BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1 Pengertian Pajak Banyak pendapat dari para ahli yang mengemukakan tentang, ‘apa itu pajak?’. Namun pada intinya, pengertian pajak yang dikemukakan tidak jauh berbeda satu sama lain. Secara singkat, pajak akan membantu Negara dalam pembangunan nasional yang berarti kegiatan tersebut berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik materiil maupun spiritual. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo, yang dikutip oleh Waluyo (2005:2) mengemukakan bahwa “pajak adalah Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum yang berhubung dengan tugas – tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. Bila dilihat dengan jelas, yang dimaksudkan dari kutipan di atas adalah pengertian yang lebih memfokuskan pada fungsi budgeter, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lain, yaitu fungsi mengatur. Berikut merupakan kutipan singkat dari para ahli yang mengemukakan secara jelas dan beragam dari pengertian pajak itu sendiri:
11
1) Pengertian pajak menurut Mr. Dr. NJ. Feldmann dalam buku De Over Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan) yang dikutip oleh Antong Amiruddin (2012) menyatakan bahwa “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaranpengeluaran umum”. 2) Pengertian pajak menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeets dalam buku De Economische Betekenis Belastingen (terjemahan), yang kemudian dikutip oleh Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2008:6) menyatakan bahwa “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah”. 3) Pengertian pajak menurut Prof Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”, yang dikutip oleh Mardiasmo (2011:1) menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. 4) Pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong” , yang dikutip oleh Antong Amiruddin (2012), menyatakan bahwa pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa
12
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barangbarang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. 2.1.2 Fungsi Pajak Sebagaimana yang telah kita ketahui dan kita lihat dari sedikit penjelasan diatas, diketahui bahwa adanya dua fungsi utama dalam perpajakan, yaitu: 1) Fungsi Budgeter (Fungsi Penerimaan) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. 2) Fungsi Reguler (Fungsi Mengatur) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. 2.1.3 Objek Pajak, Subjek Pajak, dan Sistem Pemungutan Pajak 2.1.3.1 Objek Pajak Objek Pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Yang termasuk objek pajak, adalah: imbalan kerja atau jasa (gaji, upah, tunjangan, komisi, bonus, honor, gratifikasi, uang pensiun, dll), hadiah undian, laba usaha, keuntungan penjualan, penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan, bunga termasuk premium, diskonto, dividen, royalti, sewa,
13
penerimaan pembayaran berkala, selisih kurs, premi asuransi, penghasilan usaha yang berbasis syari’ah, dll. 2.1.3.2 Subjek Pajak Subjek pajak adalah badan dan orang pribadi yang harus melaksanakan hak dan kewajiban Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah: 1) Orang pribadi & warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak 2) Badan Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pengertian badan adalah sekumpulan orang dan modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditar, perseroan lainnya, BUMN/D dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. 3) Bentuk Usaha Tetap Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
14
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber daya alam, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, kehutanan, proyek konstruksi, dll. 2.1.3.3 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak adalah metode atau tata cara pemungutan pajak atas objek pajak. Adapun sistem pemungutan pajak tersebut meliputi: 1) Official Assesment System Merupakan sistem pemungutan pajak yang jumlah pajak terhutangnya ditetapkan/ ditentukan oleh aparat pajak atau fiskus dengan ciri-ciri: fiskus berwenang menentukan besarnya pajak, wajib pajak bersifat pasif, utang timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus. Contoh: PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) 2) Self Assesment System Merupakan sistem yang dianut bangsa Indonesia sejak reformasi perpajakan yang dimulai pada tahun 1984, dimana setiap wajib pajak diberikan menghitung
wewenang/ hutang
kepercayaan pajaknya
untuk
sendiri,
dan
mendaftarkan
diri,
melaporkan
hasil
perhitungan pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Contoh: PPh (Pajak Penghasilan) pasal 21, PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dan PPNBm (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah)
15
3) With Holding System Merupakan sistem yang pemungutan pajaknya diberikan kepada pihak ketiga dalam menentukan besarnya pajak yang terhutang. Sehingga dalam sistem ini, pihak ketiga yang menentukan besarnya pajak, dan fiskus bersifat pasif. Contoh: PPh 21, 22, 23, 26, PPh pasal 4 ayat 2 2.2 Pajak Penghasilan Pasal 22 2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 Pajak penghasilan (PPh) 22 adalah pajak atas penghasilan yang dipungut berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, kegiatan di bidang impor dan atau penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pajak penghasilan pasal 22 ini dimaksudkan pajak yang dipungut atas transaksi pembelian yang dananya bersumber dari APBN/ APBD dan transaksi dilakukan oleh lembaga-lembaga atau badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Pemungutan PPh pasal 22 ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengumpulkan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan dengan hal tersebut, PPh pasal 22 dapat bersifat final. 2.2.2 Dasar Hukum PPh 22 Pada dasarnya, setiap peraturan pajak penghasilan memiliki masingmasing dasar hukum yang berbeda-beda sesuai dengan ketetapan DJP. Dasar hukum dari PPh 22 itu sendiri adalah: 16
1) Undang-undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan dan tata cara perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU no. 16 tahun 2009 2) Undang-undang no. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang no. 36 tahun 2008 3) Peraturan menteri keuangan nomor : 181/PMK.03/2007, tentang bentuk dan isi surat pemberitahuan, serta tata cara pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian surat pemberitahuan. 4) Peraturan menteri keuangan nomor : 184/PMK.03/2007, tentang penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak, penentuan tempat pembayaran pajak, dan tata cara pembayaran, penyetoran, dan pelaporan pajak, serta tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak. 5) Peraturan menteri keuangan nomor : 186/PMK.03/2007, tentang wajib pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda karena tidak menyampaikan surat pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. 6) Peraturan menteri keuangan nomor : 190/PMK.03/2007, tentang tata cara pengembalian pembayaran pajak seharusnya tidak terutang. 7) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 254/PMK.03/2001 tentang penunjukan pemungut pajak penghasilan pasal 22, sifat dan besarnya pungutan, serta tata cara penyetoran dan pelaporannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan no. 210/PMK.03/2008
17
8) Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor : 417/PJ/2001 tentang petunjuk pemungutan PPh pasal 22, sifat dan besarnya pungutan serta tata cara penyetoran dan pelaporannya. 9) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-38/PJ/2009 tanggal 23 juni 2009 tentang bentuk formulir surat setoran pajak. 10) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-53/PJ/2009 tanggal 30 September 2009 tentang bentuk formulir SPT masa pasal 4 ayat (2), SPT PPh pasal 15. Pasal 22, Pasal 23 dan/ atau Pasal 26 serta bukti pemotongan/ pemungutannya. 2.2.3 Subjek Pajak Penghasilan Pasal 22 Yang menjadi subjek pajak penghasilan pasal 22 ini antara lain adalah: 1) Wajib pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang 2) Wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain 3) Wajib pajak yang melakukan pembelian atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah 2.2.4 Objek Pajak Penghasilan Pasal 22 Yang termasuk dari objek pajak penghasilan pasal 22 ini adalah sebagai berikut: 1) Impor barang 2) Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, bendaharawan pemerintah pusat/ daerah
18
3) Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh BUMN/D yang dananya dari belanja Negara/ daerah 4) Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak di bidang bahan bakar jenis pertamax, pertamax super, dan gas. 5) Penjualan semua jenis kendaraan bermotor 6) Pembelian bahan – bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari pedagang pengumpul 2.2.5 Bukan Objek Pajak PPh Pasal 22 Yang tidak termasuk/ dikecualikan dari pemungutan pajak penghasilan pasal 22 adalah sebagai berikut: 1) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan keputusan Dirjen Pajak tidak terhutang PPh. Dinyatakan dengan surat keterangan bebas (SKB) PPh pasal 22. 2) Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk meliputi: -
Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik
-
Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia
-
Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan
19
-
Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum
-
Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
-
Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya
-
Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah
-
Barang pindahan
-
Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pabean
-
Barang yang diimpor pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum
-
Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara
-
Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara
-
Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
-
Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama
-
Dll,
3) Impor sementara jika akan di ekspor kembali
20
4) Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000, dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah (tanpa SKB) 5) Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/ PDAM, dan bendapos (tanpa SKB) 6) Atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan emas untuk tujuan ekspor dinyatakan dengan SKB 7) Pembayaran/ pencairan dana jaring pengaman sosial (JPS) oleh KPN 8) Re-impor barang yang telah di ekspor untuk tujuan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian 9) Pembayaran untuk pembelian gabah dan/ atau beras oleh BULOG 10) Pembayaran yang diterima karena penyerahan barang sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah/ pinjaman luar negeri 2.2.6 Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Pelaksanaan pemungutan pajak penghasilan pasal 22 dapat menunjuk instansi pemerintah, badan-badan tertentu, ataupun Wajib Pajak badan tertentu. Pemungut PPh pasal 22 adalah sebagai berikut: 1) Direktorat Jenderal Anggaran (KPPN) 2) Bendahara pemerintah pusat maupun daerah 3) Bendahara Bea dan Cukai 4) BUMN/D yang melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dibiayai dari APBN/D 5) Bank Indonesia, BPPN, BULOG, PT. Telkom, PT. PLN, PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina, dan bank-bank
21
BUMN yang melakukan pembelian yang dananya bersumber dari APBN maupun non APBN 6) Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh DJP atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul 7) Bank Devisa + Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) atas impor 2.2.7 Mekanisme Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 1) Impor dilengkapi dengan LKP (PPh pasal 22 disetor oleh importir ke bank devisa dengan menggunakan formulir SSP yang berlaku sebagai bukti pungutan pajak), Impor tidak dilengkapi LKP (PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh Dirjen Bea dan Cukai) 2) Dirjen Bea dan Cukai wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu: lembar pertama untuk pembeli, lembar kedua untuk disampaikan kepada Dirjen Pajak sebagai lampiran laporan bulanan, dan lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak bersangkutan 3) Dirjen Bea dan Cukai harus menyetorkan pemungutan PPh pasal 22 atas impor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan ke kantor pos dan giro atau bank-bank persepsi, dan harus melaporkan hasil pemungutan tersebut ke kantor Pelayanan Pajak secara mingguan selambat-lambatnya tujuh hari setelah batas waktu penyetoran pajak terakhir
22
4) Dirjen anggaran, bendaharawan pemerintah pusat/ daerah, BUMN/D, harus memungut dan menyetorkan pemungutan PPh pasal 22 ke kantor pos dan giro atau bank persepsi, pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran, dengan menggunakan formulir SSP yang telah diisi oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani oleh bendaharawan. SSP berlaku sebagai bukti pungutan pajak. Pelaporan harus disampaikan selambat-lambatnya empat belas hari setelah masa pajak berakhir. 5) Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, kertas, baja, dan otomotif yang ditunjuk oleh kepala KPP, harus memungut PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksinya dalam negeri dan wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu lembar pertama untuk pembeli, lembar kedua untuk disampaikan kepada Dirjen Pajak sebagai lampiran bulanan, dan lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan. 6) Badan usaha tersebut harus menyetor secara kolektif pemungutan PPh pasal 22 selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim setelah masa pajak berakhir. Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT masa selambat-lambatnya dua puluh hari setelah masa pajak berakhir. 7) PPh pasal 22 dari penyerahan oleh pertamina atas hasil produksinya, dari penyerahan bahan bakar minyak dan gas oleh badan usaha selain pertamina dan dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, dipungut dengan cara dilunasi sendiri oleh wajib pajak ke Bank persepsi atau kantor Pos dan Giro sebelum surat perintah
23
pengeluaran barang ditebus dengan menggunakan SSP yang juga merupakan bukti pungutan pajak. 8) Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) masa selambat-lambatnya dua puluh hari setelah masa pajak berakhir. 2.2.8 Efektifitas dan Efisiensi Terhadap Sistem Pemungutan PDRI Efektifitas adalah pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuantujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Selain itu, efektifitas juga dapat diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini, efektifitas yang dimaksud adalah cara yang digunakan bea cukai dalam melakukan pemungutan Pajak Dalam Rangka Impor termasuk di dalamnya seperti Bea masuk, cukai, PPh 22 impor, PPN impor, PPNBm impor secara tepat dan benar tanpa harus mengulur waktu terlalu lama untuk mencapai target yang telah ditentukan. Efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha untuk mmencari cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Bea cukai memiliki strategi khusus yang biasa digunakan untuk melakukan penagihan dan pemungutan pajak dalam rangka impor itu sendiri. Dikarenakan sistem pemungutan bea masuk, cukai, maupun PDRI yang digunakan ini bersifat self assessment system, maka bea cukai seringkali menemukan kendala/ hambatan dalam mencapai target. Maka dari itu, strategi yang digunakan bea cukai dalam melakukan
24
pemungutan maupun penagihan tersebut akan membantu efisiensi kerja secara maksimal dengan penggunaan sumber daya yang minimal untuk hasil yang lebih optimal. 2.2.9 Tarif Persentase Pajak Penghasilan Pasal 22 1. Importir yang memiliki API (Angka Pengenal Impor); tarif 2,5% PPh pasal 22 = 2,5% x Nilai Impor 2. Importir
yang
tidak
memiliki
API;
tarif
7,5%
PPh pasal 22 = 7,5% x Nilai Impor 3. Barang impor yang tidak dikuasai; tarif 7,5% dari harga jual lelang PPh pasal 22 = 7,5% x Harga jual lelang 4. Atas pembelian barang yang dananya dari APBN/D; tarif 1,5% PPh pasal 22 = 1,5% x pembelian 5. Penjualan
kertas
di
dalam
negeri
oleh
industri
kertas
PPh pasal 22 = 0,10% x DPP PPN 6. Penjualan barang kepada pemerintah yang dibayar dengan APBD/N PPh pasal 22 = 1,5% x harga jual 7. Penjualan
semen
di
dalam
negeri
oleh
industri
semen
PPh pasal 22 = 0,25% x DPP PPN 8. Penjualan
baja
di
dalam
negeri
oleh
industri
baja
PPh pasal 22 = 0,3% x DPP PPN 9. Penjualan otomotif oleh industri otomotif termasuk ATPM, APM, importir
kendaraan
umum
dalam
negeri
PPh pasal 22 = 0,45% x DPP PPN 10. Penjualan premium, solar premix, Super TT oleh pertamina kepada SPBU
Swasta/
pertamina 25
PPh pasal 22 SPBU Swasta = 0,3% x Penjualan PPh pasal 22 SPBU Pertamina 11. Penjualan
minyak
tanah/
= 0,25% x Penjualan gas
LPG,
pelumas
PPh pasal 22 = 0,3% x Penjualan 12. Penjualan brang kepada BI, BPPN, BULOG, Telkom, PLN, PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau steel, Pertamina, dan Bank BUMN yang dibayar dengan APBN maupun non-APBN PPh pasal 22 = 1,5% x Harga beli 13. Pembelian bahan-bahan untuk kebutuhan industri/ ekspor dari pedagang pengumpul oleh industri & eksportir yang bergerak di bidang sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan PPh pasal 22 = 1,5% x Harga beli Catatan: a) Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk yaitu Cost Insurance and freight (CIF) ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan pabean di bidang impor. b) Poin 1 – 9, 13, 14 bersifat tidak final. c) Poin 10, 11, 12 bersifat final. d) Bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP akan dipungut PPh pasal 22 dengan tarif lebih tinggi 100% dari/ dibandingkan dengan tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang dapat menunjukan NPWP.
26
2.3 Bea dan Cukai 2.3.1 Pengertian Bea dan Cukai Jika digabung, Bea Cukai adalah suatu direktorat (instansi di bawah departemen/kementerian) yang mengurusi tugas-tugas kepabeanan dan cukai. Direktorat bea cukai berada di bawah kementerian keuangan. bea sendiri berarti biaya tambahan yang dikenakan untuk barang-barang komoditas yang diperjual belikan terutama untuk barang-barang yang berasal dari luar wilayah pabean ke dalam wilayah pabean, dalam hal ini adalah negara Indonesia. Bea dikenakan berdasarkan harga pasaran internasional. Semakin tinggi permintaan atas barang tersebut di pasar internasional maka semakin mahal pula bea yang harus dikeluarkan. Sedangkan cukai artinya pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang cukai. Cukai dikenakan terhadap barang kena cukai, yang terdiri dari: -
Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya
-
Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol.
-
Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak menggunakan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
27
2.3.2 Dasar Hukum Bea dan Cukai 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 39 Tahun 2007 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai. 2. PMK No.62/PMK.011/2010 tentang tarif cukai etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan konsentrat yang mengandung etil alkohol. 3. PMK no.181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (HT) 4. PMK
No.99/PMK.011/2010
tentang
perubahan
PMK
No.181/PMK.011/2009 tentang tarif cukai hasil tembakau (HT) 5. Peraturan Direktur Jenderal bea dan Cukai nomor: P-43/BC/2009 tentang tata cara penetapan tarif cukai hasil tembakau. 6. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor: P-22/BC/2010 tentang tata cara pemungutan cukai etil Alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan konsentrat mengandung etil alkohol. 2.3.3 Impor (DJBC) Impor menurut DJBC sendiri adalah suatu kegiatan memasukan barang ke dalam daerah pabean, atau bisa disebut dengan memasukan barang dari luar negeri ke dalam negeri di dalam daerah pabean. Daerah pabean itu sendiri adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku undang-undang kepabeanan.
28
Banyak kaum awam atau masyarakat Indonesia sendiri yang masih belum mengerti tentang wilayah pabean atau kepabeanan. Kepabeanan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk. Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai “Barang Impor” dan terutang bea masuk. Setiap barang impor yang masuk ke dalam daerah pabean, tidak bisa dengan mudah dikeluarkan oleh importir tanpa memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan oleh Bea Cukai. Jika barang impor tersebut tidak dilengkapi oleh surat-surat dokumen dan lainnya dalam batas waktu 30 hari setelah barang tersebut tiba, maka barang impor tersebut akan berubah statusnya menjadi “barang tak ber-tuan” yang nantinya akan menjadi milik negara jika dalam jangka waktu 60 hari setelah barang tiba namun pelunasan dokumen belum dilengkapi, kemudian barang tersebut akan dilelang. Namun jika dalam batas waktu tersebut, importir dapat melengkapi atau melunasi surat-surat dokumennya, maka barang tersebut dapat menjadi milik importir kembali, serta dapat dikeluarkan dari gudang cukai atau TPS. Syarat yang harus dipenuhi oleh importir dalam mengeluarkan barang impor untuk dipakai setelah diserahkan, adalah: -
Pemberitahuan pabean dan dilunasi bea masuk dan PDRI
-
Pemberitahuan pabean dan jaminan
-
Dokumen pelengkap pabean dan jaminan
29
2.3.4 Barang Kena Cukai Sebagaimana yang kita tahu, bahwa barang yang dikenakan tarif cukai adalah barang yang termasuk barang kena cukai. Barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik seperti: -
Konsumsinya perlu dikendalikan
-
Peredarannya perlu diawasi
-
Pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup
-
Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan Sehubungan dengan penetapan jenis barang kena cukai sebagaimana
yang disebutkan di atas, sesuai dengan undang-undang 11 tahun 1995 tentang cukai yang telah diubah dengan undang-undang nomor 39 tahun 2007 tentang perubahan atas undang-undang nomor 11 tentang cukai, maka saat ini untuk sementara waktu, kita baru mengenal tiga jenis barang kena cukai secara umum, yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau, dan tidak menutup kemungkinan jika terjadi perubahan jenis barang kena cukai yang akan ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan bersama dengan DJBC. 2.3.5 Kawasan Berikat Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor. Didalam kawasan berikat, terdapat penyelenggara kawasan berikat, yaitu badan 30
hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan kawasan berikat. Kawasan berikat merupakan kawasan pabean yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dalam rangka pengawasan terhadap kawasan berikat sebagaimana yang dimaksud pada PMK No.147/PMK. 04/2011 pada ayat (1) dapat dilakukan pemeriksaan pabean dengan tetap menjamin kelancaran arus barang. Pemeriksaan yang dimaksud akan dilakukan secara selektif, berdasarkan manajemen resiko. Berdasarkan manajemen resiko, terhadap kawasan berikat dapat diberikan kemudahan kepabeanan dan cukai, berupa: a. Kemudahan pelayanan perijinan b. Kemudahan pelayanan kegiatan operasional c. Pemberian pintu tambahan d. Kemudahan kepabeanan dan cukai selain yang sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c. Pada hakikatnya, kawasan berikat harus berlokasi di kawasan industri. Luas lokasi untuk Kawasan Berikat di kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit 10.000 m2. Pengecualian dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat satu (1) bahwa kawasan berikat dapat berlokasi di kawasan budidaya yang diperuntukan bagi kegiatan industri berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan,
sepanjang
kawasan
berikat
tersebut
diperuntukan bagi:
31
a. Perusahaan yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus b. Perusahaan industri mikro dan kecil c. Perusahaan industri yang akan menjalankan industri di daerah kabupaten atau kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kavling industrinya telah habis. Kawasan atau tempat yang akan dijadikan sebagai Kawasan Berikat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. terletak di lokasi yang dapat langsung dimasuki dari jalan umum dan dapat dilalui oleh kendaraan pengangkut peti kemas; b. mempunyai batas-batas yang jelas berupa pagar pemisah dengan tempat atau bangunan lain; c. tidak berhubungan langsung dengan bangunan lain; d. mempunyai satu pintu utama untuk pemasukan dan pengeluaran barang yang dapat dilalui kendaraan; dan e. digunakan untuk melakukan kegiatan industri pengolahan bahan baku menjadi barang hasil produksi. 2.3.6 Tugas dan Fungsi Bea Cukai Seperti yang kita ketahui, bahwa tugas dan fungsi KPPBC atau yang biasa kita sebut dengan bea cukai adalah mengatur kegiatan ekspor impor di Indonesia. Melakukan pungutan terhadap pajak dalam rangka impor, termasuk didalamnya bea masuk, cukai, PPh 22 impor, PPN impor, dan sebagainya adalah tugas utama bea cukai secara garis besar. Sesuai dengan peraturan 32
menteri keuangan nomor 87/PMK.01/2008 tanggal 11 Juni 2008, kantor pelayanan mempunyai tugas untuk melaksanakan pelayanan dan pengawasan kepabeanan dan cukai dalam daerah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut paparan mengenai tugas dan fungsi bea cukai: 1. Pelaksanaan pemungutan bea masuk, cukai dan pungutan Negara lainnya yang dipungut oleh DJBC 2. Pelaksanaan perbendaharaan penerimaan, penangguhan, penagihan dan pengembalian bea masuk dan cukai 3. Pelaksanaan urusan penerimaan, penatausahaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pengembalian pita cukai 4. Pemberian pelayanan teknis, fasilitas dan perijinan di bidang kepabeanan dan cukai 5. Pelayanan dan pengawasan atas pembongkaran, penimbunan, dan pemuatan barang serta pengawasan pelaksanaan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan pabean 6. Pelayanan dan pengawasan pengangkutan barang kena cukai 7. Pembukuan dokumen kepabeanan dan cukai 8. Penelitian dokumen ekspor dan impor, pemeriksaan barang dan pemeriksaan badan 9. Pelayanan dan penelitian dokumen cukai, pemeriksaan pengusaha barang kena cukai, pelaksanaan pemusnahan pita cukai, serta pengajuan penukaran pita cukai 10. Pelaksanaan
pelayanan
dan
pengawasan
penimbunan
dan
pengeluaran barang di tempat penimbunan barang kena cukai 33
11. Pelaksanaan intelijen, patroli dan operasi penindakan pelanggaran peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai 12. Penyidikan 13. Pengelolaan dan pemeliharaan sarana 14. Pelaksanaan pengolahan data dan penyajian laporan 15. Pelaksanaan administrasai data dan penyajian laporan 16. Pelaksanaan administrasi kantor pelayanan 2.3.7 Mekanisme Kegiatan Impor Di dalam sebuah kegiatan, tentunya memiliki prosedur atau urutan kegiatan kerja hingga kegiatan tersebut mencapai tujuannya atau menghasilkan sebuah keberhasilan. Begitu juga dengan kegiatan impor di Indonesia, agar barang impor dapat masuk ke dalam Indonesia atau daerah pabean, dibutuhkan beberapa langkah dalam mencapainya. Berikut langkah-langkah dalam kegiatan impor di Indonesia: 1. Pembeli/ importir harus membuka L/C (Letter of Credit) pada bank di Indonesia (Issuing Bank). L/C tersebut harus diterbitkan untuk setiap transaksi impor. 2. Eksportir akan mendapatkan uang untuk harga barang yang dikirim dari bank di negaranya (Correspondent Bank) setelah mengirimkan barang
tersebut
dan
menyerahkan
dokumen-dokumen
yang
berkaitan dengan pengiriman barang dan spesifikasi barang tersebut. 3. Dokumen-dokumen tersebut dikirim kepada issuing bank yang ada di Indonesia dari bank koresponden untuk ditebus oleh importir
34
4. Dokumen yang telah dipegang oleh importir tersebut, digunakan untuk mengeluarkan barang yang dikirim oleh penjual. 5. Barang impor tersebut diangkut oleh sarana pengangkut berupa kapal-kapal pengangkut barang internasional dan hanya akan merapat di pelabuhan resmi pemerintah, misalnya tanjung priok, bandara internasional Soekarno-Hatta, Bandara Halim Perdana Kusuma, dsb. 6. Kemudian dilakukan pembongkaran. Pembongkaran yang dimaksud adalah pengeluaran kontainer/ peti kemas dari sarana pengangkut ke pelabuhan. Petugas DJBC tidak memiliki hak untuk membongkar isi dari peti kemas jika tidak ada perintah untuk melakukan pemeriksaan. 7. Setelah barang impor dibongkar, peti kemas/ kontainer tersebut ditempatkan di tempat penimbunan sementara. Untuk melakukan penimbunan sementara, importir akan dikenakan biaya sewa atas penggunaan ruangan. 8. Setelah bank menerima dokumen-dokumen impor dari bank koresponden, maka importir harus mengambil dokumen-dokumen tersebut dengan membayar L/C yang telah ia buka. Dengan kata lain, importir harus menebus dokumen tersebut, karena bank telah menangguhkan sementara ketika bank membayar eksportir saat menyerahkan dokumen 9. Setelah urusan dokumen tersebut selesai, maka importir dapat mengambil barang tersebut dengan dokumen yang telah importir peroleh dari bank (Bill of Lading, invoice, dll)
35
10. Pada saat importir akan mengambil barangnya, maka importir diwajibkan membuat dokumen PIB (Pemberitahuan Impor Barang), sedangkan invoice, B/L, COO (Certificate of Origin) disebut sebagai dokumen pelengkap pabean. Tanpa PIB, maka barang tersebut tidak dapat diambil oleh importir. 11. PIB dapat dibuat setelah importir memiliki dokumen pelengkap pabean. Importir mengambil dokumen tersebut melalui bank, maka jika bank tersebut merupakan bank devisa yang telah on-line dengan komputer DJBC, maka pengurusan PIB dapat dilakukan di bank tersebut. 12. Dalam proses pembuatan PIB, Indonesia menggunakan sistem self assessment seperti prinsip perpajakan yang berlaku di negara kita ini. Formulir PIB terdapat pada bank yang telah on-line dengan komputer DJBC. setelah diisi dan membayar bea masuk kepada bank, maka importir tinggal menunggu barangnya tiba untuk menyerahkan dokumen yang diperlukan DJBC, khususnya kepada KPPBC dimana barang tersebut berada. 13. Setelah importir menyelesaikan PIB dan membayar bea masuk serta pajak-pajak dalam rangka impor di bank, maka bank akan memberitahukan kepada DJBC secara on-line mengenai pengurusan PIB dan pelunasan bea masuk dan pajak impor. Dalam tahap ini, DJBC hanya menunggu importir menyerahkan PIB untuk diproses. Penyerahan PIB ini pun telah berkembang sedemikian rupa, sehingga untuk importir yang telah memiliki modul impor atau telah terhubung dengan sistem komputer DJBC dapat menyerahkan PIB
36
secara elektronik (EDI = Electronic Data Interchange system) sehingga dalam prosesnya tak terdapat interaksi secara fisik antara importir dengan petugas KPPBC 2.3.8 Mekanisme Pemeriksaan Kepabeanan Seperti yang kita ketahui, bahwa setiap barang impor yang masuk ke dalam daerah pabean, akan diperiksa kelayakan dan kelengkapannya. Jika barang impor tersebut tidak sesuai dengan peraturan kepabeanan, barang tersebut tidak dapat diizinkan masuk, atau jika surat barang tidak lengkap, barang tersebut akan ditahan sampai surat yang belum lengkap tersebut dapat dilengkapi. Pemeriksaan kepabeanan dapat dibedakan menjadi beberapa jalur, yaitu: 1. Jalur
hijau,
yaitu
mekanisme
pelayanan
dan
pengawasan
pengeluaran barang impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen setelah penerbitan surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB), ditetapkan dalam hal: a. Importir beresiko menengah yang mengimpor komoditi beresiko rendah b. Importir beresiko rendah yang mengimpor komoditi beresiko rendah atau menengah 2. Jalur merah, yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB. Jalur merah ditetapkan dalam hal: a. Importisasi oleh importir beresiko sangat tinggi
37
b. Importir yang beresiko tinggi yang mengimpor komoditi beresiko tinggi atau menengah c. Importir beresiko menengah yang mengimpor komoditi beresiko tinggi d. Importir beresiko rendah yang mengimpor komoditi beresiko tinggi e. Barang impor sementara, kecuali MITA prioritas f. Barang re-impor, kecuali MITA prioritas g. Barang impor dengan fasilitas penangguhan bea masuk, cukai dan PDRI kecuali oleh MITA prioritas h. Terkena pemeriksaan acak i. Barang impor tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah 3. Jalur kuning, yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik tetapi dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB. Jalur kuning ditetapkan dalam hal: a. Importir beresiko tinggi yang mengimpor komoditi beresiko rendah b. Importir beresiko menengah yang mengimpor komoditi beresiko menengah Dalam hal jalur pengeluaran barang impor ini (jalur kuning), pejabat pemeriksa dokumen memerlukan pemeriksaan laboratorium. Importir yang mengajukan permohonan mengambil contoh barang kepada kepala bidang pelayanan pabean dan cukai atau pejabat yang ditunjuknya. Pada pemeriksaan jalur kuning sebagaimana yang
38
dijelaskan diatas, dapat dilakukan pemeriksaan fisik melalui mekanisme NHI, berdasarkan informasi dan pejabat pemeriksa dokumen. 4. Jalur MITA atau jalur prioritas diperuntukkan bagi Mitra Utama, yaitu importir, direksi, dan ditetapkan oleh Direktur Teknis Kepabeanan atas nama direktur jenderal. Untuk MITA ditetapkan jalur yang terdiri dari: a. MITA prioritas, mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor oleh importir jalur prioritas dengan
langsung
diterbitkan
SPPB
tanpa
dilakukan
pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen b. MITA non-prioritas, mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor oleh importir dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen. Jalur ini diperuntukan bagi importir yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan sebagai Mitra Utama (non-prioritas) dengan keputusan kepala kantor pabean atas nama direktur jenderal, untuk selanjutnya disebut MITA non-prioritas kecuali dalam hal: i. Impor komoditas beresiko tinggi ii. Impor sementara iii. Re-impor iv. Barang impor dengan penangguhan pembayaran bea masuk, barang impor tertentu yang ditetapkan oleh
39
pemerintah, diterbitkan SPPB setelah selelsainya penelitian dokumen 2.3.9 Tarif Kepabeanan Indonesia Dalam menentukan tarif kepabeanan (bea masuk) di Indonesia atas barang impor yang masuk, bea cukai berpedoman terhadap buku yang telah diterbitkan oleh menteri keuangan, sebagai buku yang berisikan semua barang dengan masing-masing besarnya bea masuk yang telah diputuskan oleh peraturan menteri keuangan sendiri. Berikut adalah beberapa contoh tarif kepabeanan yang sering digunakan dalam KPPBC : -
Minuman fermentasi dari buah anggur segar: o Dengan kadar alkohol < 15% dari volumenya = Rp. 55000/L o Dengan kadar alkohol > 15%, tetapi < 23% dari volumenya = Rp. 55000/L o Dengan kadar alkohol > 23% dari volumenya = Rp. 55000/L
-
Alkohol: o Etil alkohol yang tidak di-denaturasi dengan kadar alkohol 80% atau lebih menurut volumenya; etil alkohol & alkohol lain yang didenaturasi berapa pun kadarnya = 30% o Alkohol yang diperoleh dari penyulingan minuman fermentasi anggur atau grape marc = 125.000/L o wiski, rum, vodka, dll = 125.000/L
-
Tembakau:
40
o Tembakau yang belum dipabrikasi = 5% o Cerutu, sigaret kretek, beedies = 40% o Tembakau yang dipabrikasi dan pengganti tembakau yang dipabrikasi, ekstrak & esens tembakau = 40% -
Gumpalan kapas, kasa, pembalut, perban, plester, tapal obat untuk penjualan eceran untuk keperluan medis = 5%
-
Plastik = 5% - 15%
-
Kulit = 0% - 15%
-
Kayu = 0% - 10%
-
Kertas = 0% - 10%
-
Garmen : o Benang jahit, Kain, dsb = 5% o Kain tenunan dari kapas (mengandung kapas 85% atau lebih menurut beratnya) dan beratnya tidak lebih 200 g/m2 = 10% - 15% o Pakaian jadi = 5% - 15%
-
Perhiasan, barang hasil tempaan pandai emas dan perak serta barang lainnya = 5 - 15%
-
Sekrup, baut, mur, sekrup rel, kait sekrup, paku keling, pasak, pasak kunci, cincin pipih (termasuk cincin pipih pegas) dan barang semacam itu, dari besi atau baja = 12,5% - 15%
-
Perlengkapan mesin pabrik atau laboratorium = 5 - 10%
-
Otomotif : o Mobil (termasuk station wagon, SUV dan mobil sport, tapi tidak termasuk van = 10 – 40%
41
-
Senjata api = 5% & 15%
-
Bom, granat, torpedo, ranjau, misil dan amunisi perang semacam itu serta bagiannya = 5%
-
Arloji tangan, arloji saku dan arloji lainnya, serta penghitung detik = 5 - 10%
-
Kamera fotografi (selain kamera sinematografi); apparatus lampu kilat fotografi dan bola lampu kilat selain lampu tabung = 5 - 10%
-
Kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, kapal kargo, tongkang dan kendaraan air semacam itu untuk pengangkutan orang atau barang = 5%
-
Kendaraan udara lainnya (misalnya, helikopter, pesawat udara); kendaraan luar angkasa (termasuk satelit) serta kendaraan peluncur luar angkasa dan sub orbital = 0%
-
Lokomotif rel digerakkan dengan sumber tenaga listrik dari luar atau dengan akumulator listrik = 0 %
42