6
II. LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pemberdayaan Shardlow (1998) menyatakan bahwa pada intinya pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dalam kesimpulannya Shardlow (1998), menggambarkan bahwa pemberdayaan sebagai suatu gagasan tentang self determination, yang dikenal sebagai salah satu prinsip dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Inti dari prinsip ini adalah mendorong individu, kelompok atau komunitas untuk menentukan sendiri apa yang harus dilakukan dalam kaitan dengan upaya menghadapi permasalahan yang dihadapi, sehingga mereka mempunyai kesadaran penuh dan kekuasaan penuh dalam membentuk hari depannya. Anwar (2000b) dalam Andit (2005) mengungkapkan bahwa pemberdayaan mengandung arti secara luas kepada ekspansi dari kebebasan membuat alternatif pilihan (freedom of choice) dan tindakan-tindakan untuk membentuk kehidupan. Seseorang memiliki kontrol terhadap sumberdayasumberdaya dan pengambilan keputusan. Inti konsep pemberdayaan masyarakat adalah pada bagaimana menjadikan masyarakat menjadi intended beneficiaries dan sekaligus mampu mengelola potensinya sendiri untuk berkembang dan mandiri dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan yang terjadi demikian pesatnya. Ini berarti bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses peningkatan pengetahuan dan ketrampilan (formal maupun informal) dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan guna menghadapi kehidupan sehari-harinya. Lebih lanjut Anwar (2000a) dalam Andit (2005), menjelaskan bahwa walaupun tidak ada model upaya pemberdayaan yang dianggap untuk dapat dijadikan panutan, pengalaman menunjukkan bahwa ada beberapa elemen penting dalam pemberdayaan yang berhasil. Dalam kaitan ini, ada empat elemen kunci pemberdayaan yang harus mendasari reformasi institusional, yaitu :
7
1. Akses kepada informasi. Informasi dapat dipandang sebagai suatu sumber kekuatan. Siapa yang menguasai sumber informasi dan memiliki akses lebih baik kepada sumber informasi akan dapat menentukan arah dan tujuan pelaksanaan pembangunan. Karenanya masyarakat harus mampu menguasai informasi yang diperlukannya sehingga informasi merupakan suatu kekuatan. Arus informasi yang mengalir dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya bersifat kritis dalam penciptaan warganegara yang bertanggung jawab dan pemerintah yang cepat tanggap dan dipercaya (responsive and accountable). Warga Negara yang terinformasi lebih dapat memanfaatkan kesempatan, akses terhadap pelayan publik, menerapkan hak-haknya, dan menjaga akuntabilitas pejabat Negara dan non Negara. Sedangkan wilayah-wilayah kritisnya adalah kinerja pemerintah dan sektor swasta, jasa keuangan dan pasar, serta peraturan dan hak sehubungan dengan pelayan dasar. 2. Keterlibatan dan partisipasi. Suatu pendekatan pemberdayaan kepada partisipasi masyarakat memperlakukan kelompok marjinal orang-orang miskin sebagai mitra pembangunan. Pendekatan pemberdayaan memperlakukan masyarakat miskin sebagai pendamping pemerintah yang memiliki penguasaan terhadap keputusan dan sumberdaya hingga tingkatan yang kecil. Keterlibatan kelompok miskin dan kelompok terasing lainnya dalam pembuatan keputusan sangat penting dalam menjamin agar sumberdaya publik yang terbatas dibangun atas kepentingan lokal dan dapat menumbuhkan komitmen dan perubahan. Keterlibatan kelompok ini sangat kritis dan dapat menjamin pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang terbatas seefisien mungkin. 3. Akuntabilitas..
Akuntabilitas
lebih
diperuntukan
kepada
penyelenggara
pemerintahan itu sendiri. Sedikitnya ada tiga akuntabilitas yang harus dipenuhi penyelenggara pemerintahan, yaitu : Akuntabilitas politik dan perwakilannya yang dapat berlangsung secara ketat melalui pemilihan umum; akuntabilitas administratif dari instansi-instansi pemerintahan yang dapat diuji dalam mekanisme akuntabilitas internal; dan akuntabilitas sosial berupa pertanggung jawaban kepada masyarakat. 4. Kapasitas organisasi lokal (Local organizational capacity). Aspek ini berkaitan dengan
kemampuan
orang-orang
untuk
dapat
bekerjasama
dan
8
mengorganisasikannya sendiri serta mampu memobilisasikan sumberdayasumberdaya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menjadi perhatian bersama. B. Lembaga Keuangan Mikro Istilah lembaga keuangan mikro atau juga sering disebut dengan kredit mikro, pertama kali didefinisikan dalam pertemuan The World Summit on Micro Credit di Washington tanggal 2 sampai 4 Februari 1997, yang menyatakan bahwa kredit mikro adalah program/kegiatan memberikan pinjaman yang jumlahnya kecil kepada masyarakat miskin untuk kegiatan usaha meningkatkan pendapatan, pemberian pinjaman untuk mengurus diri sendiri dan keluarganya. Model kredit mikro telah banyak diterapkan dibeberapa negara, antara lain Grameen Bank di Bangladesh, SEWA Bank di India Bank of Agriculture and Agriculture Cooperatives (BAAC) di Thailand dan Protecting Saving And Credit Asosiation (ROSCAs) hampir ada di setiap negara dengan berbagai nama dan jenis kegiatan. Di Indonesia ROSCAs ini di contohkan dalam kegiatan arisan (Hakim, 2005). Sebagai usaha simpan pinjam maka dalam melaksanakan kredit mikro terjadi saling ketergantungan antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sumodiningrat (1999), bahwa sistem kredit yang ideal adalah hendaknya ada ketergantungan yang saling menguntungkan antara penerima kredit (nasabah, masyarakat) dengan pemberi kredit (lembaga dana). Dengan terjadinya proses ketergantungan yang saling menguntungkan tersebut maka terdapat unsur kebersamaan, kerjasama, dan kooperatif. Selanjutnya dikatakan bahwa kredit mikro sebagai lembaga layanan kredit yang ideal harus mempunyai ciri sosial (kebersamaan), dan sekaligus mempunyai ciri ekonomi (menerapkan prinsip-prinsip ekonomi). Ciri sosial (kebersamaan) yang dimaksud adalah dapat membawakan aspirasi dan menguntungkan bagi masyarakat setempat. Prasyaratnya, ada proses yang muncul dalam masyarakat, yaitu saling mengenal dan saling membantu, yang meningkat menjadi hubungan ekonomi, serta adanya kewajiban mengembalikan dana yang dipinjam. Lembaga pelayan kredit akan mampu tumbuh dan berkembang setidaknya harus memenuhi empat syarat :
9
1. lembaga tersebut harus mencerminkan kebutuhan dan kemampuan masyarakat sehingga diakui keberadaannya dan keberadaannya memenuhi syarat legal dan formal. 2. lembaga tersebut harus mudah diawasai, dipantau, dan dikelola oleh masyarakat setempat. 3. lembaga kredit ini harus menguntungkan, baik bagi peminjam maupun bagi kelangsungan lembaga itu sendiri 4. lembaga ini harus memberikan pelayanan keuangan yang menjangkau masyarakat, sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan masyarakat. Untuk itu diperlukan keleluasan dalam melayani masyarakat (Sumodiningrat, 1998 dalam Hakim, 2005). Menurut Sumodiningrat (1999), kredit mikro yang dimaksudkan sebagai tambahan modal usaha dan merupakan injeksi untuk membantu pertumbuhan ekonomi masyarakat, pegelolaanya harus menerapkan prinsip-prinsip: (1) mudah diterima dan didayagunakan oleh penerima (acceptable); (2) terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan (accountable); (3) memberikan pendapatan yang memadai secara ekonomis (profitable); (4) hasilnya dapat dilanjutkan (sustainable); (5) pengelolaan dan keberhasilannya dapat digulirkan dan dikembangkan kedalam lingkup yang lebih luas (replicable). Krisnamurthi (2002) menguraikan tiga prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kegiatan kredit mikro kaitannya dengan penyaluran dana bergulir sehingga dapat berjalan secara efektif, yakni: prinsip spiral, efektifitas, dan prinsip membangun kelompok. Prinsip spiral; perguliran terjadi sepanjang lingkaran spiral yang berpusat pada satu titik tertentu. Artinya proses perguliran harus berlangsung secara simultan bukan merupakan suatu loncatan. Dengan kata lain, pihak yang menerima perguliran memiliki kaitan erat dengan “pusat” dalam hal ini “pemangku proyek awal”, baik secara emosional maupun dalam konteks jaringan usaha. Ikatan yang terjadi diantara mereka telah terjalin dalam waktu yang cukup panjang. Karena itu pihak yang menerima perguliran adalah pihak yang dikenali karakternya oleh pihak yang menggulirkannya sehingga kedua belah pihak memiliki tanggung jawab moral untuk mensukseskan program tersebut secara keseluruhan.
10
Prinsip efektifitas; yaitu menciptakan cara agar perguliran dengan pola spiral lebih efektif dalam pemanfaatan dana, penggunaan tenggang waktu dan efek ganda dari perguliran tersebut. Selama ini proses perguliran dilakukan dengan terlebih dahulu “pemangku proyek awal” menyerahkan secara bertahap dana yang telah digunakannya kepada pihak pemrakarsa. Setelah itu rencananya pemrakarsa proyek akan menggulirkanya kepada kelompok lain. Kelemahan dengan pola tersebut adalah terdapat tenggang waktu antara menyerahkan uang dengan penggunaanya kembali oleh pihak lain. Bahkan terkadang arah dana perguliran sudah tidak lagi mampu dipantau oleh pihak luar. Prinsip membangun kelompok; bukan menciptakan kelompok baru. Sering kali perguliran dilakukan dengan cara menciptakan kelompok baru, dalam pengertian membentuk kelompok baru atau menggunakan kelompok yang sudah ada. Kedua pilihan tersebut tetap memiliki konsekwensi pendampingan ekstra, sama dengan kadar pendampingan pada kelompok awal. Berbeda dengan pengertian menciptakan kelompok baru (dalam dua pengertian diatas), membangun kelompok baru memiliki pengertian bahwa kelompok pemangku awal secara bertahap menyeleksi anggota baru dan menyatakanya dalam sistem kelembagaan lama, dan pada tahap tertentu setelah melewati proses belajar bersama dengan kelompok yang dimasukinya, anggota-anggota baru dapat dilepas menjadi kelompok baru tanpa perlu dilakukan interfensi pendampingan yang lebih banyak. Jikapun pilihan pihak yang menerima dana perguliran berikutnya berwujud kelompok, maka sejak awal disertakan figurfigur tertentu dalam mainstream kelompok “pemangku proyek awal”, untuk kemudian menyesuaikan sistem kelembagaan yang diterapkan pada kelompok “pemangku proyek awal” kepada kelompok “pemangku berikutnya”. Figur tertentu yang dimaksud adalah kader dari kelompok lain yang diberi kesempatan magang administrasi dan pengelolaan dana bergulir pada kelompok “pemangu proyek awal” dan ia tunduk pada mainstream tersebut. Dalam proses tersebut, fungsi pendampingan dapat diperluas kepada kelompok baru. Keunggulan perguliran dengan cara seperti ini adalah mekanisme perguliran dapat dilakukan secara tepat tanpa menunggu jatuh tempo perguliran dan proses pembelajaran dapat dilakukan secara efektif.
11
C. Pola Pembiayaan dengan Sistem Syariah Era pembiayaan syariah di Indonesia mulai dikenal sejak berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992. Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan UU no.7 tahun 1992 tentang perbankan, memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, praktek industri perbankan syariah mulai berkembang secara signifikan. Sebagai sebuah skim pembiayaan, baik bagi investasi di sektor riil maupun konsumsi, skim pembiayaan syariah masih tergolong relatif baru dalam khasanah pasar keuangan (fianancial market) nasional. Hal ini tercermin dari pangsa pasar perbankan syariah yang pada bulan Desember 2006 masih dibawah 2% terhadap total aset perbankan nasional. Bahkan untuk tahun 2011, sebagaimana dikemukakan dalam cetak biru perbankan syariah, pangsa pasar perbankan syariah baru diperkirakan mencapai 5% dari total aset perbankan nasional (Hafidhuddin, 2007). Namun dilihat dari pertumbuhannya, perkembangan pembiayaan syariah selama ini meningkat dengan pesat, tidak hanya pada jumlah bank yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah, tetapi juga dalam mobilisasi dana pihak ketiga dan pembiayaan yang disalurkan. Disamping itu, Nilai Financing to Deposit Ratio (FDR) atau dalam istilah perbankan konvensional disebut Loan to Deposit Ratio (LDR), yang mencapai angka 98,90%, merupakan bukti empirik bahwa pembiayaan syariah berfungsi sangat baik sebagai suatu financial intermediary institution. Nilai ini lebih besar daripada LDR yang mencapai 61,56%. Selain itu, juga ditunjukkan bahwa Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah adalah sebesar 4,75% per Desember 2006. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan NPL (Non Performing Loan) perbankan konvensional yang mencapai 7,0% pada periode yang sama (Bank Indonesia, 2007 dalam Hafidhuddin, 2007). Dalam Hafidhuddin (2007), secara umum dapat dikemukakan bahwa prospek pembiayaan syariah sangat baik. Banyak faktor yang mendukung argumentasi ini, di antaranya adalah: 1. Prospek pertumbuhan ekonomi makro Indonesia semakin membaik di masamasa yang akan datang. Untuk itu diperlukan sumber-sumber pembiayaan
12
untuk investasi yang sangat besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan demikian sektor perbankan, termasuk perbankan syariah, dituntut dan sekaligus diberikan peluang untuk mengambil peran dalam pembiayaan sektor riil. 2. Potensi perbankan syariah menjadi semakin besar sejalan dengan perhatian pemerintah yang semakin besar terhadap sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). 3. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk bertransaksi secara syariah, sejalan dengan semakin banyaknya produk syariah yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat luas dalam menjalankan usaha dan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 4. Keyakinan yang semakin tinggi bahwa sistem ekonomi syariah lebih memberikan
nuansa
keadilan
(dibandingkan
dengan
perbankan
konvensional), juga berpengaruh pada prospek perbankan syariah di masa yang akan dating. Sebagai konsekuensi dari larangan riba yang bersifat final ini, maka bank syariah tidak dapat menggunakan pola pinjaman berbasis bunga sebagaimana yang digunakan oleh bank konvensional. Pola pembiayaan bank syariah memiliki bentuk yang beragam. Secara umum pembiayaan bank syariah terbagi atas dua jenis, yaitu: skema berbasis profit and loss sharing (bagi hasil/rugi), yang direfleksikan oleh skema mudharabah dan musyarakah, dan skema berbasis fixed return (pendapatan tetap), yang direfleksikan oleh skema-skema lainnya, seperti murabahah, istishna, salam dan ijarah. Berikut ini adalah penjelasan beberapa konsep dasar pembiayaan bank syariah : 1. Mudharabah
:
kontrak
kerjasama
antara
bank
syariah
dan
pengusaha/nasabah, dimana bank syariah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan pengusaha/nasabah bertindak sebagai mudharib (pelaksana). Kedua belah pihak bersepakat untuk berbagai keuntungan dalam rasio tertentu. Jika terjadi kerugian maka shahibul maal menanggung kerugian finansial dan mudharib menanggung kerugian jasa tenaga kerja.
13
Karakter ini antara lain berdasarkan Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibn Majah. 2. Musyarakah : kontrak kerjasama antara bank syariah dan nasabah dalam sebuah usaha tertentu, dimana kedua belah pihak bersepakat untuk saling berkontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama. 3. Murabahah : kontrak jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank menjual barang yang dipesan oleh nasabah dengan harga jual senilai harga pokok plus marjin profit sebagai keuntungan bank. Marjin profit ini harus disepakati oleh kedua belah pihak. 4. Ijarah : akad sewa antara bank sebagai pemberi sewa dan nasabah sebagai penyewa atas suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang tersebut. 5. Salam : akad jual beli dalam bentuk pemesanan barang (produk pertanian) dengan kriteria dan persyaratan tertentu, yang disepakati antara pembeli dan penjual (pelaku usaha pertanian). Pembeli berkewajiban untuk membayar penuh harga barang (produk pertanian) tersebut diawal dan penjual (pelaku usaha pertanian) berkewajiban untuk mengirimkan barang (produk pertanian) tersebut kepada pembeli pada waktu tertentu di masa yang akan datang. 6. Istishna : akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mushtashni) dan penjual (pembuat shani’) Ishtishna ini merupakan suatu jenis khusus dari akad bai as salam dan mulai berkembang dalam literatur berdasarkan madzab Hanafi. 7. Qardhul Hasan : pinjaman tanpa bunga.
D. Lembaga ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf) Dalam ajaran Islam, salah satu mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan adalah melalui instrument zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Rasulullah SAW, dalam sebuah hadis riwayat Imam Al-AshBahawi dan Imam Thabrani memberikan 2 isyarat, pertama kemiskinan bukanlah semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan kultural), akan tetapi juga akibat dari
14
pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural) dan merosotnya ketidaksetiakawanan sosial, terutama antara kelompok kaya dan miskin. Lapoe dan Colin, serta George dalam Hafidhuddin (1998) menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah ketimbangan sosial ekonomi akibat adanya sekelompok kecil orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak dan bukannya oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over population). Kedua, jika zakat, infak, dan sedekah dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan dikelola dengan baik apakah dalam aspek pengumpulan ataupun dalam aspek pendistribusian, kemiskinan kefakiran ini akan dapat ditanggulangi, paling tidak diperkecil (Hafidhuddin,1998). Sesuai dengan UU No. 38/1999, lembaga pengelolaan zakat dibagi menjadi dua, yaitu BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat). BAZ adalah institusi yang dibentuk oleh pemerintah, dengan melibatkan masyarakat, sedangkan LAZ merupakan institusi yang dibentuk oleh masyarakat. Indonesia saat ini telah memiliki BAZNAZ (Badan Amil Zakat Nasional) yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden RI No.8/2001, sesuai dengan amanat UU No. 38/1999, BAZ di tingkat provinsi, kota/kabupaten, hingga kecamatan. Sedangkan LAZ yang terakreditasi untuk beroperasi di tingkat nasional berjumlah 16 LAZ, dengan puluhan LAZ lainnya beroperasi di tingkat provinsi dan kota/kabupaten (Hafidhuddin, 2007). Aturan tentang wakaf diatur oleh UU No. 41/2004. Sebagai konsekuensi dari undang-undang tersebut, maka pemerintah membentuk BWI (Badan Wakaf Indonesia) sebagai lembaga pengelola Wakaf (atau nadzir) di tingkat nasional. Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat, harus segera disalurkan kepada para penerimanya (mustahik) sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja dan tergambar dalam surat at-Taubah:60, antara lain : 1. Fakir dan Miskin. Meskipun kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi dalam teknis operasional sering disamakan, yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi sangat tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini
15
dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan konsumsi sehariharinya dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya. Penyaluran zakat produktif sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw yang dikemukakan dalam sebuah hadist riwayat Imam Muslim dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw
telah
memberikan
kepadanya
zakat
lalu
meyuruhnya
untuk
dikembangkan atau disedekahkan lagi. Selain itu terdapat pendapat menarik yang mengenai pemberian zakat yang bersifat produktif dikemukakan oleh Yusuf
al-Qaradhawi
dalam
Fiqh
Zakat,
bahwa
pemerintah
Islam
diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Pengganti pemerintah untuk saat ini dapat diperankan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang kuat, amanah dan profesional. 2. Kelompok Amil (petugas zakat). Kelompok ini berhak mendapat bagian dari zakat, maksimal satu perdelapan atau 12,5 persen, dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaikbaiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. 3. Kelompok Muallaf, yaitu kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Mereka diberi agar bertambah kesungguhan dalam ber-Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka dengan masuk Islam tidaklah sia-sia. Bahwa Islam dan umatnya sangat memperhatikan mereka, bahkan memasukannya ke dalam bagian penting dari salah satu rukun Islam yaitu rukun Islam yang ketiga. 4. Memerdekakan budak belian. Artinya bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala perbudakan. 5. Kelompok Gharimin atau kelompok orang yang berutang, yang sama sekali tidak melunasinya. Para ulama membagi kelompok ini pada dua bagian, yaitu kelompok orang yang mempunyai utang untuk kebaikan dan kemaslahatan
16
diri dan keluarganya. Misalnya untuk membiayai dirinya dan keluarganya yang sakit atau untuk membiayai pendidikan. Kelompok kedua adalah kelompok orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain. Misalnya orang yang terpaksa berhutang karena karena sedang mendamaikan dua pihak atau dua orang yang yang sedang bertentangan yang penyelesaiannya membutuhkan dana yang cukup besar. Atau orang yang dan kelompok orang yang memiliki usaha kemanusiaan yang mulia, yang terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan usaha lembaganya. Misalnya yayasan sosial yang memelihara anak yatim, orang-orang lanjut usia, orangorang fakir, panitia pembangunan masjid, sekolah, perpustakaan, pondok pesantren dan lain sebagainya. 6. Dalam jalan Allah SWT (fi sabilillah). Pada zaman Rasulullah saw golongan yang termasuk kategori ini adalah para sukarelawan perang yang tidak mempunyai gaji tetap. Tetapi berdasar lafaz dari sabilillah di jalan Allah SWT, sebagian ulama membolehkan memberi zakat tersebut untuk membangun mesjid, lembaga pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’i, menerbitkan buku, majalah, brosur, membangun mass media, dan lain sebagainya. 7. Ibnu Sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Untuk saat sekarang, disamping para musafir yang mengadakan perjalanan yang dianjurkan agama, seperti silaturahmi, melakukan study tour pada objekobjek bersejarah dan bermanfaat, mungkin juga dapat dipergunakan untuk pemberian beasiswa atau beasantri (pondok pesantren) bagi mereka yang terputus pendidikannya karena ketiadaan dana.
E. Dompet Peduli Umat Daarut Tauhid (DPU DT) Berawal dari rapat pengurus Yayasan Daarut Tauhid pada tanggal 16 Juni 1999, mengemukan wacana mengenai belum optimal Yayasan dalam mengelola dana ZIS, serta adanya pemikiran untuk mengoptimalkan potensi jamaah pesantren Daarut Tauhid sehingga perlu dibentuk badan pengelola ZIS yang profesional dan amanah. Dalam mengakomodasi kepentingan umat diperlukan strategi-strategi baru yang efektif dan efisien dalam pengelolaan dana
17
ZIS yang pada gilirannya dapat menjadi suatu kekuatan ekonomi bagi ummat Islam. Maka Yayasan Daarut Tauhid membentuk Dompet Peduli Umat (DPU), suatu lembaga pengelola ZIS dan wakaf yang bertujuan mengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan di bidang zakat, infak dan shadaqoh. DPU DT didirikan pada tanggal 16 Juni 1999 oleh KH. Abdulah Gymnastiar sebagai bagian dari Yayasan Daarut Tauhid dengan tekad menjadi LAZ NAS yang amanah, profesional, dan jujur berlandaskan ukhuwah Islamiyah. DPU DT berhasil menjadi LAZ NAZ sesuai dengan SK Menteri Agama No.410 tahun 2004 pada bulan Oktober 2004. Dompet Peduli Umat Daarut Tauhid (DPU DT) secara struktural berada dibawah Yayasan Daarut Tauhid yang secara otomatis mengemban peran yang sama, yaitu berupaya mewujudkan dan mengembangkan ajaran Islam yang “membumi”, dimana tidak sekedar teori, namun diletakan pada bukti dan karya nyata. Umat Islam yang bersatu, kokoh, tangguh dan mandiri merupakan cita-cita bersama yang hendak diwujudkan. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan suatu upaya yang sistematis dan berkesinambungan. Saat ini yang menjadi prioritas DPU DT ialah menumbuhkan kekuatan ekonomi dan pembelajaran bagi umat sehingga upaya-upaya untuk menumbuhkan kemampuan dan kemandirian umat yang barasal dari kesinergian potensi umat patut untuk diwujudkan secara bersama-sama. Dengan Motto ”menggali potensi dan memberdayakan umat” DPU DT semakin eksis dengan visi dan misi yang dimilikinya. 1. Visi DPU DT Menjadi LAZ NAS (Lembaga Amil Zakat Nasional) yang amanah, profesional dan transparan dalam kerangka menuju ahli dzikir, ahli fikir, dan ahli ikhtiar. Pemaknaan dari visi tersebut adalah sebagai berikut: a. Amanah atau jujur/terpercaya, adil atau tidak sewenang-wenang terhadap orang yang berhak atau hanya mengikut keinginan hawa nafsunya. Meliputi pengelola dan sistem yang dibangun pada DPU secara kelembagaan.
18
b. Transparan adalah laporan dan aktivitas dapat diakses oleh siapapun, tidak
ada
yang
ditutup-tutupi,
apa
adanya
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. c. Profesional adalah pengelolaan full time, tidak alakadarnya, mengikuti manajemen terkini. d. Ahli dzikir adalah menjadikan Allah tumpuan kerinduan, harapan dan pertolongan dan tujuan dalam beramal sholeh sehingga apapun yang terjadi tidak akan mengurangi keyakinan dan selalu ridha terhadap ketentuanNya. e. Ahli Fikir adalah mengoptimalkan kemampuan berfikir, tafakur dan tadabur dalam menggali hakikat kebenaran, mengungkap hikmah yang tersembunyi, potensi diri dan potensi lingkungan, sehingga diharapkan muncul sikap yang arif, efektif, dan tepat dalam mengatasi berbagai tantangan dan masalah. f. Ahli ikhitiar adalah mengoptimaikan daya upaya dan ikhtiar yang diridhoi Allah, sehingga diharapkan akan muncul manusia-manusia unggul yang selalu berkarya dengan diiringi sikap amar ma'ruf nahi mungkar. 2. Misi DPU DT a. Menumbuhkan kesadaran dan ketakwaan ummat dalam mempersatukan potensi melalui ZIS ( Zakat, Infak, Shadagoh). b. Memberdayakan umat dalam bidang ekonomi, pendidikan dan dakwah. Dengan visi misinya, saat ini DPU DT berkedudukan dan berperan sebagai LAZNAS (Lembaga Amil Zakat Nasional) dengan membuka cabang di Jakarta, Semarang, Lampung dan Bogor, Priangan Timur, Garut, dan Yogyakarta, dengan kantor pusat di Jalan Gegerkalong Girang No. 32 Bandung.
F. Program Misykat 1. Visi : Membangun anggota yang kritis, berakhlak dan mandiri 2. Misi: a. Memberikan pendidikan yang berkesinambungan dan terarah b. Memiliki strategi pengembangan usaha anggota
19
3. Prinsip dasar Misykat Hakikatnya, prinsip dasar Misykat mengacu pada prinsip dasar yang diterapkan oleh Grameen Bank, yaitu : a. Kelompok sasaran: penduduk miskin (mustahik). Pendefinisian penduduk miskin/mustahik penting untuk menghindari kesalahan dalam menjadikan seseorang menjadi sasaran penerima program. Untuk menjamin bahwa yang menjadi anggota Misykat adalah para mustahik, maka sebelum seseorang diterima menjadi anggota Misykat diadakan uji kelayakan untuk melihat tingkat ekonomi calon anggota melalui prosedur survey dan wawancara. Uji kelayakan yang ditentukan oleh pihak Misykat antara lain Indeks rumah, Indeks kepemilikan aset, indeks pendapatan serta indeks pengeluaran. b. Sistem Penyaluran Pembiayaan/pinjaman Dana Bergulir Ketentuan sistem penyaluran pembiayaan yang dipakai oleh Misykat mengacu pada sistem penyaluran kredit Grameen Bank. Berikut adalah ketentuan-ketentuan dalam penyaluran pembiayaan/ pinjaman dalam program Misykat. 1) Syarat pinjaman. Tidak diperlukan collateral sebagai penjamin serta tidak diperlukan penjamin. Para calon anggota tentunya tidak memiliki harta yang cukup untuk dijadikan jaminan. Mereka juga tidak mempunyai akses untuk memperoleh penjamin. 2) Pinjaman hanya diperuntukan bagi para orang miskin. Hal ini sesuai dengan syarat penerima zakat, yaitu para mustahik. 3) Tidak adanya persyaratan
administrasi yang akan mempermudah
seseorang untuk menjadi anggota Misykat. 4) Pendampingan sebelum pinjaman. Dilakukan sebanyak 4-12 kali pertemuan ± 1 jam. Materi pendidikan yang diberikan dalam rentang waktu satu bulan pertama adalah tentang budaya menabung (tabungan dalam pandangan Islam, pentingnya menabung, hambatan dan kiat menabung). Materi ini diberikan untuk mengubah paradigma ketidak mampuan
anggota
tentang
menabung.
Anggota
dianjurkan
mengaplikasikan proses menabung sebelum pencairan pinjaman.
20
Bulan kedua dikenalkan dengan materi Pinjaman dan Pembiayaan (jenis-jenis pembiayaan dalam Islam, Qordhul Hasan, Mudhorobah, Murobahah dan Wakalah). Kegiatan ini bertujuan untuk anggotaanggota benar-benar memahami aturan main kredit sebelum mengambil tanggung jawab. 5) Program harus berkelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Mereka saling percaya dan bersedia saling menjamin kesungguhan satu sama lain. 6) Jarak antar anggota berdekatan (bisa dilakukan dengan berjalan kaki) agar Mudah melaksanakan kegiatan dampingan. 7) Ada tanggungjawab bersama (kolektif) dalam pembayaran angsuran (sistem tanggung renteng). Kewajiban ini akan memupuk solidaritas dan tanggung jawab tiap-tiap anggota. 8) Setiap anggota harus memiliki 2 jenis tabungan wajib. Nominal tabungan bukan hal yang utama. Kebijakan ini bertujuan untuk melatih anggota untuk menyisihkan sebagian penghasilannya. Yang dimaksud tabungan wajib, yaitu pertama tabungan cadangan, adalah tabungan yang diwajibkan kepada anggota yang mendapat dana bergulir sebesar 15% dari dana bergulir yang diterima dan wajib dibayar setiap pertemuan pekanan sesuai dengan jumlah waktu cicilan, bila anggota mengalami masalah dalam hal mencicil pinjaman maka tabungan cadangan anggota tersebut bisa digunakan untuk pembayaran cicilan. Kedua tabungan berencana, adalah tabungan pribadi anggota yang sifatnya wajib, besar nominal tabungan yang disetor berdasarkan akad yang telah disepakati sejak sejak awal, tabungan ini dapat diambil untuk menutupi cicilan yang macet. 9) Wajib membayar iuran. Iuran wajib, berupa: Iuran kelompok adalah iuran yang wajib dibayar anggota dalam setiap pekan pada pertemuan majelis. Iuran kas majelis adalah iuran di tingkat majelis yang dananya dikumpulkan secara sukarela dari anggota dan untuk kepentingan anggota. Dana ini penting untuk sumber pinjaman jangka pendek bagi anggota-anggota yang membutuhkan uang untuk
21
keperluan mendadak atau kesulitan membayar cicilan. Dalam jangka panjang dana ini dapat digunakan untuk membiayai usaha kelompok atau usaha anggota kelompok dengan persetujuan seluruh anggota kelompok. 10) Pendampingan dilakukan secara rutin tiap pekan. Pendampingan bertujuan untuk melatih disiplin para anggota dan mengakomodasi kebutuhan anggota untuk berkumpul dan saling berbagi ilmu. 11) Pemberian dana bergulir untuk kepentingan produktif. Aktivitas produktif ini akan menjamin anggota mengembalikan pinjaman sekaligus meningkatkan tingkat ekonominya. 12) Pola 2-2-1. Pencairan pinjaman diatur secara bergiliran, yaitu pinjaman diberikan pada dua orang peminjam pertama, dua minggu kemudian pinjaman diberikan kepada dua peminjam kedua. Jeda dua minggu berikutnya pinjaman diberikan kepada satu orang peminjam ketiga,
dengan
urutan-urutan
pencairan
diserahkan
kepada
kesepakatan anggota kelompok. Cara ini akan mendidik mereka untuk mendahulukan kepentingan orang yang lebih miskin dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengakses kredit Mekanisme kelompok akan saling memperkuat satu sama lain. 13) Angsuran dilakukan secara mudah dan ringan karena menggunakan pola mingguan. Angsuran mingguan akan menjamin jumlah angsuran tetap kecil sesuai dengan batas kemampuan anggota membayar cicilan. 4. Mekanisme Rekrutment Anggota Misykat Tahap rekruitment anggota terdiri dari dua macam kegiatan, yaitu tahap sosialisasi dan tahap seleksi. Sosialisasi dilakukan melalui 2 prosedur, pertama, yaitu tahap persiapan. Dilakukan dengan cara mensosialisasikan maksud dan tujuan misykat kepada pejabat setempat, yaitu ketua RT/RW dan meminta data-data mustahik di daerah tersebut. Prosedur selanjutnya dilakukan penyebaran formulir kepada mustahik secara langsung atau dengan menitipkan formulir ke ketua RT dan RW setempat.
22
Kedua, sosialisasi awal, yaitu ketika anggota belum menjadi angota dengan tujuan agar calon peserta mempunyai pemahaman terhadap program, mempunyai kepercayaan terhadap program, pemberian motivasi dan persuasi terhadap program, serta pemberitahuan info persyaratan awal program. Sejalan dengan tujuan sosialisasi sebelum menjadi anggota, maka materi yang diberikan merupakan turunan tiap-tiap tujuan. Berikut akan dipaparkan inti pokok materi sosialisasi.
a. Pemahaman terhadap program, meliputi : 1) Pengetahuan mengenai sifat program, yaitu dana bergulir bukan charity 2) Bukan program pemerintah 3) Keberhasilan program ditentukan oleh partisipasi peserta program. b. Adanya kepercayaan terhadap program, meliputi : 1) Merupakan kegiatan non-politik 2) Untuk kepentingan masyarakat 3) Bukan untuk kepentingan kelompok 4) Bukan untuk mengeksploitasi masyarakat c. Pemberian motivasi dan persuasi tentang urgensi program 1) Memberikan pengarahan dan pemahaman nilai manfaat dari adanya program Misykat 2) Memberikan pemahaman mengenai tentang nilai komitment pada organisasi. d. Persyaratan awal untuk mengikuti program 1) Prinsip keikutsertaan adalah sukarela 2) Kesediaan untuk berperan aktif 3) Tergabung dalam kelompok yang jumlahnya 5 orang 4) Bersedia menabung dan membayar iuran kelompok 5) Bersedia mengikuti kegiatan rutin pekanan 6) Dalam 1 kelompok tidak boleh ada ikatan darah 1 tingkat 7) Tempat tinggal anggota berdekatan (maksimal 1 RW) (SOP Misykat, 2006)
23
Tahap kedua, tahap seleksi. Tahap seleksi penting untuk dilakukan untuk menjaga keamanahan dana zakat yang diperoleh dari donatur, karena dana zakat hanya dapat diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat sesuai ketentuan dalam AL-Quran surat At-Taubah ayat 60. Hal ini menjadi landasan hukum dalam membuat kriteria anggota Misykat yang kemuadian direalisasikan dalam AD/ART organisasi dan SOP Misykat, bahwa yang berhak menjadi anggota Misykat adalah mustahik dengan prioritas asnaf fakir miskin. Tahap seleksi calon anggota dilakukan melalui beberap prosedur, yaitu: a. Survey ke rumah-rumah calon anggota Misykat. Disini dilakukan proses wawancara dengan calon anggota. Dengan tujuan menggali data lebih jauh lagi mengenai calon anggota. Beberapa hal yang diwawancara antara lain : 1) Data pribadi calon. Meliputi: nama, tempat tanggal lahir, alamat, status jumlah tanggungan, pendidikan terakhir, status tempat tinggal, nama perusahaan (jika bekerja, bidang usaha, mulai bekerja) 2) Data keluarga calon anggota. Meliputi : nama suami, alamat, tempat tanggal lahir, nama perusahaan, bidang usaha, jabatan/pangkat, mulai bekerja dan alamat perusahaan. 3) Pendapatan keluarga perbulan, meliputi : gaji tetap suami, penghasilan istri dan penghasilan tambahan. 4) Biaya hidup/pengeluaran keluarga perbulan, meliputi : kewajiban kebutuhan hidup, keperluan anak, keperluan suami dan konsumsi rumah tinggal. b. Membuat laporan hasil survey dengan baik dan rapi untuk diajukan dalam rapat komite. Laporan meliputi, nama surveyor, tempat/wilayah survey, tanggal survey, nama calon anggota, umur, penghasilan, biaya survey, usaha yang dijalani dan hal-hal yang terkait dengan calon usaha. c. Merapatkan hasil laporan dalam rapat komite pengurus Misykat yang dihadiri oleh ketua program, koordinator pendamping dan surveyor. Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses seleksi calon anggota. Calon anggota diseleksi berdasar tolak ukur berikut :
24
1) Mustadh’afiin. Termasuk kategori prasejahtera dengan penghasilan
maka
tujuan
akhir dari
program
Misykat
yaitu
untuk
25
memberdayakan masyarakat dan mendorong kemandirian para anggota telah tercapai.
G. Perencanaan Strategi Pengembangan Manajemen strategi didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai objektifitasnya (David, 2004). Dengan demikian, dalam merumuskan strategi perlu dihubungkan dengan lingkungan perusahaan karena lingkungan menentukan kekuatan dan kelemahan perusahaan. Lingkungan perusahaan dapat dibagi menjadi lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal terdiri atas variabel-variabel yang merupakan kekuatan dan kelemahan bagi perusahaan dan berada di bawah kontrol perusahaan. Lingkungan eksternal terdiri atas variabel-variabel yang merupakan peluang dan ancaman bagi perusahaan dan tidak dapat dikontrol perusahaan. Teknik perumusan strategi yang digunakan dalam membantu menganalisa, mengevaluasi dan memilih strategi terdiri atas tiga tahap yaitu: (1) tahap mengumpulkan data (input stage), (2) tahap pencocokan (matching stage), berfokus pada strategi alternatif yang layak dengan memadukan faktor-faktor eksternal dan internal, (3) tahap keputusan (decision stage), tahap pemilihan strategi yang terbaik dari berbagai strategi alternatif yang ada untuk diimplementasikan (David, 2004). Tahap input terdiri atas pembuatan matriks External Factor Evaluation (EFE) dan Internal Factor Evaluation (IFE). Penyusunan tahap ini dilakukan dengan menggunakan analisis lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Setelah melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal, tahap berikutnya adalah merumuskan alternatif strategi dengan mencocokkan alternatif strategi di lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Matriks Internal-Eksternal (IE) dan matriks Strength, Weakness, Opportunities, Threats (SWOT) digunakan pada tahap ini.
26
Matriks IE merupakan pemetaan dari total skor matriks IFE dan EFE. David (2004) membagi matriks IE menjadi tiga bagian utama yang mempunyai dampak strategi yang berbeda. Pertama, bagian tumbuh dan bina (grow and build). Strategi yang dapat dikembangkan pada bagian ini adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar, dan pengembangan produk) atau strategi integratif. Kedua, bagian pertahankan dan pelihara (hold and maintain) melalui strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Ketiga, bagian panen atau divestasi (harvest or divesture) melalui strategi divestasi atau likuidasi. Menurut Rangkuti (2005), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (oportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dengan disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal yang dimilikinya. Pada penelitian ini, tahap penentuan prioritas strategi menggunakan matriks QSP (Quantitative Strategic Planning Matrix). Matriks ini menggunakan masukan dari tahap input dan tahap pemaduan untuk memutuskan strategi mana yang terbaik (David, 2004). Matriks QSP merupakan alat yang memungkinkan untuk mengevaluasi strategi alternatif secara obyektif, berdasarkan faktor-faktor sukses internal dan eksternal yang telah dikenali sebelumnya.