MODUL 11 : KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT PESISIR 11.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan sumberdaya potensial di Indonesia. Kawasan ini adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai Indonesia mencapai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar. Potensi itu merupakan sumberdaya hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi non-hayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih miskin dan atau prasejahtera. Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based Management (CBM) menurut Nikijuluw (2002), merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Pengetahuan masyarakat tersebut juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Mubyarto, dkk. (1983), memberikan definisi strategi yang berpusat pada manusia sebagai : “Suatu strategi untuk mencapai tujuan pembangunan, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut”.
Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini,
masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.
335
Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat adalah
pendekatan
masyarakat setempat
pengelolaan
yang
melibatkan
kerja
sama
antara
dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana
masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pengawasannya. Pemikiran ini didukung oleh tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain adalah: 1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. 2. Pengembangan
program
dan
kegiatan
yang
mengarah
kepada
peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan. 3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pesisir dalam pelestarian lingkungan. 4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan. Dari beberapa tujuan tersebut diatas maka pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan adalah salah satu dasar yang menjadi pertimbangan utama di dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Pemanfaatan secara berkelanjutan hanya akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara bertanggung jawab (FAO, 1995). Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya manusia, alam, buatan dan sosial. Sementara itu, pengembangan dan pengelolaan daerah pesisir di Indonesia bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah pusat tetapi kewenangan tersebut telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan kewenangan pada daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 1/3 nya untuk kabupaten (UU No. 22 tahun 1999). Pengembangan wilayah pesisir dan kelautan, sebagai salah satu sektor strategis dalam pembangunan ekonomi saat ini, merupakan sektor yang masih perlu dioptimalkan mengingat potensi kelautan yang ada belum dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi kemiskinan di kalangan sebagian besar masyarakat pesisir (nelayan)
336
tersebut tidak terlepas dari serangkaian kebijakan pembangunan yang selama ini masih : (a) ketimbang
lebih banyak menempatkan masyarakat sebagai obyek sebagai
subyek
pembangunan,
(b)
lebih
memprioritaskan
pertumbuhan industri ketimbang sektor pertanian dan kelautan, (c) serta kebijakan pembangunan yang kurang mengacu pada karakteristik masingmasing kondisi lokal di daerah, dan (d) profesi nelayan masih dipandang sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan tingkat keterampilan (skill) yang tinggi dan (e) masyarakat
dari sudut pandang ekonomis, sering kali komunitas nelayan/
pesisir
diposisikan
sebagai
kelompok
marginal
yang
dipersepsikan sedikit sekali memiliki potensi untuk dikembangkan. Hal ini berakibat pada lambatnya proses intervensi teknologi, penguatan kapasitas masyarakat
dan inovasi di kalangan nelayan. Sebagai contoh kasus
pembangunan pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan Bali yang menggusur perkampungan nelayan tanpa adanya good will untuk mensinergikan kedua komunitas yang ada yakni nelayan dan pariwisata. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang berkaitan dengan otonomi daerah, menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja sekaligus meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu faktor penting dan esensial dari UU tersebut adalah semakin didorongnya peranan masyarakat di daerah untuk secara bersama-sama merencanakan dan melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan. Pengentasan kemiskinan diwujudkan dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat, yakni kegiatan yang diarahkan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri dalam memperbaiki kondisi materiil dan non materiil dari kehidupannya sendiri. Keperluan atas adanya pesisir
program pemberdayaan masyarakat nelayan/
ini mengingat sampai saat ini sebagian besar masyarakat pesisir di
Indonesia masih berpenghasilan rendah. Program pemberdayaan ini sekaligus juga ditujukan untuk pengentasan kemiskinan melalui program pembangunan berkelanjutan. Bertolak dari kesemuanya itu, maka diperlukan adanya suatu
337
upaya yang komprehensif terhadap program pemberdayaan masyarakat, khususnya nelayan mjskin di Lumajang. Dari beberapa hasil penelitian, kondisi wilayah pesisir Indonesia tergolong padat penduduknya dengan tingkat kesejahteraan, baik secara ekonomi, sosial dan budaya tergolong masih rendah. Namun jika dilihat dari segi potensi sumberdaya pesisirnya, khusunya di desa Worgalih, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, sebenarnya menyimpan potensi yang cukup tinggi, khususnya pasir besi, sebagai pendukung industri b aja dan semen. Hanya saja “keikutsertaan” pemerintah maupun korporasi dalam bentuk penyediaan fasititas serta sarana dan prasarana dirasakan relatif masih kurang. Disamping itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi modern dan ramah lingkungan serta upaya kreatif untuk peningkatan pendapatan khususnya dalam musim paceklik, dimana hasil melaut sangat terbatas. Pada musim paceklik, berdasarkan fenomena yang berkembang, sebagian istri nelayan/ masyarakat pesisir dengan terpaksa menjual segala barang rumahtangga yang dianggap berharga atau menggadaikannya ke lembagalembaga pegadaian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada saat demikian, mereka berharap keberpihakan atau perhatian pemerintah maupun korporasi untuk ikut serta meringankan beban kehidupan yang menekan ini. Sementara itu, para penguasa
di daerah sering menyalahkan nelayan/
masyarakat pesisir tersebut karena dianggap boros membelanjakan uang ketika musim ikan dan tidak ekonomis sehingga kualitas kesejahteraan hidup mereka sulit meningkat. Mereka juga mengatakan bahwa tanggung jawab mengatasi kehidupan yang sulit tersebut sepenuhnya menjadi urusan nelayan. Penyikapan demikian tidak akan pernah bisa megurangi persoalan kesulitan hidup nelayan yang masih diterpa kemiskinan tersebut (Kusnadi, 2003).
338
13.1.1 Masalah Kemiskinan Dari uraian diatas, masalah kemiskinan masih merupakan masalah utama dalam pembangunan wilayah pesisir dan nelayan kecil. Masalah tersebut bersifat multi dimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan antar golongan penduduk. Penduduk miskin adalah yang paling rendah kemampuannya.
Pada
saat ini mereka
terpusat di kantong
kerniskinan, seperti di desa pesisir dan kepulauan atau daerah pasang surut. Dari sejumlah studi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan termiskin di pedesaan masih cukup besar. World Bank (2002) melaporkan bahwa, akibat kerentanan ekonomi rumahtangga penduduk miskin terhadap setiap perubahan lingkungan sosial-ekonomi-politik, jumlah penduduk miskin secara dinamis dapat berubah dari 27,0% penduduk dapat menjadi 50,0 %. Sekalipun program pengentasan kemiskinan telah menunjukkan perbaikan kondisi kesejahteraan masyarakat miskin, namun kemiskinan masih menjadi bagian dari komunitas, struktur dan kultur pedesaan pesisir. Dengan adanya kemajuan program pembangunan, diperkirakan masih separuh dari jumlah itu benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolute poor). Kondisi mereka sungguh memprihatinkan, antara lain ditandai oleh tingkat pendidikan yang rendah, bahkan sebagian besar buta huruf dan rentan terhadap penyakit. Jumlah penghasilan dari kelompok ini hanya cukup untuk makan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila perkembangan
pengetahuan mereka
berjalan sangat lambat. Kelambanan itu terasa ketika dalam kehidupan mereka diintroduksi teknologi baru yang berbeda dari yang sudah ada. Mereka cenderung memberi respon dengan tingkat penerimaan sangat lambat. Pemerintah
maupun
korporasi,
khususnya
PT.
ANTAM
RESOURCINDO telah berkomitmen mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi untuk mengurangi kemiskinan melalui dukungan program Corporate Social Responsibility (CSR) Dengan adanya kesepakatan politik untuk pelaksanaan otonomi daerah, maka kita semakin memerlukan
339
peningkatan sikap keprihatinan bersama antara pemerintah Daerah dan Korporasi dalam mengurangi kemiskinan tersebut Pemerintah Daerah dalam menghadapi tantangan pengurangan kemiskinan saat ini masih berdasarkan kerangka kebijakan yang berorientasi pada pendekatan top-down. Pada waktu yang akan datang diperlukan kebijakan yang dibangun atas dasar kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan Korporasi yang berbasis kearifan masyarakat lokal di wilayah otonomi daerah secara luas (Muhammad, dkk, 2009). Berdasarkan hal diatas, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin perlu diarahkan untuk merubah strategi penanggulangan penduduk miskin agar semakin menjadi lebih baik berdasarkan
kebutuhan dan
harapan penduduk miskin itu sendiri pada tingkat lokal. Perencanaan dan implementasi
pemberdayaan
sudah
seharusnya
berisi
usaha
untuk
penguatan usaha ekonomi produktif mereka berdasarkan “pandangan dan kebutuhan mereka”, sumber-sumber
sehingga penduduk miskin mempunyai akses pada
sosial-ekonomi
dan
politik
secara
mandiri.
Untuk
meningkatkan kemampuan penduduk miskin, sekurang-kurangnya harus ada perbaikan aksesabilitas sosial-ekonomi dan budaya
terhadap empat hal,
yaitu : (1) akses terhadap sumberdaya alam, (2) akses terhadap teknologi yang lebih efisien, (3) akses terhadap pasar dan (4) akses terhadap sumber pembiayaan (Sumodiningrat, 1998). Akses masyarakat pesisir pada sumber-sumber ekonomi sampai kini, khususnya penduduk miskin di desa pantai masih memprihatinkan (Word Bank, 2002). Dengan demikian, usaha memberdayakan masyarakat desa pantai (pesisir) serta upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan di pedesaan pantai masih harus menjadi agenda penting dalam kegiatan pembangunan. Dengan perkataan lain, pembangunan masyarakat pesisir miskin di pedesaan pantai masih sangat relevan untuk ditempatkan sebagai prioritas pembangunan, pemberdayaan
mencakup implementasi program peningkatan
masyarakat (community development) dan tidak hanya
340
melalui distribusi berupa bantuan sosial langsung tunai (BLT) uang dan jasa untuk menenuhi kebutuhan dasar sehari-hari mereka. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pesisir miskin di desa pantai adalah merupakan rangkaian upaya dengan jangkauan kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam akses dan kebutuhan pokok pangan, pendidikan, perumahan dan kesehatan, termasuk pemenuhan kebutuhan untuk berpartisipasi dalam pengurangan kemiskinan mereka, sehingga segenap anggota masyarakat miskin di pedesaan pantai dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari belenggu struktur sosial budaya dan ekonomi yang membuat mereka miskin
(Wahyono, at al.,
2001). Hendaknya kita sadari, bahwa kemiskinan yang mereka hadapi bersifat multi demensi dan multi level faktor sosial, ekonomi, kebijakan dan budaya. Mereka
memiliki potensi
pentagon aset, yaitu aset sosial, SDM, finansial,
sumberdaya alam dan aset fisik, walaupun aset tersebut masih terbatas (DFID, 2000). Mereka menjadi
miskin karena pemilikan aset yang rendah, sehingga
tingkat pendapatannya rendah yang diakibatkan oleh rendahnya akses mereka terhagap
potensi
ekonomi
lokal.
Tingkat
pendapatan
rendah
karena
keterampilannya (aset SDM) yang rendah dan skala usaha mereka kecil. Mengingat keterampilan yang rendah, maka akses terhadap pekerjaan yang ada di sekitarnya juga rendah. Sekalipun mereka memiliki usaha secara mandiri, tapi dengan skala usaha kecil. Dengan peralatan sederhana (aset fisik) yang mereka miliki mereka bekerja bersama anak atau keluarga mereka. Sumber penghasilan rumahtangga mereka bukan saja dari kerja keras suaminya, tapi juga kerja keras isteri dan anak-anak mereka. Begitu selanjutnya, nelayan miskin berada dalam lingkaran syetan kemiskinan. Skala usaha masyarakat pesisir miskin adalah kecil, karena akses modal rendah. Mereka harus dilepaskan dari belenggu lingkaran
kemiskinan ini.
Menghadapi kenyataan kehidupan yang demikian maka ada dua fenomena yang dilakukan rumahtangga nelayan miskin, yaitu :
(a) menyesuaikan diri dengan
341
perkembangan lingkungan, dan (b) melakukan perlawanan dengan kekerasan. Pilihan pertama mungkin dilakukan dengan merespon secara terbatas terhadap perubahan sosial ekonomi yang terjadi disekitarnya. Menurut Betke (1987) dari hasil penelitiannya di desa Lekok, Jawa Timur ditemukan bahwa nelayan kecil / masyarakat pesisir pada dasarnya
memberikan respon secara positif untuk
mengakses pengenalan teknologi perikanan sekalipun sangat lambat. Adapun penyesuaian diri masyarakat pesisir miskin terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi sekitarnya dalam bentuk “perlawanan” , yaitu dengan melakukan kegiatan melaut menggunakan bahan kimia atau peledak yang akibatnya sangat buruk dan merusak. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia (potasium) dan peledak jelas merupakan jalan pintas dari reaksi ketidakberdayaan nelayan miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hidupnya (Wahyono, at al., 2001). Dengan demikian program pengurangan kemiskinan bersifat multi dimensi, multi tingkat dari berbagai aspek. Hasil penelitian selama tiga tahun 2006 – 2008 disimpulkan pendekatan pemberdayaan memerlukan
tujuh aspek aksesabilitas
(heptagon access) untuk mengurangi penduduk miskin di pedesaan pantai, yaitu : akses dalam (a) peningkatan mutu SDM melalui pendidik, pelayanan fisik lingkungan, (c) penguatan jaringan
(b) perbaikan
sosial-budaya, (d)
keberpihakan politik kebijakan PEMDA, (e) perluasan pasar, (f) perbaikan kondisi sumberdaya alam yang ada di lingkungannya dan (g) akses pelayanan permodalan. Oleh karenanya
program untuk mengurangi jumlah dan
pemberdayaan penduduk miskin di pesisir harus didekati secara multi-dimensi dan multi tingkat (Mukherjee, Hardjono and Carriere, World Bank, 2002).
342
13.1.2
Implimentasi Perencanaan Pemberdayaan
Rendahnya akses masyarakat pesisir
dan
Pelaksanaan
miskin terhadap sumber-sumber
potensi pembangunan lebih diperparah, karena selama ini para perencana pembangunan sering bias dalam memandang masyarakat nelayan/ pesisir Nelayan / masyarakat pesisir cenderung diperlakukan sama dengan petani. Dalam arti luas, perikanan memang dapat dipandang sebagai bagian dari kegiatan pertanian. Namun jika kita lihat dari sifat sumberdayanya maupun sistem mata pencaharian dan pemilikan lahan, ada perbedaan sangat mendasar antara nelayan dan petani. Dalam hal pemanfaatan lahan, para petani mengenal batasbatas pemilikan lahan secara jelas, sedangkan pada usaha perikanan, para nelayan menghadapi kenyataan dimana laut adalah milik umum (common property), sehingga siapa saja yang menguasai dan memiliki modal dan teknologi yang paling efisien adalah mereka yang mampu meningkatkan hasil tangkapan. Para nelayan melakukan eksploitasi sumberdaya secara bebas-masuk (open access) tanpa ada batas-batas wilayah yang jelas seperti halnya dalam pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam kegiatan perikanan, pemanfaatan sumberdaya lebih ditentukan oleh pemilikan modal dan penguasaan teknologi. Kesalahan yang juga sering terjadi dalam pemberdayaan masyarakat, para perencana pembardayaan sering kurang memperhitungkan kondisi lokal sasaran
program.
Program
pemberdayaan
masyarakat
yang
tidak
memperhatikan keunikan pola hubungan kerja dan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat
kelompok sasaran akan selalu menemui kegagalan. Oleh
karena itu asumsi dasar yang melandasi kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan / pesisir selama ini perlu ditinjau kembali. Satu hal yang perlu dilakukan adalah perlunya identifikasi respon nelayan terhadap perubahan lingkungan dan kelembagaan permodalan di tingkat lokal. Dengan demikian, sasaran penelitian ini adalah merupakan pendalaman hasil penelitian tahun 2006 – 2008 dan penelitian Strategis Nasional tahun 2009 yang menyimpulkan Model Kemitraan
343
Sosial sebagai pendekatan pemberdayaan yang direkomendasikan. Dengan demikian Rencana pemberdayaan masyarakat (RPM) ini akan difokuskan untuk memahami dan merumuskan pola dan arah
pemberdayaan rumahtangga
masyarakat pesisir/ nelayan miskin serta peran kelembagaan lokal dalam mendampingi rumahtangga nelayan melalui pendekatan Kemitraan Sosial dalam penguatan
usaha, ketahanan pangan rumahtangga,
permodalan dan
pemasaran berwawasan gender di tingkat lokal agar pendekatan peningkatan kesejahteraan ekonomi rumahtangga nelayan dapat dilakukan lebih cocok dengan kebutuhan hidup dan budaya masyarakat nelayan tersebut. Untuk melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat memerlukan
kepedulian dan komitmen korporasi/
sebenarnya
perusahaan terhadap
pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga akan terwujud keseimbangan yang harmonis saling menguntungkan kedua belah pihak. perusahaan tertuang
PT. ANTAM RESOURCINDO
dalam
Dokumen
Rencana
Oleh karenanya
menyatakan kesanggupannya
Pemberdayaan
Masyarakat
atau
melaksanakan program corporate social responsibility (CSR) Berdasarkan UUD 1945
wadah yang tepat untuk melaksanakan
pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah dengan membangun sistem ekonomi kerakyatan melalui wadah Koperasi. Dengan berkehidupan ekonomi koperasi berarti pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat diwujudkan secara tepat guna dan berdaya guna sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota. Untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada, Indonesia sangat membutuhkan investor yang memiliki teknologi tinggi, modal yang kuat, untuk kepentingannya membuat infra struktur sendiri. Oleh karena itu diperlukan program pemberdayaan korporasi
terhadap
pemberdayaan
lingkungan
tersebut
dalam rangka penyaluran kepedulian
masyarakat
diharapkan
tumbuh
sekitarnya. hubungan
Melalui
program
harmonis antara
korporasi dan masyarakat, disamping sebagai wujud kepedulian korporasi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat miskin di sekitarnya.
344
13.2 Tahap-Tahap Pemberdayaan 13.2.1. Konsep Pemberdayaan Konsep "empowerment" (pemberdayaan), yang dibidani oleh Friedmann (1992), muncul karena adanya dua premis mayor, yakni kegagalan dan harapan. Kegagalan yang dimaksud, adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif-alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Kegagalan dan harapan, menurut Friedmann (1992) bukanlah merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu sosial, melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normatif dan moral. Kegagalan dan harapan, akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Dengan demikian, "pemberdayaan masyarakat", pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan individual. Konsep "empowerment", sebagai suatu konsep alternatif pembangunan, pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung, partisipatif, demokratis, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung (Friedmann, 1992). Sebagai titik fokusnya adalah lokalitas, sebab "civil society" menurut Friedmann (1992) akan merasa siap diberdayakan lewat issue-issue lokal. Namun Friedmann mengingatkan, bahwa adalah sangat tidak realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur di luar "civil society" diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas sosial-ekonomi saja namun juga secara “politis”, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar baik secara regional maupun nasional. Konsep "empowerment", menurut Friedmann (1992) merupakan hasil kerja dari proses interaktif baik ditingkat ideologis maupun praksis. Ditingkat
345
ideologis, konsep "empowerment" merupakan hasil interaksi antara konsep "topdown dan bottom-up", antara "growth strategy dan people-centered strategy". Sedangkan di tingkat praksis, interaktif akan terjadi lewat pertarungan antar rumahtangga-masyarakat yang otonom. Beberapa pertanyaan kunci berikut dari Friedman (1982:167-171) akan lebih memperjelas konsep "empowerment"/ atau pemberdayaan yang dikenalkannya, sebagai berikut : (1) Apa pinsip yang digunakan oleh pemerintah dalam
pemberdayaan
kelembagaan masyarakat ?. (2) Apakah pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap individu agar mampu bersaing atau pendekatan rumahtangga agar dapat mengakses potensi sosial di lingkungannya ?. (3) Apakah
ada
insentif
yang
dapat
diperoleh
masyarakat
untuk
mengorganisasikan lingkungannya untuk melakukan prakarsa perbaikan diri dan rumahtangganya oleh mereka sendiri ? (4) Apa saja yang mendorong peran masyarakat, pemerintah dan LSM dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk berkembang secara mandiri ? (5) Bagaimana penguatan masyarakat berbasis kondisi masyarakat lokal dapat dilakukan ? (6) Bagaimana upaya untuk mendukung penghidupan rumahtangga yang tidak berdaya dapat diorganisasikan? (7) Bagaimana
model
perencanaan
yang
cocok
dengan
kondisi
rumahtangga dan masyarakat agar mampu memberdayakan dirinya sendiri ? (8) Apa kendala dalam struktur dan kebijakan yang harus diatasi untuk menjadikan pengembangan masyarakat berlangsung sebagai jalan yang dapat dipilih secara berkelanjutan ?.
346
13.2.2 Tahapan Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat pesisir/ nelayan kecil (miskin) pada dasarnya identik dengan tahap-tahap pemberdayaan secara umum yang terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu pemberdayaan individu/ rumahtangga, pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok, dan pemberdayaan politik. Upaya pemberdayaan dimulai dengan pemberdayaan individu (rumahtangga) keluarga yang dilanjutkan dengan pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok dan politik. Pentahapan pemberdayaan ini dilakukan secara tumpang tindih, artinya dimulainya tahap pemberdayaan tidak perlu menunggu selesainya proses pemberdayaan tahap yang mendahuluinya. Secara rinci tahap-tahap pemberdayaan diuraikan sebagai berikut.
(a) Pemberdayaan Individu (Houshold Model) Pemberdayaan individu yang dimaksud disini adalah pemberdayaan keluarga (rumahtangga) dan setiap anggota keluarga. Asumsi yang dibangun adalah, apabila setiap anggota keluarga dibangkitkan keberdayaannya maka unit-unit keluarga berdaya ini akan membangun suatu jaringan keberdayaan yang lebih luas lagi. Jaringan yang lebih luas ini kemudian akan membentuk apa yang dinamakan sebagai keberdayaan sosial. Keluarga (rumahtangga), di dalam konsep pemberdayaan ini didudukkan sebagai produser sekaligus konsumer. Pemberdayaan individu dan keluarga, pada hakekatnya adalah upaya menciptakan suatu lingkungan yang mampu membangkitkan keyakinan diri, memberikan peluang dan motivasi agar setiap individu dalam rumahtangga mampu meningkatkan kemampuan dirinya meraih atau mengakses sumbersumber daya sosial dan ekonomi bagi pengembangan dan kemajuan kehidupannya.
Adapun
beberapa langkah
yang
dapat
dilakukan
untuk
membangun keberdayaan individu adalah sebagai berikut 1. Pemberdayaan waktu, yang diartikan sebagai usaha mengurangi pemborosan waktu yang dihabiskan oleh individu untuk memenuhi
347
kebutuhan dasarnya (pangan, pendidikan, perumahan, air bersih, kesehatan dan transport). Penyediaan fasilitas air bersih dan transportasi yang baik, akan sangat membantu individu-individu untuk memanfaatkan waktunya bagi kegiatan-kegiatan ekonomi produktif. Juga informasi dan pelayanan kesehatan harus tertuju langsung pada jarak yang relatif dekat terhadap setiap individu; 2. Pemberdayaan psikologis, yang berarti pembangunan keyakinan diri bahwa para individu berkemampuan
untuk menularkan atau menarik
individu-individu lain yang belum beruntung untuk bergabung ke dalam kegiatan usahanya; 3. Pemberdayaan usaha ekonomi, melalui suatu proses yang mengarah pada terbentuknya jaringan usaha antar anggota keluarga, antar tetangga, antar kelompok masyarakat, kemudian mengkait memasuki ekonomi pasar (baik formal maupun informal). Pemberdayaan ini juga mengarah pada terbangunnya keberlanjutan usaha ekonomi antar generasi (intergenerational continuity).
(b)
Pemberdayaan Ikatan Antar Individu/Kelompok (Spiral Model) : Penguatan Permodalan dan Pemasaran
Pada hakekatnya individu dengan individu lainnya diikat oleh suatu ikatan yang disebut keluarga. Demikian pula antar keluarga (rumahtangga) satu dengan keluarga (rumahtangga) yang lain diikat oleh suatu ikatan kebertetanggaan. Begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada tingkatan yang pertama, hubungan yang terjadi dapat disebabkan oleh adanya saling percaya satu terhadap lainnya, keyakinan keagamaan, kesamaan keturunan, kesamaan nasib, dan atau kedekatan bertetangga. Pada tingkatan yang lebih tinggi, hubungan ini dapat terwujud di dalam suatu gerakan masyarakat, organisasi politik, dan sebagainya. Tantangan utama di dalam pemberdayaan ikatan ini adalah bagaimana memberdayakan sumberdaya : (1) waktu, (2) ketrampilan dan (3) modal yang
348
dimiliki oleh keluarga-keluarga nelayan di daerah pesisir ke dalam domaindomain (a) ekonomi, (b) politik, dan (c) sosio-kultural. Penguatan hubungan ikatan ini berlangsung secara bertahap mengikuti suatu lintasan spiral mulai dari penguatan individu, antar kelompok, terus naik ke atas menuju pada domain sosial-politik yang lebih luas lagi, sampai pada domain ekonomi meso dan makro. Dalam kaitan ini, konsep keterkaitan (linkage) menjadi sangat penting, sehingga diperlukan adanya aktor (organizer) yang dapat dan mampu memainkan atau menggerakkan spiral ini dari bawah (tingkat individu) sampai pada tingkat ekonomi meso dan makro secara institusional. Sangat
disadari,
bahwa
pemberdayaan, lintasan spiral
di
dalam
perjalanannya
institusional
dalam
praktek
ini akan banyak menghadapi
paradoks dan dialektika antara : (1) syarat-syarat ekonomi rasional melawan nilai-nilai sosio-kultural (moral), (2) ekonomi formal melawan ekonomi informal, (3) akumulasi kapital melawan ekonomi subsistensi, (4) ruang kehidupan biologisosial melawan ruang kegiatan ekonomi. Adapun beberapa langkah
untuk
membangun keberdayaan institusi adalah sebagai berikut : 1. Memperkuat ikatan antar individu, antar keluarga yang bertetangga dekat, dan antar kelompok keluarga, melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural yang hidup di dalam masyarakat. 2. Penguatan ikatan melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara kegiatan
usaha
ekonomi
dan
nilai-nilai
sosio-kultural
masyarakat
dimaksudkan agar kegiatan usaha ekonomi yang dikembangkan dapat berlanjut
antar
keturunan
atau
antar
generasi
(inter-generational
continuity); 3. Pengembangan
(pengguliran)
aset
dan
kegiatan
usaha
ekonomi
memanfaatkan dan mempertimbangkan ikatan-ikatan sosio kultural yang telah ada. Pada tahap-tahap awal program, pengguliran
institusional
(kelembagaan) diberikan kepada individu atau kelompok yang memiliki
349
dasar-dasar keterkaitan sosio-kultural dalam komunitas masyarakat pesisir; 4. Pada pengembangan selanjutnya, keterkaitan antara kegiatan usaha ekonomi individu, keluarga dan atau kelompok ini dengan domain sosialekonomi pada tingkatan meso dan makro perlu dikembangkan, dalam rangka membawa lintasan spiral tersebut ke atas. Dalam tingkatan ini, selain diperlukan adanya aktor (organizer) pemimpin membawa
lintasan
spiral
ini
ke
atas,
juga
yang mampu
diperlukan
adanya
pemberdayaan politik yang menyertainya.
(c) Pemberdayaan Kelembagaan (Institution Model) Pada hakekatnya pemberdayaan politik di sini dimaksudkan sebagai lawan dari pengabaian politik (political exclusion). Pada praktek ekonomi yang terjadi saat ini telah ditemukan adanya pengabaian politik dan ekonomi (economic and political exclusion) oleh "urban-metropolitan economy" dan "multinational economy" terhadap si-miskin, termasuk nelayan miskin di wilayah pesisir. Pengabaian ekonomi dan politik nampak pada tidak dimasukkannya para pemduduk miskin di pesisir ke dalam proses dan struktur akumulasi kapital dari "multinational" maupun "national/regional corporation". Dengan demikian, konsep pemberdayaan politik yang ditawarkan disini merupakan konsep penataan terhadap fenomena-fenomena yang dilukiskan diatas. Beberapa konsep dasar untuk membangun keberdayaan politik dari para nelayan miskin di pesisir ini adalah sebagai berikut: 1. Bahwa pemberdayaan politik yang dituju di sini adalah terbentuknya kepedulian dan partisipasi serta "kesalingterkaitan" antara kekuatan negara (state power), kekuatan ekonomi (economic power) dan kekuatan sosial (social power); 2. Dalam peta "kesalingterkaitan" antara kekuatan-kekuatan tersebut dapat ditunjukkan letak inti (core) dari masing-masing kekuatan tersebut. Pada
350
negara (state), inti kekuatan terletak pada lembaga-lembaga formal kepemerintahan dan perangkat-perangkat hukum yang dimiliki yang menjangkau masyarakat sampai tingkat pedesaan. Pada kekuatan sosial (civil society), inti kekuatan terletak pada institusi keluarga melebar ke institusi sosial (keagamaan, kesenian, dan sebagainya). Pada kekuatan ekonomi, inti kekuatan terletak pada institusi-institusi yang berujud dalam korporasi dan atau kegiatan / jaringan ekonomi sampai pada tingkat lokal . 3. Jadi, pada tingkat praksis, pemberdayaan politik di sini akan mengarah pada terbangunnya "kesalingterkaitan" (linkage) antara keluarga-keluarga miskin di pesisir dengan lembaga-lembaga pemerintah dan kegiatan jaringan ekonomi baik regional maupun nasional. Secara praksis, langkah-langkah pemberdayaan politik adalah sebagai berikut : 1. Mendorong agar kelompok-kelompok individu berkembang menjadi "civil society" yang memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining position); 2. Mendudukkan lembaga-lembaga pemerintah sebagai tulang punggung (backbone) bagi terbangunnya keterkaitan antara kekuatan-kekuatan sosial masyarakat pesisir dengan jaringan ekonomi regional dan nasional dan nasional; 3. Melalui kekuatan lembaga-lembaga pemerintah, korporasi jaringan ekonomi regional dan nasional diminta untuk membuka pasarnya bagi produk-produk yang dihasilkan oleh komunitas pesisir, atau memberikan sebagian dari kegiatan produksinya kepada para keluarga miskin di daerah pesisir melalui mekanisme sub-kontrak dan bentuk kemitraan yang sesuai sosial budaya masyarakat pesisir. Dalam perspektif spasial, pembangunan masyarakat pesisir dalam kaitannya dengan konsep pemberdayaan lebih diartikan sebagai penguatan territory based identities dan kepemimpinan masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat pesisir, salah satunya adalah penguatan identitas dan kepemimpinan
yang
berbasis teritori lokal tersebut. Dan identitas ini tidak begitu saja diseragamkan
351
atas nama pembangunan. Dengan demikian proses pengembangan masyarakat pesisir, seyogyanya tidak didasari oleh rencana standar yang sama dan/atau seragam untuk seluruh wilayah, namun di dasarkan pada kondisi dan potensi sumber daya alam, SDM / pemimpin dan kegiatan usaha yang ada dan akan berkembang di tingkat lokal maupun regional.
13.3. Pendekatan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Secara umum pemberdayaan nelayan miskin/ masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan cara meningkatkan aksesibilitas mereka pada sumber-sumber kekayaan sosial, ekonomi dan budaya. Secara sosial, beban kemiskinan yang mereka hadapi akan dapat diatasi dengan cara menyediakan untuk mereka bantuan sosial. Secara ekonomi, beban meraka akan juga dapat diatasi melalui dukungan modal. Secara budaya, beban mereka akan dapat mereka atasi sendiri dengan cara membangkitkan etos kerja dan kemampuan bekerja melalui peningkatan keterampilan kerja mereka. Pendekatan sosial, ekonomi atau budaya semata untuk memberdayakan nelayan atau petani ikan hanya akan berdampak sekejap
atau
jangka
pendek.
Pemberdayaan nelayan atau petani ikan
mengandung makna penyelesaian masalah pemberdayaan dan penaggulangan kemiskinan multi dimensi sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah adalah bersifat multi dimensi dan komprehensif. (a) Penguatan Organisasi Ekonomi "Desa" adalah unit
dasar dari kehidupan pedesaan. Disini "desa"
mengandung arti sebagai "desa alamiah" atau dukuh tempat orang hidup dalarn ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi, tidak ada keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat. Komunitas desa dalam ekonomi yang sedang berkembang untuk sebagian besar memenuhi kebutuhan sendiri dan berorientasi pada kebutuhan pokok, sungguhpun hubungan pasar dengan sektor perkotaan
352
dapat juga berlangsung. Berlainan dengan ekonomi pasar di daerah perkotaan dengan
pembagian
fungsinya
yang
menyolok
antara
perusahaan
dan
rumahtangga, antara bidang produksi dan konsumsi. Produksi seorang nelayan dan petani ikan tidak dapat dipisahkan dengan konsumsi keluarganya. Komunitas desa mengatur kegiatan ekonomi nelayan dengan mengadakan koordinasi dalarn pemakaian sumberdaya yang langka melalui adat kebiasaan dan kelembagaan. Seorang nelayan
merupakan satu unit produksi yang terlalu kecil untuk dapat
berbuat banyak demi menanggulangi kepentingan bersama. Bagi komunitas desa adalah merupakan suatu keharusan
untuk
menyusun tindakan secara kolektif dan mendorong kerja sama dalarn satu komunitas. Faktor utama lain yang mendorong kerja sama antara para nelayan adalah permintaan akan pekerja yang sifatnya sangat bergantung pada musim dan produksi perikanan. Pada masa-masa puncak
musim,
jumlah pekerja yang melebihi kapasitas kerja keluarga selalu diperlukan untuk memenuhi jadwal kerja. Disamping itu, merupakan hal yang lazim, bahwa penduduk desa pantai terbagi dalam berbagai sub-klas nelayan. Hanya saja dalam komunitas pedesaan pantai, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki alat produksi merasa berhak atas pemakaian alat produksi (kapal) bukan miliknya dengan cara khas penetapan seperti sistem bagi basil. Seperti lazimnya di dalam perjanjian bagi hasil, di dalam komunitas desa ada kecenderungan yang amat kuat untuk mengaitkan berbagai transaksi ekonomi menjadi hubungan yang sangat pribadi sifatnya. Seorang pemilik
perahu
tidak
hanya
menerima
bagian
perahu
atas
hasil
tangkapannya, dia ada kewajiban menanggung biaya-biaya produksi, bahkan memberikan kredit untuk para pekerja yang selanjutnya disebut pendega memenuhi keperluan konsumsinya. Sering pula, para pemilik kapal, yang selanjutnya disebut juragan, bertindak sebagai pelindung (patron) terhadap si pendega. Hubungan semacam ini biasanya disebutkan sebagai hubungan antara bapak dan anak buah (patron-client relationship), dalarn hal ini hubungan
353
juragan dan anak buah kapal (ABK). Dalam hubungan ini, seseorang dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan bagi individu yang statusnya lebih rendah (client), dan sebaliknya para client tadi membalas dengan memberikan dukungan kepada bapak (patron) tadi. Kelembagaan yang menguasai ekonomi nelayan tersebut yang bercirikan cara-cara produksi seperti digambarkan di atas, lebih merupakan adat kebiasaan dan prinsip-pinsip moral dari pada perjanjian resmi. Prinsip moral yang tertanam adalah "saling menolong dan berbagi pendapatan di kalangan nelayan". (b) Pendekatan Ekonomi Dari Sudut Moral Adat kebiasaan dan prinsip moral dijalankan melalui interaksi sosial dalam komunitas desa. Oleh karena tradisi, kekerabatan, pertalian karena tempat tinggal yang sama dan kebutuhan untuk kerja sama demi keamanan dan daya tahan hidup pada tingkat minimal, maka suatu interaksi sosial yang akrab merupakan ciri masyarakat nelayan. Para ahli ekonomi moral mempunyai pandangan bahwa hubungan sosial pada komunitas nelayan prakapitalis disesuaikan untuk menjamin kebutuhan pokok yang minimum bagi seluruh anggota komunitas. Biasanya para nelayan dan petani ikan gurem memenuhi nafkahnya pada tingkat yang hampir mendekaii kebutuhan pokok minimum untuk hidupnya. Para nelayan gurem (pendega) selalu dihadapkan pada bahaya pendapatan mereka mungkin menurun di bawah tingkat kebutuhan pokok yang terendah yang disebabkan oleh berbagai hal yang terjadi di luar mereka, seperti cuaca atau terjadinya keadaan yang tidak diinginkan dalam keluarganya, misalnya sakit. Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), bahwa pandangan para ahli ekonomi moral tentang kecenderungan masyarakat desa pra-kapitalis mengarah menjadi dua aliran, yaitu
354
1. Aliran pertama : menduga orientasi masyarakat desa pra-kapitalis untuk membangun kontrol sosial terhadap warga yang berkecukupan supaya ikut serta
menggunakan
kekayaannya
dalam
upaya
memenuhi
kebutuhan minimum bagi orang miskin. Kontrol sosial dernikian berlangsung melalui interaksi. 2. Aliran kedua : menduga bahwa komunitas pedesaan (petani atau nelayan) prakapitalis tidak berorientasi untuk melindungi yang miskin. Aliran ini berpendapat bahwa kelembagaan tradisional desa dan hubungan bapak-anak buah tidak mempunyai motivasi maupun daya guna untuk menjamin kebutuhan pokok para anggota komunitas miskin. Mereka berpendapat, bahwa di dalam komunitas petani tradisional, motivasi orang-orang dalam komunitas itu lebih banyak terarah untuk mencapai keuntungan pribadi daripada untuk mencapai kepentingan kelompok, seperti melindungi masyarakat
miskin. Oleh
karena itu, ketika ekonomi pasar berhasil menembus ekonomi pedesaan pra-kapitalis, maka prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh masyarakat pedesaan cenderung "mengalah" atau "dikalahkan". Dengan membaurnya ekonomi pasar ini, prinsip moral untuk menjamin keperluan pokok melaui "jaringan sosial" bagi angota komunitas telah digantikan oleh pertimbangan ekonomi yang keras untuk mencari untung sebanyak-banyaknya. Hubungan tolong-menolong antara BapakAnak Buah menjadi lemah. Dengan meletakkan tekanan pada prinsip moral tradisional dan interaksi (aksesibilitas) sosial dalam komunitas desa, maka pendekatan pemberdayaan ini lebih menekankan "pendekatan ekonomi dari sudut moral dalam arti luas". Pengertian moral sosial dalam arti luas, bahwa untuk mengatasi kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat nelayan di pedesaan pantai tidak cukup hanya atas dasar "redistribusi pendapatan" melalui kebijakan anggaran publik, tapi juga penyiapan prasarana dan aksesibilitas sosial -ekonomi nelayan kecil untuk mendukung kegiatan produktif rumahtangga nelayan.
355
13.3.1. Pendekatan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Komunitas (PSBK) Proses pembangunan yang berlangsung di banyak negara berkembang selama ini diwarnai oleh mata rantai pemithosan paradigma pembangunan yang mendasarinya. Pertanyaan who gets, of what, how much menggugat
mulai
production oriented development yang berorientasi pada
paradigma pertumbuhan (Tjokrowinoto, 1996). Kemudian, pada tahun 1970-an pemithosan paradigma kearah pendekatan kesejahteraan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dan keadilan. Menurut Tjokrowinoto (1996) pendekatan tersebut masih mengandung kelemahan mendasar karena dua hal, yaitu : (a) sentralistik, dan (b) birokrasi tidak mampu memberikan pelayanan sesuai kebutuhan rakyat (baca : rakyat miskin). Pada tahun 1980-an, pendekatan welfare-oriented development atau equity – oriented development digugat. Kemudian lahir paradigma people – centred development yang kemudian melandasi wawasan Community – Based Resource Mangement (CBRM). Tjokrowinoto (1996) menterjemahkan CBRM menjadi Pengelolaan Sumber Daya Lokal (PSDL). Tim Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (1999)
menterjemahkan
CBRM dengan istilah
Pmanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas (PSBK). Ciri managemen PSBK tersebut mengacu pada pendapat Konten (Tjokrowinoto, 1996) adalah sebagai berikut : (1) Pembangunan oleh masyarakat; (2) Managemen oleh komunitas; (3) Merupakan proses belajar sosial; dan (4) Menerapkan managemen strategis . Alasan penerapan PSDL (PSBK) adalah : (1) Sumberdaya pembangunan dari Pusat tidak akan mencukupi untuk menjangkau seluruh masyarakat dalam lapisan bawah (miskin);
356
(2) Program dari Pusat sukar menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal; (3) PSDL (PSBK) lebih tanggap terhadap heterogenitas lokal; (4) PSDL memungkinkian partisipasi masyarakat secara optimal; (5) PSDL menempatkan tanggung jawab pembangunan pada masyarakat (miskin) setempat. Tindakan rasional secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan “milik bersama (common property)” bisa berdampak irrasional. Kata Hardin (1968)
dapat menimbulkan
tragedy of the common.
Pada tingkat
komunitas, masyarakat dengan kearifan lokal memungkinkan untuk membangun tindakan rasional secara sosial melalui kelembagaan kerjasama yang berbasis masyarakat. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat terjadi suatu proses pemberian wewenang, hak dan tanggung jawab masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan oleh, dari dan untuk masyarakat sendiri. Dalam hal ini, kerjasama merupakan solusi untuk menghindarkan diri masyarakat dari tragedi yang tidak diinginkan. Dengan adanya kerjasama, masyarakat dalam konsep PSBK adalah komunitas atau kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Dari sudut pandang wilayah, masyarakat disini adalah mereka yang tinggal di suatu kawasan tertentu. Kawasan yang dimaksud dapat mencakup beberapa pemukiman, desa, kecamatan, kota, kabupaten, propinsi atau negara. Misalnya, masyarakat Teluk Jakarta adalah masyarakat yang berasal dari beberapa dusun, desa, pulau, kecamatan, kabupaten/kota atau propinsi bergantung pada cakupan wilayah yang kita maksudkan. Selat Bali didiami oleh warga nelayan mencakup penduduk Propinsi Jawa Timur dan Bali. Kawasan Selat Madura mencakup kawasan nelayan dari penduduk Kabupaten/Kota yang membatasi Selat Madura, seperti Sumenep, Pamekasan, Probolinggo, Situbondo dan Banyuwanngi dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.
357
Dari sudut pandang status sosial dan pekerjaan, masyarakat yang tinggal di
kawasan
tertentu,
orang
yang
berkepentingan
dengan
pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat terdiri dari para nelayan, pedagang ikan, pembudidaya ikan/ rumput laut, pengolah ikan, pemilik kapal, tokoh adat ataupun pimpinan formal. Dengan adanya klasifikasi masyarakat yang berbeda, maka PSBK dapat dibedakan atas dasar : (1) Administrasi pemerintahan/ kawasan : PSBK dusun pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi atau kawasan Selat/ Teluk tertentu; (2) Kegiatan ekonomi masyarakat : PSBK gill-net, petani rumput laut dan lainlainnya.
13.3.2
Pendekatan Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir (LKMP)
Untuk mengembangkan entrepreneurship rumahtangga nelayan miskin memerlukan kemampuan enterpreneural skill disamping pengaturan atas dasar hak, izin atau bebas masuk. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sumberdaya laut merupakan pabrik perairan produsen primer. Ikan mengambil makanan dari perairan pesisir. Pada budidaya perairan yang berazaskan IPTEK, petani harus menggunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan penguasaan
terhadap
semua
faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi .
pertumbuhan biota ikan/ non-ikan atau tanaman laut. Nelayan yang melakukan usaha menangkap ikan di laut harus memiliki keterampilan yang lebih luas daripada pekerja pabrik, karena petani atau nelayan disamping sebagai juru tani juga sebagai pengelola bisnis. Sebagai pengelola bisnis, seorang nelayan harus "menguasai" keterampilan bisnis. Untuk mengembangkan bisnis perikanan secara berhasil, maka para nelayan memerlukan kernampuan untuk "menguasai" jalur bisnis perikanan secara utuh, yaitu :
358
(1) Penyediaan input kegiatan melakukan penangkapan ikan di laut, seperti perahu dan alat tangkap ikan. (2) Kegiatan menangkap ikan di laut. (3) Pengolahan pasca panen. (4) Pemasaran dan distribusi output ikan atau produk lainnya. Dalam aktivitas pernberdayaan nelayan skala kecil/ miskin perlu dikaji secara mendalam mutu SDM dan kemungkinan untuk dikembangkan keterampilannya, khususnya dalam kegiatan pemberdayaan sosial dan ekonomi
nelayan
kecil
dalam
menguasai
bisnis
kemampuan enterpreunur nelayan. Untuk masyarakat lokal (nelayan miskin)
terhadap
perikanan
kelengkapan
sebatas
pemahaman
keterampilan bisnis yang
diperlukan, maka dilakukan identifikasi keperluan
usaha ekonomi untuk
mengurangi kemiskinan nelayan kecil. Pembangunan usaha penangkapan ikan di laut memiliki kesamaan dengan proses pembangunan pertanian dalam arti luas. Pakar pembangunan pertanian AT. Mosher (1973) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan aksesibilitas petani, ketika usaha petani semakin berkembang maka semakin bergantung kepada sumber-sumber dari luar lingkungannya. Khususnya bisnis ikan yang cepat busuk, dimana kebutuhan pasar merupakan bagian tak terpisahkan bagi nelayan, karena sebagian besar ikan yang diproduksi dijual di pasar, dan hanya sebagian kecil saja yang dikonsumsi rumahtangga nelayan atau petani ikan. Ada lima fasilitas dan jasa (akses) yang harus tersedia bagi para petani, termasuk pembudidaya ikan maupun nelayan, jika nelayan atau petani ikan gurern hendak dimajukan. Masing-masing merupakan syarat pokok. Tanpa salah satu dari padanya, tidak akan ada pembangunan nelayan kecil. Syarat pokok yang dimaksud adalah : (1) Pasar untuk hasil tangkapan ikan;
359
(2) Teknologi ramah yang terus berubah agar penangkapan ikan bisa bekerja lebih efisien; (3) Tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal; (4) Perangsang produksi dengan harga ikan yang layak; (5) Prasarana dan pengangkutan; Apabila semuanya lengkap, selanjutnya ekonomi rumahtangga nelayan dan petani ikan akan tumbuh berkembang karena dukungan faktor pelancar. Sebagai faktor pelancar yang dapat mempercepat proses pertumbuhan ekonomi nelayan kecil / gurem, yaitu : (1) Pendidikan dan pelatihan pembangunan (pendampingan); (2) Kredit produksi atau akses permodalan produktif; (3) Kegiatan kelompok bersama oleh nelayan; (4) Perbaikan/konservasi/ perluasan lahan usaha penangkapan ikan; (5) Pelibatan komunitas nelayan dalam perencanaan pembangunan khususnya dalam skala lokal.
Adapun kajian Model Kemitraan Sosial pemberdayaan nelayan skala kecil yang akan dilakukan mengacu pada teori pemberdayaan oleh Friedman (1992) dengan pendekatan pusat pertumbuhan perekonomian dengan strategi penciptaan Struktur Pedesaan Progresif (SPP). Sebagaimana dinyatakan oleh AT. Mosher bahwa SPP mempunyai berbagai unsur, yaitu : (1) Pasar input maupun output usaha penangkapan ikan; (2) Prasarana jalan menuju dan keluar lokasi. (3) Penguatan adopsi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan secara lokal. (4) Aparat penyuluhan perikanan dan pendamping pemberdayaan terampil.
yang
360
(5) Fasilitas kredit dan dukungan modal produktif untuk kegiatan produksi perikanan. Dalam pandangan ekonomi moral untuk memberdayakan nelayan skala kecil di pedesaan memerlukan dukungan kelembagaan permodalan atau pembiayaan yang sesuai kondisi sosial-ekonomi nelayan, dimana hasil tangkapan tidak menentu dan rentan terhadap pengaruh musim ikan. Untuk menyiapkan kelembagaan tersebut perlu disesuaikan dengan daya dukung SDM dan budaya lokal untuk melaksanakan kegiatan. Menurut hasil kajian IBRD/ World Bank (2000) kelemahan yang
berkaitan dengan penyediaan
pembiayaan untuk pemberdayaan masyarakat miskin adalah karena program pemberdayaan dibatasi waktu kegiatan (proyek) yang pada umumnya bersifat sangat jangka pendek (satu tahun). Menurt IBRD/ World Bank (2000) perlu dicari terobosan pembinaan permodalan non-bank (jaminan permodalan) untuk pembiayaan usaha masyarakat miskin yang dapat dilakukan sekurangkurangnya dalam jangka waktu 20 tahun (jangka panjang), misalnya dikaitkan dengan penyediaan modal bersumber dari
dukungan masyarakat (kaya)
dengan mengefektifkan basis religi melalui pendaya-gunaan zakat, infak dan shadaqah (ZIS) produktif. Dengan demikian dalam kajian ini akan dirumuskan penguatan Lembaga Permodalan Progresif (LP2) yang secara berkelanjutan melakukan pembinaan untuk melayani perekonomian masyarakat (nelayan kecil/ miskin). Oleh karena itu, ada empat kegiatan utama dalam kajian pengembangan enerepreneuralship nelayan kecil dalam kerangka pengembangan Model Kemitraan Sosial, yaitu : (1) Pengembangan lembaga keuangan mikro; (2) Pengembangan usaha ekonomi produktif; (3) Pelatihan dan penguatan kapasitas entrepreneurial skill masyarakat lokal; dan (4) Pemberdayaan entrepreneurialship nelayan kecil.
361
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan upaya pemberdayaan yang dilakukan nelayan, secara hipotetis desain pemberdayaan kelembagaan keuangan mikro masyarakat pesisir akan aksesibilitas
(sosial-ekonomi)
nelayan
difokuskan pada pemberdayaan kecil
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan pemberdayaan sosial ekonomi (entrepreneurial skill) melalui pengembangan infrastruktur sosial- ekonomi (socio-economical infrastructure) dan penguatan kapasitas kelembagaan dan keterkaitan (lingkages) baik pada aspek bio-fisik, spasial dan kelembagaan (spatial and institution) yang didasarkan atas dasae territory based identities sumberdaya lokal.
13.4 Pendekatan Pemberdayaan Rumahtangga Masyarakat Pesisir Pendekatan yang dipakai dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Wotgalih adalah sebagai berikut : 1. Partisipatif Pendekatan partisipatif masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya merupakan pencerminan dari konsep bottom up planning serta salah satu perwujudan dari upaya pemberdayaan masyarakat. Pendekatan partisipatif dilaksanakan untuk dapat lebih menjamin keberhasilan pelaksanaan program pembangunan maupun pemanfaatan hasil yang telah tercapai dari programprogram pembangunan tersebut. Pelaksanaan
program
Pemberdayaan
Masyarakat
Pesisir
pada
hakekatnya adalah upaya untuk mengikutsertakan semua pihak terkait, khususnya dari pihak masyarakat dalam keseluruhan tahapan kegiatan pelaksanaan program Pemberdayaani Masyarakat Pesisir yang secara garis besar akan mencakup tahapan perencanaan, implementasi, pemanfaatan, dan pengendalian (monitoring dan evaluasi). Namun dalam hal ini, perlu dihindari kecenderungan implementasi yang tidak mengikutsertakam masyarakat dalam pembangunan (cenderung bersifat parsial). Hal ini misalnya terjadi pada tahap
362
perencanaan, dimana masyarakat hanya dilibatkan pada studi awal dalam proses
identifikasi
kebutuhan-kebutuhan
yang
dirasakan,
sedangkan
pengambilan keputusan terhadap program pembangunan yang akan dijalankan tetap dilakukan oeh pihak lain (top-down planning). Pentingnya
pendekatan
partisipatif
dalam program Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir disebabkan karena tindakan yang akan diambil serta hasil pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir pada hakekatnya adalah ditujukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Berangkat
dari
hal
tersebut,
maka
kegiatan
dalam
program
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Wotgalih harus dirancang sedemikian rupa sehingga masyarakatlah yang akan lebih banyak menentukan arah dan langkah pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat . Dalam hal ini, Tenaga Pendamping Desa (TPD) beserta tokoh kelembagaan lokal terkait akan bertindak sebagai fasilitator yang akan mendampingi, membimbing, dan membantu masyarakat dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan, merumuskan alternatif rencana pemecahan berikut konsekuensinya. Dengan metode seperti ini diharapkan dapat menimbulkan rasa kepemilikan dan tanggungjawab dari masyarakat dalam pelaksanaan dan pemeliharaan kegiatankegiatan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.
2. Kemandirian Dalam program Pemberdayaani Masyarakat
salah satu strategi
pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kemandirian atau keswadayaan, dimana dengan dilaksanakannya strategi ini dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
diharapkan akan timbul kemandirian dari masyarakat
dalam pembangunan masyarakat dan wilayahnya sendiri dengan potensi-potensi sumberdaya yang dimiliki oleh daerahnya. Strategi
kemandirian
atau
keswadayaan
pada
dasarnya
adalah
melaksanakan pembangunan yang bertumpu pada kekuatan, kemampuan, dan modal
atau
Masyarakat,
biaya maka
sendiri.
Pada
pelaksanaan
program Pemberdayaan
masyarakat didorong untuk mampu secara mandiri
363
mengatasi permasalahan dalam rangka pembangunan diri dan lingkungannya. Selama
mengikuti
program Pemberdayaan
Masyarakat
Pesisir,
dimana
masyarakat tidak hanya terpaku pada proses peningkatan produksi, distribusi, dan pemasaran tetapi juga belajar untuk mengatasi permasalahan. Dengan demikian pada akhir program masyarakat telah memiliki modal untuk memelihara dan mengembangkan hasil-hasil program serta menghadapi tantangan ke depan secara mandiri dan berkelanjutan.
3. Kemitraan Pendekatan
kemitraan
dalam
program
Pemberdayaan
Ekonomi
Masyarakat Wotgalih digunakan untuk membentuk jaringan kemitraan antara masyarakat, tokoh lokal, aparat pemerintah dan swasta dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan
yang
ada
dalam
program
Pemberdayaan
Ekonomi
Masyarakat. Upaya untuk menciptakan jaringan kemitraan tersebut difasilitasi dengan mempertemukan antara semua sektor dan stakeholders yang terkait dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi kawasan pesisir. Sektor-sektor yang terkait dihimpun dalam jaringan kemitraan sedemikian rupa sehingga diantara masing-masing sektor terbentuk suatu kesepakatan dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi kawasan pesisir sesuai dengan fungsi, peran dan kapasitas kewenangannya masing-masing.
13.4.1 Prinsip Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Prinsip pengelolaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir oleh PT. ANTAM Tbk.
yang dilaksanakan di Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten
Pasuruan meliputi :
364
1. Acceptability Metode ini diimplementasikan dalam wujud pelaksanaan pengambilan keputusan yang didasarkan pada proses musyawarah sehingga memperoleh legitimasi dan dukungan dari seluruh anggota masyarakat. Hal ini perlu dilakukan karena pada dasarnya program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih dipilih, dirumuskan dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat dalam forum-forum pertemuan pada masing-masing jenjang daerah pemerintahan (dukuh, Desa, Kecamatan, Kabupaten). Agar proses musyawarah ini benar-benar dapat mencerminkan kata mufakat dari semua pihak, maka dengan sendirinya dalam kegiatan musyawarah ini semua pihak terkait harus dapat terwakili.
2. Transparency Pengelolaan
kegiatan
dalam
program
Pemberdayaan
Ekonomi
Masyarakat Wotgalih dilakukan secara terbuka, diinformasikan dan diketahui oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat ikut memantaunya, dengan adanya keterbukaan ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui dengan jelas maksud, tujuan dan alokasi dana untuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih. Upaya penyebaran informasi ini dilakukan melalui kegiatan sosialisasi.
3. Accountability Prinsip ini berarti bahwa pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Perlunya pertanggungjawaban kepada masyarakat ini karena pada dasarnya masyarakatlah yang merasakan dampak dan manfaat dari program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih. 4. Responsiveness Kegiatan yang dilakukan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih ditujukan sebagai bentuk kepedulian atas beban penduduk pesisir yang kurang berdaya atau miskin.
365
5. Quick Disbursement Penyampaian bantuan modal kepada masyarakat sasaran dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih diharapkan dapat dilakukan secara cepat dan tepat. 6. Democracy Dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih proses pemilihan peserta yang nantinya akan mendapatkan bantuan dana ekonomi produktif dilakukan secara musyawarah.
7. Sustainability Pengelolaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih diharapkan dapat memberikan manfaat secara optimal dan berkelanjutan.
8. Equality Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih
memberikan
kesempatan yang sama kepada orang atau kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan mendapatkan dana ekonomi produktif, dengan ini diharapkan agar semua masyarakat dapat merasakan manfaat secara langsung dari program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih. .
9. Competitiveness Dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih
setiap
ketentuan dalam pemanfaatan dana ekonomi produktif masyarakat diharapkan dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat dan jujur dalam mengajukan usulan kegiatan yang layak.
366
13.4.2
Model Pesisir
Kemitraan Sosial Pemberdayaan Masyarakat
Atas dasar konsep pemberdayaan, pentahapan dan kelembagaan masyarakat
untuk
mendukung
rencana
pemberdayaan
pemberdayaan
berkelanjutan, maka model pemberdayaan selanjutnya kita kembangkan Model Kemitraan Sosial, dengan pertimbangan : (a) Ada pelapisan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan. (b) Aset dan akses sosial masyarakat masih mendominasi
kegiatan untuk
mendukung keberlanjutan penghidupan masyarakat di pedesaan pesisir. Pemberdayaan dengan Model Kemitraan Sosial dilakukan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.2. Prinsip penerapannya adalah sebagai berikut : (1) Multi tingkat, dimulai dengan pemberdayaan sikap produktif rumahtangga, modal usaha
produktif untuk kelompok dan kemandirian kelembagaan
kelompok. (2) Multi dimensi, mencakup dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan kebijakan.penganggaran PEMDA. (3) Multi tahun, dalam hal ini minimal 8 tahun. (4) Pendampingan secara berkelanjutan dan professional oleh Pendamping Desa. (5) Kesetaraan peran (equal roles) sebagai prinsip kemitraan sosial
dalam
bentuk “bantuan sosial” oleh Penyandang Dana (donor) kepada kelembagaan lokal : Lembaga Ekonomi Pemberdayaan Desa, Mitra Desa dan Kelompok Produktif (KUB). (6) Multi sumberdana (donor, mencakup sumber CSR, dukungan PEMDA dan dana Zakat, Infak Shodaqih (ZIS) dari masyarakat. (7) Human Centered development (Pemberdayaan berpusat pada peran serta manusia)
367
368
(2) PENGUATAN MODAL
LEPD
DONOR
KP
MD
KELOMPOK USAHA BERSAMA
KOMUNITAS (3)
(4) DULATAN/
PROG. APBD
/REVOLVING/ JASA MODAL
CSR KORPORASI
SHADAQAH
SHADAQAH
MENABUNG
PEMBERDAYAAN TAHAP PERTAMA
PENGUATAN USAHA PRODUKTIF RUMAHTANGGA
(a) Budaya Produktif PELAYANAN AMANAH KEUANGAN PRODUKTIF TAHAP KEDUA
PEMBERDAYAAN KELOMPOK PEMBERDAYAAN KELOMPOK (b) MOTIVASI BISNIS
TAHAP KETIGA
PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN (c) MANDIRI
Gambar 13.1 Model Kemitraan Sosial Untuk Pemberdayaan
369
13.5 Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pertanyaan yang muncul dalam kegiatan pemberdayaan
masyarakat
miskin adalah urgensi kerjasama kelompok dan apa media praktis yang dapat kita gunakan untuk membuat mereka berfikir inovatif. Ada 6 instrumen dalam upaya pengembangan swadaya masyarakat, (Verhagen, 1996), yaitu : (1) Identifikasi penduduk dan kelompok sasaran; (2) Konsultasi managemen; (3) Pengembangan jaringan dengan pihak ketiga; (4) Perluasan proses dan pengembangan gerakan; (5) Pemanfaatan dan evaluasi diri terus menerus; (6) Penguatan kelompok berbasis komunitas. Dalam penguatan kelompok ada 7 komponen kapasitas di tingkat komunitas (UNICEF, 1999) yang harus dikembangkan untuk dapat mendorong aktifitas ekonomi anggota kelompok melalui usaha ekonomi produktif, yaitu : (1) Comunity leader : siapa saja orang-orang berpengaruh untuk mendorong penguatan kelompok ekonomi produktif; (2) Comunity technology :
teknologi apa yang digunakan masyarakat untuk
memproduksi sesuatu; (3) Comunity fund : apakah ada mekanisme penghimpunan dana dari masyarakat; (4) Comunity material : sarana apa saja yang dapat digunakan masyarakat yang berguna untuk pengembangan kelompok, apakah ada modal usaha keluarga / kelompok; (5) Comunity knowledge : apa persepsi masyarakat berkaitan dengan usaha meraka, apa harapan terhadap pelayanan ekonomi produktif, selanjutnya
370
sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap pelaku pelayanan usaha peroduktif; (6) Comunity decision marking : apakah masyarakat terlibat dalam program secara keseluruhan; (7) Comunity organization : usaha ekonomi mana yang dapat dikembangkan menjadi organisasi usaha ekonomi produktif.
13.5.1 Penguatan KUB Penguatan kelompok merapkan alternatif pemberdayaan kelompok masyarakat. Sistematika penguatan kelompok usaha
didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut : 1. Nilai Strategis KUB Keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUB) bagi fakir miskin di tengah-tengah masyarakat wahana untuk (1) meningkatkan usaha ekonomi produktif (khususnya dalam peningkatan pendapatan), (2) menyediakan sebagian kebutuhan yang diperlukan bagi keluarga fakir miskin, (3) menciptakan keharmonisan hubungan sosial antar warga, (4) menyelesaikan masalah sosial yang dirasakan keluarga fakir miskin, (5) pengembangan diri dan sebagai wadah berbagi pengalaman antar anggota. Kehadiran KUB Fakir Miskin merupakan media untuk
(1)
meningkatkan motivasi warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi dan sosial, (2) meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, (3) mendayagunakan potensi dan sumber
sosial ekonomi lokal, (4)
memperkuat budaya kewirausahaan, (5) mengembangkan akses pasar dan (6) menjalin kemitraan sosial ekonomi dengan berbagai pihak yang terkait.
371
Melalui kelompok, setiap keluarga miskin dapat (1) saling berbagi pengalaman, (2) saling berkomunikasi, (3) saling mengenal, (4) dapat menyelesaikan berbagai masalah dan kebutuhan yang dirasakan. Dengan sistem KUB, kegiatan usaha yang tadinya dilakukan secara sendiri-sendiri kemudian dikembangkan dalam kelompok, sehingga setiap anggota dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatan usaha ekonomi produktif, usaha kesejahteraan social serta kemampuan berorganisasi. Kegiatan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan sosial dapat berupa : (1) pengeIoaan santunan hidup, (2) Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS), (3) arisan, (4) pengajian, (5) perkumpulan kematian, (6) usaha simpan pinjam, (7) pelayanan koperasi, usaha tolong menolong atau gotong royong, (8) usaha pelayanan sosial untuk membantu orang tidak mampu, (9) usaha-usaha untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial di lingkungannya, dan (10) usaha-usaha UKS lainnya. Kegiatan yang berkaitan dengan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dapat berupa (1) usaha dagang, (2) jasa, (3) pertanian, dan lain-lain, sedangkan kegiatan yang bersifat penataan kelembagaan, seperti: (1) pengelolaan keuangan, (2) pencatatan dan pelaporan kegiatan bersama. Melalui KUB diharapkan dapat (1) meningkatkan pengetahuan dan wawasan berfikir para anggota karena mereka dituntut suatu kemampuan manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan, dan (2) berupaya menggali dan memanfaatkan sumber-sumber rizki yang tersedia di lingkungan untuk keberhasilan kelompoknya. Selain itu, diharapkan dapat (3) menumbuh kembangkan sikap-sikap berorganisasi dan (4) pengendalian emosi yang semakin baik serta dapat menumbuhkan rasa kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial, baik di antara keluarga binaan sosial maupun kepada masyarakat secara luas.
372
KUB dibentuk dilandasi oleh nilai filosofis “dari”, “oleh” dan “untuk” masyarakat. Artinya bahwa keberadaan suatu kelompok KUB di manapun (desa atau kota) adalah berasal dari dan berada di tengah-tengah masyarakat.
Pembentukannya
oleh
masyarakat
setempat
dan
peruntukannya juga adalah untuk anggota dan masyarakat setempat. Karena konsep yang demikian, maka pembentukan dan pengembangan KUB harus bercirikan nilai dan norma budaya setempat, harus sesuai dengan keberadaan sumber-sumber dan potensi yang tersedia di lingkungan setempat, juga harus sesuai dengan kemampuan SDM (anggota KUB) yang ada. KUB harus diwujudkan dalam bentuk kerjasama yang berlangsung secara terus menerus, bukan hanya untuk jangka pendek tetapi jangka panjang. Kerjasama yang tulus biasanya hanya dapat diwujudkan bila dilandasi oleh dengan semangat kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kesetiakawanan sosial. Dalam kelompok terjadi interaksi atau hubungan yang saling ketergantungan, dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya yang pada akhirnya menimbulkan semangat kekeluargaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial di antara mereka, bahkan dengan lingkungan eksternal kelompok. KUB dimaksudkan untuk mewujudkan keberfungsian sosial para anggota KUB dan keluarganya, yang meliputi meningkatnya kemampuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari dan berubahnya sikap dan tingkah laku dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi serta meningkatnya kemampuan dalam menjalankan peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat. Keberadaan usaha-usaha ekonomis produktif yang bersifat ekonomis dalam kelompok KUB hanya sebagai sarana bukan sebagai tujuan. Banyak orang beranggapan bahwa aspek usaha ekonomi produktif atau UEP dalam KUB sebagai tujuan dan sering dijadikan sebagai ukuran keberhasilan KUB. ini adalah suatu hal yang keliru. Berkelompok dalam KUB adalah berarti berkeinginan untuk
373
merubah keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, yaitu perubahan secara ekonomi, sosial, dan spiritual atau lebih dikenal dengan Dzkir, pikir, dan ikhtiar. 2. Tiga Tujuan Kegiatan KUB Kegiatan Pengembangan Kelompok Usaha Bersama bertujuan untuk: 1. Meningkatkan kemampuan anggota kelompok KUB di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan meningkatnya
hidup
pendapatan
sehari-hari, keluarga;
ditandai
(2)
dengan:
meningkatnya
(1)
kualitas
pangan, sandang, papan, kesehatan, tingkat pendidikan; (3) dapat melaksanakan
kegiatan
keagamaan;
dan
(4)
meningkatnya
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. 2. Meningkatnya kemampuan anggota kelompok KUB dalam mengatasi masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam keluarganya maupun dengan lingkungan sosialnya, ditandai dengan adanya kebersamaan dan kesepakatan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga, dalam lingkungan sosial; adanya penerimaan terhadap perbedaan pendapat yang mungkin timbul di antara keluarga dan lingkungan; semakin minimnya perselisihan yang mungkin timbul antara suami dan istri atau antara orang tua dan anak, dan lain-lain. 3.
Meningkatnya menampilkan
kemampuan peranan-peranan
anggota
kelompok
KUB
dalam
sosialnya, baik dalam keluarga
maupun lingkungan sosialnya, ditandai dengan semakin meningkatnya keperdulian dan rasa tanggung jawab dan keikutsertaan anggota dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial di lingkungannya; semakin terbukanya pilihan bagi para anggota kelompok dalam pengembangan usaha yang lebih menguntungkan; terbukanya kesempatan dalam memanfaatkan sumber dan potensi kesejahteraan sosial yang tersedia dalam lingkungannya.
374
3. Lima Alasan Mengapa Harus Bergabung Dalam KUB Ada beberapa alasan mengapa perlu dikembangkan organisasi Fakir Miskin yang disebut dengan KUB yaitu : 1. Yang menjadi sasaran kelompok KUB adalah mereka yang memiliki keterbatasan
dalam
berbagai
pendapatan,
perumahan,
hal,
kesehatan,
seperti:
keterbataan
pendidikan,
dalam
kemampuan,
keterampilan, kepemilikan, modal, komunikasi, teknologi, dan lain-lain. 2. Dengan sistem KUB, kegiatan usaha yang tadinya dilakukan secara sendiri-sendiri kemudian dikembangkan dalam kelompok, sehingga akan memudahkan dalam pembinaan dan monitoring dan pembinaannya akan lebih efektif dan efisien baik dan segi pembiayaan, tenaga dan waktu yang digunakan. Di samping itu, para anggota kelompok ini dapat saling kerja sama secara lebih mudah dibandingkan bila mereka saling berpencar. 3. Dengan pembinaan melalui kelompok KUB, maka diharapkan kelompok ini akan saling membantu satu sama lain antara yang lemah dengan yang lebih mampu, baik dalam kemampun, keterampilan, modal dan lain-lain yang terkait dengan kegiatan-kegiatan KUB. 4. Melalui KUB diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan
berfikir
para
anggota
karena
mereka
dituntut
suatu
kemampuan manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan, dan berupaya menggali dan memanfaatkan sumbr-sumber yang tersedia di lingkungan untuk keberhasilan kelompoknya. 5. Diharapkan dengan KUB, dapat menumbuhkan rasa kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial, baik di antara keluarga binaan sosial maupun kepada masyarakat secara luas karena mereka hidup dalam kelompok.
375
4. Tujuh Prinsip Pengembangan KUB Pengembangan Kelompok Usaha Bersama dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1). Penentuan nasib sendiri Anggota KUB sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat, mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri. Dalam nilai seperti ini para supervisor atau pendamping sosial yang terlibat dalam kegiatan KUB berperan sebagai fasilitator dalam pengembangan KUB tersebut. (2). Kekeluargaan Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan KUB perlu dibangun atas semangat
kekeluargaan
di
antara
sesama
anggota
KUB
dan
lingkungannya. Nilai seperti ini akan menumbuhkan semangat dan sikap dalam mewujudkan keberhasilan KUB. (3). Kegotong-royongan Kegotongroyongan berarti menuntut perlu adanya kebersamaan dan semangat kebersamaan di antara sesama para anggota KUB. Dalam prinsip tidak menonjolkan adanya perbedaan antara pengurus dan anggota, tetapi lebih mengedepankan kebersamaan di antara sesama KBS. (4). Menumbuhkan Potensi anggota Bahwa pengelolaan dan pengembangan KUB harus didasarkan pada kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh para anggota KUB. Sebagai contoh apabila para anggota KUB memiliki keterampilan dalam bidang ternak ikan maka hendaknya jenis usaha yang dikembangkan adalah bidang ternak ikan, bukan usaha lain.
376
(5). Sumber-sumber Rizki Setempat Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan usaha yang dilakukan harus didasarkan pada ketersediaan sumber-sumber yang ada di daerah tersebut. Adalah menjadi suatu kendala bilamana suatu jenis usaha yang dikembangkan namun sumber-sumber yang menjadi bahan baku di daerah tersebut tidak tersedia. (6). Keberlanjutan Prinsip ini menekankan bahwa pengelolaan KUB, kegiatan-kegiatannya, bidang usaha yang dikembangkan harus diwujudkan dalam programprogram yang berkelanjutan, bukan hanya untuk sementara waktu. (7). Usaha yang berorientasi pasar Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan KUB melalui jenis usaha yang dilakukan harus diarahkan pada jenis usaha yang memiliki prospek yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pasar. 5. Lima Tahapan Pembentukan dan Penguatan KUB Pembentukan dan pengembangan suatu KUB dilaksanakan dalam 5 tahap, yaitu: (1). Tahap Persiapan: Kegiatan pada tahap persiapan terdiri dari orientasi dan observasi, regristasi
dan
identifikasi,
perencanaan
program
pelaksanaan,
penyuluhan sosial umum, bimbingan pengenalan masalah, bimbingan motivasi,
dan
evaluasi
persiapan
(oleh:
aparat
desa,
petugas
pendamping, pembina fungsional). (2). Tahap Pelaksanaan: Kegiatan pada tahap pelaksanaan meliputi: seleksi calon Keluarga Binaan Sosial (KBS), pembentukan pra-kelompok dan kelompok, pemilihan atau
377
penentuan jenis usaha, pelatihan pendamping, pelatihan keterampilan anggota KUB, pemberian bantuan berupa makanan, santunan atau jaminan hidup, bantuan pembiayaan stimulan permodalan, pendampingan dan evaluasi (oleh: aparat desa, petugas pendamping, pembina, dan instansi terkait). (3). Tahap Pengembangan Usaha: Kegiatan
pada
tahap
pengembangan
usaha
meliputi:
bimbingan
pengembangan usaha, pemberian bantuan pengembangan usaha, pendampingan dan evaluasi (oleh: petugas pendamping, petugas pembina fungsional). (4). Tahap Kemitraan Usaha: Kegiatan pada tahap ini meliputi: inventarisasi sumber-sumber yang ada (sumber daya alam, sumber daya ekonomi, sumber daya sosial, dan sumber
daya
manusia),
membuat
kesepakatan-kesepakatan,
pelaksanaan kemitraan usaha, bimbingan kemitraan usaha, perluasan jaringan kemitraan usaha, dan evaluasi (oleh: pendamping dan pembina fungsional). (5). Tahap Monitoring dan Evaluasi Kegiatan pada tahap ini meliputi: pengendalian dan monitoring proses pelaksanaan yang sedang berjalan serta evaluasi terhadap keberhasilan yang sudah dicapai (oleh petugas pendamping, dan pembina fungsional). 6. Komponen Kelembagaan KUB Kelembagaan KUB terdiri atas komponen : (1). Jumlah Anggota KUB Jumlah keanggotaan KUB dapat bervariasi, tergantung kebutuhan nyata di lapangan/situasi dan kondisi lokal dan kesepakatan kelompok itu
378
sendiri. Suatu kelompok KUB permanen diawali oleh pembentukan kelompok-kelompok yang terdiri dan 5-10 KK. Karena sifat dan suatu kegiatan dan kepentingan tertentu, KUB dapat terdiri dan Kelompok Besar terdiri gabungan beberapa KUB atau yang disebut dengar RUMPUN rembug Himpunan (gabungan dan 2-3 KUB). Satu kelompok KUB yang anggota dikategorikan fakir miskin dapat memilih anggotanya yang bukan termasuk kategori fakir miskin (poorest), namun masih termasuk kategori miskin (poor) atau hampir miskin (near poor) dan mempunyai kemampuan dan potensi serta semangat kewirausahaan atau kemampuan untuk pembukuan, namun jumlahnya maksimal hanya 1/5 dan jumlah anggota yang ada. (2). Ikatan Pemersatu Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kelompok atau ikatan pemersatu antara lain: (1) kedekatan tempat tinggal atau letak geografis; (2) jenis usaha atau keterampilan anggota; (3) ketersediaan sumber rizki; (4) latar belakang kehidupan budaya; (5) memiliki motivasi yang sama; (6) keberadaan
kelompok-kelompok
masyarakat
yang
sudah
tumbuh
berkembang lama. (3). Struktur dan Kepengurusan KUB Struktur organisasi merupakan suatu bentuk tanggung jawab yang harus dijalankan. Dengan struktur dapat diketahui “siapa mengerjakan apa”, “siapa berkewajiban dan bertanggung jawab apa”. Struktur KUB sangat tergantung pada kegiatan atau jenis Usaha yang dijalankan oleh KUB tersebut. Tidak ada suatu struktur yang baku tentang struktur KUB, strukturnya diserahkan sepenuhnya pada kelompok KUB. Namun demikian, di bawah ini ditawarkan struktur organisasi KUB yang relatif sederhana yang dapat dijadikan acuan dalam perumusan struktur organisasi KUB, yang terdiri dari: Ketua, Sekretaris, Bendahara. Jika diperlukan dapat dibentuk urusan/seksi.
379
Kepengurusan
dipilih
berdasarkan
hasil
musyawarah
atau
kesepakatan anggota kelompok. Sebagai suatu organisasi, KUB juga memiliki anggota dengan kewajiban antara lain : mengikuti dan mentaati semua
ketentuan-ketentuan
yang
ada
yang
sudah
disepakati;
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama; membangun kerjasama dengan berbagai pihak; memanfaatkan dana stimulan ataupun bantuan modal usaha dengan penuh tanggung jawab; membayar iuran dana kesetiakawanan sosial (IKS) setiap bulan sesuai kesepakatan bersama yang sudah ditentukan; menghimpun dana untuk memperkuat modal usaha melalui Lembaga Keuangan Mikro; memanfaatkan penghasilan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota keluarganya. Disamping kewajiban, anggota juga mempunyai hak-hak sebagai berikut : mengajukan usul atau saran-saran yang dapat memperbaiki kinerja KUB; memperoleh pinjaman bantuan modal usaha yang diterima KUB dan pihak lain dan mendapatkan keuntungan yang diperoleh dan pembagian hasil KUB. 13.5.2 . Pengelolaan, Strategi Pengembangan dan Langkah Penguatan KUB (1). Pengelolaan Kelompok a. Untuk efektivitas dan efisiensi pembinaan KUB, maka pengelolaan KUB dilakukan melalui pendekatan kelompok. b. Untuk kelancaran pengelolaan KUB maka dibentuk kepengurusan sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok. c. Untuk menjalankan kegiatan-kegiatan KUB sehari-harinya dipimpin oleh ketua kelompok yang dibantu dengan pengurus-pengurus lainnya. d. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kegiatan kelompok diserahkan kepada ketua atau pengurus KUB. e. Pengeluaran dana diserahkan pada musyawarah kelompok.
380
f. Pendamping berperan sebagai fasilitator, pemberi saran dan pertimbangan-pertimbangan demi kemajuan kelompok. g. Untuk kelancaran kegiatan kelompok maka setiap kelompok KUB harus menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan kelompok tersebut. h. Untuk pembinaan KUB secara rutin dilakukan melalui KUB dengan kelompok kecil, namun untuk kepentingan pembinaan tertentu, kelompok KUB dapat digabungkan sesuai kebutuhan menjadi kelompok besar. i. Pengelolaan Jenis Usaha. j.
Untuk mendorong dan menjamin keberlangsungan kegiatankegiatan KUB maka setiap KUB dapat mengembangkan satu atau beberapa jenis usaha sosial ekonomis produktif (UEP) yang sesuai dengan minat, potensi dan kemampuan para anggotanya serta potensi dan sumber yang ada di lingkungannya.
k. Pengelolaan
jenis
usaha
yang
dikembangkan
oleh
KUB
sepenuhnya diserahkan kepada anggota KUB tersebut. l. Untuk pengembangan jenis usaha, anggota KUB dapat bekerja sama dengan pengusaha atau instansi terkait. m. Bila jenis usaha sudah beragam, pengelolaan jenis usaha dapat diserahkan kepada satu orang atau beberapa orang yang dianggap mampu dan mempunyai keterampilan untuk itu, namum pembinaan anggota tetap berada dalam kelompok KUB.
(2). Strategi Pengembangan dan Penguatan KUB a. Perlu adanya pengadministrasian dan pengorganisasian kelompok yang baik dan rapi. b. Pertemuan rutin kelompok minimal seminggu sekali harus disepakati dengan adanya komitmen dari setiap anggota untuk melakukannya.
381
c. Mempertahankan azas musyawarah untuk mufakat yang dilandasi oleh semangat kekeluargaan, kebersamaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial. d. Pengelolaan dan pengembangan KUB harus berorientasi pada pemanfaatan dan penggalian sumber dan potensi yang tersedia di lingkungan masing-masing. e. Penerapan
inovasi-inovasi
baru
dalam
pengembangan
dan
pengelolaan jenis usaha yang dipilih. f. Pengembangan kemitraan dengan berbagai pihak yang saling menguntungkan.
(3). Langkah-Langkah Penguatan KUB a. Menetapkan struktur organisasi dan menyusun uraian tugas yang jelas dan rinci. b. Menata administrasi kegiatan kelompok dengan baik. c. Mengidentifikasi potensi SDM, ketrampilan, kemampuan yang dimiliki oleh anggota KUB. d. Menyusun rencana program dan kegiatan, serta rencana anggaran biaya. e. Menggalang kebersamaan dan kekompokan di antara sesama anggota KUB dan juga dengan tokoh-tokoh masyarakat serta lingkungan yang lebih luas. f. Membangun semangat
komitmen dan
motivasi
bersama kerja
yang para
dapat anggota
menumbuhkan KUB
dalam
mengembangkan jenis usaha yang dipilih. g. Mengembangkan jenis usaha lebih dan satu yang sesuai dengan ketrampilan dan bidangnya dari masing-masing anggota KUB serta mencari potensi dan sumber-sumber yang ada dalam lingkungan masing-masing.
382
h. Melakukan inovasi-inovasi baru dalam pengelolaan jenis usaha yang dikembangkan. i. Melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang dapat menumbuhkan kepercayaan anggota dan lingkungan sekitarnya. j.
Membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak yang dapat menguntungkan kelompok KUB.
k. Mewujudkan usaha Lembaga Keuangan Mikri (LKM) atau koperasi yang dapat mendukung kesejahteraan para anggota KUB.
13.5.3 . Kunci Sukses Pengembangan dan Penguatan KUB (1). Usaha ekonomi berdasarkan rencana usaha dan anggaran belanja yang disepakati bersama. (2). Usaha ekonomi beronientasi pasar. (3). Menggunakan modal usaha sesuai dengan kebutuhan usaha. (4).Menggunakan bahan baku yang mudah diperoleh di lingkungan setempat. (5). Melakukan usaha sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. (6). Sistem pengelolaan usaha ekonomi dapat dilaksanakan semua anggota dan terbuka bagi anggota. (7). Ada komitmen dan kerjasama yang kuat dan setiap anggota untuk berhasil. (8). Harga yang ditawarkan menguntungkan dan bersaing di pasar. (9).Adanya kebersamaan dalam menghadapi berbagai hambatan usaha.
383
1. Bidang Kegiatan KUB (1). Bidang Kelembagaan a. Membuat program kegiatan secara jelas dan rinci. b. Membuat struktur organisasi dan pembagian tugas bagi semua anggota KUB. c. Membuat fungsi masing-masing anggota KUB sesuai dengan struktur organisasi yang ada. d. Melakukan pencatatan kegiatan dan administrasi pembukuan yang meliputi: 1) Buku Daftar Anggota Kelompok; 2) Buku Tamu; 3) Buku Kegiatan / agenda Kelompok; 4) Buku Kas / Keuangan; 5) Buku Inventaris; 6) Buku Simpan Pinjam. (2). Bidang Sosial a. Melaksanakan pertemuan rutin bulanan anggota (atau sesuai kebutuhan) yang dihadiri oleh pendamping dan aparat desa. b. Melaksanakan
pertemuan
rutin
anggota
sesuai
dengan
kesepakatan yang sudah ditentukan. c. Menumbuhkan kesadaran dan kemauan anggota ketompok untuk merubah kondisi/keadaan yang ke arah kondisi kehidupan yang lebih baik.
384
d. Merintis pelaksanaan Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS) dan usaha simpan pinjam untuk kesejahteraan anggota keluarga KUB. e. Mendorng anggota KUB untuk aktif dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. f. Ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti: kerja bakti lingkungan, gotong royong, siskamling dan lain-lain. g. Mengaktifkan anggota KUB untuk terlibat dalam kegiatankegiatan, seperti posyandu, PKK, dan lain-lain. h. Menumbuhkan kesadaran kepada anggota tentang pentingnya pendidikan bagi anggota keluarga dan masyarakat. i. Menumbuhkan rasa kesetiakawanan di antara sesama anggota maupun dengan lingkungannya, melalui partisipasi aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. j.
Meningkatkan keterampilan kerja anggota KUB.
k. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian para anggota KUB untuk terlibat dalam penanganan permasalahan sosial yang ada di daerah masing-masing. (3). Bidang Ekonomi a. Pengelolaan Usaha Ekonomis Produktif (UEP) yang sudah ada sehingga dapat berhasil dan meningkatkan kesejahteraan para anggota KUB. b. Pengembangkan jenis Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang sebelurnnya hanya satu menjadi beberapa jenis usaha. c. Penggalian surnber-sumber dan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan kesejahteraan anggota KUB. d. Membudayakan kebiasaan untuk menabung bagi anggota KUB, sebagai simpanan permodalan atau cadangan kebutuhan dimasa mendatang. e. Mewujudkan berdirinya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atau koperasi yang dapat mendukung pengelolaan Usaha Ekonomi
385
Produktif (UEP) dan peningkatan kesejahteraan keluarga para anggota KUB. f. Pengembalian dana stimulan dengan pengguliran kepada KUB atau LKM untuk dikembangkan dan atau di gulirkan kembali kepada anggota yang membutuhkan. g. Membangun kerjasama dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak yang dapat mempercepat keberhasilan KUB.
2. Kriteria Pengembangan KUB (1). Kriteria KUB. Untuk mempermudah pembinaan KUB, KUB dikelompokkan pada tiga kategori sebagai berikut: a. KUB dengan kritenia TUMBUH b. KUB dengan knitenia MAJU c. KUB dengan kriteria MANDIRI Batas pengkategorian KUB Tumbuh, Maju dan Mandiri didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1. Pengelompokan KUB hanya pada tiga kategori (Tumbuh, Maju dan Mandiri) adalah bertujuan agar para petugas, pembina, pendamping termasuk anggota KUB lebih mudah dalam proses pembinaan. 2. Nilai pengkategorian tidak dilakukan sama karena masing-masing kategori mempunyai mempunyai proses yang berbeda. (2). Indikator Keberhasilan a. Bidang Kegiatan Kelembagaan
386
1) Kepengurusan dan pembagian tugas sudah ada dan sudah dijalankan sebagaimana mestinya. 2) Administrasi kelompok, yang meliputi: buku daftar anggota kelompok; buku tamu; buku kegiatan / agenda kelompok; buku kas/keuangan; buku inventaris; buku simpan pinjam, sudah ada dan sudah diterapkan dengan baik. 3) Kerja sama di antara anggota KUB sudah berjalan dengan baik. 4) Proses pengambilan keputusan sudah diasaskan atas musyawarah anggota. 5) Pertemuan anggota sudah berlangsung secara rutin dan dilakukan pencatatan serta ditindak lanjuti. b. Bidang Kegiatan Sosial 1) Motivasi berkelompok (potensi sosial) sudah baik yang ditunjukkan dengan minimal 2/3 kehadiran anggota pada setiap pertemuan yang diadakan. 2) Kerja sama kelompok sudah baik yang dilihat dari koordinasi dan kekompakan kelompok. 3) Tanggung jawab sosial (antara anggota kelompok), sudah baik yang ditunjukkan dengan kesediaan semua anggota untuk membantu anggota dan tetangganya yang mengalami kesulitan. 4) Kepedulian sosial (dengan luar anggota kelompok), sudah baik yang ditunjukkan dengan adanya kepedulian semua anggota untuk membantu anggota dan tetangga yang mengalami kesulitan. 5) Usaha simpan pinjam KUB sudah dapat dimanfaatkan keluarga untuk keperluan keluarga anggota KUB. 6) Makan mengarah pada kriteria empat sehat lima sempurna.
387
7) Anak dapat mengikuti pendidikan sesuai dengan tingkat usianya dan peralatannya dapat dipenuhi. 8) Bila anggota keluarga jatuh sakit berobat ke mantri kesehatan atau bidan atau dokter atau ke Puskesmas. 9) Anggota keluarga taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan rukun keagamaannya. 10) Keluarga hidup dalam keharmonisan 11)Keluarga aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
c. Bidang Kegiatan Ekonomi 1) Sumber modal berasal dan akumulasi dana kelompom dan atau kredit lembaga keuangan . 2) Meningkatnya pendapatan keluarga per bulan. 3) Perkembangan usaha di mana KUB dijadikan sebagai usaha pokok. 4) Kinerja usaha, memupunyai lebih dari dua jenis usaha. 5) Kemampuan merencanakan usaha, pengurus dan angota telah mampu menyusun Rrncana Usaha. 6) Tabungan, dari waktu ke waktu terus bertambah bahkan berlipat ganda. 7) Peluang pasar semakin luas. 8) Kemampuan pemupukan modal, sudah dapat memanfaatkan sumber dana yang ada untuk pengembangan usaha. 9) Simpan pinjam, sudah berkembangan dengan baik.
388
10) Kemitraan, sudah terjalin dengan baik dengan berbagai kelompok masyarakat bisnis.
13.6 Koperasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki Dasar Negara
Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 yang didalamnya mengandung substansi yang
mengatur sistem perekonomian Indonesia yang esensinya
adalah mengatur keseimbangan antara aktivitas sistem liberalisme ekonomi dan sistem ekonomi kerakyatan, sehingga diharapkan tidak terjadi conflict interest atau benturan kepentingan yang mengancam keberadaan sistem perekonomian dan tidak menutup kemungkinan bisa mengancam keberadaan sistem ekonomi kerakyatan dan tentunya berpotensi menimbulkan gejolak masyarakat yang menyebabkan sistem keamanan tidak kondusif Wadah organisasi yang tepat untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berwatak kerakyatan
adalah
badan usaha koperasi dan hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
13.6.1. Pokok Fikiran Penguatan Kelembagaan Koperasi. a. Bahwasanya badan usaha koperasi
di Indonesia adalah salah satu
badan usaha yang dikelola secara transparan dan terbuka bagi publik untuk menjadi anggotannya , demokrasi ekonomi dan
berasas
kekeluargaan dan gotongroyong . Hal ini sesuai dengan karakteristik masyarakat Dusun Dampar dan Kajaran
yang memiliki azas
kekeluargaan dan kegotoroyongan yang cukup tinggi. b.
Bahwasanya rencana pemberdayaan masyarakat adalah penyisihan dana 1% per revenue penambangan pasir besi oleh korporasi PT. ANTAM Tbk. yang sepenuhnya dimanfaatkan untuk kegiatan usaha produktif
masyarakat desa Wotgalih, tidak diberikan dengan sistem
bantuan tunai langsung (BLT) melainkan melalui wadah badan usaha produktif. Oleh karenanya seluruh masyarakat Desa Wotgalih yang
389
dewasa wajib berfikir dan bertindak produktif, agar anggota yang memiliki usaha dapat ditingkatkan, sebagai anggota berpeluang mendapat pekerjaan atau usaha baru dan yang sekedar menjadi anggota mendapat bagian keuntungan atau SHU. c. Oleh karena keberadaan Kelompok Usaha bersama /Pra-koperasi berkaitan dengan keberadaan perusahaan pertambangan pasir besi, maka KUB/ Pra-koperasi dapat dikategorikan untuk mengembangkan manajemen sistem plasma – inti. Dimana posisi perusahaan sebagai pembina (inti) dan posisi KUB/ Pra-koperasi sebagai organisasi yang dibina (plasma). Sistem ini digunakan untuk memastikan bahwa penyisihan
dana
pemberdayaan
masyarakat
tersebut
disalurkan
sebagaimana mestinya dan dapat dipertanggungjawabkan. 1. Aspek Organisasi Koperasi a. Dasar : -
Dasar
Hukum Koperasi di Indonesia adalah Undang-Undang
Koperasi No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.. b. Perangkat Organisasi Koperasi Perangkat organisasi koperasi terdiri dari : -
Rapat anggota
-
Pegurus
-
Pengawas
Adapun tugas, wewenang dan tanggung jawab perangkat organisasi koperasi adalah sebagai berikut : 1) Rapat Anggota a) Kekuasaan tertinggi b) Menetapkan Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) dan Peraturan Khusus. c) Menetapkan
kebijaksanaan
umum
manajemen dan usaha koperasi.
di
bidang
organisasi,
390
d) Memilih,
mengangkat
dan
memberhentikan
pengurus dan
pengawas. e) Menetapkan rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi f) Mensahkan laporan pertanggungjawaban pengurus g) Mensahkan laporan pertanggungjawaban pengawas h) Menetapkan pembagian SHU i)
Keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
j)
Satu anggota satu hak suara.
k) Meminta keterangan atas pertanggungjawaban pengurus dan pengawas tentang pengelolaan koperasi. l)
Dilakukan paling sedikit sekali dalam setahun.
2) Pengurus a) Dipilih dari dan oleh anggota dalam rapat anggota. b) Bertanggung jawab kepada rapat anggota. c) Masa jabatan paling lama 5 tahun ( persyaratan untuk dipilih kembali datur dalam AD dan ART) d) Tidak merangkap sebagai pengawas. e) Pengurus,
baik
bersama-sama
maupun
sendiri-sendiri
menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan kesengajaan atau kelalaian. Tugas Pengurus : a) Mengelola organisasi dan usaha koperasi b) Mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja. c) Menyelenggarakan rapat anggota. d) Melaksanakan rencana kerja yang sudah ditetapkan rapat anggota. e) Mengajukan
laporan
pelaksanaan tugas.
keuangan
dan
pertanggungjawaban
391
f) Menyelengarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib g) Mencatat setiap transaksi anggota. h) Memelihara daftar buku anggota dan pengurus. i)
Meningkatkan pengetahuan anggota dengan menyelengarakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota.
Wewenang Pengurus : a) Mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan. b) Memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan AD dan ART. c) Melakukan
tindakan
dan
upaya
bagi
kepentingan
dan
kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan rapat anggota. d) Mengangkat
dan
memperhentikan
pelaksana
usaha/
Direktur/Manager. e) Rencana
pengangkatan
pengelola
atas
persetujuan
rapat
anggota 3) Pengawas a) Dipilih dari dan oleh anggota dalam rapat anggota. b) Bertanggung jawab kepada rapat anggota c) Merahasiakan hasil pengawasan kepada pihak ketiga d) Tidak merangkap sebagai pengurus dan pelaksana usaha e) Persyaratan untuk dipilih dan diangkat menjadi pengawas ditetapkan dalam anggaran dasar. Tugas Pengawas: a) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan koperasi. b) Melaporkan hasil pengawasannya secara tertulis kepada rapat anggota.
392
4)
Direktur/ Manager Direktur adalah pengelola usaha manager pelaksana usaha
yang membawahi manager-
adapun analisa jabatannya adalah
sebagai berikut : a) Pengurus koperasi dapat mengangkat Direktur sebagai pengelola usaha koperasi. b) Rencana Pengangkatan Direktur diajukan dalam rapat anggota untuk mendapat persetujuan. c) Direktur bertanggung jawab kepada Pengurus. d) Hubungan kerja Direktur dengan
Pengurus berdasarkan
perikatan e) Gaji Direktur ditentukan berdasarkan standar professionalisme adapun besarnya ditentukan dalam Rapat Pleno yang dihadiri oleh Pengurus, Pengawas dan perwakilan anggota. f) Direktur menanggung kerugian usaha koperasi karena kelalaian dan kesengajaannya. Tugas Direktur/ Manager a) Melaksanakan usaha koperasi b) Mengajukan rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi kepada Pengurus. c) Memberikan pelayanan usaha kepada anggota. d) Membuat studi kelayakan usaha koperasi. e) Membuat laporan perkembangan usaha koperasi. Wewenang Direktur/ Manager a) Mengangkat dan memperhentikan Manager atau karyawan atas persetujuan Pengurus. b) Meningkatkan prestasi kerja karyawan.
393
5) Keanggotaan a) Anggota koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi. b) Keanggotaan dicatat dalam buku daftar anggota. c) Keanggotaan
didasarkan
pada
kesamaan
kegiatan
dan
kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha koperasi. d) Syarat keanggotaan diatur dalam AD dan ART. e) Keanggotaan koperasi tidak dapat dipindahtangankan. f) Setiap anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Kewajiban Anggota a) Mematuhi AD dan ART b) Mematuhi keputusan rapat anggota. c) Berpartisipasi dalam kegiatan usaha koperasi. d) Memanfaatkan pelayanan koperasi. e) Mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasarkan azas kekeluargaan Hak Anggota a) Menghadiri rapat anggota. b) Menyatakan pendapat dan memberikan suara dalam rapat anggota. c) Memilih dan dipilih menjadi anggota pengurus. d) Memilih dan dipilih menjadi anggota pengawas. e) Meminta diadakan rapat anggota menurut ketentuan dalam AD dan ART f)
Mengemukakan pendapat atau saran kepada pengurus di dalam maupun di luar rapat anggota , baik diminta maupun tidak.
g) Memanfaatkan koperasi dan mendapatkan pelayanan yang sama antara sesama anggota.
394
h) Mendapatkan keterangan mengenai perkembangan koperasi menurut ketentuan anggaran dasar.
2.
Aspek Kemandirian Koperasi Pernyataan tentang jati diri Koperasiditetapkan dalam congress 100 tahun ICA ( International Cooperative Alliance / Lembaga Gerakan Koperasi Dunia ) di Manchester – United Kingdom pada tanggal 23 September 1995. Dalam pernyataan Jatidiri Koperasi terdapat tiga hal pokok, yaitu :
a.
Definisi Koperasi
Nilai-Nilai
Prinsip Hakekat Koperasi Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis.
b.
Nilai-Nilai Dalam melaksanakan aktivitasnya koperasi berlandaskan nilai-nilai sebagai berikut : 1)
Menolong diri sendiri secara bersama-sama
2)
Bertanggung jawab sendiri
3)
Demokratis
4)
Persamaan
5)
Keadilan
6)
Kesetia kawanan
7)
Kejujuran
8)
Keterbukaan
9)
Tanggung jawab sosial
10)
Peduli pada orang lain.
395
c.
Pinsip Koperasi Prinsip – prinsip Koperasi merupakan pedoman bagi koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai koperasi. Prinsip – prinsip Koperasi menurut ICA (International Cooperative Alliance) : 1)
Keanggotaan sukarela dan terbuka Koperasi adalah organisasi yang bersifat sukarela terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan jasa-jasanya dan bersedia menerima
tanggung
jawab
keanggotaan
tanpa
membedakan jenis kelamin, latar belakang sosial, ras, politik atau agama. 2)
Pengendalian oleh anggota secara demokratis Koperasi adalah organisasi demokratis yang dikendalikan oleh para anggotanya melalui Rapat Anggota dengan menganut aturan satu anggota satu suara.
3)
Partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi Para anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil dan mengendalikan secara demokratis. Sebagian dari modal itu menjadi milik bersama koperasi. Apabila ada, para anggota biasanya menerima kompensasi yang terbatas. Surplus atau SHU yang diperoleh koperasi biasanya digunakan untuk : a) Mengembangkan
koperasi
dengan
membentuk
dana
cadangan yang tidak dapat dibagi. b) Membagikan
SHU
pada
anggota
sebanding
dengan
transaksi mereka dengan koperasi. c) Mendukung kegiatan lain yang disah kan oleh rapat anggota. 4)
Otonomi dan kemandirian
396
Koperasi adalah organisasi otonom untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama dengan diawasi oleh para anggotannya. Untuk itu tidak ada forum lain selain rapat anggota yang dapat mengintervensi koperasi. 5)
Pendidikan, Pelatihan dan Informasi Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggotanya termasuk para pengurus, pengawas dan karyawan agar mereka dapat melakukan tugasnya secara lebih efektive.
6)
Kerja sama antar koperasi Koperasi melayani anggotannya seara efektif dan memperkuat gerakan koperasi dengan bekerja sama melalui organisasi koperasi tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional.
7)
Kepedulian terhadap masyarakat Koperasi
melakukan
masyarakat
disekitarnya
kegiatan secara
untuk
pengembangan
berkelanjutan
melalui
kebijakan-kebijakan yang diputuskan dalam rapat anggota. 13.6.2. Aspek Managemen dan Kemandirian Wirausaha Koperasi Secara garis besar aspek manajemen koperasi meliputi strategi manajemen sumber daya manusia, strategi manajemen produksi, strategi manajemen pemasaran dan strategi manajemen keuangan yang implementasinya merupakan Manajemen Strategi. Manajemen dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengelolaan faktor produksi yang ada guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Faktor produksi yang dimaksud dikenal dengan 5 M yang terdiri dari Man (manusia/tenaga kerja), Money (uang/permodalan), Machine ( mesin/alat), Market (pasar dan pemasaran), Method (metode/cara/sistem). Dalam setiap kegiatan manajemen berpedoman pada fungsi manajemen,
yaitu
meliputi
Planning
(perencanaan),
Organizing
(pengorganisasian), Actuating (pelaksanaan), Controlling (pngawasan). Dalam organisasi koperasi, managemen
untuk meraih sukses harus
397
didukung
oleh
sumberdaya
manusia
yang
memiliki
semangat
kewirausahaan. Adapun pengertian kewirausahaan meliputi sebagai berikut : a. Suatu proses untuk membentuk jiwa wirausaha dan jiwa mandiri bagi seseorang dengan memanfaatkan potensi diri yang dimiliki guna menghasilkan sesuatu yang diinginkan . b. Proses dinamis yang mengkreasikan peningkatan kekayaan / harta. c.
Proses perilaku yang meliputi : membuat inisiatif, mengorganisasikan mekanisme sosial dan ekonomi untuk mengolah sumber daya dan situasi menjadi sesuatu yang praktis dan potensial serta menerima resiko atau kegagalan.
d. Proses untuk menkreasikan sesuatu hal yang baru dengan nilai yang sesuai dengan waktu dan hasil. Sebenarnya kewirausahaan mengandung semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan. Usaha tersebut mengarah kepada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan effisiensi. Ini semua dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan memperoleh keuntungan ekonomis yang lebih besar. Jadi penekanan makna kewirausahaan adalah kemampuan (kecakapan) seseorang dalam mengelola atau menciptakan suatu usaha untuk mendapatkan nilai ekonomis yang lebih besar. Memang wirausaha berbeda dengan wirausahawan, sebab wirausahawan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Seseorang yang membawa sumber daya, tenaga kerja, bahan dan asset lain menjadi suatu kombinasi yang mempunyai nilai yang lebih besar dari sebelumnya, dan seseorang yang memperkenalkan perobahan dan inovasi. b. Seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mendorong dengan kekuatan tertentu untuk melakukan tindakan wira usaha.
398
c.
Seseorang memanfaatkan potensi dirinya guna membaca lingkungan usaha,
mengidentifikasi
dan
memanfaatkan
peluang
usaha,
memobilisasi sumber-sumber daya yang ada serta dapat melakukan tindakan pada saat terjadi perobahan lingkungan dan peluang usaha yang ada. Keberhasilan dalam berwirausaha sangat tergantung pada kemampuan seorang wirausahawan. Untuk mengetahui sampai sejauh man batas kemmpuan itu, maka seorang wirausahawan harus mampu menilai dirinya sendiri. Karena kunci keberhasilan dalam berusaha adalah memahami diri sendiri dalam lingkungan usaha yang dilakukan. Untuk memahami kemampuan diri sendiri, sebelum memulai kegiatan usaha maka seseorang wirausahawan senantiasa dihadapkan pada beberapa pertanyaan sebagai berikut : a. Apakah ia sudah memiliki semangat berwirausaha ? b. Berapa banyak karakteristik wirausaha yang telah dimilikinya ? c.
Apakah ia memiliki motivasi yang tepat untuk memasuki dunia usaha ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas seorang wirausahawan harus membekali diri dan memahami ciri-ciri kecakapan wirausaha.
Fungsi Kewirausahaan Koperasi a.
Membentuk jiwa wira usaha Kewirausahaan akan dapat membentuk seseorang mempunyai jiwa wirausaha. Artinya dengan mengikuti pendidikan atau mempelajari kewirausahaan seseorang akan dapat mempunyai pengetahuan secara kongkrit
dan luas tentang kewirausahaan sehingga dapat
membentuk jiwa wirausahanya. b.
Menciptakan kemampuan jiwa mandiri. Kewirausahaan akan dapat menciptakan seseorang mempunyai jiwa yang mandiri. Artinya dengan mengikuti pendidikan atau mempelajari kewirausahaan, seseorang akan dapat mempunyai kemampuan
399
mandiri yaitu tidak tergantung pihak lain, serta dapat melakukan kegiatan secara otomatis dan fleksible.
Karakteristik Jiwa Wirausaha Beberapa bagian dari karakteristil dari jiwa wirausaha yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi wirausahawan adalah : a. Mau dan selalu bekerja keras, b. Berani mengambil atau menghadapi resiko, c. Dapat membaca dan memanfaatkan kesempatan atau peluang usaha, d. Bertindak jujur, e. Memiliki motivasi untuk berprestasi tinggi, f. Berpikir dan bertindak ekonomis, g. Menghargai waktu, h. Mempunyai kemampuan berkomunikasi. i.
Selalu berpikir optimis,
j.
Selalu berpandangan kedepan,
k.
Bekerja dengan rapi dan sistematis,
l.
Selalu berkeinginan untuk mengembangkan diri,
m. Memiliki inisiatif tinggi, kreatif dan inofatif n.
Mampu dan berani bersaing,
o.
Dapat bekerja sama dengan pihak lain,
p. Berjiwa besar, q. Berpengetahuan dan berkemampuan (ahli dalam bidangnya), r. Beriman dan bertaqwa.
Keterampilan Yang Dibutuhkan Dalam Kewirausahaan
Beberapa jenis keahlian yang harus dimiliki seorang wirausahawan dalam pelaksanaan kewirausahaan adalah : a. Ketrampilan teknik usaha,
400
Seorang wirausahawan harus menguasai bagaimana teknik-teknik mengelola
usahanya
baik
yang
berhubungan
dengan
liku-liku
memproses teknis produksinya sekaligus dalam rangka memelihara kualitas usahanya. Hal ini memerlukan ketelitian,kecermatan dan bakat yang ada pada dirinya. b. Ketrampilan mencari informasi, Informasi merupakan sesuatu yang penting diketahui dan sekaligus diantisipasi oleh seorang usahawan. Informasi ini dapat berupa pasar, pengembangan produk dan lain-lain sehingga hasil produksi usahanya selalu dapat menyesuaikan dan selalu dapat diterima oleh konsumen. c. Ketrampilan berkomunikasi, Trampil berkomunikasi bagi wira usahwan sangat diperlukan. Hal ini sangat
berguna
ketika
melakukan
pemasyarakatan
produknya,
negosiasi dan proses mengembangkan usaha yang tentunya akan berhadapan dengan setiap lapisan masyarakat. d. Ketrampilan dalam pemecahan masalah, Setiap wirausahawan
tentu akan berhadapan dengan
berbagai
masalah. Masalah bisa terjadi di internal perusahaan, atau masalah yang berhubungan dengan komunitas sekitarnya. Dalam situasi ini wirausahawan
dituntut
mampu
menyelesaikan
masalah
dengan
menghasilkan pemecahan yang optimal. e. Ketrampilan dalam perencanaan, Perkiraan
masa
depan
perusahaan
dapat
dituangkan
dalam
perencanaan. Perencanaan dalam perusahaan biasanya dituangkan dalam usulan pekerjaan, target dan bagaimana cara mencapainya dengan dasar kondisi yang ada. Hal ini berkaitan dengan perencanaan mengenai sumberdaya (jenis,jumlah dan kriteria) yang dibutuhkan dalam kegiatan operasional. Ketrampilan ini sangat penting bagi seorang wirausahawan. f.
Ketrampilan dalam pengelolaan usaha,
401
Seorang wieausahawan adalah pengelola usaha. Didalamnya terdapat proses kerja yang berkaitan dengan orang banyak (karyawan). Untuk itulah sangat diperlukan ketrampilan mengelola, dari perencanaan usaha hingga sampai pada bagaimana menghasilkan keuntungan yang sesuai dengan yang direncanakan. Dalam mengelola usahanya seorang wirausahawan harus mampu mengimplementasikan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat dan kemampuan sumber daya yang dimiliki. g. Ketrampilan menganalisa pasar, Seorag wirausahawan dituntut mampu memperkirakan target kelompok, kebutuhan, omzet yang dapat diserap dan mengetahui dengan pasti keinginan konsumen, baik pada saat ini maupun waktu yang akan datang. Dengan demikian dapat diperkirakan produk apa yang harus dikembangkan, standart kualitas apa yang diminta serta bagian pasar mana yang potensial.
h. Kerampilan mengantisipasi peluang bisnis, Ada pepatah yang mengatakan kesempatan tidak pernah datang dua kali, itulah sebabnya seorang wirausahawan dituntut trampil dalam menangkap peluang yang ada didepannya, baik yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi. Dengan ketajaman menganalisa peluang, seorang wira usahawan akan mampu menggunakan potensi-potensi yang dimiliki. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menghadapi kemungkinan munculnya berbagai peluang sehingga keputusan yang diambil adalah keputusan yang paling tepat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dianalisa oleh wira usahawan dalam mengantisipasi peluang bisnis yaitu : a. Peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi dalam daerah sasaran bisnis.
402
b. Kekuatan pasar yang sedang dan akan terjadi dalam daerah sasaran bisnis. c. Potensi usaha yang terdapat dalam daerah sasaran bisnis. d. Fasilitas dan daya dukung usaha, baik yang sudah tersedia maupun yang belum, tetapi masih dibutuhkan dalam daerah sasaran bisnis.
Kunci Meraih Sukses Wirausaha Agar dapat berhasil dalam menjalankan usahanya, seorang wirausahawan harus mempunyai pribadi yang menarik dan menyenangkan dengan beberapa syarat sebagai berikut : a. Selalu ramah terhadap semua pihak, b. Berpenampilan menyenangkan, c. Dapat memuji pihak lain, d. Berkomunikasi dengan baik dengan semua pihak, e. Mempunyai kemampuan dalam kepemimpinan (internal dan eksternal), f. Menjalankan fungsi-fungsi manajemen, g. Berjiwa besar dan berjiwa wira usaha.
Etika Bisnis Koperasi Etika bisnis adalah suatu tatanan yang terdapat dikehidupan di lingkungan bisnis. Etika bisnis merupakan suatu usaha untuk merumuskan dan menetapkan prinsip-prinsip dasar etika dibidang hubungan ekonomi antar manusia. Adapun
prinsip
yang
berlaku
dalam
kegiatan
bisnis
yang
baik
sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia pada umumnya. Prinsip tersebut sangat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Prinsip etika bisnis yang berlaku di Indonesia sangat erat hubungannya dengan sistem tata nilai masyarakat Indonesia, yaitu budaya timur. Prinsip dasar etika bisnis yang dimaksud meliputi :
403
a. Prinsip otonomi (tanggung jawab dan kebebasan ) b. Prinsip kejujuran c. Prinsip berbuat baik dan tidak berbuat jelek d. Prinsip keadilan. Prinsip hormat pada diri sendiri dan orang lain.