BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pemahaman Perpajakan
II.1.1 Pengertian Pajak Banyak definisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar, yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Definisi pajak dalam buku Mardiasmo (2006) sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h.1). Dari definisi tersebut dapat diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu: 1.
Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi secara individu oleh Pemerintah.
3.
Pajak dipungut oleh Negara (Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah).
4.
Pajak
diperuntukan
membiayai
pengeluaran
Pemerintah
dan
apabila
pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai “Public Investment”. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-undang 8
Nomor 16 Tahun 2000 terdapat pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum Perpajakan, menjelaskan mengenai beberapa pengertian yang berkaitan dengan perpajakan Indonesia, yaitu sebagai berikut: 1.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk Pemungut pajak atau Pemotong pajak tertentu.
2.
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komenditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
3.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
4.
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. 9
5.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
6.
Pajak Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
7.
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan atau bukan Objek Pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8.
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
9.
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
10.
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak terutang.
II.1.2 Pengelompokan dan Tarif Pajak Sukarji,U (2007) mendefinisikan pengelompokan pajak terdiri dari Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung : “Pajak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak bisa diserahkan/dialihkan kepada pihak lain. 10
Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain”(h.3). Mardiasmo (2006) mengemukakan “Tarif Pajak terdiri dari : 1.
Tarif (sebanding) Proporsional Tarif Proposional adalah tarif berupa presentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
2.
Tarif Progresif Tarif Progresif adalah tarif pajak dengan presentase semakin besar, bila dasar pengetahuan pajaknya semakin besar.
3.
Tarif Degresif Tarif Degresif adalah tarif pajak dengan presentase semakin kecil, bila dasar pengenaan pajaknya bertambah besar. Tarif Degresif ini tidak dipakai dalam sistem perpajakan di Indonesia.
4.
Tarif Tetap Tarif Tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap” (h.9).
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Mardiasmo (2006) mengemukakan “Sistem Pemungutan Pajak adalah : 1.
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang.
11
2.
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
3.
With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak” (h.7).
II.2
Pemahaman Pajak Pertambahan Nilai
II.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Apabila membahas mengenai Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ), perlu diketahui pengertian Pajak Pertambahan Nilai itu sendiri, dan dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai. Dibawah ini adalah pengertian Pajak Pertambahan Nilai menurut Muljono,D (2008) “Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) Merupakan pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada setiap transaksi. Nilai tambah adalah setiap tambahan yang dilakukan oleh penjual atas barang atau jasa yang dijual, karena pada prinsipnya setiap penjual menghendaki adanya tambahan tersebut yang bagi penjual merupakan keuntungan. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak tidak langsung, yang pada akhirnya dikenakan kepada konsumen terakhir dari barang atau jasa kena pajak. Sedangkan mekanisme pengenaan PPN dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, dengan melakukan pemungutan, perhitungan, pembayaran dan melaporkan PPN pada setiap transaksi pada setiap bulannya (h.1). 12
Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai seperti diketahui adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan nama UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 merupakan salah satu produk reformasi sistem perpajakan Nasional ( tax reform ) 1983. Sebagai pengganti UU Nomor 19 Tahun 1951 Drt. Jo UU Nomor 35 Tahun 1953 tentang Pajak Penjualan, UU PPN Tahun 1984 ini mulai berlaku pada tangal 1 April 1985. Dalam kurun waktu 15 tahun sejak mulai berlaku, Undang-undang ini mengalami dua kali perubahan. Perubahan yang pertama dilakukan dengan Undangundang Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995, sedangkan perubahan yang kedua dilakukan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001. Adapun tujuan perubahan ini sebagaimana ditegaskan dalam konsideran filosofis UU Nomor 18 Tahun 2000 adalah : •
Lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan.
•
Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara.
II.2.2 Ketentuan Umum Pajak Pertambahan Nilai Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, terdapat pasal 1 yang menjelaskan mengenai beberapa pengertian yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai, antara lain:
13
1.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undangundang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2.
Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3.
Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
4.
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3.
5.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6.
Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang.
7.
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
8.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9.
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau 14
penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. 10.
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak.
11.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atau penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
II.2.3 Karakteristik (Legal Character) Pajak Pertambahan Nilai Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh Pajak Pertambahan Nilai maka ia terpilih untuk menggantikan peranan Pajak Penjualan. Apabila legal character Pajak Pertambahan Nilai yang dikemukakan oleh Prof. Ben Terra tersebut diatas, dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, dapat dirinci sebagai berikut : a.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak. Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak 15
Pertambahan
Nilai,
administrasi
pajak
(fiskus)
akan
meminta
pertanggungjawaban kepada penjual Barang Kena Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tersebut, bukan kepada pembeli, walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat dirumuskan berdasar dua sudut pandang sebagai berikut: 1)
Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.
2)
Sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara tidak berada ditangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang secara yuridis ini membawa konsekuensi filosofis bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut ke kas negara.
b.
Pajak Objektif Yang dimaksud dengan Pajak Objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya taatbestand. Adapun yang dimaksud dengan taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya Objek Pajak. Kondisi subjektif Subjek Pajak tidak ikut menentukan. Pajak Pertambahan Nilai tidak membedakan antara konsumen berupa orang dengan badan, antara 16
konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama. c.
Multi Stage Levy Tax Multi Stage Levy Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat
pabrikan
(Manufacturer)
kemudian
ditingkat
pedagang
besar
(wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. d.
PPN Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara dihitung menggunakan Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice Method Pajak yang dipungut oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa tidak secara otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan Pajak Masukan (input tax) dengan PPN yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak Keluaran (output tax). Pola ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (indirect substraction method). Pajak Keluaran yang dikurangkan dengan Pajak Masukannya untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar ke kas negara dinamakan tax credit. Oleh karena itu pola ini dinamakan juga metode pengkreditan (credit method). Untuk mendeteksi kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti.
17
Dokumen penunjang ini dinamakan Faktur Pajak (tax invoice), sehingga metode ini dinamakan juga metode faktur (invoice method). e.
Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri. Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi impor dikenakan pajak Pertambahan Nilai dengan presentase yang sama dengan produk domestik. Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (tax on consumption expenditure) baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh Badan. Baik Badan swasta maupun Badan Pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada Anggaran Belanja Negara. Karena konsumen tidak semata-mata mengkonsumsi barang tetapi juga mengkonsumsi jasa, maka agar beban pajak yang dipikul oleh konsumen dapat dihitung dengan baik, Pajak Pertambahan Nilai disamping dikenakan pada konsumsi atas barang juga dikenakan pada konsumsi atas jasa.
f.
Pajak Pertambahan Nilai bersifat Netral Netralitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dibentuk oleh dua faktor yaitu: •
PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa. (bandingkan dengan huruf e).
•
Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle).
18
Dalam mekanisme pemungutannya, PPN mengenal dua prinsip pemungutan, yaitu: •
Prinsip tempat asal (origin principle).
•
Prinsip tempat tujuan (destination principle). Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa PPN dipungut ditempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Sedangkan berdasarkan prinsip tempat tujuan, PPN dipungut ditampat barang atau jasa dikonsumsi. Kedua prinsip ini sangat besar pengaruhnya terhadap kedudukan PPN dalam perdagangan internasional.
II.2.4 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai Subjek PPN Sukardji, U (2007) mengemukakan “Subjek Pajak Pertambahan Nilai dapat dikelompokan menjadi 2 : 1.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) a.
Melakukan penyerahan BKP dan atau JKP yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 huruf a dan huruf c jo Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 jo Pasal 2 ayat 1 PP No.143 Tahun 2000).
b.
Mengekspor BKP yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 huruf f UU PPN 1984)
c.
Menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 16 D UU PPN 1984)
19
d.
Bentuk kerjasama operasi yang apabila menyerahkan BKP dan atau JKP dapat dikenakan PPn adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 2 ayat 2 PP No.143 Tahun 2000).
2.
Bukan Pengusaha Kena Pajak a.
Orang pribadi atau Badan yang mengimpor BKP (Pasal 4 huruf b UU PPN 1984)
b.
Orang pribadi yang memanfaatkan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 huruf d dan e UU PPN 1984)
c.
Orang pribadi atau Badan yang membangun sendiri diluar kegiatan usaha atau pekerjaannya. (Pasal 16 C UU PPN 1984)” (h.65).
Objek PPN Sukardji, U (2007) mengemukakan “Objek Pajak Pertambahan Nilai adalah objek atau sasaran dalam pengenaan PPN adalah “Penyerahan”, yang biasanya dikatakan penjualan, namun tidak semua proses penjualan dikenakan pajak” (h.53) Dalam Pasal 4 Undang-undang No.18 Tahun 2000 menjelaskan tentang objek PPN dikenakan atas : 1.
Penyerahan BKP yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan atau pekerjaan oleh pengusaha (Pasal 4 huruf a).
2.
Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha (Pasal 4 huruf c).
3.
Impor Barang Kena Pajak; impor BKP yang dilakukan oleh siapapun terutang Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 4 huruf b).
4.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 huruf d). 20
Untuk memberikan perlakuan Pengenaan Pajak yang sama dengan Impor Barang Kena Pajak, maka atas Barang Kena Pajak tidak berwujud (misalnya Hak Paten, Hak Oktroi, Hak Cipta, dan Merek Dagang) yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 5.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 4 huruf e).
6.
Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak; Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean keluar Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 4 huruf f).
7.
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain (Pasal 16 C).
8.
Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual belikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan (Pasal 16 D)” (h.27).
II.2.5 Saat dan Tempat Pajak Terutang Nasution, L.H & Marsyahrul, T. (2008), mengemukakan “Saat pajak terutang dan tempat pajak terutang dapat diuraikan sebagai berikut : Saat pajak terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU PPN 1984 adalah : 1.
Pada saat penyerahan BKP dan atau JKP
2.
Pada saat impor dan ekspor BKP (masuk daerah pabean) 21
3.
Pada saat pembayaran dalam hal sebelum penyerahan BKP dan atau JKP
4.
Pada saat dimulai pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar daerah pabean
5.
Pada saat pembayaran dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar pabean di dalam daerah pabean.
6.
Pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Tempat pajak terutang sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 UU PPN 1984 adalah : 1.
Tempat tinggal atau tempat kedudukan
2.
Tempat kegiatan usaha dilakukan
3.
Tempat BKP dimasukan dalam hal impor
4.
Tempat orang pribadi dan atau badan terdaftar sebagai WP dalam hal pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5.
Tempat lain sebagaimana ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
6.
Satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak” (h.21).
II.2.6 Tarif PPN dan Dasar Pengenaan PPN Muljono, D (2008) mengemukakan Tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diuraikan sebagai berikut : “Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tarif PPN atas Ekspor BKP 0%. Pengenaaan tarif 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor dapat dikreditkan.
22
Berdasarkan pertimbangan perkembangangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan dengan Peraturan Pemerintah tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15% dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal” (h.49). Dasar Pengenaan PPN Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak. Menurut Sukardji, U (2007), “Dasar Pengenaan Pajak dapat berupa : a.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang Kena Pajak tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur.
b.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
c.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut Undang-undang.
d.
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atas seharusnya diminta oleh eksportir.
e.
Nilai Lain, Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal: 23
1.
Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Import, dan Ekspor sukar ditetapkan.
2.
Penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum, listrik, dan sejenisnya” (h.146). Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000
tanggal 26 Desember 2000 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2002 tanggal 31 Mei 2002 telah ditetapkan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk beberapa Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, yaitu : 1.
Untuk pemakaian dan pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian, tidak termasuk laba kotor.
2.
Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah Harga Jual rata-rata.
3.
Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
4.
Untuk persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
5.
Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
6.
Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau pariwisata adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
7.
Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
8.
Untuk pajak piutang adalah 5% dari service charge, provisi dan diskon.
24
9.
Untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas sebagai barang dagangan 10% dari harga jual.
10.
Untuk penyerahan BKP atau JKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP atau JKP antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi Laba kotor.
11.
Untuk penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.
f.
Hal-hal khusus, Dalam perhitungan pajak terutang, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1.
Pasal 6 PP No.143 Tahun 2000 mengatur bahwa apabila Pajak Pertambahan Nilai telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 dari harga atau pembayaran tersebut. Demikian pula apabila ada unsur Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maka tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah, ditambahkan pada faktor pembagi bersamasama dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Sebaliknya apabila dalam kontrak tidak disebutkan bahwa dalam harga Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maka harga tersebut merupakan Harga Jual atau Penggantian yang dimaksud oleh Undang-undang. Pajak yang terutang dihitung sesuai dengan tarif yang berlaku dikalikan dengan Harga Jual atau Penggantian dalam kontrak.
2.
Apabila hasil pemeriksaan menunjukan bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajiban pemungutan pajak maka Dasar Pengenaan pajak 25
ditetapkan sebesar Harga Jual, Penggantian atau Nilai lain yang ditemukan dalam pemeriksaan. 3.
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, besarnya pajak terutang dihitung dengan Dasar Pengenaan Pajak seperti sub 2 diatas.
II.3
Pengkreditan Pajak Masukan
Sukardji, U (2007) mengemukakan “Pengreditan Pajak Masukan terdiri dari : 1.
Pengreditan dalam Masa Pajak yang Tidak Sama (Pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984), ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama, yang disebabkan antara lain karena Faktur Pajak terlambat diterima. Pengreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengreditan Pajak Masukan dapat dilakukan melalui pembetulan SPT Masa PPN yang bersangkutan. Kedua cara pengreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan, dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
2.
Pengreditan Pajak Masukan sebelum ada Pajak Keluaran (Pasal 9 ayat (2a) UU PPN 1984), menjelaskan “Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan”. Penjelasan ayat ini 26
menegaskan bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi, atau belum melakukan penyerahan BKP atau JKP, atau ekspor BKP sehingga Pajak Keluarannya belum ada, maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan BKP, atau penerimaan JKP, atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean, atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau impor BKP tetap dapat dikreditkan” (h.135).
II.3.1 Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan Gambar II. 1 PAJAK MASUKAN DAPAT DIKREDITKAN
SYARAT FORMAL
SYARAT MATERIIL
(Ps 13 (5) UU PPN 1984)
(Ps 9 (5) UU PPN 1984)
DALAM FAKTUR PAJAK STANDAR YANG TIDAK CACAT
BELUM DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA
(Ps 9 (8) UU PPN 1984)
(Ps 9 (9) UU PPN 1984)
FP Standar Cacat Ada coretan yang tidak diperbolehkan
Menggunakan cap tanda tangan
Nama PKP/NPWP/ Nomor seri salah
Dibuat >3bulan sejak batas waktu pembuatan FP
Tidak mencoret yang seharusnya dicoret
Tidak/terlambat lapor penggunaan Kode & Nomor Seri
UNTUK PEROLEHAN BKP DAN ATAU JKP YANG BERHUBUNGAN LANGSUNG DENGAN KEGIATAN USAHA MELAKUKAN PENYERAHAN KENA PAJAK (Ps 9 (5) & (8) hrf.b UU PPN 1984)
Kegiatan usaha
Manajemen
Distribusi
Pemasaran
Produksi
Tidak/terlambat lapor Nama & contoh tanda tangan pejabat yang ditunjuk
27
II.3.2 Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan Sukardji, U (2007) mengemukakan bahwa “Dalam Pasal 9 ayat (8) dan Pasal 16B ayat (3) UU PPN 1984 jo Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002, telah ditetapkan jenis-jenis Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, yaitu : 1.
Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2.
Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP atau JKP yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
3.
Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk pembelian atau pemeliharaan kendaraan bermotor berbentuk sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi. Kecuali sebagai barang dagangan atau disewakan.
4.
Pajak Masukan atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean atau di dalam Daerah Pabean, sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
5.
Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana.
6.
Untuk perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
7.
Untuk perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih menggunakan Surat Ketetapan Pajak.
8.
Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan dalam pemeriksaan.
28
9.
Pajak Masukan untuk perolehan BKP atau JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN (Pasal 16B ayat (3))
10.
Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean atau dari dalam Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (6)” (h.158).
II.3.3 Faktur Pajak dan Jenis-jenis Faktur Pajak Muljono, D (2008) mengemukakan definisi “Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang digunakan oleh Dirjen Bea dan Cukai” (h.93). Bukti pungutan pajak tersebut digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun material. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum didalamnya tidak dapat dikreditkan. Untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak harus dibuat Faktur Pajak. Faktur Pajak harus dibuat pada saat yang sama dengan penyerahan tapi dapat juga dibuat pada saat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Adapun fungsi-fungsi Faktur Pajak, yaitu: 1.
Sebagai bukti pemungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat penyerahan, pembayaran, atau impor Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
29
2.
Sebagai bukti pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan oleh pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
3.
Sebagai sarana pengawasan administrasi pajak terhadap pemenuhan kewajban perpajakan yang dilakukan baik oleh Pegusaha Kena Pajak penjual atau pengusaha jasa maupun yang dilakukan oleh pembeli atau penerima jasa.
Terdapat 3 (tiga) jenis Faktur Pajak menurut UU PPN, yaitu: 1.
Faktur Pajak Standar Termasuk dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Standar harus memenuhi syarat formal maupun material. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah bahwa Faktur Pajak Standar paling sedikit harus memuat keterangan: 1.
Nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP atau JKP.
2.
Jenis Barang atau Jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga.
3.
PPN yang dipungut.
4.
PPnBM yang dipungut.
5.
Kode, Nomor Seri dan tanggal pembuatan FP.
6.
Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak. Adapun yang dimaksud dengan syarat materiil adalah bahwa barang yang
diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian juga pengusaha
30
yang melakukan dan yang menerima penyerahan BKP tersebut sesuai dengan keterangan yang tercantum pada Faktur Pajak. Faktur Pajak yang diterbitkan sebelum melewati 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya batas waktu penerbitan Faktur Pajak (KepDirjen Nomor-KEP549/PJ./2000), dianggap sebagai Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak yang diterbitkan setelah melewati batas waktu tersebut di atas tidak dapat dianggap sebagai Faktur Pajak Standar. Dengan demikian, bagi PKP yang menerima Faktur Pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang dibayarnya sebagai Pajak Masukan. PKP yang menerbitkan Faktur Pajak terlambat dikenakan sanksi 2% dari DPP. Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan Dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar : 1.
PIB yang dilampiri SSP dan atau bukti pungutan pajak oleh Dirjen Bea dan Cukai untuk impor BKP.
2.
PEB yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Dirjen Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut.
3.
Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/ dikeluarkan oleh BULOG/ DOLOG untuk penyaluran tepung terigu.
4.
Faktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM.
5.
Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi.
31
6.
Ticket, Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri.
7.
SSP untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean.
8.
Nota Penjualan Jasa yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhan.
9.
Tanda pembayaran atau kwitansi listrik.
Muljono, D (2008) mengemukakan “Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat : 1.
Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau
2.
Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau sebelum penyerahan JKP; atau
3.
Pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
4.
Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
5.
Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau JKP” (h.95). 32
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 159 Pasal 4 Ayat 2 menyatakan bahwa Faktur Pajak Standar paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut : a.
Lembar ke-1, disampaikan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak
b.
Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 159 Pasal 6 menyatakan : (1)
Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana telah ditetapkan.
(2)
Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. 2 (dua) digit Kode Transaksi; b. 1 (satu) digit Kode Status; dan c. 3 (tiga) digit Kode Cabang.
(3)
Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. 2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan b. 8 (delapan) digit Nomor Urut.
Penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut :
33
1)
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor Pelayanan Pajak yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM), namun : a.1. Sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau a.2. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor; Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar ditentukan sendiri secara berurutan, yaitu diisi dengan kode ’000’ untuk Kantor Pusat dan dimulai dari kode ’001’ untuk Kantor Cabang; atau
2)
Bagi Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar diisi dengan kode ’000’.
Peraturan Pemerintah Nomor 159 a.
Pasal 11 (1)
Atas Faktur Pajak Standar yang cacat, rusak, salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar tersebut dapat menerbitkan Faktur Pajak 34
Standar Pengganti yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf A Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (2)
Atas Faktur Pajak Standar yang hilang, baik Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak Standar tersebut dapat membuat copy dari arsip Faktur Pajak Standar yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3)
Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya telah diterbitkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembatalan Faktur Pajak Standar yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf C Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
b.
Pasal 12 (1)
Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau pembatalan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), hanya dapat dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan dan atas Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum dibebankan sebagai biaya. 35
(2)
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti dan/atau pembatalan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan.
(3)
Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak yang telah
melakukan
pengkreditan
Pajak
Masukan
atas
Pajak
Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual, harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan
tersebut
dilaporkan,
sepanjang
terhadap
Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan belum dilakukan pemeriksaan. c.
Pasal 13 (1)
Faktur Pajak Standar yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, adalah bukan merupakan Faktur Pajak Standar.
(2)
Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak Standar.
36
d. Pasal 14 (1)
Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dalam hal : a. Menerbitkan Faktur Pajak Standar yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). b. menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
(2)
Pengusaha Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya.
e.
Pasal 15 (1)
Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, namun Faktur Pajak Standar-nya belum diterbitkan, maka Faktur Pajak Standar harus diterbitkan dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
37
(2)
Atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang masih menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang lama, namun Faktur Pajak Standarnya diterima dan/atau dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli setelah berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum pada Faktur Pajak Standar tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3)
Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti atas Faktur Pajak Standar yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4)
Bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b yang melakukan pemusatan tempat pajak terutang yang keputusan pemusatannya diberikan sebelum Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku, namun : a. Sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau b. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor; 38
maka pengisian Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar dilakukan sama dengan pengisian Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, sampai dengan berakhirnya masa berlaku pemusatan sepanjang sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pemusatan tempat pajak terutang. (5)
Untuk pertama kali sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini,
Pengusaha
Kena
Pajak
wajib
menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar yang akan digunakan dan nama pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), paling lambat pada tanggal 20 Januari 2007. (6)
Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang dan/atau pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak, maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
39
2.
Faktur Pajak Gabungan Faktur Pajak Gabungan adalah satu Faktur Pajak yang dibuat oleh PKP yang meliputi semua penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama atau penerima JKP yang sama. Hal ini diperkenankan untuk meringankan beban administrasi PKP. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat: (1)
Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang
Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau (2)
Pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
3.
Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP untuk menampung kegiatan penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir dan pembeli BKP atau penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya. Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli BKP atau penerima JKP sebagai dasar untuk pengkreditan Pajak Masukan. Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat : 1.
Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP.
2.
Jenis dan kuantum BKP atau JKP yang diserahkan. 40
3.
Jumlah Harga Jual atau Peggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah.
4.
Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
II.3.4 Nota Retur Nota Retur adalah Nota yang dibuat oleh penerima BKP karena adanya pengembalian atas BKP yang telah dibeli/ diterimanya. Dengan adanya Nota Retur tersebut maka PKP penjual dapat mengurangkan PPN dan PPnBM (PK) atas penyerahan BKP yang dikembalikan, sedangkan bagi PKP pembeli harus mengurangkan PPN dan PPnBM (PM) yang telah dikreditkan atau biaya, dan harta. Nota Retur diterbitkan dan dilaporkan baik oleh PKP penjual maupun PKP pembeli pada Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut. Nota Retur sekurang-kurangnya hrs mencantumkan: 1.
Nomor urut.
2.
Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan.
3.
Nama, alamat, dan NPWP pembeli.
4.
Nama, alamat, dan NPWP yang menerbitkan Faktur Pajak.
5.
Jenis barang dan harga jual BKP yang dikembalikan.
6.
PPN atas BKP yang dikembalikan.
7.
PPnBM atas BKP yang tergolong mewah yang dikembalikan.
8.
Tanggal pembuatan Nota Retur.
9.
Tanda tangan pembeli. Dalam hal Nota Retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan-keterangan
di atas maka tidak dapat diperlakukan sebagai Nota Retur, sehingga tidak dapat 41
mengurangi Pajak Keluaran bagi penjual atau Pajak Masukan atau biaya, dan harta bagi pembeli. Dalam hal pengembalian BKP terjadi masih dalam Masa Pajak yang sama dengan terjadinya penyerahan BKP tersebut, tidak perlu dibuatkan Nota Retur, melainkan dapat dilakukan dengan pembatalan atau perbaikan Faktur Pajak atas penyerahan BKP tersebut.
II.4
Penerapan dan Pelaporan PPN
II.4.1 Mekanisme Pelaporan Sukardji,U (2007) mengemukakan “Mekanisme Pelaporan sebagai berikut : Dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU KUP digariskan bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : •
Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
•
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
•
Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan memepertanggung-jawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya”(h.247).
42
II.4.2 Tata Cara Penyampaian SPT Masa PPN Sukardji, U (2007) mengemukakan “Cara penyampaian SPT Masa PPN sebagai berikut : 1.
Manual (SPT dalam bentuk kertas (hard copy) atau induk SPT dalam bentuk kertas, lampiran dalam bentuk media elektronik).
2.
e-Filing (melalui sistem on-line yang real time melalui perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (PJA), dan induk SPT tetap dalam bentuk kertas)” (h.249).
Pihak yang Wajib Membayar/Menyetor dan Melapor PPN/PPnBm adalah : a.
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
b.
Pemungut PPN/PPnBM, adalah : • KPKN • Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah • Direktorat Jenderal Bea dan Cukai • Pertamina • BUMN/BUMD • Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya Bidang Migas dan Pertambangan Umum Lainnya • Bank Pemerintah • Bank Pembangunan Daerah • Perusahaan Operator Telepon Selular.
II.4.3 Yang Wajib Disetor Yang Wajib Disetor adalah : a.
Oleh PKP adalah :
43
1) PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, Bila Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak, dan apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. 2) PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. 3) PPN/PPnBM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP). b.
Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut PPN/PPnBM.
II.4.4 Saat Pembayaran atau Penyetoran PPN/PPnBM Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM adalah : a.
PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
b.
PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
44
c.
PPN/PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
d.
PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh : 1) Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. 2) Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambatlambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. 3) Direktorat Jenderal Bae dan Cukai yang memungut PPn/PPnBM atas impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
e.
PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus. Catatan : Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran pada hari libur, maka pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
II.4.5 Saat Pelaporan PPN/PPnBM Saat Pelaporan PPN/PPnBM adalah : a.
PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambatlambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
b.
PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan. 45
c.
PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh : 1) Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari setelah Masa Pajak berikutnya. 2) Bea dan Cukai atas Impor selambat-lambatnya 20 setelah Masa Pajak berikutnya. 3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
d.
Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berikutnya. Catatan : Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.
II.5
Perpajakan atas Jasa di Bidang Telekomunikasi Jasa telekomunikasi adalah jasa pemancaran, jasa pengiriman atau penerimaan
tiap jenis tanda, gambar, suara dan informasi dalam bentuk apapun yang disediakan oleh penyelenggara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sarana telekomunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi dapat dipisahkan dalam tiga bagian, yaitu sarana pengirim, sarana penerima, dan sarana transmisi. Sarana transmisi dapat berupa kabel, serat optik, radio, satelit, atau sistem elektromagnetik lainnya. Dengan konfigurasi teknis, alat komunikasi tersebut akan menghasilkan berbagai jenis jasa telekomunikasi 46
yang antara lain berupa jasa telepon, jasa teleks, jasa telegram, jasa penyaluran data, jasa faksimile, jasa penggunaan sirkit, jasa penggunaan transponder. Dalam bidang jasa telekomunikasi, terdapat berbagai pengertian yang perlu dipahami lebih lanjut, antara lain seperti berikut ini : 1.
Perusahaan Jasa Telekomunikasi adalah PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. PT Indosat dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Telekomunikasi lainnya termasuk Mitra Usaha PT Telkom. Tbk.
2.
Mitra Usaha adalah badan usaha patungan Indonesia yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing.
3.
KSO adalah Kerja Sama Operasi yang merupakan pola kemitraan usaha antara Telkom dan mitra usaha.
II.5.1 Pengenaan PPN pada Jasa Telekomunikasi Ketentuan yang berkaitan dengan pengenaan PPN pada jasa telekomunikasi adalah seperti berikut: 1.
Penyertaan modal berupa barang dan atau jasa oleh Mitra Usaha kepada Unit KSO dalam rangka KSO tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
2.
Mitra Usaha yang semata-mata melakukan kegiatan dalam rangka KSO tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
3.
Penyerahan hak pengelolaan jaringan telekomunikasi dari Telkom kepada Unit KSO dalam rangka KSO merupakan penyerahan Jasa kena Pajak dan terhutang PPN.
47
4.
Penyerahan jasa telekomunikasi oleh Unit KSO merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak dan Unit KSO wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, Unit KSO wajib membuat Faktur Pajak.
5.
PPN yang dibayar oleh Mitra Usaha atas penyerahan BKP dan atau JKP sehubungan dengan kegiatan dalam rangka KSO tidak dapat dikreditkan, tetapi dapat dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasikan.
6.
PPN yang dibayar oleh Unit KSO atas perolehan BKP dan atau JKP sehubungan dengan kegiatan operasional Unit KSO termasuk PPN atas perolehan hak pengelolaan jaringan telekomunikasi dan telkom, merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Unit KSO.
7.
Pembagian pendapatan KSO yang harus dibagi merupakan pembagian keuntungan, sehingga atas pembagian tersebut tidak tehutang PPN.
II.5.2 Pesawat Telepon Selular Perusahaan operator telepon selular ditunjuk untuk memungut PPN yang terhutang oleh PKP yang menyerahkan pesawat telepon selular kepada operator untuk dijual kembali dan diaktifkan. Saat terutangnya PPN digeser dari saat penyerahan ponsel ke saat pengaktifan ponsel. Besarnya PPN yang harus dipungut oleh perusahaan operator ponsel adalah : 1.
Selisih antara PPN yang terutang dengan PPN yang telah dibayar atas pesawat ponsel yang telah diaktifkan.
2.
Perusahaan operator telepon selular juga sebagai PKP yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan jasa pengaktifan dan juga pulsa atas ponsel yang diaktifkan. 48