15
BAB II PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN MADRASAH
A. Pengertian Pemberdayaan Kelembagaan Madrasah Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata ‘pemberdayaan’ berasal dari kata ‘daya’ yang berarti kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak. Dapat diartikan pula kekuatan yang menyebabkan sesuatu dapat bergerak (Depdikbud, 1997:188). Kelembagaan berasal dari kata lembaga yang memiliki makna badan organisasi yang tujuannya melakukan sesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha (Depdikbud, 1997:512). Lembaga
pendidikan
merupakan
badan
organisasi
yang
menyelenggarakan pembelajaran dalam bentuk formal maupun nonformal. Lembaga pendidikan formal dapat berupa sekolah atau madrasah, sedangkan lembaga pendidikan nonformal adalah lembaga pendidikan yang ada di masyarakat, berupa pengajian, majlis taklim dan sebagainya (Hasbullah, 1999: 94). Madrasah berasal dari bahasa Arab, dari kata ( ) درسyang bermakna tempat orang belajar (Wajdi, 1971 : 27). Secara harfiah kata ini setara makna dengan kata ”sekolah” dalam bahasa Indonesia yang artinya lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (Fadjar, 1999 : 17).
15
16
Untuk mencari pengertian madrasah secara pasti memang sulit sehingga para ahli memberikan pendapatnya tentang hal tersebut, antara lain Gibb and Kramers (1981:300) mengartikan madrasah sebagai ”name of an institution where the Islamic science are studied.” Menurut Mircea Eliade (1993 : 77) “madrasah is an educational institution devoced to advanced studies in the Islamic religious sciences”. Selain itu Zuhairini (1993 : 25) memaknai madrasah sebagai tempat belajar yang mengajarkan ajaran-ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan dan keahlian lainnya yang berkembang pada jamannya. Madrasah juga diartikan sebagai wahana bagi anak untuk mengenyam proses pembelajaran (Fadjar, 1999 : 18). Jadi berangkat dari berbagai definisi madrasah diatas dapat kita pahami bahwa secara teknis madrasah menggambarkan tempat proses pembelajaran formal yang tidak beda dengan sekolah. Jadi yang dimaksud pemberdayaan kelembagaan madrasah adalah mengoptimalkan sumber daya yang ada di madrasah untuk meningkatkan mutu madrasah agar mampu survive dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut perubahan di era saat ini dan yang akan datang.
B. Sejarah Pemberdayaan Kelembagaan Madrasah Menelusuri sejarah pertumbuhan madrasah, banyak dijumpai aspekaspek historis yang menarik. Zaman Belanda, pendidikan Islam berada dalam fase awal, yaitu melakukan eksperimentasi materi dan metodologi pembelajarannya.
Lembaga
pesantren
merupakan
cikal-bakal
format
17
pendidikan Islam itu, yang kemudian melakukan improvisasi melalui adaptasi dengan sistem sekolah ala Belanda itu sendiri. Ada yang mengambil utuh kurikulum Belanda, lalu menambahkan jam pelajaran agama, tetapi ada yang hanya memakai sistem sekolah dan metodologi pembelajarannya saja, sementara materinya tetap pelajaran agama (Aqib Suminto, 1986 : 64). Pada zaman Jepang pendidikan agama Islam ditangani secara khusus. Pemerintah Jepang membuat relasi-positif dengan kiai dan ustadz, yang kemudian membuat kantor urusan agama (shumubu). Setelah tahun 1945 – tepatnya tanggal 3 Januari 1946 –kantor ini menjadi kementrian agama. Dalam tahun-tahun pertama, kementrian agama membuat divisi khusus yang menangani pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren). Terminologi "modernisasi madrasah" tampaknya mulai menguat saat Orde Baru melancarkan manuvermanuver politik pendidikannya. Baik melalui jalan formalisasi – yaitu usaha penegerian madrasah, maupun jalan strukturisasi – yaitu penjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan Kementerian Pendidikan Nasional termasuk desain kurikulumnya. Keduanya memang kontroversial. Umat Islam melihatnya dengan kacamata prasangka, walaupun tetap memperjuangkan madrasah dan pendidikan keagamaan pada umumnya menjadi bagian dari tugas Kementerian Agama. Setelah kekuasaan Orde Baru berjalan satu periode, pada tahun 1975, dikeluarkan SKB tiga menteri yang mencoba meregulasi madrasah secara
18
integral-komprehensif. Inilah era baru madrasah yang ditandai dengan efektifnya pembenahan madrasah di tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, sebagai "sekolah umum plus pendidikan agama" (kurikulum : 70% : 30%), menjadikan madrasah terbebani –tentu saja, dalam mengejar kualitas sekolah pada umumnya. Selama lima pelita berikutnya, kualitas madrasah bisa dipikul rata menghasilkan lulusan yang lemah basic competence agamanya, demikian juga lemah penguasaan ilmu umum lainnya. Namun demikian, hingga reformasi politik meletus tahun 1998, dan terjadi transisi pemerintahan dengan berganti-gantinya Kepala-Negara, dunia kependidikan bukan tidak terkena dampaknya. Spektrum reformasi politik tersebut memancar ke mana-mana, termasuk ke wilayah pendidikan keagamaan. Madrasah justru mulai memikirkan posisinya, nilai kehadirannya (bargaining position) dan menyadari hak-haknya, yang selama Orde Baru nasibnya dimarjinalkan secara tidak adil (diskriminatif). Prestasi penting era reformasi ialah disahkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yang menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah umum termasuk dalam perlakuan anggarannya. Pengembangan madrasah terus dilakukan oleh Departemen Agama, antara lain penyelenggaraan MAPK yang sekarang trend disebut MAK, ada madrasah program keterampilan, madrasah model, madrasah unggulan, dan madrasah terpadu. Hal ini terus dikembangkan oleh Kementerian Agama dengan keterbatasan yang dimilikinya, tentunya penyelenggraan berbagai program ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu lulusan madrasah agar
19
memiliki kompetensi yang dapat diterima oleh masyarakat. Namun demikian, karena tidak berpijak pada konsepsi yang sistemik, ikhtiar ini sepertinya kurang dapat menjawab tantangan masyarakat muslim Indonesia. Madrasah yang dikelola oleh Kementerian Agama di Indonesia terdiri dari beberapa jenis, antara lain : 1. Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK) Lahirnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 1984 tentang pengembangan Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK) dari Madrasah Aliyah reguler, pada dasarnya bukan suatu hal yang baru dalam sejarah perjalanan madrasah, bahkan secara substansi MAPK ini kembali pada jati dirinya dalam membekali dan memperkuat para siswa Madrasah Aliyah dengan mempelajari bahasa, terutama Bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama secara lebih komprehensif dengan sistem boarding school. Terbitnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah Keagamaan merupakan penyederhanaan terhadap Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Program keagamaan ini menjadi salah satu jurusan yang ada pada Madrasah Aliyah tertentu (Depag, 2003 : 45). 2. Madrasah Aliyah Program Ketrampilan Madrasah Aliyah Program Ketrampilan bukan merupakan suatu lembaga pendidikan yang berdiri sendiri. Akan tetapi merupakan program pendidikan yang dikembangkan oleh Madrasah Aliyah tertentu. Madrasah Aliyah Program Ketrampilan pertama kali dilaksanakan di empat tempat,
20
yaitu Madrasah Aliyah Negeri Garut, Madrasah Aliyah Negeri Kendal, Madrasah Aliyah Negeri Jember dan Madrasah Aliyah Negeri Bukittinggi. Sampai hari ini tercatat ada 83 Madrasah Aliyah yang menyelenggarakan program ketrampilan (Depag, 2003 : 46). 3. Madrasah Model Pada tahun 1993, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Model mulai dipopulerkan, dengan mendirikan sebanyak 54 MTs pada tahun 1997, Madrasah model tidak hanya dikembangkan pada Madrasah Tsanawiyah akan tetapi mencakup Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Aliyah dengan jumlah Madrasah Ibtidaiyyah Model 44 madrasah, Madrasah Tsanawiyah Model 69 madrasah dan Madrasah Aliyah Model 35 madrasah (Depag, 2003 : 47). 4. Madrasah Unggulan Madrasah Aliyah Program Unggulan lahir dari sebuah keinginan untuk memiliki madrasah yang mampu berprestasi di tingkat nasional dan dunia internasional dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ditunjang oleh akhlakul karimah. Madrasah tersebut adalah Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia yang berada di Serpong, Banten dan di Gorontalo. Pengelolaan madrasah ini oleh Departemen Agama dimulai pada tahun 2001, setelah mengalami kesulitan keuangan yang sebelumnya didukung penuh oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Selain itu, dirancang pula sebagai madrasah unggulan adalah MI Al-Azhar al-Syarif, Jakarta (Depag, 2003 : 48).
21
5. Madrasah Terpadu Menghadirkan madrasah yang menekankan aspek keterpaduan proses pendidikan mulai dari Ibtidaiyah sampai Aliyah adalah ide awal pendirian Madrasah Terpadu. Ini tentunya diakibatkan oleh kenyataan yang dihadapi bahwa pendidikan madrasah selama ini berjalan tidak didasarkan pada konsep yang menjaga kesinambungan dan keterpaduan pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah (Depag, 2003 : 49). 6. Madrasah Tsanawiyah Terbuka Madrasah Tsanawiyah Terbuka dibuka atau dimulai pada tahun pelajaran 1996/1997 sebagai respons kebijakan pemerintah tentang penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (wajar dikdas 9 tahun). Operasionalisasi
Madrasah
Tsanawiyah
Terbuka
dilakukan
oleh
Departemen Agama bekerjasama dengan Pusat Teknologi Komunikasi Departemen Pendidikan Nasional. Madrasah Tsanawiyah Terbuka diselenggarakan
di
pondok-pondok
pesantren
salafiyah.
Tujuan
diselenggarakannya MTs Terbuka pada saat itu adalah untuk memberikan kesempatan belajar terhadap masyarakat khususnya pada kaum santri yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena faktor ekonomi atau geografis atau faktor lainnya (Depag, 2003 : 50). Berbagai program unggulan dari program Kementerian Agama tentang lembaga pendidikan di madrasah terus digulirkan dalam rangka memenuhi
standar
pendidikan
sebagaimana
yang
dikelola
oleh
Kementerian Pendidikan Nasional, yakni munculnya sekolah berstandar
22
nasional bahkan sekolah bertaraf internasional. Madrasah-pun sudah saatnya berbenah untuk mengejar ketertinggalan dari lembaga pendidikan yang ada di sekitarnya.
C. Prinsip Dasar dalam Pemberdayaan Kelembagaan Madrasah Telaah filosofis normatif dan pemahaman atas potensi dan tuntutan lingkungan
strategis sangat diperlukan sebagai
dasar pemberdayaan
kelembagaan di madrasah, yang secara konseptual akan dapat diterima oleh logika, secara kultural sesuai dengan budaya bangsa dan secara politis dapat diterima oleh masyarakat. Kerangka
filosofis
normatif
yang
melandasi
pemberdayaan
kelembagaan madrasah diawali dengan asumsi bahwa manusia (peserta didik) adalah makhluk Allah SWT yang tercipta dalam bentuk yang sempurna (ahsan al-taqwim), untuk mengabdi pada-Nya (abdullah) dan menjadi wakil/ pemimpin (khalifah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah manusia memiliki sikap yang penuh dengan ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya. Sedangkan sebagai khalifah manusia adalah makhluk yang kreatif. Jika kedua peran ini (abdullah dan khalifah) ini digabungkan, maka secara filosofis dapat dirumuskan bahwa pengembangan pendidikan madrasah harus mampu melahirkan pribadi manusia yang kreatif dengan landasan sikap ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya. Pemahaman ini sejalan dengan ungkapan Rasul SAW sebagai prototype manusia yang senantiasa bertambah ilmunya
23
sekaligus bertambah hidayah dari Allah SWT, itulah kiranya tipikal manusia yang sempurna (insan kamil) dalam bidang pendidikan. Pandangan filosofis sebagaimana diatas selanjutnya dikaji dan dikembangkan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pendidikan yang diarahkan untuk mencapai pertumbuhan kekuatan kepribadian peserta didik yang seimbang. Kualitas ini akan dapat dicapai oleh manusia jika ia dapat menjalankan fungsi kemanusiaannya sebagai khalifah dan hamba Allah sekaligus. Menelusuri sejarah pertumbuhan kelembagaan madrasah, banyak dijumpai aspek-aspek historis yang menarik. Zaman Belanda, pendidikan Islam berada dalam fase awal, yaitu melakukan eksperimentasi materi dan metodologi pembelajarannya. Lembaga pesantren merupakan cikal-bakal format pendidikan Islam itu, yang kemudian melakukan improvisasi melalui adaptasi dengan sistem sekolah ala Belanda itu sendiri. Ada yang mengambil utuh kurikulum Belanda, lalu menambahkan jam pelajaran agama, tetapi ada yang hanya memakai sistem sekolah dan metodologi pembelajarannya saja, sementara materinya tetap pelajaran agama (Aqib, 1986 : 64). Pada zaman Jepang pendidikan agama Islam ditangani secara khusus. Pemerintah Jepang membuat relasi-positif dengan kiai dan ustadz, yang kemudian membuat kantor urusan agama (shumubu). Setelah tahun 1945 – tepatnya tanggal 3 Januari 1946 –kantor ini menjadi kementerian agama. Dalam tahun-tahun pertama, kementerian agama membuat divisi khusus yang menangani pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di
24
sekolah agama (madrasah dan pesantren) (Aqib, 1986 : 66). Terminologi "modernisasi madrasah" tampaknya mulai menguat saat Orde Baru melancarkan manuver-manuver politik pendidikannya. Baik melalui jalan formalisasi –yaitu usaha penegerian madrasah, maupun jalan strukturisasi – yaitu penjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan Departemen Pendidikan Nasional termasuk desain kurikulumnya. Keduanya memang kontroversial. Umat Islam melihatnya dengan kacamata prasangka, walaupun tetap memperjuangkan madrasah dan pendidikan keagamaan pada umumnya menjadi bagian dari Departemen Agama. Setelah kekuasaan Orde Baru berjalan, pada tahun 1975, dikeluarkan SKB tiga menteri yang mencoba meregulasi madrasah secara integralkomprehensif. Inilah era baru madrasah yang ditandai dengan efektifnya pembenahan madrasah di tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, sebagai "sekolah umum plus pendidikan agama" (kurikulum : 70% : 30%), menjadikan madrasah terbebani –tentu saja, dalam mengejar kualitas sekolah pada umumnya. Selama lima pelita berikutnya, kualitas madrasah bisa dipikul rata menghasilkan lulusan yang lemah basic competence agamanya, demikian juga lemah penguasaan ilmu umum lainnya. Namun demikian, hingga reformasi politik meletus tahun 1998, dan terjadi transisi pemerintahan dengan berganti-gantinya Kepala-Negara, dunia kependidikan bukan tidak terkena dampaknya. Spektrum reformasi politik tersebut memancar ke mana-mana, termasuk ke wilayah pendidikan keagamaan. Madrasah justru mulai memikirkan posisinya, nilai kehadirannya
25
(bargaining position) dan menyadari hak-haknya, yang selama Orde Baru nasibnya dimarjinalkan secara tidak adil (diskriminatif). Prestasi penting era reformasi ialah disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah umum termasuk dalam perlakuan anggarannya. Pemberdayaan
kelembagaan
madrasah
terus
dilakukan
oleh
Departemen Agama, antara lain penyelenggaraan MAPK yang sekarang trend disebut MAK, ada madrasah program keterampilan, madrasah model, madrasah unggulan, dan madrasah terpadu bahkan akhir-akhir ini muncul madrasah berstandar internasional (MBI). Hal ini terus dikembangkan oleh Departemen Agama dengan keterbatasan yang dimilikinya, tentunya penyelenggraan berbagai program ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu lulusan madrasah agar memiliki kompetensi yang dapat diterima oleh masyarakat. Namun demikian, karena tidak berpijak pada konsepsi yang sistemik, ikhtiar ini sepertinya kurang dapat menjawab tantangan masyarakat muslim Indonesia. Membangun sebuah lembaga pendidikan Islam yang bermutu tentu membutuhkan kiat dan strategi tersendiri agar mampu bersaing di kancah dunia internasional. Sudah saatnya madrasah yang merupakan lembaga pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Agama harus berani bersaing dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasioanl.
Mutu
lembaga
terus
diupayakan
antara
lain
dengan
menyelenggrakan program unggulan yang khas dan unik dengan mengangkat
26
sumber daya lokal sebagai pijakan program pengembangan menuju era globalisasi. Menurut catatan sejarah, filsafat dan ilmu pengetahuan serta teknologi keduanya dilahirkan dan dikembangkan pertama kali oleh bangsa Yunani dengan mendasarkan pada hukum alam (natural law). Mereka meyakini bahwa kebenaran mutlak hanya ada di alam idea. Sedangkan yang ada di dunia hanyalah bayangan dari kebenaran alam idea itu. Oleh karena itu sifatnya relatif. Para ahli Yunani sejak ribuan tahun sebelum Muhammad SAW lahir di dunia ini, sudah mengingatkan kepada seluruh ilmuan bahwa ada orde yang tidak mungkin dilampaui oleh manusia dan oleh siapapun yakni orde alam. Karena bangsa Yunani tidak mengenal agama Samawi, maka filsafat dan Ilmu pengetahuan yang dikembangkan adalah sekuler. Bahkan Universitas-universitas modern yang berdasarkan model-model Barat tidak mencerminkan manusia, melainkan lebih mencerminkan negara sekuler. Masalah hukum alam, oleh sebagian orang Islam, dikembangkan menjadi sunnatullah. Kerja ini disebut dengan mengislamisasikan. Hukum alam adalah ciptaan Allah SWT dan kebenaran di alam idea menjadi kebenaran Allah SWT. Maksudnya, kebenaran mutlak yang hak itu hanya ada pada Allah SWT. Sedangkan kebenaran duniawi adalah kebenaran relatif yang harus secara menerus dikembangkan berdasarkan perspektif kebenaran Allah SWT. Dengan demikian dalam pemahaman nalar Islami, pengembangan ilmu pengetahuan tetap menggunakan metodologi keilmuannya secara intrinsik dan menjadi tuntutan universal.
27
Dalam pandangan Islam, ilmu sudah terkandung secara esensial dalam al-Qur’an. Oleh karena itu berilmu berarti beragama dan beragama berarti berilmu, maka tidak ada dikotomi antar ilmu dan agama. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai atau dikritik, menilai dan menggugat kembali keabsahan dan kebenaran suatu pendapat adalah diharuskan tanpa menilai yang berpendapat. Bahkan, ilmuan dengan
senang hati melemparkan
pendapatnya untuk nilai dan bukan untuk dipertahankan, karen yang dicari adalah
kebenaran bukan pembenaran. Oleh karena itu dalam Islam
diharapkan muncul intelektual yang bersif jujur, berpengalaman, randah hati dalam arti menerima kemungkinan kebenaran orang lain dan tidak mengisolir diri sehingga ilmuan Islam berbeda dan mempunyi identitas diri dengan ilmuan non muslim. Itulah sebabnya pandangan Barat sangat sulit untuk menampilkan sisi harmonis antar kedua variabel di atas. Barat tidak akan mampu menjembatai dikotomi tersebut karena Barat telah berkembang terlalu jauh di atas perpaduan berbagai nilai kebudayaan Yunani, Romawi Kuno dan lain-lain. Meskipun telah berusaha bangkit kembali menemukan ‘barang yang lepas’ dan hal ini amat terasa sejak abad ke 19 dan awal abad 20, umat Islam tetap harus kerja keras untuk mengejar ketertinggalan apalagi era yang dihadapinya saat ini telah memasuki zaman postmodern. Rasanya, umat Islam akan tetap tertinggal jika terus berpikir reaktif dan bukan proaktif atau responsif untuk menguasai kembali ilmu pegetahuan.
28
Bagi Arkoun, pemikiran umat Islam belum mampu keluar dari kungkungan antara lain disebabkan oleh dominasi pertama; gambaran dogmatis dari suatu nalar yang mampu mencapai keberadan Allah, kedua; dorongan utama dari setiap penemuan tidaklah bersifat ilmiah, tetapi bersifat estetis etis, ketiga; akal yang merupakan refleksi dan inteligensi adalah ciptaan Allah dan dikuasai oleh gagasan untuk kembali kepada Pencipta Pertama dan keempat; bahwa kegiatan-kegiatan nalar menyatakan sesuatu dalam usaha kembali ke landasan-landasan agama. Kalau dilihat sejarah pendidikan
Islam,
maka
muncul
beberapa
tokoh
yang
berusaha
menyelesaikan dikotomi pengetahuan di atas, antara lain: 1. Sir Sayyir Ahmad Khan, dengan mendirikan AMU (Aligarh Muslim University). Dalam upaya menghancurkan dikotomi ini, ia mencontoh sistem sekolah di dunia Barat dengan memasukkan pelajaran bahasa Inggris dan Filsafat Barat ke dalam sekolah-sekolah Muslim. Sistem ini berhasil di kalangan mereka. Seusai sekolah mereka umumnya memasuki lapangan kerja di mana kemampuan bahasa Inggris dan nalar Filsafat Barat disyaratkan oleh pemerintah kolonial Inggris saat itu. Namun hal ini segera mendapat tantangan keras dari komunitas Muslim radikal yang menganggap sekolah sebagai lembaga yang berusaha mendangkalkan agama. Walaupun demikian AMU sampai kini tetap berdiri tegak 2. Maulana Abu al-Nasr Wahid dan Bengal. Beliau mewajibkan siswanya mempelajari bahasa Arab, pengetahuan agama, bahasa Inggris, aljabar dan geometri. Para siswa mengambil ujian yang sama dengan rekan-rekannya
29
untuk memasuki universitas umum (modern). Dalam perkembangan lebih lanjut ternyata masih saja terasa adanya perbedaan antara rumpun ilmu agama dan ilmu skuler. Keduanya belum menyatu dan masih berdiri sendiri dan lama-lama perbedaannya semakin mecolok dan oleh karena itu dualisme sistem pendidikan tetap berlaku. 3. Ahmed al- Beely dari Univertas Arab Saudi. Pemikirannya adalah bahwa anak-anak muslim perlu mengambil ilmu-ilmu modern dan keagaman. Namun demikian mereka harus mempunyai landasan pendidikan agama yang kuat. Untuk itu kegiatan pendidikan harus dimulai sejak kecil (dalam keluarga) seperti shalat, baca al-Qur’an dan lain-lain. Dengan begitu, bagi mereka yang ingin mengambil spesialisasi ilmu-ilmu modern telah memiliki landasan agama yang kokoh sehingga mampu menahan gejolak skularisasi. Sebaliknya mereka yang akan mengambil spesialisasi ilmu keagamaan akan mampu menjelaskan ajaran agama dengan bahasa dan logika modern. Atas dasar ini orang-orang yang memahami peranan dan posisi ilmuilmu agama dalam tantangan modern, harus mampu membuat rumusan di mana ilmu-ilmu agama dapat menjawab tantangan zaman yang dihadapinya misalnya persoalan ekonomi, politik dan sebagainya, dengan melahirkan disiplin ilmu baru seperti ekonomi Islam, Politik Islam dan lain-lain. Katakata Islam perlu dimunculkan bukan dalam arti untuk mengislamiskasikan ilmu yang memang suadah Islami, tetapi sekedar memberi identitas kepada
30
kedua wilayah yang sering dipertentangkan, sekalipun sebenarnya tidak bertentangan. Oleh karena itu harus dicari ‘titik temu’ dan meletakkan hubungan antara kedua disiplin, yang dipahami oleh sebagian orang berbeda, dalam situasi yang lebih empirik, dengan mendudukkan sejumlah pemikir dan aktivis sosial-politik untuk
membangun paradigma altenatif yang dipandang
memungkinkan. Paradigma alternatif ilmu pengetahuan yang penulis tawarkan dalam tulisan ini adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan filsafat theosentris dan antroposentris secara bersama-sama. Berdasarkan model ini, paradigma baru pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah tidak adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama, tidak ada dikotomi antara ilmu pengetahuan umum dan agama, ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas dinilai, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional melainkan juga sisi rasional. Untuk memenuhi hal di atas tawaran yang mungkin dikedepankan adalah bahwa setiap ilmuan harus mampu berfikir dan mengembangkan keilmuannnya dalam lingkup iman adan takwa. Tentu, konstruksi pemikiran yang ditawarkan harus dipengaruhi oleh pandangan-pandangan, filosofis, teologis dan sosiologis serta hal-hal yang melingkupinya. Hal ini bisa dilakukan dengan pendekatan metodologi yang baru. Metodologi yang tepat untuk hal ini adalah pengembangan metode rasional dan empirik serta
31
memadukan aspek tradisional dan modern sesuai dengan sifat, corak dan kebutuhannya.
D. Arah dan Kerangka Pemberdayaan Kelembagaan Madrasah Arah dan kerangka pemberdayaan kelembagaan madrasah berangkat dari akar penilaian filosofis, normatif, religius, serta sejarah panjang perjalanan madrasah di Indonesia. Lingkungan strategis bangsa juga mempengaruhi arah pengembangan madrasah. Melalui terjadinya globalisasi, cita ideal "warga negara" yang baik perlu diperluas menjadi "warga dunia" yang baik sekaligus menjadi hamba dan khalifah Allah SWT yang baik. Oleh karena itu landasan filosofis pendidikan yang mengacu kepada filsafat pendidikan perenialisme yang berpusat pada pelestarian dan pengembangan peserta didik, perlu disempurnakan dengan filsafat pendidikan yang mengintegrasikan pengembangan budaya dan subyek sebagai bagian dari "warga dunia". Pada saat yang bersamaan, perubahan sosial perlu diantisipasi agar masyarakat tidak didikte oleh perubahan, tetapi mampu untuk bertindak afirmatif. Misi pendidikan yang melandasi filsafat pendidikan di madrasah adalah rekonstruksi sosial yang mengacu pada ketentuan nilai dan norma keislaman, dengan menggunakan kaidah al-muhafazah ala al-qadim al-salih wa al-akhdu bi al-jadid al-aslah, yakni memanfaatkan (mempertahankan) sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru untuk bahan pijakan menuju kualitas yang lebih baik lagi.
32
Arah dan strategi pemberdayaan kelembagaan madrasah menekankan pada pemberdayaan kelembagaan madrasah sebagai pusat pembelajaran, pendidikan dan pembudayaan. Indikator-indikator keberhasilannya adalah : (a) tersedianya madrasah-madrasah yang semakin bervariasi, yang diikat oleh visi, misi dan tujuan pendidikan madrasah, dengan dukungan organisasi yang efektif dan efisien; (b) mutu dan sarana prasarana madrasah yang semakin meningkat dan iklim pembelajaran yang semakin konduktif bagi peserta didik; dan (c) tingkat kemandirian madrasah semakin tinggi (Depag, 2004 : 18). Kebijakan yang perlu ditempuh adalah : (a) Melaksanakan telaah, kajian dan "restrukturisasi madrasah" sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat; (b) mengembangkan sistem organisasi kelembagaan pendidikan yang profesional efektif dan efisien; (c) standarisasi kelembagaan yang didukung oleh sarana dan prasarana minimal dan kualifikasi personel yang sesuai dengan bidang keahlian serta beban pekerjaannya. Kenyataan menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi reduksi pemaknaan pendidikan. Kelembagaan pendidikan, khususnya madrasah perlu terus ditumbuhkembangkan untuk menjawab fungsi dan kehadiaran lembaga pendidikan yang mampu memberikan solusi terwujudnya manusia Indonesia yang memiliki karakter dan kepriubadian yang mantap menuju persaingan yang sehat dalam dunia internasional. Jika kita cermati dengan seksama, dapat dimengerti bahwa saat ini ilmu-ilmu agama sedang mengalami tantangan yang sangat berat. Terjadinya dikotomi
pengetahuan
sebagaimana
yang
ada
di
Indonesia
bagi
33
penulis merupakan hasil kekurangcermatan para pendahulu atau printis pendidikan yang tidak mampu menjadikan pesantren sebagai basis lahirnya pendidikan nasional. Sekolah Belanda yang kemudian menjiwai lahirnya pendidikan nasional adalah warisan sekuler yang dengan sengaja memisahkan masalah keagamaan dengan pengetahuan modern yang melahirkan pemisahan pengetahuan agama dan modern. Saat ini dikotomi itu harus dihilangkan dengan dua cara. Pertama Mengintegrasikan pengetahuan umum dan pengetahuan agama dalam satu bentuk
pelajaran
(kurikulum)
dan
juga
lembaga/
institusi.
Kedua
Mengintegrasikan pemimpin dan manajer dalam satu diri pengelola atau kelompok pengelola sebuah lembaga pendidikan. Sekarang, ketika pemikiran dan keterampilan demikian maju, ketika keimanan dan pemikiran tidak sejalan, hubungan antara pengetahuan yang diwahyukan dengan pengetahuan yang diperoleh ‘terganggu’ sehingga muncullah keterpisahan antara keduanya. Inilah pandangan sekuler. Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik baik dalam diri perseorangan maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu keterpisahan itu seharusnya diakhiri dan pengetahuan yang terpisah itu harus disatukan lagi. Pengintegrasian kembali kedua pengetahuan itu harus dimulai dengan
membangun
kembali
‘Filsafat
Pengetahuan
Islam’
dan
mengintegrasikan kembali sistem pendidikan umum dan agama. Orang Islam harus segera menyadari bahwa tradisi aslinya telah dikacaukan oleh tradisi Barat. Tradisi Barat memang memisahkan antara pengetahuan yang diwahyukan dan pengetahuan yang diperoleh. Oleh karena itu dalam konsep
34
Islam ilmu pengetahuan hanya satu. Dengan cara integrasilisasi di atas diharapkan generasi muda memperoleh pendidikan ilmu pengetahuan secara utuh baik ilmu agama maupun ilmu umum dan mereka juga memiliki kemampuan kepemimpinan dan manajerial secara utuh pula. Seorang atau sekelompok pimpinan lembaga pendidikan harus memiliki pengetahuan dan teori-teori kepemimpinan dan manajerial sekaligus, sehingga dapat diterapkan dalam praktek kerjanya. Kepemimpinan lembaga pendidikan
adalah
suatu
kemampuan
dan
proses
mempengaruhi,
membimbing, mengkordinir dan menggerakkan orang lain yang ada hubungannya dengan perkembangan Universitas agar lebih efektif untuk mencapai visi dan misinya. Selain itu pimpinan juga harus memiliki kemampuan manajerial mengatur efisiensi segala yang berkaitan dengan fasilitas pendidikan untuk menunjang proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi sehingga tujuan institusi akan tercapai.
E. Implementasi Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Madrasah Berdasarkan kerangka strategis pengembangan madrasah sebagaimana diatas, maka pada tatanan implementasinya dirumuskan secara singkat dalam bentuk program-program pokok yang perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Berikut matrik implementasi strategi pemberdayaan kelembagaan pada madrasah.
35
Matrik Implementasi Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Madrasah Program
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Jangka Panjang
1.Pengembangan pengelolaan pendidikan usia dini melalui raudlatul athfal (RA)
Mengingatkan mutu dan perluasan kesempatan layanan pendidikan usia dini Raudlatul Athfal
Mengintegrasikan pendidikan usia dini di Raudlatul Athfal dengan pembinaan kesehatan anak usia balita, melalui programn kerja sama dengan lembagalembaga terkait.
Memantapkan pelaksanaan pendidikan usia dini di Raudlatul Athfal secara ringkas sektoral dengan berbagai lembaga & departemen terkait dalam rangka pengembangan SDM sejak usia dini.
2. Pengelolaan pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat terutama pada jenjang pendidikan dasar (MI dan MTs) dan jenjang pendidikan menengah (MA) secara berkelanjutan 3. Peningkatan mutu pendidikan dasar di MI dan MTs, serta menuntaskan program Wajib Belajar 9 Tahun..
Mengintegrasikan berbagai program perluasan kesempatan pendidikan baik di Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, maupun Madrasah Aliyah dengan masyarakat
Mendorong pemanfaatan sumber-sumber belajar dan pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat berbagai basis pengelolaan madrasah (Intidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah) yang diikhtiarkan dari, untuk dan oleh masyarakat.
Meletakkan dasar kelembagaan madrasah (ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah) yang kuat menuju tatanan masyarakat belajar dan belajar sepanjang ahyat.
Mengintegrasikan berbagai rencana program peningkatan mutu pendidikan dasar (MI, MTs) baik dari Departemen agama dan Departemen terkait lainnya, serta menggalang program kerjasama dengan pemerintah Daerah dan masyarakat
Pendesentralisasian rencana, program dan dana peningkatan mutu pendidikan dasar kepada Pemda. Menggalakkan kembali partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan madrasah yang unggul.
Meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi peningkatan mutu pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah yang kompetitif dalam kehidupan global.
Mengkoordinasikan program Wajib Belajar 9 Tahun, bersama masyarakat.
Pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun sepenuhnya dikembalikan kepada masyarakat melalui koordinasi Pemda Tingkat II. Menuntaskan Wajar 9 tahun tentang rentan waktu 10 tahun (2000-20010)
Mendorong prakarsa masyarakat untuk enyiapkan rencana Wajib Belajar 12 tahun (sampai Madrasah Aliyah) secara efektif.
Mengintegrasikan program pendidikan keagamaan dan keterampilan di Madrasah Aliyah
Madrasah Aliyah yang bermutu, dan dapat dijadikan model oleh Madrasah Aliyah lainnya, oleh sebab itu harus efektif. Pengembangan program di Madrasah Aliyah harus disertai dengan peningkatan mutu. Mengembangkan program keterampilan di Madrasah Aliyah dengan partisipasi aktif dunia industri dan dunia usaha yang diatur dalam
Menggairahkan berkembangnya Madrasah Aliyah yang bermutu oleh masyarakat. Tersusunnya sistem pelatihan nasional yang mengintegrasikan sistem pendidikan dijalur formal madrasah dengan pendidikan jalur non formal di masyarakat. Merumuskan program pengembangan yang terintegrasi, dalam satu bentuk Madrasah Aliyah dengan studi
4. Peningkatan Mutu Madrasah Aliyah
36
sistem keringanan pajakpengembangan program reguler, keagamaan, dan keterampilan di Madrasah Aliyah dikerjasamakan dengan lembaga/ badan-badan terkait yang professional dan masyarakat. Adanya program yang terintegrasi dalam pembinaan progtram guru. Meningkatkan penghargaan terhadap profesi guru yang bermutu dan efektif
5. Pemantapan mekanisme pengadaan, penempatan dan pembinaan karier dan kesejahteraan guru 6. Menegakkan asas profesionalisme dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Madrasah
Mengintegrasikan berbagai program pengadaan, pengangkatan, penempatan dan pembinaan guru yang terpencar-pencar dan boros.
Membentuk komisi untuk menilai poros penting dalam jajaran departemen, agar dijabat oleh tenaga-tenaga profesional, berdasarkan kriteria obyektif serta perjenjangan perkembangan karier
Menyusun rencana pengembangan karier disertai dengan program pelatihan berjenjang yang obyektif
7. Desentralisasi pengelolaan kurikulum madrasah, dengan prinsip kesatuan dalam kebijakan dan keagamaan dalam pelaksanaan
Merevisi kurikulum 1994 dengan merampingkan serta menentukan kemampuan dan kompetensi yang hendak dicapai dan menghilangkan dikotomi kurikulum nasional dan lokal mengatasi eksesekses desentralistik dalam pengelolaan kurikulum madrasah dengan mempersiapkan kesiapan madrasah untuk mengimplementasikannya.
Memberdayakan madrasah dan pemerintah daerah, kandepag dan kanwil depag dalam melaksanakan kurikulum dengan peran serta masyarakat sekitar
akademik yang bersifat umum dan program pilihan
Keikutsertaan organisasiorganisasi profesi guru dalam program pengadaan, pengangkatan, penempatan dan pembinaan guru
Merumuskan kembali fungsi balai-balai diklat dan berbagai lembaga pelatihan yang ada di Depag. Keikutsertaan organisasi-organisasi profesi dan lembaga-lembaga keswadayaan masyarakat dalam peningkatan mutu profesi. Memantapkan pelaksanaan kurikulum madrasah secara lintas sektoral dengan berbagai lembaga dan departemen terkait dalam rangka pengembangan SDM menuju masyarakat belajar dan belajar sepanjang hayat
Sumber : diolah dari buku Desain Pengembangan Madrasah terbitan Departemen Agama RI tahun 2001
Melihat matrik diatas dapat dipahami bahwa desain pengembangan madrasah mengagendakan kinerja berjangka panjang, menengah dan pendek. Untuk menciptakan madrasah yang sesuai dengan rencana besar ini, diperlukan prakondisi yang kondusif agar strategi pengembangan madrasah dapat diimplementasikan dengan sebaik-baiknya. Berikut ini beberapa langkah awal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi madrasah saat ini.
37
Beberapa hal yang perlu diperjelas dalam matrik implementasi strategi pemberdayaan kelembagaan madrasah antara lain : 1. Manajemen Madrasah Melengkapi struktur organisasi dan manajemen kelembagaan, manajemen pendidikan, implementasi dan pengembangan kurikulum, monitoring dan evaluasi sistem pembelajaran. 2. Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Madrasah Meningkatkan, mengembangkan dan memperluas kesertaan secara aktif potensi masyarakat dalam membina dan mengembangkan madrasah. Koordinasi dalam konteks ini dapat diartikan dengan koordinasi internaleksternal, koordinasi horizontal-vertikal dan koordinasi yang bersifat formal-nonformal. Berdasarkan kesemuanya itu koordinasi atau lebih populer dengan istilah kerja sama: antar guru-guru dan karyawan madrasah, orang tua siswa, para alumni, tokoh masyarakat (pimpinan informal), lembaga pemerintah dan swasta, organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, para donatur yang berpotensi. 3. Pembinaan dan Peningkatan Kualitas Profesionalisme Tenaga Kependidikan Melengkapi tenaga kependidikan (guru, pustakawan, guru BP, tenaga laboran) di Madrasah dengan jumlah dan kualitas yang memadai disertai dengan penyebaran yang proposional sesuai dengan bidang garapan dan tanggung jawab yang diperlukan. Peningkatan kualitas,
38
wawasan dan penyegaran personil madrasah di tempat sebagai program prioritas yang berkesinambungan. 4. Pemeliharaan dan Peningkatan Kesejahteraan Personel Madrasah. Kesejahteraan dalam arti yang luas perlu dijadikan unsur pendukung untuk mendorong kemampuan personil madrasah dalam menjalankan
tugasnya
secara
optimal,
menumbuhkembangkan
kebanggaan dan rasa percaya diri. Definisi kesejahteraan dapat diartikan secara luas, baik dalam arti finansial, perlakuan, hubungan secara insani, pengembangan karir, dan sebagainya. 5. Melengkapi Sarana Fisik dan Komponen Pendidikan Madrasah Madrasah sebagai lembaga pendidikan ilmu pengetahuan, ilmu agama dan kehidupan yang berdasarkan norma-norma yang baik memerlukan kelengkapan sarana/ komponen pendidikan yang memadai dan fungsional. Kelengkapan sarana dimaksud perlu disertai pula oleh terpenuhinya standar kual;itas untuk masing-masing komponen dan pemeliharaan yang terus menerus. 6. Pemberdayaan dan Optimalisasi Fungsi Komponen Pendidikan dan Sumber Belajar. Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan serta sumber belajar perlu ditindaklanjuti oleh pemberdayaan setiap komponen secara fungsional dan berkesinambungan. Untuk memenuhi kelengkapan komponen ini memerlukan biaya yang cukup mahal. Dengan demikian selain karena dilihat dari segi jumlah investasi, justru pemberdayaan
39
komponen pendidikan tersebut dalam proses pembelajaran akan mampu meningkatkan kualitas Madrasah yang bersangkutan. 7. Pemberdayaan Madrasah Sebagai Lingkungan Pendidikan yang Kredibel Keberadaan Madrasah sebagai lembaga pendidikan dipersepsikan masyarakat luas sebagai suatu mata rantaikesatuan sistem yang integratif. Sistem penyelenggaraan pendidikan yang kredibel yang dijalankan di Madrasah merupakan akumulasi implementasi dan optimalisasi setiap fungsi dari seluruh komponen sistem yang berada di dalamnya. Tidak berfungsinya salah satu komponen sistem pendidikan di Madrasah akan berdampak besar terhadap menurunnya kredibilitas lembaga ini. Kemampuan manajerial dalam mengelola, memelihara dan membina seluruh komponen sistem pendidikan di lingkungan Madrasah yang memberikan konstribusi yang besar untuk mengangkat citra positif yang selama ini dimiliki. 8. Desiminasi Informasi Program dan Perkembangan Madrasah. Penilaian, kontribusi dan partisipasi masyarakat luas terhadap keberadaan, pembinaan dan pengembangan Madrasah banyak dipengaruhi oleh sejauh mana mereka memperoleh dan memiliki akses informasi terhadapnya. Berangkat dari ketentuan peraturan perundangan yang menetapkan bahwa masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua dan masyarakat, maka disiminasi informasi dalam berbagai formatnya akan merupakan jembatan yang
40
kokoh untuk mengundang dan membawa masyarakat luas ke arah pembinaan dan pengembangan Madrasah yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Desiminasi informasi ini tidak hanya menyangkut keberhasilan yang telah dicapai saja, akan tetapi harus mencakup segala aspek yang perlu meskipun mungkin sebagian diantaranya masih merupakan tantangan dan menghadapi sejumlah hambatan.
F. Visi dan Misi Madrasah 1. Visi Pendidikan Madrasah Dalam organisasi modern, visi merupakan hal yang sakral. Bagi seorang pemimpin, visi adalah realitas yang belum terjadi dan bukan merupakan mimpi. Ia merefleksikan pemahaman yang luas dan mendalam yang membuat seseorang mampu mendeteksi pola atau trend yang mengarahkan pemimpin untuk bertindak berdasarkan realitas menuju masa depan. Rumusan visi yang benar harus mampu menjawab pertanyaan, “ untuk apa lembaga/ organisasi ini didirikan?”, sehingga mampu memberikan gambaran jelas mengenai masa depan yang diinginkan. Lebih jauh, visi tersebut harus bisa menjadi pedoman bagi setiap anggota manajemen untuk mengambil keputusan-keputusan dan tindakantindakan guna meningkatkan kinerja yang mampu memuaskan semua stakeholder di lingkungan bisnis. Dengan demikian, rumusan visi harus mampu
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
bagaimana
upaya
41
memaksimalkan nilai pemegang saham? Apakah terdapat prospek yang menjanjikan di masa depan? Bagaimana kepuasan stakeholders lainnya? Bagaimana dengan pegawai? Ia harus menyajikan sasaran jangka panjang yang dapat dicapai, menantang sehingga membangkitkan energi anggota organisasi untuk bertindak secara sinergi (Kusnoto, 2001:12-13). Visi adalah gambaran tentang masa depan yang merangsang untuk berfikir,
memahami
dan
menggunakan
energinya
untuk
merealisasikannya. Visi menimbulkan perasaan bangga bagi setiap anggota organisasi. Visi merupakan cita-cita jangka panjang perusahaan yang merupakan pedoman umum organisasi. Perumusan visi dilakukan bersama-sama sehingga menjadi shared vision. Tugas
pemimpin
adalah
mentransformasikan
visi
menjadi
kenyataan. Dalam hal ini pemimpin sejati bertindak berbeda dan tidak tanggung-tanggung. Ia bukan sekedar memiliki visi, dan menjadikannya sebagai tujuan pribadi, tetapi juga sebagai jalan hidup dan merupakan bagian
terpenting
dalam
kehidupannya.
Bila
anggota
organisasi
memahami visi perusahaan, mereka akan mengerti apa yang diharapkan organisasi terhadap mereka sehingga dapat melihat apa yang akan terjadi di masa depan secara alami dan rasional (Kusnoto, 2001:14). Perubahan struktur kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk mewujudkan masyarakat madani, yakni suatu masyarakat yang berbasis komunitas (community based society) yang religius, beradab, serta menghargai harkat dan martabat manusia.
42
Dalam konsep masyarakat yang berbasis komunitas dikandung pengertian bahwa pendidikan harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi arah perubahan masyarakatnya, dan tugas pendidikan adalah membantu masyarakat menuju perubahan yang diinginkan. Pada uraian berikut dikemukakan rumusan visi dan misi pendidikan di madrasah dengan mempertimbangkan berbagai hal, yaitu (1) nilai-nilai normatif, religius, filosofis yang diyakini kebenarannya; (2) lingkungan strategis; serta (3) sejumlah isu strategi bangsa. Rumusan visi dan misi berikut menjadi acuan dalam perumusan kebijakan dasar dan strategi implementasi yang dikemukakan pada bagian selanjutnya. Visi madrasah merupakan suatu pandangan atas keyakinan bersama seluruh komponen madrasah atas keadaan masa depan yang diinginkan. Visi ini diungkapkan dengan kalimat yang jelas, positif, menantang, mengundang partisipasi dan menunjukkan gambaran tentang masa yang akan datang. Keberadaan visi ini akan menjadi inspirasi dan mendorong seluruh warga madrasah untuk bekerja lebih giat. Oleh karena itu, secara fungsional, visi memiliki beberapa fungsi strategis. Pertama, visi diperlukan untuk memobilisasi komitmen, menciptakan energi for action, memberi road map untuk menuju masa depan, menimbulkan antusiasme, memusatkan perhatian dan menanamkan keepercayaan diri. Kedua,
visi
diperlukan
untuk
menunjang
proses
reengineering,
restructuring, reinverting, bencmarking. Ketiga, visi diperlukan untuk menciptakan dan mengembangkan shared mindsets atau common vision
43
yang menentukan dan menjadi landasan bagaimana seluruh individu mempersepsikan dan berinteraksi dengan stakeholders-nya (Darwis, 2006 : 15). Selanjutnya,
untuk
mengoperasionalisasikan
fungsi-fungsi
strateginya, maka visi tersebut dikembangkan ke dalam misi. Misi dapat dipahami sebagai pernyataan formal tentang tujuan utama untuk kongkritisasi visi dalam wujud tujuan dasar yang akan diwujudkan. Visi dan misi madrasah ini akan terus membayangi segenap warga madrasah : Kepala madrasah, guru, staf madrasah, para murid dan orang tua murid, dengan pertanyaan-pertanyaan : ”Mengapa kita berada di madrasah? Apa yang harus kita perbuat? bagaimana kita melaksanakannya? Bagaimana Kepala madrasah agar mengetahui dirinya sebagai kepala madrasah? Bagi kepala madrasah harus selalu ditantang dengan pertanyaan : mengapa dan untuk apa saya menjadi kepala madrasah? Apa yang harus saya kerjakan sebagai kepala madrasah? Bagaimana saya melakukan pekerjaan tersebut? Pertanyaan akan muncul bagi guru : mengapa dan untuk apa saya menjadi guru? Bagaimana saya melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertanyaanpertanyaan akan mendorong seluruh warga madrasah, sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing bekerja keras dengan berdasarkan misi guna mendekati visi madrasah. Secara makro visi pendidikan madrasah adalah terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang memiliki sikap agamis, berkemampuan ilmiah-alamiah, terampil dan profesional. Secara mikro
44
visi pendidikan madrasah adalah terwujudnya individu yang memiliki sikap agamis, berkemampuan ilmiah-diniyah, terampil dan profesional, sesuai dengan tatanan kehidupan (Depag, 2003 : 78-79). Pendidikan madrasah diharapkan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat bangsa Indonesia yang memiliki sikap agamis, berkemampuan ilmiah, amaliyah, terampil dan profesional, sehingga akan terasa sesuai dengan tatanan kehidupan. Tujuan yang demikian mulia ini, mempersyaratkan kepedulian semua pihak, dari semua keluarga, masyarakat, serta organisasi dan institusi pendidikan madrasah yang unggul. Selanjutnya untuk memberikan bobot yang relevan tentang penatanan kehidupan, maka dapat ditambahkan bahwa pendidikan madrasah semestinya berorientasi lokal agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat sekitar,
berwawasan nasional agar secara
sentripetal tetap mengarah kepada tercapainya misi nasional, serta berwawasan global agar dalam jangka panjang memiliki kemampuan untuk bersaing dengan internasional. Untuk memilih arah, seorang pemimpin harus terlebih dahulu mengembangkan citra mental mengenai kondisi yang memungkinkan dan diinginkan bagi organisasi tersebut. Citra ini, yang kami sebut visi, bisa saja samaran seperti mimpi atau jelas seperti tujuan atau pernyataan misi. Pokok yang penting di sini adalah bahwa visi menyampaikan pandangan mengenai masa depan yang realistis, kredibel, dan menarik bagi organisasi
45
tersebut. Satu kondisi yang lebih baik dilihat dari sejumlah segi yang penting, dibandingkan dengan kondisi yang ada sekarang. Visi adalah target yang pantas. Visi selalu mengacu pada suatu kondisi di masa depan, kondisi yang tidak eksis saat ini dan tidak pernah ada sebelumnya. Dengan visi, pemimpin memberikan jembatan yang sangat penting untuk menghubungkan masa sekarang dengan masa depan dari organisasi tersebut. Untuk memahami visi begitu penting bagi kesuksesan kepemimpinan, kita hanya perlu bercermin pada mengapa organisasi itu dibentuk untuk pertama kali (Warren & Burt Nanus, 2006: 95). Sebuah organisasi adalah sekelompok orang terikat di dalam perusahaan yang sama. Para individu tersebut bergabung dengan perusahaan tersebut dengan harapan akan menerima penghargaan atas partisipasi mereka. Tergantung pada organisasi dan individu yang terlibat, penghargaannya bisa sangat besar dari segi ekonomi, atau mungkin saja didominasi oleh pertimbangan psikososial-status, harga diri, kepuasan, eksistensi yang berarti. Seperti individu yang mendapatkan penghargaan dari peranannya di organisasi tersebut, organisasi juga memperoleh penghargaan karena menemukan tempat yang tepat di masyarakat luas. Penghargaan organisasi tersebut mungkin juga bisa berbau ekonomi (profit, pertumbuhan, akses ke sumberdaya) atau psikososial (gengsi, legitimasi, kekuasaan, dan pengakuan) (Warren & Burt Nanus, 2006: 95).
46
Sebagaimana disebutkan di atas, tujuan perumusan visi adalah untuk mempermudah proses komunikasi. Untuk memperoleh perumusan visi yang baik, pernyataan visi paling tidak harus menjawab pertanyaanpertanyaan penting sebagai berikut : 1) Keberhasilan yang akan dicapai. Kejelasan visi akan memadu anggota organisasi untuk mengetahui keberhasilan yang ingin dicapai di masa depan. Dengan memahami visi yang jelas, anggota organisasi dapat mengambil langkah-langkah perubahan yang diperlukan dan mempelajari cara-cara melakukan perubahan. 2) Hal yang paling menjadi fokus. Dengan memahami fokus, anggota organisasi dapat menyatukan langkah dalam memilih alternatif yang paling baik. 3) Masa depan yang diinginkan. Dengan visi, anggota organisasi dapat berperan serta untuk merealisasi keinginan menjadi kenyataan. 4) Menyerasikan organisasi dengan waktu. Visi dapat memandu penyusunan standar pelayanan pelanggan atau standar operasi produksi,
memperjelas
arah
yang
ingin
dicapai,
menumbuhkan
antusiasme, rasa bangga dan komitmen. Visi yang jelas dan mudah dipahami akan membuat orang mudah menggali kekuatan-kekuatan yang spesifik dari organisasi sehingga dapat dimanfaatkan bagi peningkatan daya saing. 5) Bersifat ambisius. Visi menunjukkan keinginan harus dicapai anggota organisasi. Visi yang telah dirumuskan dengan jelas merupakan bagian organisasi. Ia perlu dikomunikasikan ke seluruh lingkungan organisasi, sehingga setiap orang dapat memahaminya dan mampu merealisasikannya (Kusnoto, 2001:16).
47
Sebagaimana digambarkan David C. Limerick, tugas pemimpin dalam mengembangkan komitmen terhadap visi organisasi adalah “mengkomunikasikan dan mengelola medan pemahaman bersama, yang meliputi nilai-nilai dan keyakinan yang membungkus identitas, sehingga membuat visi dapat dipercaya dan diyakini”. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mengartikulasikan visi keunggulan yang jelas oleh pemimpin. Seorang pemimpin harus menerjemahkan isi visinya ke dalam pesan yang jelas. Dalam merumuskannya, pemimpin mendefinisikan identitas masa depan organisasi dan filosofi yang merupakan landasan dimana nilai-nilai dan keyakinan membentuk identitas organisasi. Menerjemahkan visi secara sederhana dengan kata-kata yang ringkas, dan pernyataan yang memiliki fokus tertentu, merupakan hal yang sangat menantang. Adapun mengenai adanya kebutuhan perubahan visi biasanya kurang diminati para pegawai karena mereka tidak memahami alasan mengapa visi harus diubah dan dikembangkan. Suatu visi mengenai peningkatan kualitas berarti perubahan, dan resistensi terhadap perubahan hanya dapat diatasi dengan cara-cara yang meyakinkan. Oleh karenanya perubahan perlu dikaitkan dengan kebutuhan pegawai. Dasar untuk merubah visi adalah perubahan lingkungan sekitar yang menuntut organisasi melakukan perubahan guna meningkatkan kemampuan daya saing. Adanya kebutuhan akan visi baru tersebut, dalam
48
prakteknya sering kali disebabkan ada pemimpin yang belum terbiasa dengan keterlibatan pegawai untuk memasuki hal-hal yang tadinya dianggap tabu, seperti urun rembug mengenai strategi dan informasi yang dibutuhkan dalam operasi. Pemimpin harus menyadari bahwa tidak ada jalan lain bagi organisasi kecuali melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan strategis yang dibutuhkan bagi pertumbuhan organisasi di masa depan, serta mengetahui kebutuhan-kebutuhannya yang relevan. Oleh karenanya, manajer harus bersikap terbuka dan siap menerima informasi dari pegawai baik mengenai keuntungan perusahaan, strategi, rencana produksi
baru,
maupun
perubahan
sistem
imbalan
yang
akan
mempengaruhi kehidupan pribadi mereka. Pemahaman visi bagi setiap pegawai sangat bergantung pada keyakinan mereka akan kebenaran visi. Kebenaran tersebut terutama dikaitkan dengan manfaat bagi kehidupan mereka di masa datang. Untuk itu, rumusan atau pernyataan visi harus memuat aspek benefit bagi mereka. Pemimpin harus mengkomunikasikan arah organisasi yang berubah dengan cara-cara yang menghubungkan tujuan masa depan organisasi dengan masa depan individu. Untuk
merangsang
hubungan
tersebut,
pemimpin
harus
menemukan aspirasi, tujuan-tujuan, kebutuhan-kebutuhan, atau mimpi memiliki gambaran umum guna mendeteksi ikatan organisasi yang akan dibangun. Jika seorang individu merasakan adanya kebenaran dalam visi,
49
maka visi pemimpin akan berubah menjadi visi bersama (Kusnoto, 2001 : 17). Selanjutnya akan mendorong pegawai untuk menerima tanggung jawab terhadap visi yang telah berubah menjadi visi pribadi pegawai. Berbagai cara dapat dilaksanakan untuk merumuskan visi perusahaan. Namun, yang terbaik adalah melalui proses komunikasi dua arah. Rumusan visi dibuat mengkomunikasikan cita-cita yang ingin dicapai perusahaan di masa depan. Dengan demikian, proses sosialisasi visi harus selalu dilakukan pada setiap jenjang organisasi.
2. Misi Pendidikan Madrasah Misi adalah serangkaian langkah yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran jangka pendek organisasi/ lembaga. Rumusan misi biasanya disusun untuk jangka waktu satu sampai dengan lima tahun. Pernyataan misi merupakan pernyataan sasaran secara tertulis, yang disusun untuk mengilhami pegawai agar mampu komitmen terhadap organisasi/ lembaga. Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengandung alasan mengapa organisasi/ lembaga ada, seperti ; apa yang (akan) kita lakukan?, untuk siapa kita melakukannya?, dan mengapa kita melakukannya?. Pernyataan misi mempunyai beberapa fungsi, yaitu menetapkan sasaran organisasi dan, mengkoordinasikan tindakan dan usaha. Dengan merumuskan misi, pegawai akan mempunyai pengertian yang lebih jelas mengenai visi yang ingin dicapai. Pegawai juga akan lebih mudah
50
dikoordinasikan karena memiliki persepsi yang sama mengenai tugastugas yang harus dikerjakan. Untuk membangkitkan motivasi, pernyataan misi perlu dirumuskan dengan bahasa yang dapat menimbulkan gairah kerja sehingga menimbulkan ilham bagi pegawai serta meningkatkan komitmen terhadap pekerjaan. Penyataan misi sangat penting bagi sebuah organisasi yang sasarannya mengalami perubahan. Untuk
itu,
pertama-tama
yang
dirumuskan
memberikan
keleluasaan agar pegawai dapat menyalurkan kreativitas mereka. Kedua, agar pernyataan misi mendorong kreativitas, ia harus berfungsi sebagai katalisator yang dapat memusatkan dan menggiatkan tindakan pegawai. Demikian pula, pernyataan tersebut harus menyentuh perasaan terdalam para pegawai agar dapat merangsang mereka untuk menyumbangkan waktu, upaya dan kemampuannya secara kreatif. Misi dan sistem nilai organisasi adalah pondasi dalam menghadapi perubahan sehingga ketegangan organisasi dapat dihindari. Misi menjaga agar tetap fokus pada hal-hal yang benar. Nilai-nilai merumuskan budaya yang jelas yang membantu untuk menarik orang yang tepat dan menuntun mereka dalam perilaku sehari-hari dalam pekerjaan. Organisasi masa depan membutuhkan orang yang tidak hanya terampil, tapi juga membutuhkan profil dari "jenis" individu yang kira-kira bakal sukses dalam budaya (Martin E. Hanna & Bill Hawkins, 2001:206). Visi dan misi makro dan mikro pendidikan madrasah, selanjutnya dapat dijabarkan dan disederhanakan menjadi tiga butir rumusan visi,
51
sekaligus sebagai profil lulusan madrasah yang diharapkan, yaitu : Menciptakan calon agamawan yang berilmu; Menciptakan calon ilmuan yang beragama; Menciptakan calon tenaga terampil profesional dan agamis. Dengan misi kelembagaan sebagaimana tersebut diatas, maka menuntut akan adanya pemantapan mekanisme sistem pendidikan madrasah. Mengingat luasnya cakupan perbaikan sistem pendidikan madrasah, maka target pencapaian ketiga misi diatas dibedakan kedalam 3 (3) rentang waktu, yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pada jangka pendek, prioritas pertamanya adalah melanjutkan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Selanjutnya, peningkatan kemampuan kelembagaan dan peningkatan kemampuan penguasaan iptek merupakan prioritas kedua dan ketiga dalam misi jangka pendek. Penekanan
pada
jangka
menengah
adalah
memantapkan,
mengembangkan, dan melembagakan secara berkelanjutan dari apa yang telah dirintis pada jangka pendek, baik berupa masyarakat dan sistem pendidikan yang lebih berdaya, perbaikan aspek kelembagaan dan manajerial, maupun perbaikan substansi yang terkandung dalam sistem pendidikan di madrasah. Penekanan jangka penjang, adalah pembudayaan bagi terbentuknya nilai-nilai baru, dalam keseimbangan yang baru, dan dalam konteks
52
struktur masyarakat bangsa Indonesia yang baru. Perubahan tatanan budaya
dalam
kehidupan
membentuk
waktu,
oleh
karena
itu,
pembudayaan sebagai hasil pemberdayaan sistem pendidikan di madrasah dituangkan dalam jangka panjang. Pembudayaan mengimplikasikan bahwa yang terjadi bukan hanya konvervasi budaya, melainkan sebuah proses yang
bersifat
aktif-kreatif
dan
berkelanjutan,
selaras
dengan
perkembangan tatanan kehidupan. Di sini, yang dimaksud nilai-nilai organisasi adalah dimensi kritis dari efektivitas kepemimpinan karena merupakan dasar untuk meyakinkan pegawai/ personalia dalam mengarahkan perilaku anggota organisasi. Dengan demikian, pengembangan organisasi dipengaruhi oleh komitmen akan nilai-nilai yang melatar belakanginya. Sedangkan pemimpin merupakan orang yang paling ahli dalam mempromosikan dan melindungi nilai-nilai tersebut. Pemimpin yang berhasil adalah mereka yang mampu mempersonifikasikan nilai-nilai yang dianutnya serta menghidupkan nilainilai tersebut dalam organisasinya (Kusnoto, 2001 : 39-40). Nilai-nilai organisasi dapat diperankan sebagai kualitas operasional yang digunakan oleh organisasi-organisasi untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja. Tiap organisasi yang sukses mencerminkan banyak nilai, seperti pelayanan konsumen, kualitas, hormat kepada orang lain, dan keamanan. Diangkatnya salah satu nilai tersebut akan membuka kesempatan luas bagi organisasi untuk mengembangkan dirinya. Untuk menjadi organisasi masa depan, nilai-nilai yang berorientasi pada masa
53
depan harus dianut atau diperbaharui. Contoh dari nilai-nilai organisasi, diantaranya; pemberdayaan, kecepatan, dan kreativitas. Dalam konteks Islam mengenai perlunya ada pemimpin ditandaskan Rasulullah SAW:
(اذاج وا اه )روا ا دوود Artinya : “Apabila berangkat tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang diantaranya menjadi pemimpin” (HR. Abu Dawud).