II. LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian dan Klasifikasi Leasing. 2.1.1. Pengertian Leasing Dalam menjalankan operasinya perusahaan membutuhkan aktiva tetap dan untuk memperolehnya perusahaan dapat menggunakan cara yang berbeda-beda. Salah satu yang paling mudah adalah dengan cara membelinya.
Memperoleh
aktiva
tetap
dengan
cara
pembelian
menimbulkan berbagai keuntungan dan kerugian bagi perusahaan dan memerlukan berbagai pertimbangan.
Perusahaan perlu memikirkan
apakah dana yang ada mencukupi atau diperlukan suatu pinjaman, dan resiko lain seperti ketinggalan zaman sehingga tidak ekonomis lagi bila dipakai ataupun ada resiko kegagalan memakai serta kemungkinan biaya pemeliharaan yang terlalu tinggi (Aritonang, 2007). Cara lain dalam memperoleh aktiva yang dapat diterapkan adalah dengan cara leasing. Leasing berasal dari kata Lease yang berarti sewa atau lebih umum diartikan sewa menyewa yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Industri leasing menciptakan konsep baru untuk mendapatkan barang modal serta menggunakannya sebaik mungkin tanpa harus membeli atau memiliki barang tersebut.
Ditinjau dari sudut ekonomi, leasing dapat pula
dikatakan sebagai salah satu cara untuk menghimpun dana yang terdapat didalam masyarakat dan menginvestasikannya kembali dalam sektorsektor ekonomi tertentu yang dianggap produktif.
Karena itu, sarana
leasing merupakan alternatif yang baik bagi perusahaan yang kurang modal atau hendak menghemat pemakaian tanpa harus kehilangan kesempatan untuk melakukan investasi kembali dalam sektor-sektor
5
ekonomi tertentu yang dianggap produktif. Untuk lebih jelasnya, ada beberapa defenisi leasing yaitu sebagai berikut : 1. Menurut Financial Accounting Standar Board (FASB) No.13 (1976) :”..An agreement conveying the right to use property, plant or equipment (land and/or depreciable assets) usually for a stated period of time”. Definisi diatas menjelaskan adanya kesepakatan antara dua pihak, lessor (pihak yang menyewakan) dan lessee (penyewa). Dalam perjanjian ini terdapat persetujuan penyerahan atau pengalihan hak guna atau hak pakai atas aktiva yang dimiliki yang dapat disiapkan selama periode tertentu dari lessor pada lessee. Selama periode yang dimaksud dalam perjanjian sebagai balas jasa dari hak pakai yang diberikan lessor kepada lessee dituntut untuk membayar sejumlah uang sewa atau kompensasi yang lain sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Lamanya jangka waktu suatu perjanjian lease tergantung pada perjanjian yang dibuat oleh lessor dan lessee, sehingga jangka waktu perjanjian lease ini dapat bervariasi tergantung pada kesepakatan bersama. 2. International Accounting Standard Committee (IASC) No.17 (1982), mendefenisikan leasing sebagai berikut : "Lease: An agreement where by the lessor conveys to the lessee in return for rent the right to use an asset for an agreed period of time. The definition of lease includes contracts for the heire of an asset which contains of provision giving the hirer an option to acquire title of the asset upon to the fufilment of agreed conditions. These contracts are described as hire purchase contracts. In some countries, different names are used for agreement which have the characteristic of a lease“. Defenisi dan pengertian leasing menurut IASC No. 17 hampir sama dengan pengertian leasing yang didefinisikan oleh FASB No. 13, tetapi IASC menambahkan dalam definisinya bahwa dalam pengertian leasing tersebut terdapat hak opsi bagi lessee untuk membeli aktiva yang dileasekan atau
6
memperpanjang waktu leasing berdasarkan nilai yang disepakati bersama. 3. Menurut hubungan dengan opsi ini, pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia tahun 1974, mendefenisikan leasing sebagai berikut: "Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barangbarang modal untuk digunakan suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barangbarang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama". Definisi ini tampaknya hanya menampung satu jenis sewa guna usaha yang lazim disebut finance lease atau sewa guna usaha pembiayaan, diartikan sebagai suatu kegiatan pembiayaan dalam penyediaan barang-barang modal atau aktiva lainnya yang disusutkan (depreciable assets) dan tidak selalu berakhir dengan pemilikan barang oleh si penyewa (hak pilih/opsi) dan adanya pembayaran secara berkala.
2.1.2. Klasifikasi Leasing Financial Accounting Standard Board (FASB) dalam Statement No.13 (1976) pada “Acounting for Leases” membagi lease dalam dua grup yaitu : 1) Dari Sudut Lessee: I. Capital Lease yaitu lease yang memenuhi satu atau lebih dari syarat-syarat berikut ini : a) Lease term : Jangka waktu yang tetap dan tidak dapat dibatalkan termasuk : i.
Periode yang mencakup hak opsi untuk memperbaharui kontrak lease;
7
ii.
Periode yang mencakup digunakannya hak opsi untuk membeli aktiva yang dilease;
iii.
Periode
dimana
lessor
mempunyai
hak
untuk
memperbaharui atau memperpanjang masa lease; iv.
Periode dimana denda dikenakan bagi lessee atas kegagalannya untuk memperbaharui lease dan jumlah denda tersebut dijamin pada permulaan lease;
v.
Periode yang mencakup hak opsi pembaharuan yang biasa yaitu diberikan jaminan oleh lessee atas hutang lessor yang mungkin terjadi.
b) Bargain Purchase Option: Hak opsi yang diberikan kepada lessee untuk membeli atau menolak "lease asset" setelah habis masa kontrak, yang biasanya dinilai sebesar nilai buku perusahaan. c) Executory Cost: biaya yang terjadi pada lessor selama masa lease, misalnya biaya pemeliharaan, biaya asuransi dan pajak. Umumnya executory cost ini ditanggung lessee dibayar kepada lessor secara periodik bersamaan dengan pembayaran berkala. d) Bargain Renewal Option: Hak pilih (opsi) yang diberikan kepada lessee untuk memperbaharui lease dengan pembayaran sewa yang lebih rendah daripada sewa wajar yang ditaksir untuk biaya yang bersangkutan pada saat hak pilih tersebut digunakan dan penggunaan hak pilih tersebut dijamin secara layak permulaan masa lease. e) Estimated Residual Value of Leased Property: Taksiran nilai wajar aktiva yang dilease pada akhir masa lease, biasanya sebesar sepuluh persen dari harga pembelian. f) Fair Value of Lease Property: Taksiran nilai wajar aktiva yang dapat dijual atas dasar transaksi yang normal diantara pihak
8
yang tidak mempunyai hubungan istimewa (arms length transaction). g) Estimated Economic Life of Leased Property: Taksiran umur ekonomis dari barang yang dapat digunakan oleh satu atau lebih pemakai (user) dengan pemeliharaan/perbaikan dan dengan tujuan penggunaan sebagai mana ditentukan pada tanggal penandatanganan kontrak leasing. II. Operating Lease, adalah seperti transaksi sewa menyewa biasa dan jangka waktu sewanya lebih pendek dari pada umur ekonomis propertinya. Lessee biasanya tidak mempunyai hak membeli pada waktu kontrak lease berakhir sehingga tidak terjadi perpindahan hak milik barang. Kontrak sewa ini bersifsat cancelable yaitu dapat diputuskan pihak lessee sewaktu-waktu atau sebelum masa kontrak berakhir. Untuk lebih jelas, apabila jenis lease yang tidak dapat memenuhi salah satu kriteria yang tersebut diatas pada financial lease digolongkan sebagai operating lease.
2) Dari Sudut Lessor Terdapat beberapa jenis leasing yang disesuaikan dengan kebutuhan dan luas bidang lease, yang antara lain adalah: a) Sales Type Leases Sales type leases merupakan finacial lease, tetapi dalam hal ini leased property pada saat permulaan lease mempunyai nilai yang berbeda dengan cost yang ditanggung lessor. Lessor dalam hal ini bisa merupakan suatu fabrikan atau dealer yang memakai metode leasing sebagai salah satu jalur pemasarannya. b) Direct Financing Leases Direct Financing leases adalah salah satu bentuk financial leasing yang dibiayai langsung oleh lessor. Ditinjau mengenai tarifnya, tiap pembayaran leasse terdiri dari bagian pengembalian investasi
9
lessor dalam lease terdiri dari bagian pengambilan investasi lessor dalam leased property tersebut ditambah dengan komponen income (keuntungan) yang diharapkan.
Metode ini sering disebut full
payout leasing, yaitu menunjukkan bahwa lessor membiayai sepenuhnya (100%) dari lease peroperty yang bersangkutan. c) Leverage Leases Leverage leases adalah financial lease dalam bentuk yang lebih kompleks sebab melibatkan sekurangnya tiga pihak yng berdiri sendiri. Jadi disamping lessor dan lessee ada pula credit provider atau debt perticipant yang membiayai sebagian besar leased property. Dalam hal leverage leases, lessee mempunyai equipment dan melakukan penawaran harga; sama halnya dengan non leverage leases. Tetapi dalam hal ini lessor hanya menanggung sebagian kecil saja dari pembiayaan leased property (sekitar 20% -40%) sedangkan sisanya ditanggung oleh pihak ketiga (debt participant). Biasanya metode ini dipergunakan untuk pembelian /pembiayaan barang modal yang nilainya sangat besar, sehingga tidak mungkin dipikul sendiri oleh lessor. d) Operating Lease Operating lease adalah suatu kontrak dimana barang leasenya tidak diamortisir sampai habis selama primary lease period dan lessor tidak mengharapkan profit semata-mata dari rental lease tersebut tetapi mengharapkan adanya recovery dari hasil penjualan barang atau dengan menyewakan kembali barang.
2.2. Piutang Piutang adalah claims (tagihan) dalam bentuk uang terhadap entitas lainnya, termasuk individu, perusahaan atau organisasi, sehingga piutang merupakan bagian yang signifikan dari aktiva lancar perusahaan (Niswongwer, et al, 1999). Sedangkan menurut Kieso, et al, (2002), piutang (receivables)
10
adalah klaim uang, barang atau jasa kepada pelanggan atau pihak-pihak lainnya. Untuk tujuan pelaporan keuangan, piutang diklasifikasikan sebagai piutang jangka panjang. Piutang lancar diharapkan akan tertagih dalam satu tahun atau selama satu siklus operasi berjala, mana yang lebih panjang. Semua piutang lain diklasifikasikan sebagai piutang jangka panjang. 2.3. Penggolongan Piutang Menurut sumber terjadinya, piutang digolongkan menjadi piutang usaha dan piutang lain-lain. Piutang usaha timbul karena penjualan produk atau jasa dalam rangka kegiatan usaha normal perusahaan. Piutang yang timbul dari transaksi di luar kegiatan normal di perusahaan digolongkan sebaga piutang lain-lain (Barlian dan Sundjaja, 2003). Menurut
Tangkilisan
(2003),
berdasarkan
jangka
waktu
kredit
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : 1. Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang jangka waktunya tidak lebih dari satu tahun 2. Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang jangka waktunya satu sampai tiga tahun. 3. Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun.
2.4. Manajemen Piutang Pendapatan terbesar dari sebuah perusahaan leasing ditentukan dari bagaimana manajemen perusahaan dalam mengelola piutangnya karena dari piutang yang diberikan kepada nasabah perusahaan mendapatkan laba berupa margin bunga yang diperoleh setiap kali nasabah melakukan pembayaran cicilan. Untuk itu perlu dilihat kualitas piutang yang dimiliki oleh PT Tamsan Dharma yang digolongkan berdasarkan kemampuan membayar dari konsumen. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
11
Kualitas Aktiva Bank Umum (www.bni.co.id), kualitas kredit ditetapkan menjadi : 1. Lancar, dimana pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan, serta sesuai dengan persyaratan kredit. 2. Dalam Perhatian Khusus, dimana terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai 90 hari. 3. Kurang Lancar, dimana terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari. 4. Diragukan, dimana terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampai 180 hari sampai dengan 270 hari. 5. Macet, dimana terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bungan yang telah melampaui 270 hari. 2.5. Analisis Rasio Analisis rasio digunakan untuk melihat perkembangan kinerja keuangan terutama yang berkaitan dengan kinerja piutang perusahaan merujuk pada Gills (2004) yaitu : 1. Rasio Likuiditas Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang jatuh tempo.
Rasio ini dapat meng-
interpretasikan posisi keuangan jangka pendek. Rasio likuiditas terdiri atas : a. Rasio Posisi Kas (Cash Ratio) Rasio posisi kas merupakan perbandingan antara kas ditambah bank dengan hutang lancar. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan yang sesungguhnya untuk memenuhi hutang-hutangnya tepat pada waktunya. Semakin tinggi rasionya tidak selalu berakibat baik karena kas yang banyak berada di tangan memperlihatkan dana yang menganggur.
b. Rasio Lancar (Current Ratio) Rasio lancar digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Rasio ini membandingkan antara
12
aktiva lancar dan pasiva lancar.
Semakin besar nilai rasio maka semakin
likuid. 2. Rasio Aktivitas Rasio aktivitas digunakan untuk mengetahui kecepatan beberapa perkiraan menjadi penjualan atau kas. Rasio aktivitas terdiri atas: a. Rasio Perputaran Piutang (Account Recieveable Turn-Over Ratio) Rasio ini menunjukkan beberapa kali perusahaa menagih piutangnya dari pemberian pembiyaaan dan penjualan kredit dalam satu periode. Rasio ini merupakan perbandingan antara jumlah pemberian pinjaman nasabah dan penjualan kredit dengan total piutang. Jika perusahaan memiliki kesulitan dalam penagihan maka perusahaan mempunyai saldo piutang yang besar atau over investment dalam piutang dan rasionya rendah yang mengakibatkan inefisiensi.
Sebaliknya jika perusahaan
mempunyai kebijakan kredit dan prosedur penagihan yang baik maka saldo piutang rendah sehingga rasionya tinggi. b. Hari Rata-rata Pengumpulan Piutang (Average Collection Period) Rasio ini mengukur pengelolaan piutang yang efisien pada perusahaan dan menunjukkan jangka waktu rata-rata yang harus ditunggu perusahaan setelah melakukan penjualan sebelum menerima kas. Rasio ini membandingkan antara piutang dengan jumlah pemberian pinjaman nasabah dan penjualan kredit/360. Dari perhitungan tersebut bermanfaat untuk mengevaluasi kebijakan pinjaman dan penagihan karena dapat diketahui apakah hari rata-rata pengumpula piutang realisasi sesuai dengan standar atau tidak. Apabila hari rata-rata pengumpulan piutang selalu lebih besar daripada batas waktu pembayaran yang telah ditetapkan tersebut berarti bahwa cara pengumpulan piutangnya kurang efisien. 3. Rasio Solvabilitas Rasio solvabilitas mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar semua hutang-hutangnya, baik hutang jangka pendek maupun hutang jangka
13
panjang.
Solvabilitas diukur dengan perbandingan antara total aktiva
dengan total utang.
Ukuran ini mensyaratkan agar perusahaan mampu
memenuhi semua kewajibannya baik jangka pendek mapun jangka panjang. Kondisi ideal perusahaan adalah apabila perusahaan dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya (likuid) dan juga memenuhi kewajiban jangka panjangnya (solvable). 4. Rasio Profitabilitas Rasio Profitablitas disebut juga dengan rasio rentabilitas.
Rasio ini
digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan dari kegiatan usaha dan modal yang diberikan.
Rasio
profitabilitas yang digunakan antara lain : a. Marjin Laba Bersih (Net Profit Margin) Rasio ini mengukur laba bersih setelah pajak dibandingkan dengan pendapatan usaha.
Semakin tinggi rasio maka semakin baik
kemampuan menghasilkan laba bersih. b. Hasil Atas Aktiva (Return on Asset) ROA adalah ukuran keseluruhan keefektifan manajemen dalam menghasilkan laba dengan aktiva yang tersedia. c. Rentabilitas ekonomi Rentabilitas ekonomi menunjukkan seberapa besar keuntungan yang dihasilkan dengan modal yang dimiliki. d. Rentabilitas Modal Sendiri Rentabilitas modal sendiri menunjukkan seberapa besar keuntungan yang dihasilkan dengan modal sendiri. e. Rentabilitas Modal Sendiri Rasio ini mengukur laba yang dihasilkan murni dari operasi koperasi tanpa melihat beban keuangan (bunga) dan beban dari pemerintah (pajak). f. Margin Laba Operasi (Operating Profit Margin)
14
Rasio ini mengukur laba yang dihasilkan murni dari operasi perusahaan tanpa melihat beban keuangan (bunga) dan beban dari pemerintah (pajak).
2.6. Kebijakan Pemberian Kredit dan Penagihan Hutang Menurut Berlian dan Sundjaja (2003), manajer keuangan pada umumnya mengawasi piutang dagang melalui keterlibatannya dalam pengelolaan : a. Kebijakan kredit, suatu penentuan dalam penyeleksian pemberian kredit, standar kredit dan syarat kredit. b. Kebijakan penagihan, pendekatan perusahaan untuk mengelola setiap aspek piutang dagang sangat dipengaruhi oleh kondisi persaingan. Seleksi dalam pemberian kredit adalah suatu keputusan dimana seseorang/perusahaan akan memberikan kredit kepada pelanggannya dan berapa besar kredit yang akan diberikan. Lima dimensi utama untuk menganalisa kemampuan pemohon kredit yaitu : a. Karakter, meneliti dan memperhatikan sifat pribadi, cara hidup, status sosial dan lain-lain.
Hal ini penting karena berkaitan dengan kemauan untuk
membayar hutang. b. Kemampuan, meneliti kemampuan pimpinan perusahaan beserta stafnya dalam meraih penjualan atau pun pendapatan yang dapat diukur dari penjualan yang dicapai pada masa lalu dan juga keahlian yang dimiliki dalam bidang usahanya. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk membayar hutang. c. Kapital, mengukur posisi keuangan secara umum dengan memperhatikan kapital/modal yang dimiliki perusahaan dan juga pembanding hutang dengan kapital. d. Kolateral, mengukur besarnya aktiva yang akan diikatkan sebagai kolateral atas kredit.
15
e. Kondisi, memperhatikan kondisi perekonomian pada umumnya serta kecenderungan perekonomian yang akan mempengaruhi jalannya usaha perusahaan.
Kebijakan penagihan piutang adalah sekumpulan prosedur penagihan piutang usaha pada saat jatuh tempo. Pendekatan umum yang digunakan untuk mengevaluasi kredit dan kebijakan penagihan meliputi : a. Rasio rata-rata periode tagih. b. Pengumuran piutang. Teknik-teknik penagihan yang biasa dilakukan adalah : a. Mengirim surat b. Menelepon c. Mendatangi d. Menggunakan agen/orang lain e. Tindakan secara hukum Menurut Brigham dan Houston (2001), kebijakan investasi dalam piutang yang diterapkan dalam perusahaan ada tiga tipe yaitu : 1. Kebijakan investasi dalam piutang longgar, yaitu suatu kebijakan dimana penjualan kredit digalakkan dengan kebijakan penjualan kredit yang longgar sehingga mengakibatkan tingkat piutang usaha yang tinggi. 2. Kebijakan investasi dalam piutang yang ketat, yaitu suatu kebijakan dimana berusaha untuk meminimumkan piutang usaha.
Dengan meningkatkan
syarat kredit, memperpendek periode kredit dan kebijakan penagihan yang ketat. 3. Kebijakan investasi dalam piutang yang moderat, yaitu suatu kebijakan piutang diantara kebijakan longgar dan ketat.
16
2.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Piutang Menurut Riyanto (1995) , faktor-faktor yang mempengaruhi piutang adalah sebagai berikut : 1. Volume penjualan kredit Makin besar proporsi penjualan kredit dari keseluruhan penjualan akan memperbesar jumlah investasi dalam piutang. Dengan besarnya volume penjualan kredit setiap tahunnya berarti perusahaan itu harus menyediakan investasi yang lebih besar lagi dalam piutang.
Makin besarnya jumlah
piutang berarti semakin besar resiko, tetapi juga dapat memperbesar keuntungan. 2. Syarat pembayaran penjualan kredit Syarat pembayaran penjualan kredit dapat bersifat ketat atau lunak. Apabila perusahaan menetapkan syarat-syarat pembayaran yang ketat berarti perusahaan
lebih
mengutamakan
keselamatan
kredit
daripada
profitabilitasnya. Syarat yang ketat misalnya dalam bentuk batas waktu pembayarannya yang pendek, pembebanan bunga yang tinggi akan berpengaruh terhadap keterlambatan pembayaran piutang. 3. Ketentuan tentang pembatasan kredit Dalam penjualan kredit perusahaan dapat menetapkan batas maksimal bagi kredit yang diberikan kepada para pelanggannya.
Semakin tinggi batas
maksimal yang ditetapkan bagi pelanggan maka makin besar pula dana yang diinvestasikan dalam piutang. Makin selektif para pelanggan yang dapat diberi kredit, akan memperkecil jumlah investasi dalam piutang. 4. Kebijaksanaan dalam mengumpulkan piutang Hal ini dapat dilaksanakan secara aktif dan dapat pula secara pasif. Kebijaksanaan secara aktif akan mempunyai pengeluaran uang yang lebih besar untuk membiayai aktivitas pengumpulan piutang tersebut, namun dengan dilaksanakannya kebijaksanaan ini kemungkinan akan mempunyai investasi piutang yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan perusahaan yang melaksanakan kebijakan secara pasif.
17
5. Kebiasaan membayar dari para pelanggan Pada
umumnya,
pelanggan
akan
menggunakan
kesempatan
untuk
mendapatkan cash discount tetapi ada pula yang tidak mempergunakan kesempatan tersebut. Perbedaan cara pembayaran ini tergantung pada cara penilaian mereka, mana yang lebih menguntungkan antara kedua alternatif tersebut.
2.8. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal (IFE-EFE) Penilaian internal ditujukan untuk mengukur sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan.
Langkah yang ringkas dalam
melakukan penilaian internal adalah dengan menggunakan matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Sedangkan untuk mengarahkan perumusan strategi yang merangkum dan mengevaluasi informasi ekonomi, sosial budaya demografis, lingkungan, politik, pemerintahan, hukum, teknologi dan tingkat persaingan digunakan matriks External Factor Evaluation (EFE) (Rangkuti, 1998). Matriks IFE dan EFE bertujuan untuk menganalisis faktor lingkungan, baik internal maupun eksternal perusahaan. Dalam menganalisis faktor-faktor internal, mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan perusahaan digunakan matriks IFE, sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor eksternal, diklasifikasikan atas peluang dan ancaman bagi perusahaan dalam matriks EFE. Dalam matriks IFE, total keseluruhan nilai yang dibobot berkisar antara 1,0 – 4,0 dengan nilai rataan 2,5. Nilai di bawah 2,5 menandakan bahwa secara internal perusahaan lemah dan nilai di atas 2,5 menunjukkan posisi internal yang kuat. Total nilai 4,0 menunjukkan perusahaan mampu menggunakan kekuatan yang ada untuk mengantisipasi kelemahan dan total nilai 1,0 berarti perusahaan tidak dapat mengantisipasi kelemahan dengan menggunakan kekuatan yang dimilikinya. Dalam matriks EFE, total keseluruhan nilai yang dibobot tertinggi adalah 4,0 yang mengindikasikan bahwa perusahaan mampu merespon peluang yang
18
ada dan menghindari ancaman di pasar industri. Nilai terendah adalah 1,0 yang menunjukkan strategi yang dilakukan perusahaan tidak dapat memanfaatkan peluang atau tidak menghindari ancaman yang ada. Setelah tersusun matriks IFE dan EFE, dilakukan kombinasi alternatif strategi dengan menggunakan matriks IE dan SWOT. Matriks Internal External (IE) digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap skor total matriks IFE dan EFE yang dihasilkan dari audit eksternal dan internal perusahaan. Matriks IE terdiri atas dua dimensi, yaitu total skor dari matriks IFE dan total skor dari matriks EFE. Total skor matriks IFE dipetakan pada sumbu X dengan skor 1,0 – 1,99 yang menyatakan posisi internal adalah lemah, skor 2,0 – 2,99 posisinya rataan, serta skor 3,0 – 4,0 adalah posisi kuat. Total skor dari matriks EFE pada sumbu Y dengan skor 1,0 – 1,99 adalah posisi rendah, skor 2,0 – 2,99 adalah posisi rataan dan skor 3,0 – 4,0 adalah posisi tinggi. Matriks ini bermanfaat untuk menentukan posisi perusahaan, yang terdiri atas sembilan sel, namun secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian utama yang mempunyai dampak strategi yang berbeda, yaitu (1) Strategi pertumbuhan (Growth strategy) yang merupakan pertumbuhan perusahaan itu sendiri (sel 1,2 dan 5) atau upaya diversifikasi (sel 7,8); (2) Stability strategy, adalah strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang sudah ditetapkan; (3) Retrechment strategy, adalah usaha memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan perusahaan (sel 3,6 dan 9) (David, 1998).