BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A Andriani
dalam R. Santoso
Brotodihardjo, S.H. (2003: 3) adalah sebagai berikut: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
B. Konsep Dasar Perpajakan Indonesia Beberapa pengertian dan konsep dasar perpajakan di Indonesia yang relevan dengan topik skripsi yang akan dikaji, akan diuraikan di bawah ini. 1. Ketentuan Umum Perpajakan a. Definisi-definisi dalam Ketentuan Umum Mengacu pada Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 pengertianpengertian dari beberapa hal yang diatur dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan antara lain: Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundangundangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
7
Universitas Sumatera Utara
Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim atau tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
b. Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut Pasal 1 ayat 10 pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah: Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, obyek pajak, dan atau bukan obyek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut Mardiasmo (1995: 23) Fungsi SPT dapat dilihat dari Wajib Pajak, dan pemotong/pemungut pajak sebagai berikut: 1. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. 2. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak. 3. Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: 1. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak. 2. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.
c. Kewajiban Pembukuan Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pembukuan sebagaimana dikemukakan Mardiasmo (1995: 27), yaitu:
8
Universitas Sumatera Utara
1. Diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan usaha sebenarnya. 2. Diselenggarakan di Indonesia. 3. Menggunakan huruf latin dan angka arab. 4. Menggunakan satuan mata uang rupiah atau mata uang asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. 5. Dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. 6. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan metode accrual basis atau cash basis. Perubahan atas metode pembukuan atau pencatatan harus mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak. d. Pemeriksaan “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
e. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar “Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.” Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun anggaran atau tahun pajak, dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 13 ayat 1 yaitu dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. 2. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.
9
Universitas Sumatera Utara
3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen). 4. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan 29 tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. Dengan diterbitkannya SKPKB tersebut maka terhadap Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 ayat (2) dan (3) sebagai berikut: 1. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB. 2. Jumlah pajak dalam SKPKB sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, c, dan d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: a. 50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak. b. 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang dibayar. c. 100% dari PPN barang dan jasa PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.
2.Undang-Undang Pajak Penghasilan a. Subyek Pajak Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 2, yang menjadi subyek pajak adalah: 1. a. orang pribadi b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak 2. Badan 3. Bentuk Usaha Tetap
b. Obyek Pajak Penghasilan Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 17 tahun 2000, yang menjadi obyek pajak penghasilan adalah: “ Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
10
Universitas Sumatera Utara
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
c. PPh Pasal 21 Menurut Mardiasmo (1995: 87) Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan . Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh: a) Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b) Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan; c) Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun; d) Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; e) Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
d.PPh Pasal 23 Menurut Mardiasmo (1995: 131), pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah:
11
Universitas Sumatera Utara
merupakan pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subyek pajak badan dalam negeri, pajak, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Dalam Pasal 23 ayat (1), tarif dan obyek pajak penghasilan Pasal 23 dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1.
2. 3.
Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas: a. Dividen b. Bunga c. Royalti d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; Sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas: a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
e. PPh Pasal 25/29 Pajak penghasilan Pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. Angsuran pajak penghasilan Pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 ayat (1), besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah:
12
Universitas Sumatera Utara
sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan: a.
Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta pajak penghasilann yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b.
Pajak penghasilan yang dibayarkan atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
C. Konsep Pengakuan Pendapatan 1. Pengertian Pendapatan Untuk menentukan besarnya pajak penghasilan yang masih harus dibayar perusahaan, terlebih dahulu diketahui besarnya laba perusahaan (laba akuntansi). Laba akuntansi diperoleh dari mengurangi penghasilan dengan beban. Pengertian penghasilan menurut Standard Akuntansi Keuangan (1995:231) adalah: peningkatan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Penghasilan
(income)
meliputi
baik
pendapatan
(revenue)
maupun
keuntungan (gain). Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fee), bunga, dividen, royalty dan sewa.
13
Universitas Sumatera Utara
Menurut FASB, sebagaimana dikutip oleh Smith dan Skousen (1992: 119), pendapatan didefinisikan sebagai berikut: Arus masuk atau kenaikan-kenaikan lainnya dari nilai harta suatu satuan usaha atau penghentian hutang-hutangnya (atau kombinasi dari keduanya) dalam suatu periode akibat dari penyerahan atau produksi barang-barang, penyerahan jasa-jasa, atau pelaksanaan aktivitas-aktivitas lainnya yang membentuk operasi-operasi utama yang berlanjut terus dari satuan usaha tersebut. Sedangkan menurut PSAK (1995: 06), pendapatan
adalah arus masuk
bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama satu tahun periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan aktivitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.
2. Pengakuan Pendapatan Dalam mengakui suatu pendapatan menurut Smith Skousen (1992: 120), yaitu:
suatu aturan pengakuan pendapatan umum yang telah berkembang
menetapkan bahwa pendapatan harus dicatat bilamana dipenuhi dua kondisi sebagai berikut: 1)
Proses laba telah selesai atau sebenarnya demikian
2)
Telah terjadi suatu pertukaran.
Pendapatan timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi berikut: a. Penjualan barang Barang meliputi barang yang diproduksi oleh perusahaan untuk dijual dan barang yang dibeli untuk dijual kembali. b. Penjualan jasa Penjualan jasa biasanya menyangkut pelaksanaan tugas secara kontraktual telah disepakati untuk dilaksanakan selama satu periode waktu yang
14
Universitas Sumatera Utara
disepakati oleh perusahaan. Jasa tersebut dapat diserahkan selama satu periode atau selama lebih dari satu periode. c. Penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalty dan dividen. Bunga, pembebanan untuk penggunaan kas atau setara kas atau jumlah terutang kepada perusahaan. Royalti,
pembebanan
untuk
penggunaan
aktiva
jangka
panjang
perusahaan misalnya paten, merek dagang, hak cipta, dan perangkat lunak komputer. Dividen, distribusi laba kepada pemegang investasi ekuitas sesuai dengan proporsi mereka dari jenis modal tertentu. Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima. Jumlah pendapatan yang timbul dari suatu transaksi biasanya ditentukan oleh persetujuan antara perusahaan dan pembeli atau pemakai aktiva tersebut. Pada umumnya imbalan tersebut adalah berbentuk kas atau setara kas. Menurut IAI (1995: 13) Pendapatan dari penjualan barang harus diakui bila seluruh kondisi berikut dipenuhi: a. Perusahaan telah memindahkan resiko secara signifikan dan telah memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli; b. Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual; c. Jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan andal; d. Besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada perusahaan tersebut; e. Biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan dapat diukur dengan andal. Menurut PSAK (1995: 19), bila suatu transaksi yang meliputi penjualan jasa dapat diestimasi dengan andal, pendapatan sehubungan dengan transaksi tersebut
15
Universitas Sumatera Utara
harus diakui dengan acuan pada tingkat penyelesaian dari transaksi pada tanggal neraca. Hasil suatu transaksi dapat diestimasi dengan andal bila seluruh kondisi berikut ini dipenuhi : a. Jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal; b. Besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan; c. Tingkat penyelesaian dari suatu transaksi pada tanggal neraca dapat diukur dengan andal; d. Biaya yang terjadi untuk transaksi tersebut dan biaya untuk menyelesaikan transaksi tersebut dapat diukur dengan andal.
Menurut Gunadi (1998: 135,137-139), dalam ketentuan perpajakan tidak ada ketentuan yang mengatur secara rinci saat pengakuan penghasilan (untuk keperluan penghitungan obyek pajak). Oleh karena akan sangat membantu untuk melihat kebiasaan yang berlaku dalam praktek akunting komersial. Ketentuan pajak penghasilan menyatakan pajak dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Istilah “diterima” terlihat lebih menunjuk kepada penerimaan atau realisasi penghasilan, sedangkan istilah “diperoleh” tampaknya menunjuk kepada pengakuan (rekognisi) penghasilan. Untuk menentukan kapan penghasilan diterima atau diperoleh, UndangUndang Perpajakan menunjuk kepada metode pembukuan (yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak) berdasarkan akrual dan kas basis. Pendekatan akrual mengakui penghasilan pada saat diperoleh, pendekatan kas mengakui penghasilan pada saat diterima. Hak untuk menerima sejumlah imbalan (uang) dari pemberian jasa (atau dari penjualan barang) sudah diakui sebagai penghasilan menurut metode akrual karena terjadi realisasi transaksi. Menurut metode kas hak untuk menerima itu belum diakui sebagai penghasilan karena belum terjadi realisasi (pembayaran) dari hak tersebut. Belum diterimanya pembayaran menimbulkan resiko kolektibilitas yang perlu ditampung dalam penentuan saat pengakuan penghasilan. Sehubungan dengan penghitungan penghasilan kena pajak, metode kas dapat dipakai untuk menggeser penghasilan dari satu tahun ke lain tahun untuk memperoleh penghematan pajak. Untuk menetralisasikan hal itu, ketentuan perpajakan menyatakan untuk keperluan perpajakan metode kas basis harus dimodifikasi sebagai berikut: 1. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun bukan. Dengan kata lain, untuk penjualan dipakai metode akrual. Demikian juga dalam
16
Universitas Sumatera Utara
menghitung harga pokok penjualan harus dikaitkan dengan jumlah yang terjual itu (proper matching); 2. Pengeluaran untuk memperoleh harta yang dapat disusutkan atau hakhak yang dapat diamortisasi harus dikapitalisasi dan dikurangkan dari penghasilan bruto melalui depresiasi dan amortisasi. Pengertian penghasilan menurut Undang-undang Pajak Penghasilan telah penulis sebutkan di depan pada obyek pajak penghasilan. Pengertian tersebut (penghasilan sebagai obyek pajak dalam ketentuan perpajakan) menganut konsep basis yang luas (broad base). Untuk menjelaskan pengertian itu, UU No. 17 Tahun 2000 Pasal 4 ayat (1) memberi contoh-contoh kategori penghasilan yang merupakan obyek pajak sebagai berikut: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Penerimaan kembali pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. Royalty; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
17
Universitas Sumatera Utara
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi; o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh (2000: 267-269) juga menyebutkan yang tidak termasuk sebagai penghasilan (obyek pajak) adalah: a. 1)bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; 2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. warisan; c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah; e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan. 2. bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
18
Universitas Sumatera Utara
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi; j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha; k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1. merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Pasal 4 ayat (2) UU PPh memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur pajak-pajak tertentu secara khusus di luar yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang dikenal dengan PPh final sebagaimana dikemukakan Erly Suandy (2000: 261). Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final terdiri dari: a. transaksi penjualan efek di bursa efek, penjualan saham pendiri 0,6% x nilai transaksi atau 0,1% x jumlah bruto untuk saham biasa. b. Hadiah undian, 25% x jumlah bruto. c. Bunga deposito/ tabungan, jasa giro, 20% x nilai penghasilan bruto. d. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak real estate, 2% x nilai penjualan RS dan 5% x nilai penjualan lainnya. e. Penghasilan sewa atas tanah/bangunan, orang pribadi dan badan, 10% x nilai sewa. f. Penghasilan pelayaran dalam negeri, 1,2% x peredaran bruto. g. Pelayaran penerbangan luar negeri, 2,64% x peredaran. h. Penghasilan dan jasa konstruksi dan konsultan selain konsultan pajak dan konsultan hukum, pajaknya sebesar 2% x nilai jasa konstruksi yang diterima, 4% x nilai jasa konsultan. Penghasilan yang dikecualikan dari obyek pajak dan penghasilan yang pajaknya dikenakan final tidak perlu lagi dilaporkan dalam SPT PPh Badan.
19
Universitas Sumatera Utara
D. Konsep Pengakuan Beban 1. Definisi Beban Menurut Smith Skousen (1992: 122-123), bahwa beban memiliki definisi sebagai berikut, yaitu: Arus keluar atau penggunaan harta lainnya atau terjadinya hutang (atau kombinasi dari keduanya) dalam suatu periode akibat dari penyerahan atau produksi barang-barang, penyerahan jasa-jasa, atau pelaksanaan aktivitas-aktivitas lainnya yang membentuk operasi-operasi utama atau sentral yang berlanjut terus dari satuan usaha tersebut. Sedangkan menurut kerangka dasar penyusunan laporan keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam PSAK (1995: 70.b), disebutkan bahwa “Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal. Dalam akuntansi ada dua istilah yang biasa dipakai untuk mengurangi penghasilan suatu perusahaan di dalam penghitungan laba ruginya, yaitu biaya yang biasa disebut cost dan expense yang biasa diistilahkan menjadi beban. Pada dasarnya biaya (cost) tidaklah sama dengan beban (expense). Yang dimaksud dengan biaya adalah suatu pengorbanan dari sumber-sumber yang dilakukan dalam rangka untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini untuk memperoleh barang dan jasa sepanjang belum habis masa manfaatnya dalam usaha untuk memperoleh penghasilan. Defenisi beban mencakup baik kerugian maupun beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa, antara lain: penyusutan, gaji dan lain-
20
Universitas Sumatera Utara
lain. Beban tersebut biasanya berbentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva seperti kas (dan setara kas), persediaan dan aktiva tetap. Kerugian mencerminkan berkurangnya manfaat ekonomi, dan pada hakikatnya tidak berbeda dengan beban lain. Kerugian dapat timbul misalnya dari bencana kebakaran, banjir dan juga pelepasan aktiva tidak lancar perusahaan.
2. Pengakuan Beban Pengakuan beban menurut PSAK (1995: 94) yaitu: Beban diakui dalam laporan laba rugi kalau penurunan manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan penurunan aktiva atau peningkatan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Ini berarti pengakuan beban terjadi bersamaan dengan pengakuan kenaikan kewajiban atau penurunan aktiva. Menurut Gunadi (1998: 155-156): Pengaitan (matching) beban dengan penghasilan merupakan masalah yang cukup rumit. Dalam praktek terdapat tiga pendekatan pengaitan biaya dengan penghasilan,yaitu (1) sebab akibat (kausalitas); (2) alokasi sitematis dan rasional; (3) pengakuan segera. Dalam praktek akuntansi komersil semua biaya termasuk kerugian (losses) dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan neto(net income). Tergantung dari konsep laporan penghasilannya, pengurangan biaya dan kerugian dapat dibedakan menjadi: 1. Konsep penghasilan inklusif dengan mengurangkan semuanya dalam penghitungan neto. 2. Konsep penghasilan operasi sekarang dengan membebankan keuntungan dan kerugian luar biasa serta koreksi biaya kepada saldo laba (ditahan) ketimbang penghasilan (tahun berjalan). Berbeda dengan kedua konsep itu, untuk tujuan perpajakan tidak semua biaya dapat dikurangkan. Selain tidak membuat garis pemisah antara hal yang biasa dan luar biasa, untuk tujuan pajak, koreksi biaya dapat dilakukan dalam tahun yang sama langsung ke rugi laba.
Secara umum, sesuai dengan ketentuan UU No. 17 Tahun 2000 Pasal 6 ayat (1) huruf a (2000:
271), biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
adalah:
21
Universitas Sumatera Utara
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi dan pajak kecuali pajak penghasilan. Biaya-biaya
ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh
dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan obyek pajak. Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Selain ada atau tidaknya hubungan (langsung) antara biaya atau pengeluaran dan penghasilan menentukan dapat tidaknya biaya dikurangkan dari penghasilan (direct matching), beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi menurut Gunadi (1998: 156) yaitu: 1. Penghasilan yang diperoleh atau diterima sehubungan dengan biaya dimaksud harus merupakan penghasilan kena pajak 2. Kalau penghasilan itu dikenakan pajak maka pemajakan akan bersifat final atau tidak final.
Berbeda dengan akuntansi komersial untuk tujuan penghitungan penghasilan kena pajak tidak semua biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Menurut Gunadi (1998: 160) ada lima persyaratan umum agar pengeluaran perusahaan dapat dibiayakan, antara lain yaitu: 1. biaya bukan termasuk pengeluaran yang secara eksplisit tidak diperkenankan untuk dikurangkan oleh ketentuan perpajakan 2. biaya harus dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (kena pajak)
22
Universitas Sumatera Utara
3. biaya bukan untuk keperluan pribadi atau sebagai pemakaian penghasilan 4. biaya bukan merupakan pengeluaran kapital 5. jumlah biaya wajar.
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh 2000 (2000: 271-272), besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi: a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali pajak penghasilan; b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. kerugian karen penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya bea siswa, magang dan pelatihan; h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; 3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan 4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa
23
Universitas Sumatera Utara
manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut: PENYUSUTAN AKTIVA TETAP BERWUJUD Kelompok Harta Berwujud I. Bukan Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 II. Bangunan Permanen Tidak Permanen
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) Ayat (2)
4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun
25 % 12,5 % 6,25 % 5%
20 tahun 10 tahun
5% 10 %
Sumber: Undang–undang Republik Indonesia No. 17 Tahun Eko Jaya, hal 277
50 % 25 % 12,5 % 10 %
2000, Jakarta: CV
Sedangkan untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut: Kelompok Harta Tak Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Amortisasi berdasarkan metode Garis Lurus Saldo Menurun Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 % Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25 % Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12,5 % Kelompok 4 20 tahun 5% 10 % Sumber: Undang –Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2000, Jakarta: CV Eko Jaya, hal 277
24
Universitas Sumatera Utara
Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut. Selain biaya-biaya yang diperkenankan untuk dikurangkan atas penghasilan bruto (sebagaimana Pasal 6 ayat (1)) di dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000 (2000: 390-391) juga menyebutkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan yaitu: a. Pembagian laba, dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. Biaya dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syaratsyaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan; d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,, dan asuransi bea siswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuka natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan; f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan; h. Pajak Penghasilan; i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
25
Universitas Sumatera Utara
E. Perencanaan Pajak Penghasilan 1. Pengertian Menurut Mardiasmo (1996: 276), perencanaan pajak adalah salah satu fungsi manajemen pajak yakni mengestimasi jumlah pajak yang akan dibayar dan hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghindari pajak. Menghindari pajak (Tax avoidance) merupakan usaha pengurangan (penghematan) pajak namun tetap mematuhi ketentuan-ketentuan perpajakan, seperti memanfaatkan pengecualian, potongan/biaya yang diperkenankan dan memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku. Bukan sebaliknya melakukan pengurangan pajak dengan cara penggelapan pajak (tax evasion) yaitu penghematan/pengurangan pajak dengan jalan melanggar peraturan perpajakan, seperti memberikan data keuangan yang palsu atau menyembunyikan data. 2. Manfaat Perencanaan Pajak Menurut Mardiasmo (1996: 277), perencanaan pajak pada prinsipnya adalah sebagai berikut: a. Penghematan kas keluar: perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan; b. Mengatur aliran kas (cash flow): perencanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat. 3. Prinsip Perencanaan Pajak Untuk menghemat pajak yang merupakan beban bagi perusahaan dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut sebagaimana dikemukakan Mardiasmo (1996: 277):
26
Universitas Sumatera Utara
a. Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku. b. Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk usaha yang tepat. c. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur secara keseluruhan pengggunaan tarif pajak dan potensi penghasilan. d. Menyebar penghasilan ke beberapa tahun untuk menghindari pengenaan tarif pajak tertinggi. 4. Jenis Perencanaan Pajak Menurut Erly Suandy (2003:
116), jenis perencanaan pajak bisa
dikelompokkan menjadi dua yaitu: a. Perencanaan pajak domestik nasional (nasional tax planning) b.
Perencanaan pajak internasional (international tax planning).
Dalam perencanaan pajak nasional hanya memperhatikan undang-undang domestik, tetapi kalau perencanaan pajak internasional disamping undang-undang domestik juga harus memperhatikan undang-undang atau perjanjian pajak (tax treaty) dari negara-negara yang terlibat. 5. Perencanaan Pajak Untuk Mengestimasikan Beban Pajak Penyusunan
perencanaan
pajak
untuk
mengefisienkan
beban
pajak
(penghematan pajak) yang dilakukan oleh perusahaan haruslah bersifat legal supaya dapat menghindari sanksi-sanksi pajak dikemudian hari. Secara umum penghematan pajak menganut prinsip the least and the latest, yaitu membayar dalam jumlah seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang masih diijinkan oleh undangundang dan peraturan pajak. 6. Perencanaan Pajak untuk Pajak Penghasilan Menurut Erly Suandy (2003:128), strategi yang dapat digunakan untuk mengefisiensikan beban pajak penghasilan badan adalah: 1. Penilaian alternatif dasar pembukuan
27
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya akuntansi, dasar pembukuan yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah basis akrual (accrual basis) dan basis kas yang dimodifikasi (modified cash basis). Pada basis akrual, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat timbulnya hak dan kewajiban, meskipun uangnya belum diterima atau dibayar. Sedangkan pada basis cash, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang. Basis kas yang dimodifikasi dalam rangka menghitung PPh Badan sebagai berikut: a. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. b. Biaya-biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah dibayar. c. Dalam perolehan harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya yang boleh dibebankan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
Sebagai contoh, PT Sijabut Teing yang bergerak di bidang dagang mengunakan metode basis kas dalam mengakui pendapatan, artinya hanya mengakui penjualan yang telah dilunasi. Jumlah penjualan barang tahun 2002 sebesar Rp 100.000.000,00, namun yang dilunasi baru 90%. Sehingga PT Sijabut Teing hanya membukukan penjualan sebesar Rp 90.000.000,00. Menurut UU Pajak seharusnya PT Sijabut Teing menghitung jumlah penjualan dalam satu periode yang meliputi seluruh penjualan baik tunai maupun bukan, yaitu sebesar Rp 100.000.000,00.
2. Pengelolaan transaksi yang berhubungan dengan pemberian kesejahteraan karyawan Peluang melakukan efisiensi PPh Badan sangat banyak yang dapat dilakukan pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan. Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan, sebagai berikut: 1. Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak (tax income) yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin
28
Universitas Sumatera Utara
memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefit) karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya. 2. Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan pajak secara final sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefit), karena pemberian natura dan kenikmatan kepada karyawan tidak termasuk obyek PPh Pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan, karena PPh Badan final dihitung dari presentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil. Misalnya, seharusnya PKP tahun 2002 PT Caraka sebesar Rp 500.000.000,00 sehingga PPh seharusnya sebesar Rp 132.500.000,00. Namun perusahaan mengambil kebijakan untuk menaikkan penghasilan setiap karyawannya hampir 50% dari gaji mereka. Untuk hal tersebut perusahaan mengeluarkan dana sebesar
Rp 150.000.000,00. Dengan
adanya kebijakan tersebut maka PKP PT Caraka menurun menjadi Rp 350.000.000,00 yang berarti pula terdapat penghematan pajak sebesar Rp 45.000.000,00. Penghematan ini tentu dialokasi untuk membiayai kebijakan menaikkan gaji tersebut. Dengan demikian sebenarnya perusahaan hanya mengeluarkan dana sebesar Rp 105.000.000,00 (sebesar 70% dari total biaya yang diperkenankan) untuk membiayai pelaksanaan kebijakan kenaikan gaji tersebut. Meskipun perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak dana untuk pelaksanaan kebijakan tersebut dibanding dana yang harus dibayar untuk pajak namun perusahaan memperoleh manfaat yang sangat besar.
3. Pemilihan metode penilaian persediaan
29
Universitas Sumatera Utara
Penentuan metode penilaian persediaan cukup penting dalam perencanaan pajak terutama untuk perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan perdagangan.
Untuk
efisiensi
pajak,
terutama
dalam
kondisi
perekonomian yang mengalami inflasi dimana harga-harga barang cenderung naik, maka metode rata-rata (average) akan menghasilkan harga pokok penjualan yang lebih tinggi dibanding
dengan metode
masuk pertama keluar pertama (first in first out). Harga Pokok Penjualan (HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih kecil sehingga penghasilan kena pajak juga akan menjadi lebih kecil.
Contoh:
Jika perusahaan menggunakan metode LIFO dalam penilaian
persediaan, maka perusahaan tersebut harus mengoreksi metode penilaian persediaan dengan menggunakan metode rata-rata (average) atau metode FIFO dan perusahaan harus mengoreksi selisih dari jumlah koreksi tersebut.
4. Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tidak berwujud Penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tidak terwujud yang diakui oleh fiskus sejak tahun 1995 terdiri dari dua metode, yaitu: 1. metode garis lurus 2. metode garis menurun Penyusutan/amortisasi dengan metode garis lurus akan menghasilkan beban penyusutan yang sama besarnya setiap periode, sedangkan penyusutan/amortisasi dengan metode saldo menurun akan menghasilkan beban penyusutan lebih besar
30
Universitas Sumatera Utara
pada awal periode dan makin menurun pada periode-periode berikutnya. Pada saat umur ekonomis aktiva tersebut habis, maka jumlah akumulasi penyusutan/amortisasi dari kedua metode ini sama. Untuk efisiensi beban pajak, sebelum menentukan metode mana yang akan digunakan terlebih dahulu seorang tax planner harus melihat kondisi dari perusahaan yang bersangkutan. Jika kondisi perusahaan adalah laba dan besarnya penghasilan kena pajak sudah mencapai tariff pajak yang tinggi/tertinggi, maka metode saldo menurun menguntungkan tetapi sebaliknya jika kondisi perusahaan rugi maka lebih baik memilih metode garis lurus.
5.Transaksi yang berkaitan dengan perusahaan sebagai pemungut pajak (withholding tax) Selain sebagai pembayar pajak, perusahaan juga sebagai pemotong pajak terhadap pihak ketiga (withholding tax). Masalah yang seringkali timbul adalah pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila perusahaan tidak memotong withholding tax (misalnya PPh Pasal 23, atas jasa konsultan), maka perusahaan akan menanggung akibatnya jika dilakukan pemeriksaan oleh fiskus karena perusahaan akan dikenakan kewajiban untuk membayar withholding tax dimaksud ditambah denda kenaikan atas keterlambatan penyetoran sebesar 100% dari pokok pajak. Untuk mengatasinya maka perusahaan me-mark-up nilai transaksi supaya nilai tersebut sudah termasuk pajak, karena jika perusahaan hanya membayar PPh Pasal 23 tersebut, maka PPh yang dibayar oleh perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
31
Universitas Sumatera Utara
Contoh: Perusahaan menggunakan jasa konsultan untuk membantu pihak manajemen. Pihak konsultan menentukan fee sebesar Rp 100 juta neto (setelah pajak). 1. Jika perusahaan tidak me-mark-up nilai transaksi maka jumlah uang yang dikeluarkan untuk transaksi tersebut adalah Rp 100 juta ditambah PPh Pasal 23 sebesar 6% x Rp 100 juta = Rp 6 juta sehingga jumlah uang yang dikeluarkan adalah Rp 106 juta. 2. Jika perusahaan melakukan mark-up maka: Nilai transaksi= 100/94 x Rp 100 juta
= Rp 106.382.978
PPh Pasal 23= 6% x Rp 106.382.978
= Rp 6.382.978
Namun di sini ada penghematan pajak sebesar Rp 6.382.978 x 30% = Rp 1.914.893. Dengan demikian pembayaran neto untuk transaksi ini adalah sebesar Rp 104.468.085 (Rp 106.382.978 – Rp 1.914.893)
6.Optimalisasi pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan selain lump-sum bulanan (PPh Pasal 25) atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah pajak penghasilan yang dibayar maupun yang dipungut oleh pihak lain yang bersifat tidak final. PPh yang dapat dikreditkan antara lain: PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bagi perusahaan yang tidak bergerak di bidang real estate, PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari Pertamina, fiskal luar negeri karyawan (setoran a.n. karyawan q.q. perusahaan berikut NPWP perusahaan), PPh Pasal 23 bunga dari non bank, royalty, PPh Pasal 24 dipotong di luar negeri).
32
Universitas Sumatera Utara
Contoh: Tahun 2002 data pada PT Citrawan, total pembayaran PPh Pasal 25 adalah Rp 120.000.000,00, pembayaran PPh Pasal 22 impor sebesar Rp 20.000.000, dan pembayaran Fiskal Luar Negeri q.q. PT Citrawan adalah Rp 10.000.000. Sedangkan PPh yang terutang sebesar Rp 200.000.000. Sehingga pajak yang masih harus dibayar adalah sebagai berikut: Jumlah PPh yang terutang
Rp 200.000.000
PPh yang dipotong/dipungut pihak lain
Rp 20.000.000
PPh yang harus dibayar sendiri
Rp 180.000.000
PPh yang dibayar sendiri: PPh Pasal 25
Rp 120.000.000
Fiskal luar negeri
Rp 10.000.000
Jumlah
Rp 130.000.000
PPh yang kurang dibayar
Rp 50.000.000
Artinya jika kita kurang mengoptimalkan pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar akan merugikan wajib pajak sendiri. 7. Equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN Sebaiknya perusahaan melakukan rekonsiliasi secara periodik antara rekeningrekening yang ada di SPT PPh Badan dengan rekening yang ada di SPT PPh Pasal 21, SPT PPh Badan dengan rekening yang ada di SPT PPN, SPT PPh Pasal 21 dengan SPT PPN, jika ada perbedaan segera dapat dilakukan koreksi, hal ini untuk menghindari pengenaan sanksi perpajakan. Equalisasi dapat dilakukan antara SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21, dan antara SPT PPh Badan dengan SPT PPN.
33
Universitas Sumatera Utara
Equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN berkaitan dengan prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP untuk mengecek apakah jumlah omzet penjualan dalam SPT PPh Badan dengan jumlah omzet menurut SPT PPN bulan Desember tahun yang bersangkutan sudah sama. Perlu diperhatikan omzet penjualan antara yang tercantum dalam SPT PPh Badan dengan SPT PPN bisa berbeda. Hal ini dikarenakan: a. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh Badan lebih besar dari omzet penjualan SPT PPN karena penjualan untuk SPT PPh Badan menggunakan asas accrual basis sehingga atas penjualan kredit, jika barang telah diserahkan maka penjualannya sudah dilaporkan, sedangkan pada SPT PPN, penjualan kredit baru dibuat faktur pajaknya pada akhir bulan setelah penyerahan barang. b. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh bisa lebih kecil dari omzet penjualan di SPT PPN, karena uang muka atas penjualan yang barangnya belum diserahkan sudah harus dibuat faktur pajaknya, sementara penjualan tersebut baru dilaporkan setelah penyerahan barang.
Contoh: Jika omzet dalam SPT PPh Badan Rp 150.000.000,00 maka dalam SPT PPN bulan Desember tahun yang bersangkutan juga harus sama yaitu Rp 150.000.000,00.
8. Equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 Equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya gaji dan tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang berkaitan
34
Universitas Sumatera Utara
dengan hubungan kerja, yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21. Dasar pengenaan pajak ini terdiri dari gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada karyawan dan penghasilan lain yang diberikan kepada pihak perorangan lainnya yang menjadi obyek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama antara yang ada dalam SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21.Contoh: Jika obyek PPh Pasal 21 dalam SPT PPh Pasal 21 sebesar Rp 100.000.000,00 maka pengurang penghasilan bruto berupa gaji, upah, bonus, gratifikasi, honorarium, THR dan sebagainya juga harus berjumlah Rp 100.000.000,00.
9.Pemberian Natura di Daerah Terpencil Pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit) di daerah terpencil dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan tidak menambah penghasilan karyawan karena bukan obyek PPh Pasal 21. Pemberian natura dan kenikmatan di daerah terpencil, diatur dalam SE-29/Pj.4/1995 tanggal 5 Juni 1995.
10. Menghindari Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dilakukan terhadap Wajib Pajak yang: 1) SPT Lebih Bayar 2) SPT Rugi 3) Tidak memasukkan SPT atau terlambat memasukkan SPT 4) Terdapat informasi pelanggaran 5) Memenuhi
kriteria
tertentu
yang
ditetapkan
Dirjen
Pajak.
Menghindari lebih bayar dengan: a. Mengajukan pengurangan lump sum PPh Pasal 25,
35
Universitas Sumatera Utara
b. Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor.
11. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang berlaku.
36
Universitas Sumatera Utara