BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Novel
Novel merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap kehidupan dan lingkungannya setelah melalui penghayatan dan perenungan secara intens (Ma’ruf, 2010: 17). Kata novel berasal dari kata novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti baru. Novel berasal dari bahasa Italia: novella, yang dalam bahasa Jerman: novella,dan bahasa Yunani: novellus, dan secara harafiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005: 9). Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi novel yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang cakupan tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Susanto (2012: 32) menyatakan bahwa karya sastra (novel, cerpen, dan puisi) adalah karya imajinatif, fiksional, dan ungkapan ekspresi pengarang. Fiksi adalah hasil imanjinatif, rekaan, dan angan-angan pengarang. Bentuk karya fiksi yang terkenal dewasa ini adalah novel dan cerpen. Novel dan cerpen merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi bahkan dalam perkembangannya, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Novel memiliki ciri-ciri yaitu bahwa pelaku utamanya mengalami perubahan nasib baru (Waluyo, 2011: 5-6). Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam
dan
disajikan
dengan
halus
(Nurgiyantoro,
2005:
9).
Waluyo (2002a: 37) mendefinisikan bahwa dalam novel terdapat: (1) Perubahan nasib dari tokoh cerita, (2) Ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, (3) Biasanya tokoh utamanya tidak sampai mati. Goldman (dalam Saraswati, 2003: 87) menyatakan bahwa novel adalah cerita mengenai pencarian nilai-nilai kebenaran di dalam dunia terdegradasi, pencarian itu dilakukan oleh seorang tokoh yang mengalami masalah tersebut. Novel pada dasarnya adalah sebuah cerita yang di dalamnya terkandung tujuan untuk memberikan hiburan
6
7
kepada pembaca. Novel sebagai karya sastra juga dapat memberikan memberi kepuasan batin, memberi penghayatan yang mendalam terhadap apa yang kita ketahui serta mampu menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya (Sumardjo dan Saini, 1986: 8-9). Sebagaimana yang dikatakan Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 3) Membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Dengan demikian fungsi novel adalah untuk memberikan hiburan, memberikan pengajaran tentang kehidupan, memberikan kepuasan batin, memberi penghayatan yang mendalam terhadap apa yang kita ketahui dan mampu menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya serta sebagai alat untuk membersihkan jiwa (katarsis) kepada pembacanya. Noor (2007: 26) menyatakan novel adalah cerita yang panjang, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakan serangkaian peristiwa dan latar belakang (setting) secara terstuktur. Novel menurut Hidayati (2009: 22) dibagi menjadi lima sudut, yaitu berdasarkan bentuk pengutaraan, jenis pemilihan kerangka, isi sebagai muara makna cerita, sifat yang membedakan teks ini dengan teks lainnya, serta struktur yang memuat unsur-unsur pembangun novel itu sendiri. Pertama, berdasarkan bentuk, bahwa novel diwujudkan dalam bentuk karangan prosa, dan tidak menutup kemungkinan unsur puitik masuk di dalamnya sepanjang unsur tersebut menyangkut bahasanya. Kedua, dilihat dari segi jenisnya, novel lebih cenderung menampilkan jenis narasi, karena dalam novel lebih mengutamakan unsur penceritaan dalam menggambarkan para perilaku ceritanya. Ketiga, isi novel pada dasarnya mengetengahkan gambaran hidup dan kehidupan lahir batin tokohnya dalam mengarungi dunianya, masyarakat. Keempat, bahwa novel berkesan fiktif, khayalan. Kelima, sebagai suatu karya novel memiliki struktur, dan struktur yang utama adalah plot, penokohan, dan peristiwa. Struktur-struktur itu tersusun secara kronologis. Senada dengan pendapat Kosasih (2012: 60) novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Berdasarkan pada pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disintesiskan novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh problematika kehidupan
8
beberapa tokoh. Menilik kisah-kisah yang disajikan dalam sebuah novel, seorang pembaca dapat menemukan nilai pendidikan budi pekerti.
B. Unsur Intrinsik Dalam penelitian karya sastra, analisis terhadap unsur intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti suatu karya sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut. Pendekatan struktural merupakan pendekatan yang bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin berkaitan dan keterpaduan semua anasir dan aspek karya sastra bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendiskripsikan fungsi hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsuur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah fiksi, misalnya peristiwa plot, tokoh, latar atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko & Rahmanto, 1986: 126). Analisis unsur-unsur mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar. Berdasarkan uraian di atas, berikut diuraikan unsur-unsur pembangun novel:
9
1. Tema Tema merupakan inti atau pokok yang menjadi dasar pengembangan cerita, yang merupakan unsur intrinsik terpenting dalam novel. Untuk mengetahui tema novel, pembaca harus mencermati seluruh rangkaian cerita.Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, dalam Nurgiyantoro, 2007: 68). Tema (theme), menurut Stanton (1965: 20) dan Kenny (1966: 88) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau jika berbagai makna itu dianggap sebagai bagian-bagian tema, sub-subtema atau tema-tema tambahan, makna yang manakah dan bagaimanakah yang dianggap sebagai makna pokok sekaligus tema pokok novel yang bersangkutan. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sabagi struktur semantik dan yang menyangkut persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 142). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara sengaja disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Penafsiran tema (utama) diprasyarati oleh pemahaman cerita secara keseluruhan. Pengertian tema menurut Stanton (1965: 21) yaitu makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya
10
dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Tema denang demikian dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyuluruhan. Bahkan sebenarnya eksistensi tema itu sendiri amat tergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu di sebabkan tema, yang notabene “ hanya” berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsure bentuk yang menampungnnya. Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan “hanya” secara implisit melalui cerita. Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Tokoh-tokoh cerita, khususnya tokoh utama, adalah pembawa dan pelaku cerita, pembuat, pelaku, dan penderita peristiwaperistiwa yang diceritakan. Waluyo (2011: 7) tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali. Untuk mengetahui tema dalam sebuah novel, pembaca tidak bisa mengetahuinya dengan melihat judul, tetapi diperlukan untuk membaca keseluruhan agar mengetahui isi cerita dan menemukan tema cerita. Demikian pula Kosasih (2012: 60) mendefinisikan tema dalah gagasan yanh menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita, diperlukan menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan itu.
apresiasi
11
Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Cerita akan mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan, sehingga berbagai peristiwa konflik, dan pemilihan berbagai unsur instrinsik yang lain akan mencerminkan gagasan dasar tersebut. Berangkat dari berbagai pengertian tersebut di atas, maka dapat disintesiskan tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Tema merupakan hal yang penting dalam sebuah cerita. Tema akan menentukan arah tulisan cerita. 2. Alur/Plot Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Dalam pengertian, alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh-tokoh yang digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam satu kesatuan waktu (Semi, 1993: 43). Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Plot adalah urutan peristiwa atau kejadian yang dihubungkan oleh hubungan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lainnya (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2005: 119). Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri dari urutan waktu saja belum merupakan plot, agar menjadi suatu plot maka peristiwaperistiwa tadi harus diolah dan disiasati secara kreatif. Sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan.
12
Dalam menganilis alur, Lubis membedakan tahapan alur menjadi lima bagian yaitu; a) Tahan situation (tahap penyituasian) merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya; b) Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik) merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflikkonflik pada tahap berikutnya; c) Tahap rising action (tahap peningkatan konflik) merupakan tahap di mana konflik yang muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks senakain dapat dihindari; d) Tahap climax (tahap klimaks). Konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilalui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks; e) Tahap denouement (tahap penyelesaian). Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri (dalam Nurgiyantoro, 2005:
149-
150). Plot dapat dibedakan dalam dua kategori berdasarkan kriteria urutan waktu: kronologis dan tak kronologis. Plot pertama disebut sebagai plot lurus, maju atau dapat juga dinamakan progresif, sedang yang kedua adalah sorot-balik, mundur, flash-back, atau dapat juga disebut sebagai regresif. (Nurgiyantoro, 2005: 153). Pertama, plot lurus, progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jarika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau secara urutan cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian) (Nurgiyantoro, 2005: 154).
13
Kedua, plot sorot-balik atau flash-back. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot sorot balik tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. (Nurgiyantoro, 2005: 154). Ketiga, plot campuran. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betatapapun kadar kejadiannya sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya (Nurgiyantoro, 2005: 155). Alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urusan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat serta memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo, 2011: 9). Hampir sama dengan pendapat Kosasih (2012: 63) bahwa alur (plot) merupakan sebagian dari unsur instrinsik suatu karya sastra. Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Wiyatmi (2006: 36) berpendapat alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Merujuk beberapa pendapat di atas, maka dapat dijelaskan bahwa alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang ada dalam cerita yang berurutan dan membangun tulang punggung cerita baik secara lurus, balik, ataupun keduanya. Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur. 3. Penokohan Penokohan mengembangkan
adalah
suatu
cara
karakter/perwatakan
pengarang
para
pelaku
menggambarkan dalam
cerita.
dan Untuk
menggambarkan karakter tokoh, pengarang bisa menempuh: (1) teknik analitik, yaitu dengan menceritakan perwatakan tokoh secara langsung, dan (2) teknik dramatik, yaitu dengan mengemukakan karakter tokoh menggambarkan fisik, dan lam perilakunya, lingkungan kehidupannya, tata kebahasaannya, jalan pikirannya, serta perannya dengan tokoh lain (Ratna, 2004: 88). Yang dimaksud perwatakan
14
atau penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut. Ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian dan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh (Nurgiyantoro, 2007: 172). Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi (Wiyatmi, 2006: 30). Tokoh dalam fiksi merupaka ciptaan pengarang, meskipun demikian dapat merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Tokoh dunia fiksi hendaknya memiliki 3 dimensi, yaitu dimensi fisiologi, sosiologi, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri muda, dan sebagainya. Dimensi sosiologis meliputi status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan, di dalam masyarakat, pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, hobi, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan (temperamen), juga intelektualitas (IQ). Aminudin (2002: 79) berpendapat bahwa tokoh adalah pelaku yang mengembangkan peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu peristiwa. Istilah tokoh mengacu pada orangnya, pelaku cerita. Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165) menyatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan (Aminudin, 2010: 79). Kosasih (2012: 67) juga menyatakan bahwa penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Peran tokoh tediri atas tokoh utama dan tokoh tambahan (Nurgiyantoro, 2005: 176). a. Unsur Penokohan Dalam Fiksi Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Seperti dikatakan oleh Jones
15
(1968: 33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif mka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanyapun tidak lepas dari kebebasan kreatifitasnya. Penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas.penokohan dan pemplotan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, sebenarnya, tak ada plot. Plot merupakan suatu yang bersifat artifisial. Berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrab, simpati, empati, benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnya. b. Pembedaan Tokoh Tokoh-tokah cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan kedalam beberapa jenis penanaman berdasarkan dari sudut mana penanaman itu dilakukan. 1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menetukan perkembangan plot secara keseluruhan. 2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Jika dilihat dari peran-peran tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat
dibedakan
kedalam
tokoh
protagonis
dan
tokoh
antagonis.
3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh
16
sederhana adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. 4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh statis, tak berkembang (staticharacter) dan tokoh berkembang (develoving character). 5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character). c. Teknik Pelukisan Tokoh Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan kedalam dua cara atau teknik, yaitu teknik uraian (telling)dan teknik ragaan (showing) (Abrams, 1981:21). 1) Teknik Ekspositoris Seperti dikemukakan diatas, dalam teknik ekspositori, yang sering juga disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi uraian, atau penjelasan secara langsung. 2) Teknik Dramatik Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
17
Waluyo (2011: 21) dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah) dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan). Watak dari segi psikis merupakan faktor utama yang terpanting dalam menggambarkan watak atau temperamen tokoh, apakah tokoh itu baik hati, penyabar, murah hati, dermawan, pemaaf, ataukah ia pemberang, sombong, pemarah, berhati jahat, pendengki, pendendam, garang, ganas, dan sebagainya. Watak dari segi fisiologis atau keadaan fisik dapat dikaitkan dengan umur, ciri fisik, penyakit, keadaan diri, dan sebagainya. Watak sosiologis melukiskan suku, jenis kelamin, kekayaan, kelas sosial, pangkat/kedudukan, dan profesi atau pekerjaan. Beberapa pendapat di atas, maka dapat disisntesisikan bahwa penokohan adalah gambaran mengenai watak tokoh dalam cerita, baik secara psikisnya, fisiologis, dan sosiologis tokoh. 4. Latar/Setting Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis, pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan, agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh (Nurgiyantoro, 2007: 216). Suatu cerita rekaan di samping membutuhkan tokoh dan alur juga membutuhkan latar sebagai landas tumpu atau tempat berpijak cerita agar cerita menjadi konkret dan jelas. Dalam sebuah cerita, latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada tempat hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dalam cerita yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005: 216). Latar atau setting cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang diamati (Semi, 1993: 46). Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005: 219) berpendapat bahwa latar dalam fiksi
18
tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu atau sesuatu yang bersifat fisik saja akan tetapi juga berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan dan nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Latar tempat, berhubungan dengan masalah tempat atau lokasi suatu crita terjadi. Wujud latar secara konkrit menunjuk pada lokasi tertentu seperti pedesaan, kota, sawah, terkadang disertai nama, atau inisial yang menunjuk pada sebuah tempat tertentu. Penggunaan nama tempat haruslah tidak bertentangan dengan sifat atau geografis tempat yang bersangkutan, karena setiap latar tempat memiliki karateristik dan ciri khas sendiri. Latar waktu berhubungan dengan waktu kapan peristiwa itu terjadi. Penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya, pada pagi, siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukaan waktu, pukul, jam tertentu. Latar sosial menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan masyarakat, adat kebiasaan dan cara hidup (Nurgiyantoro, 2005: 228). Hal senada diungkapkan Kosasih (2002: 67) Latar atau setting meliputi tempat, waktu, dan budaya yang digunakan dalam suatu cerita. Latar berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap jalannya suatu cerita. Fungsi latar menurut Waluyo (2006: 28) berkaitan erat dengan unsur-unsur fiksi lain, terutama penokohan dan perwatakan. Fungsi latar adalah untuk: (1) mempertegas watak pelaku, (2) memberikan tekanan pada tema cerita, (3) memperjelas tema yang disampaikan, (4) metafora bagi situasi psikis pelaku, (5) sebagai pemberi atmosfir (kesan), dan (6) memperkuat posisi plot. Stanton (2007: 34) berpendapat latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang beriteraksi dengan peristiwaperistiwa yang sedang berlangsung. Berdasarkan pendapat terebut di atas, maka dapat disintesiskan bahwa latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita yang meliputi tempat, waktu, dan sosial budaya. Latar sangat diperlukan pada sebuah cerita, tanpa latar yang jelas seorang pembaca akan kesulitan mengikuti jalannya cerita.
19
5. Amanat Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah makna yang termuat dalam karya sastra tersebut. Amanat merupakan pesan atau sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 322). Dari suatu cerita dapat diambil suatu pesan atau kesan yang disebut amanat. Dalam amanat dapat dilihat pandangan dari pengarang mengenai kehidupan yang terdapat dalam karya sastranya. Pendekatan struktural yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, dan amanat merupakan satu langkah awal untuk penelitian karya sastra sebelum melakukan pendekatan selanjutnya. Diharapkan melalui analisis struktural dapat diketahui keterkaitan antar unsur intrinsik yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, dan amanat yang membangun sebuah karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh. Menurut Kosasih (2012: 71) amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaika pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat adalah sebuah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit ataupun secara eksplisit (Sudjiman, 1988: 57). Pesan biasanya berisi contoh nasihat atau perbuatan-perbuatan bijak. Menurut berbagai pendapat para ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa amanat adalah pesan atau nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
20
6. Sudut Pandang/Point of View Sudut pandang merupakan unsur instrinsik novel yang sangat penting dimana pengarang bercerita berhubungan dengan pembaca. Sudut pandang adalah teknik yang digunakan pengarang untuk berperan dalam cerita (Waluyo, 2008: 37). Pengertian sekitar sudut pandang. Sudut pandang, poin point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dewasa ini betapa pentingnya sudut pandang dalam karya fiksi tak lagi diragukan orang. Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Penyimpangan sudut pandang bukan hanya menyangkut masalah persona pertama atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang menceritakan itu, anak-anak, dewasa, orang desa yang tak
tahu
apa-apa,
orang
modern,
politikus,
pelajar,
atau
yang lain.
Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Friedmen ( dalam stevick, 1967:118) mengemukakan
adanya
sejumlah
pemertanyaan
yang
jawabnya
dapat
dipergunakan untuk membedakan sudut pandang. a. Sudut pandang pesona ketiga:“Dia” Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona ketiga. Narator adalah seseorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya :ia, dia, mereka. b. Sudut pandang pesona pertama “aku” Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona pertama, first person point of view, “aku”, jadi : gaya “aku”. Narator adalah sesweorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan
21
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepda pembaca. c. Sudut pandang campuran Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. C. Pendekatan Psikologi sastra Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam berkarya. Begitupun pembaca, dalam menanggapi karya sastra tidak akan lepas dari aktivitas kejiwaan masing-masing. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2011: 96). Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi (Noor, 2007: 92). Dalam hal ini terdapat persamaan fungsi antara sastra dan psikologi. Keduanya sama-sama berurusan dengan persoalan manusia sebagai makhluk sosial. Keduanya juga memanfaatkan landasan yang sama, yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan utama penelaahan. Itulah sebabnya, pendekatan psikologi dianggap penting penggunaannya dalam kajian dan kritik sastra. Dalam konteks ini, psikologi dapat diberlakukan sebagai alat analisis, baik dalam bentuk umum maupun khusus (Noor, 2007: 95). Pengarang akan menggunakan cipta, rasa,dan karya dalam berkarya. Begitu pula pembaca dalam menanggapi karya juga tidak lepas dari kejiwaan masing-masing. Psikologi sastra pun mengenal karya sebagai pantulan kejiwaan. Penelitian psikologi sastra merupakan sebuah penelitian yang menitikberatkan pada suatu karya sastra yang menggunakan tinjauan tentang psikologi. Psikologi sastra dapat mengungkapkan tentang suatu
kejiwaan baik
pengarang,
tokoh karya
sastra,
maupun
pembaca karya sastra. Penelitian psikologi sastra membutuhkan kecermatan dan ketelitiaan dalam membaca supaya dapat menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi kejiwaan.
22
Menurut Roekhan (1990: 88) Psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Yang pertama, pendekatan tekstual yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra tersebut. Kedua, pendekatan reseptifpragmatik yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakat. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Ratna ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsurunsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra. Dengan penjelasan tersebut psikologi sastra seharusnya memberikan prioritas pada sastra bukan psikologi (Ratna, 2012: 343-344). Penelitian psikologi sastra juga dapat dilakukan melalui dua cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis. Psikologi sastra sebagaimana dalam penelitian ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Karya sastra yang menentukan teori, bukan sebaliknya (Ratna, 2012: 344). Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan Aktivitas kejiwaan (Minderop, 2011: 54-55). Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan
23
psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan. Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar
atau subconscious setelah jelas baru
dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra. Kedua, kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya sastra menjadi semakain hidup (Endraswara, 2003: 96). Berdasarkan pendapat beberapa para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra adalah penelitian yang menitikberatkan pada karya sastra sebagai pusat penelitian tentang aspek kemanusiaan, yaitu aspek kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra, aspek kejiwaan pengarang, dan psikologi pembaca. Teori kebutuhan Maslow merupakan konsep aktualisasi diri yang merupakan keinginan untuk mewujudkan kemampuan diri atau keinginan untuk menjadi apapun yang mampu dicapai oleh setiap individu. Kehidupan keluarga petani kelapa sawit memiliki keinginan untuk mewujudkan impian-impiannya melalui anak. Kebutuhan akan prestise/pengharagaan dari orang lain sangatlah diinginkan. Abraham Maslow menerangkan lima tingkatankebutuhan dasar manusia adalah sebagai berikut : 1. Basic needs atau kebutuhan fisiologi, merupakan kebutuhan yang paling penting seperti kebutuhan akan makanan. Dominasi kebutuhan fisiologi ini relatif lebih tinggi dibanding dengan kebutuhan lain dan dengan demikian muncul kebutuhan-kebutuhan lain. 2. Safety needs atau kebutuhan akan keselamatan, merupakan kebutuhan yang keamanan, kemantapan, ketergantungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan
24
kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas kekuatan pada diri, pelindung dan sebagainya. 3. Love needs atau kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, merupakan kebutuhan yang muncul setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keselamatan telah terpenuhi. Artinya orang dalam kehidupannya akan membutuhkan rasa untuk disayang dan menyayangi antar sesama dan untuk berkumpul dengan orang lain. 4. Esteem needs atau kebutuhan akan harga diri. Semua orang dalam masyarakat mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat yang biasanya bermutu tinggi akan rasa hormat diri atau harga diri dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini di bagi dalam dua peringkat : a. Keinginan akan kekuatan, akan prestasi, berkecukupan, unggul, dan kemampuan, percaya pada diri sendiri, kemerdekaan dan kebebasan. b. Hasrat akan nama baik atau gengsi dan harga diri, prestise (penghormatan dan penghargaan dari orang lain), status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian dan martabat. 5. Self Actualitation needs atau kebutuhan akan perwujudan diri, yakni kecenderungan untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan kemampuannya.
D. Nilai Kegigihan 1. Pengertian Nilai Nilai berasal dari bahasa latin, dari kata value yang artinya berdaya guna, dan berlaku (Tilman, 2004: 31) Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, dan indah untuk memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi untuk mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu ( sistem kepercayaan) yang berhubungan dengan subjek yang member arti bahwa (manusia yang menyakini). Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku (Wibowo,2013: 22). Sementara itu menurut (Sukmadinata, 2009: 18) nilai adalah kualitas yang
25
memang membangkitkan respon penghargaan, sedangkan menurut Muhaimin dan Mujid (Mu’in, 2011: 15) nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat. Pendapat tersebut bahwa yang dimaksud nilai adalah sesuatu yang bermanfaat sebagai acuan tingkah laku yang praktis dan efektif dalam jiwa serta tindakan manusia secara objektif yang berkualitas untuk membangkitkan respon penghargaan. Nilai juga dapat diartikan sebagai standard tingkah laku, dan kebenaran yang mengikat masyarakat manusia, sehingga menjadi kepatutan untuk dijalankan dan dipertahankan. (Linda, 1995: xxvii) menyatakan bahwa “nilai” dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai menjadi perilaku serta cara manusia memperlakukan orang lain. Termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, tahu batas, dan kemurnian. Sedangkan nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian secara langsung ataupun tidak langsung akan diterima sebanyak yang diberikan, termasuk nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati. 2. Pengertian Kegigihan Kegigihan didefinisikan sebagai kelanjutan dari tindakan sukarela untuk mencapai suatu tujuan meskipun ada hambatan, kesulitan, atau keputusasaan. Kegigihan memerlukan adanya suatu perilaku aktif dalam mempertahankan suatu kepercayaan (Peterson & Seligman, 2004: 11) Gigih mempunyai arti: a. keras hati; tetap teguh pada pendirian atau pikiran ; mengotot: b. ulet (dalam usaha); kegigihan berarti: (1). keteguhan memegang pendapat (atau mempertahankan pendirian dan sebagainya); (2). keuletan (dalam berusaha) . Kegigihan diartikan berusaha tanpa henti. Kegigihan adalah kesanggupan, kemampuan,
memaksakan
diri
melakukan
pengerjaan
atau
perbuatan
berkesinambungan. Kegigihan berperan terikat pada seseorang yang selalu bekerja,
menghasilkan
melalui
kinerjanya.
Kegigihan
ter-refleksi
oleh
26
kedisiplinan diri. Dengan demikian berarti kegigihan adalah suatu yang dapat dilatih, dibinakan diataranya melalui pendisiplinan kegiatan keseharian. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau lingkungan yang menerapkan pendidikan dengan kedisiplinan, biasanya tumbuh dewasa dengan sikap kegigihan tinggi. Sebaliknya anak yang tidak mengenal pendidikan pendisiplinan tumbuh menjadi sosok pribadi yang rapuh. Motivasi yang sempat menurun dapat terkompensasi dengan kegigihan yang kuat. Keterhubungan antara keduanya terasa bilamana pekerjaan yang dilakukan dengan gigih membuahkan hasil yang baik. Oleh karena itu, seorang dengan kegigihan yang kuat biasanya motivasi yang ada pada dirinya terpelihara. Secara nomina, kegigihan (ke+gigih+an) yang berarti: a. Keteguhan memegang pendapat (atau mempertahankan pendirian, dsb); b. Keuletan (dalam berusaha). Kegigihan adalah semangat pantang menyerah yang harus
dimiliki
seseorang untuk mencapai kesuksesan. Setiap orang harus membiasakan diri melihat setiap masalah yang muncul sebagai suatu hal yang wajar dan harus dihadapi, bukan menghindar atau melarikan diri dari masalah. Kualitas kematangan mental seseorang dibangun dari fondasi yang kuat. Orang sukses bukan tidak pernah gagal, melainkan mereka tidak pernah menyerah. Sikap tersebut memerlukan mentalitas yang gigih. Kegigihan adalah salah satu unsur kehidupan yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. E. Pendidikan Budi Pekerti dan Visi Misinya di Sekolah 1.
Pengertian Pendidikan Pendidikan mengandung suatu pengertian luas, menyangkut seluruh aspek
kepribadian manusia termasuk hati nurani, nilai-nilai, perasaan, pengetahuan, dan keterampilan. Dengan pendidikan manusia berusaha untuk meningkatkan, mengembangkan, serta memperbaiki nilai-nilai kehidupan. Secara etimologi kata pendidikan berasal dari kata "didik" yang mendapat awalan "pe" dan akhiran "an" ,maka jadilah kata pendidikan . Dari Bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata ”pedagogi” yaitu kata ”paid” yang artinya anak dan ”agogos” yang artinya
27
membimbing,
sehingga pedagogi dapat diartikan sebagai ”ilmu dan seni
membimbing anak. Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan yaitu sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan yang diperoleh secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya. Dari segi bahasa, pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebaginya. ( Mubarok, 2009: 1) Pengertian Pendidikan menurut beberapa para ahli adalah sebagai berikut : a. Menurut Tafsir (1992: 24) “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didiknya menuju terbentuknya kepribadian yang utama”. b. Menurut Dewey, dalam (Ahmadi dan Uhbiyati, 2001: 69), “Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia”. c. Menurut M.J. Langeveld dalam (Mubarok, 2009: 2) “Pendidikan adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan, dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakantindakannya menurut pilihannya sendiri.” d. Ki Hajar Dewantara ( 1962: 2) mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan nilai moral (kekuatan batin,
28
karakter), fikiran (intellect) dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras. e. Sementara Zamroni (1992: 35) memberikan definisi pendidikan adalah suatu proses menanamkan dan mengembangkan pada diri peserta didik pengetahuan tentang hidup, sikap dalam hidup agar kelak ia dapat membedakan barang yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, sehingga kehadirannya ditengah-tengah masyarakat akan bermakna dan berfungsi secara optimal. Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar, disengaja, dan positif untuk menuntun hidup jasmani dan rohani anak didik dengan memberi kesempatan kepadanya untuk mengembangkan bakat menuju terbentuknya kepribadian yang utama, serta untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Dengan demikian pendidikan pada intinya menolong ditengah-tengah kehidupan manusia.
2. Pengertian Budi Pekerti Budi pekerti dari pengertian moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun dan perilaku. Oleh sebab itu pengertian budi pekerti yang paling hakiki adalah perilaku. Sebagai perilaku maka budi pekerti meliputi sikap yang dicerminkan oleh perilaku (Sedyawati, 1999: 5). Budi pekerti adalah tingkah laku, akhlak, perangai atau watak. Soedjarwo W (2009: 55) budi itu pikiran dan rasa yang ada dalam jiwa seseorang, sedang pekerti yaitu tindakan yang sumbernya dari budi tersebut. Berdasarkan pendapat di atas, maka budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma yang berlaku di masyarakat. Norma-norma tersebut adalah norma agama, norma hukum, tata karma dan sopan santun, serta norma budaya atau adat-istiadat. Untuk dapat memiliki budi pekerti yang baik tidaklah mudah tetapi melalui
29
berbagai proses, setiap individu menjalani proses tersebut dan proses yang paling efektif adalah proses pendidikan. Budi pekerti merupakan alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik buruk, tabiat, akhlak, watak, perbuatan baik, daya upaya dan akal yang diwujudkan dalam perilaku. Pentingnya nilai akhlak, moral serta budi luhur bagi semua warga negara kiranya tidak perlu diingkari. Negara atau suatu bangsa bisa runtuh karena ada pejabat dan rakyatnya berperilaku tidak bermoral. Perilaku amoral akan memunculkan kerusuhan, keonaran, penyimpangan dan lain-lain yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa. Oleh karena itu, nilai perlu diajarkan agar generasi sekarang dan yang akan datang mampu berperilaku sesuai dengan moral yang diharapkan. Terwujudnya manusia Indonesia yang bermoral, berkarakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Hal ini merupakan tujuan dari pembangunan manusia Indonesia yang kemudian diimplementasikan ke dalam tujuan pendidikan nasional. Menurut Haidar (2004: 12) pengertian pendidikan budi pekerti ialah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menginternalisasikan dan menanamkan nilainilai moral ke dalam sikap & prilaku para peserta didik agar nantinya mempunyai sikap & berakhlakul karimah (perilaku yang luhur) di dalam kehidupan seharihari, baik di dalam berinteraksi dengan sesama manusia dengan alam/lingkungan maupun dengan Tuhan. Istilah Budi Pekerti, budi pekerti pada kamus bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti. Budi berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran. Pekerti berarti kelakuan. Secara terminologi, kata budi ialah yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut dengan nama karakter. Sedangkan pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati,
30
yang disebut behavior. Jadi dari kedua kata tersebut budipekerti dapat diartikan sebagai perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. Penerapan budi pekerti tergantung kepada pelaksanaanya. Budi pekerti dapat bersifat positif maupun negatif. Budi pekerti itu sendiri selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Budi pekerti didorong oleh kekuatan yang terdapat di dalam hati yaitu rasio. Rasio mempunyai tabiat kecenderungan kepada ingin tahu dan mau menerima yang logis, yang masuk akal dan sebaliknya tidak mau menerima yang analogis, yang tidak masuk akal. Di sini dapat dikatakan bahwa budipekerti merupakan implementasi daripada karakter individu. Menurut Suparno (2004), mengutip Sedyawati, budi pekerti dapat diartikan sebagai moralitas yang mengandung pengertian adat istiadat, sopan santun, sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku itu dapat dibagi menjadi lima bagian yakni sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, dan alam sekitarnya. Bila sikap dan perilaku itu benar-benar dijaga, budi pekerti seseorang dapat dikatakan baik. Sikap, merupakan suatu pandangan dari dalam diri seseorang terhadap suatu hal, sedangkan perilaku adalah perwujudan dari sikap orang tersebut. Dengan demikian, nilai budi pekerti mencakup dua unsur. Pertama, unsur pemahaman, kedua unsur tindakan atau perbuatan. Bila sikapnya baik diharapkan tindakannya pun baik, maka seyogyanya, pendidikan budi pekerti berawal dari memberikan pemahaman lalu melangkah pada tindakan. 3. Pendidikan Budi Pekerti Dewasa ini dunia pendidikan sedang mengkaji kembali mengenai perlunya pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral/karakter. Hal ini bukan hanya di negara Indonesia tetapi juga di seluruh dunia baik negara berkembang ataupun negara maju. Pendidikan budi pekerti dirasa penting karena banyak sekali masalah yang timbul di lingkungan masyarakat karena pudarnya budi pekerti masyarakat terutama di kalangan pelajar.
31
Dalam membudayakan budi pekerti di sekolah hendaknya diupayakan dengan mengoptimalkan semua potensi yang ada di sekolah. Dengan demikian diharapkan sekolah menjadi wahana dalam pendidikan budi pekerti untuk membentuk anak-anak bangsa yang berbudi luhur, berakhlak mulia, di samping kecerdasan pikir. Pendidikan budi pekerti diarahkan untuk membentuk karakter atau watak luhur. Menurut Kemendiknas dalam Wibowo (2012: 35), karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Sementara pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. a. Pendidikan Karakter Menurut Lickona Perhatian Lickona terhadap nilai-nilai karakter dan pengembangannya telah menjadi kajian dalam beberapa tahun terakhir. Lickona berfokus bagaimana menerapkan nilai-nilai karakter dari hal-hal yang sederhana yang pada akhirnya akan memberikan dampak yang sangat besar dimasa yang akan datang bagi setiap individu yang mampu melaksanakan nilai-nilai karakter itu sendiri dengan baik. Sebagaimana contoh-contoh sederhana yang dikemukakan oleh Lickona yang memberikan dampak dan pemahaman yang sangat mendalam mengenai implementasi nilai-nilai karakter, “We don’t want them to lie, cheat on tests, take what’s not theirs, call names, hit each other, or be cruel to animals; we do want them to tell the truth, play fair, be polite, respect their parents and teachers, do their schoolwork, ad be kind to others. (1991: 47). Dapat dijelaskan bahwa, dengan mengutamakan nilai kejujuran, tentu siswa diminta untuk tidak mencontek saat mengerjakan tugas atau ujian, tidak mengambil barang yang bukan haknya, memanggil dengan panggilan yang baik, menyanyangi teman, dan memperlakukan hewan dengan baik. Dengan demikian,
32
jelas bahwa kita menginginkan agar peserta didik berkata jujur (tidak bohong), adil, sopan santun, menghormati orang tua dan guru, mengerjakan tugas sekolah yang diberikan oleh guru, dan bersikap baik kepada setiap orang. Karater menurut Lickona terbagi atas beberapa bagian yang tercakup di dalamnya. Sebagaimana yang dikemukakan di bawah ini: “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for leading a moral life, all three make up moral maturity. When we think about the kind of character we want for our children, it’s clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within.”(1991: 5). Berdasarkan pendapat Lickona di atas dapat dijelaskan bahwa karakter terdiri atas tiga korelasi antara lain moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Karakter itu sendiri terdiri atas: mengetahui hal-hal yang baik, memiliki keinginan untuk berbuat baik, dan melaksanakan yang baik tadi berdasarkan atas pemikiran, dan perasaan apakah hal tersebut baik untuk dilakukan atau tidak, kemudian dikerjakan. Ketiga hal tersebut dapat memberikan pengarahan atau pengalaman moral hidup yang baik, dan memberikan kedewasaan dalam bersikap. b. Pendidikan Karakter Menurut Megawangi Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good yakni suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik. Sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, hands. (Megawangi, 2007: 9) Sebagaimana pendapat Lickona yang dikutip Megawangi (2007: 10) mengenai pendidikan karakter adalah sebagai berikut: Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membangun kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya.
33
Senada dengan pendapat Lickona, Megawangi (2007: 10) Juga menyebutkan pilar-pilar pendidikan karakter yang berjumlah 9 yaitu: (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya; (2) Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri; (3) Jujur; (4) Hormat dan santun; (5) Kasih sayang, peduli, dan kerja sama; (6) Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) Keadilan dan kepemimpinan; (8) Baik hati dan rendah hati; (9) Toleransi, cinta damai, dan persatuan. Menurut Lickona, pendidikan karakter dapat berjalan secara efektif jika para pendidik dan pemangku kebijakan pendidikan memperhatikan dan melaksanakan prinsip-prinsip berikut: (1) Nilai-nilai etika inti hendaknya dikembangkan, sementara nilai-nilai kinerja pendukungya dijadikan sebagai dasar atau fondasi; (2) Karakter hendaknya didefinisikan secara komprehensif, sehingga mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) Pendekatan yang digunakan hendaknya komprehensif, disengaja, dan proaktif; (4) Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) Beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu mereka untuk berhasil; (7) Usahakan mendorong morivasi diri siswa; (8) Libatkan staf sekolah sebagai komunitas
pembelajaran dan moral; (9) Tumbuhkan
kebersamaan dalam kepemimpinan moral; (10) Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra; dan (11) Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana anak didik memanifestasikan karakter yang baik (Wibowo, 2012: 48). Sekarang kita menyadari bahwa perkembangan karakter juga sangatlah penting. Kesadaran tersebut telah menghapus dinding perbedaan antarkomunitas. Dalam pandangan dasar hanyalah karakter (kepribadian) yang menjadi ukuran yang paling baik dalam menilai individu, maka karakter pulalah yang menjadi ukuran yang paling baik dalam mengukur keberhasilan.
34
4. Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti Menurut Martorella dalam Djahiri (1992: 23) mengemukakan ada delapan pendekatan dalam pendidikan budi pekerti, yaitu: a. Evocation, yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya; b. Inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap; c. Moral Reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah; d. Value Clarification, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral; e. Value Analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral; f. Moral Awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu; g. Commitment Approach, yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai; h. Union Approach, yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan. 5. Tujuan dan Manfaat Pendidikan Budi Pekerti Pendidikan budi pekerti berkaitan dengan karakter dan moralitas. Ramli dalam Wibowo (2012: 34-35), pendidikan karakter itu memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral atau pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi pribadi yang baik, jika di masyarakat menjadi warga negara yang baik. Adapun kriteria pribadi yang baik, warga
35
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Tujuan pendidikan budi pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan perilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur. Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan budi pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya. Pendidikan budi pekerti yang terintegrasi secara umum bertujuan untuk memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari, dalam berbagai konteks sosial budaya yang bhinneka. Selanjutnya esensi tujuan tersebut perlu dijabarkan dalam pengembangan pembelajaran dan sumber belajar setiap mata pelajaran yang relevan dengan tujuan agar siswa mampu menggunakan pengetahuan, nilai, keterampilan mata pelajaran itu sebagai wahana yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya serta terwujudnya sikap dan perilaku siswa yang mencerimkan akhlak mulia yang dipersyaratkan bagi manusia Indonesia seutuhnya. Menurut Cahyoto (2001: 13) kegunaan pendidikan budi pekerti antara lain sebagai berikut ini. a. Siswa memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan.
36
b. Siswa memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku sehari-hari yang didasari hak dan kewajiban sebagai warga negara. c. Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi pekerti,mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata dimasyarakat. d. Siswa dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral. Pendidikan budi pekerti diajarkan di sekolah dengan maksud antara untuk membangun generasi masa depan, selain cerdas juga berakhlak mulia dan berbudi lihur. Watak yang tidak berbudi yang sering tampak dalam masyarakat Indonesia harus segera diakhiri, dan untuk jangka panjang perlu pembinaan generasi yang berbudi luhur. Berdasarkan teori pembinaan generasi yang berbudi luhur harus dimulai sejak dini, sejak anak masih kecil. Oleh karena itu pendidikan budi pekerti di sekolah dimulai dari taman kanak-kanak, sungguhpun pada dasarnya sudah terjadi di lingkungan keluarga. Pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke semua bidang pengembangan yang dipandang masih terkait dalam sikap dan kemampuan dasar antara lain kemampuan bahasa, kemampuan daya pikir, kemampuan keterampilan, kemampuan jasmani dan kemampuan daya cipta. 6. Visi dan misi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Menurut Winataputra (2001: 6) visi dan misi pendidikan budi pekerti di sekolah adalah sebagai berikut ini. a. Visi pendidikan budi pekerti adalah mewujudkan pendidikan budi pekerti sebagai
bentuk
nilai,
moral,
etika
yang
berfungsi
menumbuh
kembangkan individu warga Negara Indonesia berakhlak mulia dalam pikiran, sikap dan perbuatan sehari-hari. b. Misi pendidikan budi pekerti. 1) Mengoptimalkan subtansi dan pelaksanaan mata pelajaran yang relevan khususnya pendidikan agama dan pendidikan pancasila dan
37
kewarganegaraan serta pelajaran lainya yang relevan, sebagai wahana pendidikan budi pekerti sehingga pada peserta didik bukan hanya cerdas secara rasional, tetapi juga cerdas spiritual, emosioanal dan sosial. 2) Mewujudkan tatanan dan iklim sosial budaya dunia pendidikan yang dikembangkan sebagai lingkungan pendidikan yang memancarkan akhlak mulia/moral luhur, sebagai wahana bagi siswa, tenaga kependidikan dan pengelola pendidikan untuk membangun interaksi induktif dan budaya sekolah yang juga memancarkan akhlak mulia, serta membangun ketahanan sekolah, lingkungan keluarga dan masyarakat dari pengaruh luar negatif. 3) Memanfaatkan media massa dan lingkungan masyarakat secara selektif dan adaptif guna mendukung keseluruhan upaya penumbuhan dan pengembangan nilai-nilai budi pekerti baik yang melalui mata pelajaran yang relevan maupun yang melalui pengembangan budaya pendidikan disekolah. 4) Membangun kerjasama antara keluarga, sekolah dan masyarakat dalam penerapan pendidikan budi pekerti. F. Penelitian terdahulu Novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata pernah diteliti oleh Metti, (2011) dengan judul Citra Perempuan dalam Novel Cintrong Paju-Pat
Karya Suparto Brata, Universitas Negeri Semarang. Permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana citra perempuan dalam novel Cintrong Paju-Pat? (2) Bagaimana pandangan feminisme pengarang tentang perempuan dalam novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata? Di samping itu novel Cintrong Paju-Pat juga pernah diteliti oleh Rahayu, dkk.(2011) dengan judul Nilai Etika Dan Estetika Dalam Novel Cintrong Paju Pat Karya Suparto Brata.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud nilai etika dan
estetika yang disampaikan pengarang dalam novel Cintrong Paju Pat karya Suparto Brata. Handayani, Universitas Muhammadiyah Purworejo, (2012) juga
38
pernah meneliti novel tersebut dengan Pencitraan Tokoh Wanita Dalam Novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata. Permasalahan yang dibahas adalah (1) bagaimana struktur pembangun novel, (2) Bagaimana citra tokoh utama wanita, dan (3) Bagaimana perjuangan tokoh utama dalam novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata. Sesuai dengan judul dan permasalahan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur pembangun novel, citra wanita dan perjuangan tokoh utama wanita dalam novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata. G. Penelitian yang Relevan Berikut adalah beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini: Kajian yang berhubungan dengan psikologi sastra telah dilakukan beberapa peneliti sebelumnya. 1. Penelitian yang dilakukan oleh Litrev (2010) yang berjudul Writing a Psychological Literature Review. Simpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa ada dua pendekatan utama untuk kajian literatur dalam psikologi. Pendekatan yang pertama adalah dengan memilih area penelitian, membaca semua studi yang relevan, dan mengaturnya dalam cara yang berarti. Pendekatan kedua adalah dengan memilih tema yang mengatur titik yang akan dibuat, kemudian pilih yang sesuai dengan studi. 2. 3L : The Southeast Asian Journal of English Language Studies- Vol. 17 (1) 2011. Saving the Savior : A Deconstruction of the Novel Viajero by F. Sionil Jose oleh Pulido D, H. Dalam jurnal ini dibahas tentang identifikasi stuktur novel, identifikasi bagian-bagian novel yang menunjukkan hubungan yang tidak stabil. Penelitian tersebut pada hasil akhirnya digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca kritis. 3. American Journal of Psychology Vol. 86, No. 4 (Januari, 2003), Pp. 640-664.
39
American Character and The American Novel: An Expansion of Reflection Theory in The Psychology of Literature of Griswold, W. Dalam jurnal ini penulis mencoba untuk menentukan bagaimana sastra dianalisis melalui pendekatan psikologi sastra yang dipusatkan pada penelitian watak/pelaku/tokoh. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan adanya konsep Oedipus Complex yang meliputi cerminan rasa bersalah, menghukum diri sendiri, kepedihan, dari gangguan halusinasi yang menjadi tekanan psikologi pelaku dalam novel Sons and Lovers karya Lawrence, D.H. 4. Hoffman, A.G. (2006) dalam penelitian yang berjudul Is Psychoanalysis a Poetic of Body? Memaparkan tentang penulisan dan pengalaman sastra pada kegiatan manusia yang tidak hanya melalui bahasa atau teks, tetapi juga fantasi dari manusia. Penelitian Anne juga menggunakan pendekatan psikologi sastra. 5. Rence N. E, et al., (2010: 493-502) yang dimuat di dalam Journal of Language Teaching. Hasil penelitian yang dimuat di dalam jurnal ini dikemukakan bahwa mencatat perkembangan novel terbaru dan aplikasinya sehingga menjadi komperhensif, yaitu dengan mengeksplorasi kemajuan instrumental yang menunjukkan peningkatan kemampuan analisis. Simpulan penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. 6. Winataputra (2010) Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Karakter (Konsep, Kebijakan, dan Kerangka Programatik). Penelitian ini mengemukakan bahwa: Secara konstitusional dalam jangka panjang pembangunan nasional di Indonesia (2005-2025)
harus dikelola untuk mencapai tujuan akhir,
diantaranya adalah: karakter nasional yang kuat , kompetensi nasional , perilaku yang patut dihargai , dan moralitas yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Disebutkan bahwa di antara nilai-nilai itu adalah : percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa , bertindak perilaku sesuai norma , nilai
40
toleran , menerapkan kooperatif , menjadi patriotik , menjadi dinamis , dan memiliki kesadaran ilmiah dan teknologi. 7. Subandi (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Sabar: Sebuah Konsep Psikologi . penelitian ini menemukan lima kategori yang tercangkup dalam konsep sabar yaitu: a. Pengendalian diri: menahan emosi dan keinginan, berpikir panjang, memaafkan kesalahan, toleransi terhadap penundaan. b. Ketabahan, bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. c. Kegigihan: ulet, bekerja keras untuk mencapai pemecahan masalah. d. Menerima kenyataan pahit dengan ikhas dan bersyukur. Sikap tenang, tidak terburu-buru 8. Suriansyah (2011) Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Sistem Pendidikan Nasional. Paradigma, Jurnal Ilmu Pendidikan, 6 (11). pp. 117130. ISSN 0853-7585 dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa: Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengembangkan nilainilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilainilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakan dan warga yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Sejalan dengan itu, pendidikan dalam perspektif sistem pendidikan nasional pada dasarnya membentuk manusia seutuhnya yaitu manusia yang berkarakter sekaligus manusia yang cerdas. Maksudnya, pembangunan karakter, selain merupakan upaya penwujudan amanat Pancasila dan pembukaan UUD 1945, juga dilatar belakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini. Jelas apabila signifikannya pendidikan karakter sejalan dengan tuntutan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional yang secara eksplisit telah mendudukkan pendidikan moral dan karakter dalam posisi yang sangat sentral. 9. Martinah (2013) Perjuangan Perempuan dan Nilai Pendidikan Novel Dalam Air Mata Terakhir Bunda Karya Kirana Kejora Dengan Pendekatan Feminisme. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, ISSN: 1693-623X Vol 1, No 2, 2013 (hal 155-169). Dalam penelitian ini
41
mengungkapkan
bahwa:
Perjuangan
perempuan
dalam
membela
ketidakadilan gender, Keadaan sosial masyarakat, dan Nilai-nilai pendidikan. 10. Triastuti (2013) Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan Novel Maruti Jerit Hati Seorang Penari Karya Achmad Munif. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, ISSN: 1693-623X Vol 11, No 1, 2013 (hal 41-61). Dalam penelitian ini mengemukakan bahwa: Analisis struktur teks dari novel Maruti Jerit Hati Seorang Penari karya Achmad Munif meliputi: a. Tema, yakni perjuangan wanita dalam mewujudkan cita-citanya, b. Tokoh dan penokohan, berpusat pada tokoh Maruti sebagai fokus perhatian tokoh-tokoh cerita lain, c. Latar, yakni di daerah Yogyakarta sekitar abad 20-an, d. Beralur maju, dan e. Menggunakan sudut pandang yang menempatkan pengarang sebagai persona ketiga atau third-person. Eksistensi perempuan yang tedapat dalam novel Maruti Jerit Hati Seorang Penari karya Achmad Munif adalah a. Perempuan dalam dunia patriarki sebagai the second sex, b. Kekerasan terhadap perempuan, c. Kebebasan menentukan pasangan hidup dan menentukan pilihan pekerjaan, d. Perlawanan perempuan, e. Subordinasi perempuan, dan f. Perjuangan kesetaraan gender.
H. Kerangka Berpikir Mengkaji novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata dengan pendekatan psikologi sastra berpijak pada tokoh berdasarkan karakter tokoh yang dimiliki, gejolak kejiwaan tokoh yang ada dalam novel untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut tokoh mengalami masalah dengan tokoh lainnya yang mengakibatkan adanya konflik antar tokoh dengan lain. Novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata adalah novel yang sarat akan nilai pendidikan budi pekerti yang semuanya itu dapat dipetik manfaatnya. Nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam novel secara implisit dan eksplisit yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Dalam menemukan nilai
42
pendidikan budi pekerti yang ada, maka pembaca harus dapat mengetahui dan menemukan nilai yang disampaikan oleh penulis.
NILAI KEGIGIHAN HIDUP SEORANG WANITA DALAM NOVEL CINTRONG PAJU-PAT KARYA SUPARTO BRATA DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH (SEBUAH TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)
Unsur Intrinsik
Nilai kegigihan hidup seorang wanita
Pendidikan Budi Pekerti
1. Unsur-unsur yang membentuk struktur novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata. 2. Berbagai bentuk Nilai kegigihan hidup seorang wanita dalam novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata. 3. Relevansi nilai kegigihan hidup novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata dengan pendidikan budi pekerti di sekolah. Gambar 1: Skema Kerangka Berpikir