemungut pajak sebagai berikut: 1) Untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang; a) pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak;
b) penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak, c) harta dan kewajiban;
d) penyetoran dari pemotong atau pemungut pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu masa pajak.
2) Bagi pemotong atau pemungut pajak, sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan (Gunadi 2004:1). c.
Pemeriksaan
Pasal 1 butir 24 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 memberikan batasan pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan iintuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk
tujuan
lain dalam
rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepadaWajib Pajak.
B. Pajak Penghasilan dan Kewajiban Pembukuan 1.
Pengertian Penghasilan
Beberapa pengertian penghasilan antara lain : a.
Penghasilan didefinisikan secara luas sebagai peningkatan kesejahteraan seseorang. Semua bentuk peningkatan harus dimasukkan baik yang sifatnya tetap maupun berfluktuasi, diharapkan maupun tidak diharapkan, yang direalisasi maupun yang belum direalisasi, tidak perlu dipermasalahkan bagaimana penghasilan itu digunakan yaitu ditabung atau dikonsumsi (Musgrave 1991 : 354).
b.
Penghasilan (income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu
periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal (1AI2004 : 12-13). c.
Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
10
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun (UU PPh 2000 : Pasal 4 ayat 1).
2.
Subjek Pajak Penghasilan
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Takun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh Tahun 1984) menentukan dengan jelas siapa yang menjadi Subjek Pajak Penghasilan: (1) yang menjadi Subjek Pajak adalah : a.
b.
l)OrangPribadi; 2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yangberhak. Badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan usaha lainnya;
c. Bentuk usaha tetap. (2) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Dalam Negeri adalah :
3.
a.
Orang Pribadi
b.
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
c.
Warisan
Objek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh Tahun 1984 disebutkan bahwa:
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk:....; c. laba usaha;
11
4.
Tarif Pajak Penghasilan
UU PPh tahun 1984 pada dasaraya menganut tarif progresif. Tarif progresif adalah tarif dengan persentase yang makin meningkat atau naik apabila jum)ah yang menjadi dasar pengenaan pajak meningkat. Tarif progresif ini diterapkan untuk memenuhi azas keadilan dalam bentuk pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak. Semakin besar Penghasilan Kena Pajak semakin besar pula pajak yang hams ditanggungnya.
Berdasarkan UU PPh Tahun 1984 terdapat perbedaan penggunaan tarif dalam menghitung Pajak Penghasilan Terutang antara Wajib Pajak Orang
Pribadi dengan Wajib Pajak Badan dalam hal lapisan Penghasilan Kena Pajak dan Tarif PPh, yang dapat dilihat pada table II-l dan table II-2 (Gunadi 2004 : 25).
Tarif tersebut disebut juga tarif umum dan diterapkan terhadap
Penghasilan Kena Pajak yang tidak dikenakan PPh final. Untuk keperluan
penerapan tarif pajak dalam menghitung PPh terutang, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan Rupiah penuh. TabelII.1 Tarif Umum PPh wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp. 25.000.000,00 DiatasRp. 25.000.000,00 sampai dengan Rp. 50.000.000,00 Diatas Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 100.000.000,00 Diatas Rp. 100.000.000,00 sampai dengan Rp. 200.000.000,00 Diatas Rj). 200.000.000,00
TanfPPh
5% 10%
15% 25% 35%
Sumber Gunadi, Pajak Penghasilan, cetakan kedua (Jakarta, PT Multi Utama Consultindo,2001), hal 25.
12
Tabel II-2 Tarif Umum PPh WajibPajak Badan dan BUT
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif PPh 10%
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 Diatas Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 100.000.000,00
15%
DiatasRp. 100.000.000,00
30%
Sumber Gunadi, Pajak Penghasilan, cetakan kedua (Jakarta, PT Multi Utama Consultindo,2001), hal25. 5.
Kewajiban Pembukuan
Pengertian pembukuan menurut Pasal 1 angka 26 UU KUP Tahun 1984 adalah sebagai berikut: Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan rugi laba pada setiap tahun pajak berakhir. Selanjutaya pada Pasal 28 ayat (1) disebutkan bahwa:
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan yang diselenggarakan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
b.
c.
Pembukuan haras diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, mata uang rapiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diijinkan oleh Menteri Keuangan; Pembukuan harus meliputi seluruh kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan Wajib Pajak; Pembukuan harus dilakukan secara teratur, tepat waktu, terinci dan taat azas;
d. e. f.
Pembukuan harus didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan keabsahannya; Pembukuan harus dapat ditelusuri kembali apabila diperlukan; Pembukuan harus ditutup dengan membuat neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap akhir tahun pajak (Hardi 2003 :29).
13
C. Konsep Pengakuan Pendapatan dan Beban Berdasarkan Komersial dan Fiskal.
1.
Konsep Pengakuan Pendapatan a.
Defmisi Pendapatan
Menurut International Accounting Standards, pendapatan didefinisikan sebagai berikut:
"Revenue is the gross inflow of economic benefits during the period arising in the course of the ordinary activities of an enterprise when those inflows results in increases relating to contribution from equity participants" (IAS No.18 1996 ; Par.06).
Menurut Kieso dan Weygandt sebagaimana dikutib dari SFAC No. 6 mendifinisikan pendapatan sebagai berikut:
Revenues are inflow or other enhancement of assets of an entity or setlements of its liabilities (or combination of both) from delivery or producing goods, redering services, or other activities that constitute the entity's ongoing major or central operations (Kieso dan Weygandt 2001 :
41). sedangkan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (I.A.I):
Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktifitas normal perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari konstribusi penanam modal (1AI2004 : Par 06).
b.
Pengakuan pendapatan
Dalam
mengakui
suatu
pendapatan
menurut
Kieso
dan
Weygant
sebagaimana dikutip dari SFAC No. 5, Par. 83 disebutkan bahwa dalam konsep pemeliharaan dan keuangan, melalui pendekatan transaksi.
14
"Revenues anda gains generally recognized when : 1) They are realized 2) They heve been earned through substansial completion of activities involved in the earning process" (Kieso dan Weygandt 2001 : 44),
Sedangkan menurut PSAK No. 23 paragraf 19, bila hasil suatu transaksi yang meliputi penjualan jasa dapat didefinisikan dengan andal, pendapatan sehubungan dengan transaksi tersebut harus diakui dengan acuan pada tingkat penyelesaian pada tanggal neraca. Hasil suatu transaksi dapat diestimasi
dengan andal bila seluruh kondisi berikut ini dipenubi: 1) Jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal; 2) Besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut diperoleh perusahaan;
3) Tingkat penyelesaian dari suatu transaksi pada tanggal neraca dapat diukur dengan andal; 4) Biaya yang terjadi untuk transaksi tersebut dan biaya untuk menyelesaikan transaksi tersebut dapat diukur dengan andal (IAI 2004 : Par 19).
Menurut Gunadi, dalam perpajakan tidak ada ketentuan yang mengatur
secara rinci saat pengakuan penghasilan baik atas pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gains), oleh karena iru untuk keperluan penghitungan objek pajak, maka kita mengikuti ketentuan yang berlaku pada praktek akuntansi komersial (Gunadi 2004 :135). Ketentuan
Pajak
Penghasilan
menyatakan
pajak
dikenakan
atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Istilah "diterima" terlihat lebih menunjuk kepada penerimaan atau realisasi penghasilan, sedangkan istilah "diperoleh" tampaknya menunjuk kepada pengakuan penghasilan. Untuk menentukan kapan penghasilan diterima atau diperoleh,
Undang-Undang
Perpajakan menunjuk kepada metode pembukuan yang diselenggarakan oleh
15
Wajib Pajak berdasarkan basis akrual dan kas. Pendekatan akrual mengakui penghasilan pada saat diperoleh, pendekatan kas raengakui penghasilan pada saat diterima. Hak untuk menerima sejumlah imbalan (uang) dari pemberian jasa (atau dari penjualan barang) sudah diakui sebagai penghasilan menurut basis akrual karena terjadi realisasi transaksi. Menurut basis kas hak untuk
menerima itu belum diakui sebagai penghasilan karena belum terjadi realisasi (pembayaran) dari hak tersebut. Belum diterimanya pembayaran menimbulkan
risiko kolektibilitas yang perlu ditampung dalam penentuan saat pengakuan penghasilan (Gunadi 2004 :137-138).
Sehubungan dengan penghitungan penghasilan kena pajak basis kas dapat
dipakai untuk menggeser penghasilan dari satu ke lain tahun untuk memperoleh penghematan pajak. Untuk menetralisasikan hal itu, ketentuan perpajakan menyatakan untuk keperluan perpajakan metode kas harus dimodifikasi sebagai berikut:
1)
2)
Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai raaupun yang bukan, Dengan kata lain, untuk penjualan dipakai metode akrual. Demikian pula dalam menghitung harga pokok penjualan harus dikaitkan dengan jumlah yang terjual itu {proper matching).
Pengeluaran untuk memperoleh harta yang dapat disusutkan atau hak-hak yang dapat diamortisasi harus dikapitalisasi dan dikurangkan dari penghasilan bruto melalui depresiasi atau amortisasi (Gunadi 2004 : 138139).
2.
Konsep Pengakuan Beban a.
Definisi Beban
Menurut kerangka dasar penyusunan laporan keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam PSAK, disebutkan bahwa : "Beban
16
adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuiias yang tidak menyangkut pembagian
kepadapenanamn moda " (IAIPSAK : Par70b). Sedangkan menumt Kieso dan Weygandt sebagaimana dikutip dari SFAC
No. 6, beban didefinisikannya sebagai berikut: Expenses are outflows or other
using up assets or increase of liabilities (or combination of both) from delivering or producing goods, rendering services, or carrying out other activities that constitute the entity's ongoing major or central operation (Kieso dan Weygandt 2001 :41).
b.
Pengakuan Beban
Dalam praktek akuntansi komersial pengaitan biaya dengan penghasilan dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu sebab akibat, alokasi sistematis dan rasional dan pengakuan segera, semua biaya termasuk kerugian (losses) dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan neto (net income). Tergantung
dari konsep laporan penghasilannya, pengurangan biaya dan kerugian dapat dibedakan menjadi:
1) Konsep penghasilan inklusif (all inclusive income) dengan mengurangkan semuanya dalam penghasilan neto dan;
2) Konsep penghasilan operasi sekarang (current operating concept of income) dengan raembebankan keuntungan dan kerugian luar biasa serta
17
koreksi biaya kepada saldo laba (ditahan) ketimbang penghasilan (tahun berjalan).
Berbeda dengan kedua konsep itu, untuk tujuan perpajakan tidak semua biaya dapat dikurangkan. Selain tidak membuat garis pemisah antara hal yang biasa dan luar biasa, untuk tujuan pajak, koreksi biaya dapat dilakukan dalam
tahun yang sama langsung ke rugi-laba.
Secara umum, biaya yang dapat
dikurangkan antara lain biaya yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Selain ada atau tidaknya hubungan
(langsung) antara biaya atau pengeluaran dan penghasilan menentukan dapat tidaknya
biaya
dikurangkan
dari
penghasilan
{direct matching),
beberapa
kualifikasi juga hams dipenuhi.
Pertama, penghasilan yang diterima atau diperoleh atau diterima sehubungan
dengan biaya dimaksud haras merupakan Penghasilan Kena Pajak. Kedua, kalau penghasilan itu dikenakan pajak, maka pemajakan akan bersifat final atau tidak final (Gunadi 2004 :155-156).
Menurut Gunadi, ada lima persyaratan umum agar secara fiskal pengeluaran perusahaan dapat dibiayakan, yaitu :
1) Biaya bukan termasuk yang secara eksplisit tidak diperkenankan untuk dikurangkan
oleh ketentuan perpajakan;
2) Biaya harus dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan;
3) Biaya bukan untuk keperluan pribadi atau sebagai pemakaian penghasilan; 4) Biaya bukan merupakan pengeluaran capital; 5) Jumlah biaya wajar (Gunadi 2004 :159).
18
Sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 UU PPh Tahun 1984, besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Badan Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
1) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjaianan,
biaya pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,
premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh. 2) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11 A.
3) luran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
.
,
4) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimihki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. 5) Kerugian karena selisih mata uang asing.
6) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
7) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
a) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi laba komersial; b) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutan^pembebasan utang antara kreditur dengan debitur yang bersangkutan;
c) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan d) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktur Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Sedangkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) UU PPh tahun 1984, tidak boleh dikurangkan dari pen^iasilan bruto atas:
1) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian SHU koperasi.
2) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota.
3) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan pmtang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
19
cadangan untuk usalia asuransi, dan cadangna biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
4) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, asuransi bea siswa, yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. 5) Penggantian atau imbalan sehubungan dengna pekerjaan atau jaasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
6) Jumtah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
7) Harta
yang
dihibahkan,
bantuan
atau
sumbangan,
dan
warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, kecali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
8)
Pajak Penghasilan.
9) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya.
10)Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, perseroan komanditer yangmodalnya tidak terbagi atas saham.
ll)Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan serta sanksi pidana berupa denga yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan.
Dan Pasal 9 ayat (2) UU PPh tahun 1984 menyatakan :
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan
sekaligus,
melainkan
dibebankan
melalui
penyusutan
atau
amorrisasi sebagaimana dimaksud Pasal 11 atau Pasal 11A. 3.
Rekonsiliasi Fiskal
Untuk kepentingan perpajakan, perusahaan tidak perlu membuat laporan keuangan fiskal secara khusus. Perusahaan
keuangan (komersial).
cukup membuat satu Japoran
Untuk kepentingan perpajakan, perusahaan tinggal
20
melakukan rekonsiliasi fiskal atau penyesuaian laporan keuangan komersial dengan ketentuan perpajakan. Menurut Pardiat, laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), sedangkan laporan
keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan UndangUndang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya yang tujuannya untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak atau rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Dalam menentukan penghasilan (pendapatan) dan biaya antara SAK dan UU PPh
terdapat persamaan dan perbedaan. Perbedaannya dilakukan koreksi fiskal atau rekonsiliasi fiskal sehingga dapat disusun laporan keuangan fiskal (Pardiat Materi Kuliah Akuntansi Perpajakan : 205-206)
D. Perencanaan Pajak
1,
Pengertian Perencanaan Pajak Beberapa definisi perencanaan pajak antara lain:
a.
Menurut
Aries
Gunawan,
seperti
yang
dikurip
oleh
Sophar
Lumbantoruan:
Perencanaan pajak merupakan upaya legal yang biasa dilakukan Wajib Pajak. Tindakan tersebut legal karena penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur {loopholes) (Sophar Lombatoruanl999:485).
b.
Joel K. Siegel dan Jae K. Shim, seperti yang diterjemahkan Moh. Kurdi:
Analisis sistematis dalam membedakan kebebasan pajak yang ditunjukkan meminimalkan kewajiban pajak dalam periode perpajakan yang berjalan di masa depannya (Siegel dan Shim 1994 :461).
21
c.
Crumble D Larry, Friedman Jack P., Anders Susan B.: "Tax Planning is the systematic of differing tax options aumed at the minimization of tax liability in current andfuture tax periods "(Larry et al. 1994:300).
d.
Lyons Susan M "Tax planning is arrangements of a person's business and/or private affairs in order to minimize tax liability "(Lyons 1996 :303).
Berdasarkan kutipan - kutipan diatas, Penulis dapat menyimpulkan bahwa
perencanaan pajak adalah upaya Wajib Pajak untuk mengatur kewajiban perpajakan dengan cara tertentu yang secara aspek keuangan lebih menguntungkan Wajib Pajak sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 2.
Tujuan Pereocanaan Pajak
Secara teoritis perecanaan pajak adalah bagian dari manajemen pajak.
Tujuan manajemen pajak pada dasarnya serupa dengan tujuan manajemen keuangan yaitu sama-sama bertujuan untuk memperoleh likuiditas dan laba yang cukup (Sophar Lumbatoruan 1999 : 483).
Menurut Erly Suandy, perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pajak tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan (Erly Suandy 2001 :7).
Tindakan penghematan pajak dimungkinkan karena adanya peluang atau kesempatan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakukan yang berbeda atas
objek yang secara ekonomi hakikatnya sama (karena pemerintah mempunyai tujuan lain tertentu) dengan memanfaatkan: Perbedaan tarif pajak {tax rates), perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax base), loopholes, shelters, dan havens.
22
3.
Mekanisme Penerapan Perencanaan Pajak Dalam
melakukan
perencanaan pajak baik
untuk nasional
maupun
internasional yang sering dilakukan adalah dengan melakukan : a) Avoid to top bracket, baik dengan memanfaatkan interest, investment, maupun losses arbitrage.
b) Income recognition acceleration (terutama untuk PPN).
c) Income spreading (baik untuk beberapa Wajib Pajak maupun tahun pajak). d)
Tax payment deferral.
e) Tax exclusive maximization (misalnya dengan pengaturan tempat performance jasa).
f)
Transformasi taxable ke non deductible ke deductible expenses.
g) Peuciptaan maupun percepatan tax expenses (Erly Suandy 2001 : 116).
E. Perencanaan Pajak Atas PPh Badan 1.
Pengertian Perencanaan pajak Atas PPh Badan
Pajak Badan merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas laba perusahaan yang biasanya disebut dengan Penghasilan Kena Pajak atau laba kena
pajak. Secara ringkas Penghasilan Kena Pajak terdiri dari unsur penghasilan dan biaya fiskal yang penentuan penghasilan dan biaya berbeda antara akuntansi keuangan dengan ketentuan perpajakan. Oleh karena itu, perasahaan perlu memahami dengan benar perbedaan-perbedaan antara perlakuan akuntansi dan fiskal. Secara fiskal penghasilan/pendapatan ada yang merupakan objek pajak dan ada yang bukan objek pajak. Penghasilan yang merupakan objek pajak ada yang
23
dikenakan PPh bersifot tidak final dan ada juga yang dikenakan PPh bersifat final. Sementara biaya/pengeluaran, ada yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau sering disebut deductible expenses dan ada yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau sering disebut dengan non deductible expenses. Disamping
itu terdapat beberapa perbedaan metode pembukuan antara akuntansi dan fiskal, misalnya
penyusutan,
sebagainya.
Hal-hal
amortisasi,
penilaian
persediaan,
pencadangan
tersebut perlu diketahui oleh perusahaan
agar
dan dapat
melakukan perencanaan pajak atas PPh Badan dengan baik.
2.
Tujuan Perencanaan Pajak Atas PPh Badan
Perencanaan pajak atas PPh badan memmrt Erly Suandy adalah suatu strategi mengefisiensikan beban PPh Badan (penghematan pajak). Strategi yang
dibuat haruslah yang bersifat legal supaya dapat menghindari sanksi-sanksi pajak di kemudian hari. Secara umum penghematan pajak menganut prinsip the least and the latest, yaitu membayar dengan jumlah seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang masih diizinkan oleh Undang-undang dan peraturan perpajakan (Erly Suandy 2001 :119).
3. Strategi Untuk Mengefesienkan Beban PPh Badan Yang Berkaitan dengan Pendapatan dan Beban Perusahaan
Strategi mengefesienkan beban
PPh Badan
yang berkaitan dengan
pendapatan dan beban perusahaan dari berbagai literatur dapat dijabarkan sebagai berikut:
24
a.
Pemilihan alternatif dasar pembukuan.
Dasar pembiikuan yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah basis akrual dan basis kas yang dimodifikasi. Pada basis kas yang dimodifikasi,
penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seiuruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Sedangkan biaya-biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah dibayar.
Jika dipandang dan segi perpajakan, maka memilih basis akrual untuk dasar pembukuan lebih menguntungkan daripada basis kas.
b. Pengelolaan transaksi yang berhubungan dengan pemberian kesejahteraan karyawan
Pada biaya-biaya yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan karyawan
terdapat banyak peluang untuk melakukan efesiensi PPh badan, namun strategi ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan sebagai berikut:
1) Pada perusahaan yang laba kena pajaknya sudah di atas seratus juta dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura yang tidak diperkenankan sebagai biaya.
2) Pada perusahaan yang dikenakan PPh badan secara final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura karena pemberian natura dari pemberi kerja merupakan Objek PPh Pasal21.
25
3) Pada perusahaan yang merugi, membah pemberian natura menjadi tunjangan hanya akan menaikkan beban PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.
Biaya-biaya yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan karyawan tersebut antara lain: 1)
PPh Pasal 21 Karyawan
PPh Pasal 21 karyawan dapat berupa :
a) PPh Pasal 21 menjadi beban karyawan, dalam hal ini perusahaan hanya pemotong PPh Pasal 21.
b) Tunjangan PPh Pasal 21, tunjangan ini tercantum dalam slip/daftar gaji pegawai, sehingga tunjangan tersebut dikenakan PPh. Dalam perhitungan laba rugi perusahaan, tunjangan PPh Pasal 21 menyatu
dalam pos gaji dan tunjangan karyawan. Tunjangan PPh Pasal 21 ini boleh dibebankan sebagai biaya.
c) PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, PPh Pasal 21 ini tidak
tercantum
sebagai
tunjangan.
Dalam perhitungan laba rugi
perusahaan akan terlihat biaya PPh Pasal 21 terpisah dengan gaji dan tunjangan karyawan. PPh Pasal 21 ini merupakan kenikmatan dan ridak boleh dibebankan sebagai biaya. 2) Pengobatan/Kesehatan Karyawan Pengobatan/kesehatan karyawan dapat berupa :
a) Perusahaan mendirikan rumah sakit/klinik
adalah merupakan
pemberian natura sehingga tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
26
b) Karyawan berobat di rumah sakit atau dokter langganan dan
pengambilan obat dari
apotik langganan.
Adalah merupakan
pemberian natura sehingga tidak dapat dikurangkan sebagai biaya. c) Karyawan diberikan tunjangan kesehatan, sakit maupun tidak sakit. Adalah merupakan tambahan penghasilan bruto karyawan dan pengehiaran tersebut boleh dibiayakan.
d) Karyawan diperkenankan berobat ke rumah sakit atau dokter langganan
atas
nama
karyawan,
membayar
terlebih
dahulu
kemudian oleh perusahaan diberikan penggantian. Jika penggantian memenuhi syarat yakni tidak ada mark up atau mark down, bukti asli diserahkan ke perusahaan, bukti atas nama perusahaan atau atas nama karyawan qq perusahaan, dan diatur dalam kontrak
kerja, maka esensinya merupakan natura sehingga tidak boleh dibebankan sebagai biaya. 3) Pembayaran Premi Asuransi untuk karyawan
Premi asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan dapat dibebankan sebagai biaya, tetapi premi
asuransi tersebut harus terlebih dahulu
dimasukkan sebagai penghasilan bruto karyawan yang bersangkutan. 4) Iuran Pensiun dan Iuran Jaminan Hari Tua yang dibayar oleh perusahaan. Iuran Pensiun dan Iuran Jaminan Hari Tua yang dibayar oleh
perusahaan merupakan biaya perusahaan, dan iuran yang dibayarkan oleh pemberi kerja tersebut bukan penghasilan bagi karyawan sehingga tidak
27
dikenakan PPh Pasal 21 dengan syarat dana pensiun yang bersangkutan
telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 5) Perumahan untuk karyawan
Perumahan untuk kaiyawan dapat diberikan dalam bentuk : a) Perusahaan menyediakan rumah dinas yang dibuat atau dibeli oleh
perusahaan,
Adalah merupakan natura atau kenikmatan sehingga
biaya-biaya yang terkait tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Namun perusahaan dapat mengupayakan agar bentuk ini tidak dikategorikan
sebagai natura dengan cara: kepada karyawan yang menempati rumah dinas diberikan tunjangan perumahan dan dimasukkan ke dalam slip/daftar gaji karyawan, dengan syarat besarnya tunjangan tidak
boleh lebih kecil dari biaya eksploitasi rumah dan penyusutan rumah tersebut. Dengan demikian biaya eksploitasi dan penyusutan dapat dibebankan sebagai biaya.
b) Perusahaan menyediakan rumah dinas yang disewa oleh perusahaan.
Adalah merupakan pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan sehingga
biaya-biaya
terkait
seperti
biaya
penyusutan,
biaya
pemeliharaan, biaya sewa tidak boleh dibebankan sebagai biaya. c) Perusahaan
memberikan
penggantian
sewa
rumah
dinas
yang
dibayarkan oleh karyawan, penggantian ini dimasukkan ke dalam tunjangan perumahan bagi karyawan.
d) Perusahaan memberikan tunjangan perumahan kepada karyawan.
28
6) Transportasi untuk karyawan
Transportasi karyawan dapat diberikan dalam bentuk : a) Karyawan diantar jemput khusus dengan mobil perusahaan, biaya eksploitasi dan penyusutan kendaraan boleh dibiayakan dan bukan tnerupakan penghasilan bagi karyawan. b) Karyawan
diberikan
tunjangan
transport.
Adalah
merupakan
penghasilan bagi karyawan dan pengeluaran tersebut dapat dibebankan sebagai biaya.
c) Kendaraan yang dikuasai oleh karyawan tertentu/dibawa pulang. Biaya penyusutan dan biasa eksploitasi kendaraan boleh dibebankan sebagai
biaya perusahaan sebesar 50% (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002) 7) Pakaian seragam untuk karyawan
Pemberian seragam yang merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan keselamatan atau yang berkenaan
dengan situasi lingkungan kerja, dapat dibebankan sebagai biaya dan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan walaupun diberikan bukan di
daerah terpencil, misalnya pakaian seragam pabrik dan
satuan
pengamanan.
8) Pemberian natura lainnya untuk karyawan
Terhadap pemberiari natura lainnya kepada karyawan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan dapat diupayakan agar dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan cara karyawan diberikan
29
tunjangan yang merupakan penghasilan karyawan yang dikenakan PPh Pasal 21, sepanjang tarif PPh Pasal 21 karyawan yang menerima tunjangan tersebut lebih rendah dari tarif PPh badan.
9) Perjalanan dinas karyawan Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan misalnya biaya
transport, note! dan sebagainya merupakan biaya perusahaan dan bukan penghasilan karyawan, sepanjang jumlahnya tidak mengandung unsurunsur untuk keperluan pribadi. (Surat DJP Nomor S.1215/PJ.23/1984 butir 5.4)
10) Bonus dan jasa Produksi
a) Bonus
dan
jasa
produksi
kepada
karyawan
merupakan
biaya
perusahaan, apabila dibebankan dalam biaya tahun berjalan.
b) Apabila bonus, gratifikasi dan jasa produksi yang dibayarkan kepada karyawan dan direksi dibebankan ke laba ditahan (Retained earning) bukan merupakan biaya perusahaan.
c) Tantiem merupakan bagian keuntungan yang diberikan kepada Direksi dan Komisaris dari pemegang saham yang didasarkan pada presentasi tertentu dari laba perusahaan, tidak dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan
dan
bagi
penerimanya
merupakan
penghasilan
dan
dikenakan PPh Pasal 21.
Pembayaran gaji, bonus, jasa produksi yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham yang juga menjadi komisaris,
30
direksi,
atau
perusahaan.
pegawai, Pernbayaran
tidak
boleh
tersebut
dibebankan
merupakan
sebagai
dividen
biaya
sehingga
dipotong PPh pasal 23/26. (SE DJP Nomor : SE.16/PJ.44/1992 tanggal
12 Mei 1992 mengenai : pembagian bonus, gratifikasi, jasa produksi dan tantiem, dan UU Nomor 17 Tahun 2000, penjelasan Pasal 9 ayat 1 huruff).
11) Pemberian natura Natura dan kenikmatan yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
a) Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya sepanjang dilokasi pekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa.
b) Pelayanan kesehatan, sepanjang dilokasi pekerja tersebut tidak ada tempatnya.
c) Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya sepanjang di lokasi pekerja tersebut tidak ada sarana pendidikan yang setara. d) Pengangkutan bagi pegawai di lokasi pekerja. Untuk pengangkutan bagi
keluarga
terbatas
pada
pengangkutan
sehubungan
dengan
kedatangan pertama ke lokasi kerja dan kepergjan pegawai dan keluarganya karena terhentinya hubungan kerja.
e) Olah raga bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi pekerja tidak ada sarana yang dimaksud. Sarana olah raga ini tidak termasuk boating, golfdan pacuan kuda.
31
Pengeluaran perusahaan dalam bentuk natura di atas bukan merupakan penghasilan karyawan.
c.
Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tidak berwujud.
Penyusutan dan amortisasi aktiva tetap/tidak berwujud yang diakui oleh fiskus sejak tahun 1995 terdirt dari dua metode yaitu : 1) Metode garis lurus. 2) Metode saldomenurun.
Penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus akan menghasilkan beban penyusutan yang sama besarnya setiap tahun. Penyusutan
dengan
menggunakan
metode
saldo
menurun
akan
menghasilkan beban penyusutan lebih besar pada awal pembelian aktiva dan
makin menurun pada tahun-tahun berikutnya, tetapi pada akhir umur ekonomis aktiva tersebut jumlah akumulasi penyusutan akan sama.
Penyusutan dengan metode saldo menurun ini menguntungkan bagi perusahaan dari segi likuiditas.
d.
Transaksi yang berhubungan dengan withholding tax
Dalam dunia usaha, tidak jarang perusahaan memiliki transaksi yang mengharuskan adanya pemungutan pajak dari pihak ketiga dimana pihak yang
bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya.
Apabila perusahaan tidak
memotong withholding tax (PPh Pasal 21, Pasal 23, PPh Final, PPh Pasal 26),
32
maka jika dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak, perusahaan akan dikenakan
kewajiban
untxik
membayar
withholding
tax:
ditambah
denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Untuk mengatasi hal tersebut dapat ditempuh :
1) Perusahaan membayar withholding tax, pajak yang dibayarkan ini tidak boleh dbebankan sebagai biaya.
2) Nilai transaksi di gross up, sehingga jumlah transaksi dalam kontrak sudah tennasuk pajak yang harus dipungut. Atas jumlah pajak yang dibayarkan boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan deviden.
PPh Ps. 23
Menurut Gunadi, Tarif dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23
dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1.
Sebesar 15% dari jumlah bruto atas: a. Dividen
Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP 545/PJ./2000 Tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan Pasal 21 dan 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, Pasal 1. b. Bunga , termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang
c. Royalti d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak Pengasilan pasal
21 ayat (1) huruf e. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifot final atas 2,
bunga simpanan yang dibayar oleh koperasi. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum jasa konsultan pajak, dan lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang dilakukan
33
oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap selain jasa yang telah dipotong pajak Penaghasilan Pasal 21 (Gunadi 200] : 81).
PPhPs.26
Sedangkan tarif dan objek pajak penghasilan pasal 26 dikenakan terhadap penghasilan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah,
subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, yang dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu; 1.
2.
3.
Sebesar 20% dari jumlah bruto, atas: a. b.
dividen; bunga termasuk premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan
c. d.
dengan jaminan pengembalian hutang; royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.
hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya. Sebesar 20% atas penghasilan neto dari penjualan harta, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan premi asuransi yang dibayarkan kepada penisahaan asuransi di luar negeri.
Sebesar 20% atas laba neto setelah pajak yang terima oleh bentuk usaha tetap sesudah, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembaJi di Indonesia. 4. Dalam hal telah dilakukan perjanjian penghindaran pajak berganda antar pemerintah RI dengan negara lain,penghitungan besaraya PPh Pasal 26 didasarkan pada Tax Treaty tersebut.
PPh Final
Selain kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dan Pasal 26, ada beberapa objek pajak lain yang dikenakan pemotongan PPh final, yang diatur dengan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, seperti misalnya:
a.
Atas bunga deposito, tabungan serta sertifikat Bank Indonesia, yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah No.
131 tahun 2000, Keputusan Menteri
34
Keuangan
No.
51/KMK.04/2001
dan
edaran
Dirjen
Pajak
No.
SE-
01/PJ.43/2001 b.
Atas hadiah undian, yang diatur dalam pemerintah Republik Indonesia No. 132 Tahun 2000.
c.
Pengalihan hak atas tanah atau bangLinan yang diatur dalam peraturan pemerintah
No.
79
NO.566/KMK.04/1999
tahun dan
Surat
1999,
Keputusan
Edaran
Dirjen
Menteri Pajak
Keuangan
nomor
SE-
04/PJ.33/1996.
d.
Persewaan tanah dan atau bangunan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1996, Keputusan Menteri Keuangan No.394/KMK.04/1996 dan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-22/PJ.4/1996.
PPn Pasal 25 dan Pasal 29
Besarnya angsuran pajak penghasilan Pasal 25 dalam tahun berjalan sama dengan PPh yang terhutang menurut surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau pajak yang lalu dikurangi dengan pajak penghasilan yang dipotong dan atau di pungut pihak lain (PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPb Pasal 23)
dan pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan (PPh Pasal 24) dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Sedangkan untuk perhitungan PPh yang kurang bayar atau yang lebih dikenal dengan PPh Pasal 29 adalah dengan mengkreditkarj PPh yang telah dibayar pada tahun berjalan (prepaid tax) dengan PPh yang terutang.
35
e.
Penyertaan pada Perseroan terbatas Dalam Negeri.
Penyertaan modal saham pada Perseroan Terbatas dalam negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Apabila modal saham atas nama perorangan, maka dividen yang diperoleh perorangan tersebut dikenakan PPh Pasal 23. Apabila modal saham atas nama PT, Koperasi, BUMN, dan BUMD maka
penerimaan dividen tersbut bukan objek pajak, sehingga tidak dikenakan pajak .sepanjang memenuhi persyaratan:
1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan 2) Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen :
a) Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yangdisetor;
b) Mempunyuai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut di atas. (Pasal 4 ayat (3) huruf f UU Nomor 17 Tahun 2000).