BAB II LANDASAN TEORI II.1
Pengantar Perpajakan Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. II.1.1 Definisi Pajak Menurut Wirawan B. Ilyas et al. (2008), para ahli mengemukakan berbagai pendapat tentang definisi pajak yang beberapa diantaranya dalam kutipan sebagai berikut: 1. Dr. Soeparman Soemahamidjaja Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. 2. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. Pajak ialah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
7
Dari pengertian pajak diatas, dapat disimpulkan bahwa ada unsur-unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu : 1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang. 2. Sifatnya dapat dipaksakan. 3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. 4. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. II.1.2 Fungsi Pajak Siti Resmi (2009), dalam literatur pajak sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada dua yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend. 1. Fungsi Budgeter Adalah pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan lain-lain.
8
2. Fungsi Regulerend Adalah pajak sebagai alat ukur untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah barang tersebut maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah). b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan, dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan. c. Tarif pajak ekspor sebesar 0%, dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya dipasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa Negara. d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industry semen, industri rokok, industri baja, dan lain-lain, dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan).
9
II.1.3 Pengelompokan Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2009), pajak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutannya. Menurut golongannya pajak dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. Menurut sifatnya pajak dibagi menjadi dua yaitu pajak subjektif dan pajak objektif. a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak . Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
10
Menurut lembaga pemungutannya pajak dibagi menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : -
Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
-
Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
II.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. b. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang.
11
c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. II.1.5 Tata Cara Pemungutan Pajak Mardiasmo (2010), Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel : a. Stelsel nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak yang didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak yang dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.
12
II.2
Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang PPh sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan ialah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak (orang pribadi atau badan) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. Penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat 1 ialah setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut PER-31/PJ/2009 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sedangkan Pajak Penghasilan Pasal 26 menurut PER-31/PJ/2009 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
13
II.2.1 Subjek PPh Pasal 21 Subjek PPh Pasal 21 yaitu penerima penghasilan yang selanjutnya disebut Wajib Pajak, yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21 menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-15 / PJ /2006 yaitu : 1. Pejabat Negara, adalah : a. Presiden dan Wakil Presiden. b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. c. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung. e. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. f. Menteri dan Menteri Negara. g. Jaksa Agung. h. Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi. i. Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten. j. Walikota dan Wakil Walikota Kepala Daerah Kota. 2. Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU No 8 tahun 1974. 3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD.
14
4. Pegawai Tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara terus-menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung. 5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi 6. Tenaga lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. 7. Penerima pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua. 8. Penerima honorarium, adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang di lakukannya. 9. Penerima upah, adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan. II.2.2 Tidak Termasuk Subjek PPh Pasal 21 Yang tidak termasuk subjek pajak atau penerima penghasilan yang di potong PPh Pasal 21, menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-15 / PJ /2006 tanggal 23 Februari 2006, adalah :
15
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat : -
Bukan WNI, dan
-
Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
-
Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 601/KMK.03/2005 sepanjang : -
Bukan warga Negara Indonesia.
-
Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
II.2.3 Objek PPh Pasal 21 Mardiasmo (2009), Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan pajak, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
16
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenisnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun. 3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima oleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan dan pemagangan yang merupakan calon pegawai. 4. Uang tebusan pensiun. Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja. 5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lainnya sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari : -
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
-
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model dan seniman lainnya.
-
Olahragawan.
-
Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
17
-
Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
-
Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, computer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan social.
-
Agen iklan.
-
Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat.
-
Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan.
-
Peserta perlombaan.
-
Petugas penjaja barang dagangan.
-
Petugas dinas luar asuransi.
-
Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai.
-
Distributor perusahaan multi level marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lainnya yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara dan PNS. 7. Uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lainnya yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anakanaknya. 8. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain pemerintah, atau Wajib Pajak yang
18
dikenakan PPh yang bersifat final yang dikenakan PPh berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit). II.2.4 Tidak Termasuk Objek PPh Pasal 21 Menurut Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009, yang tidak temasuk objek pajak, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : 1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus. 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggaraan Jamsostek yang dibayarkan pemberi kerja. 4. Zakat yang diterima oleh pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. II.2.5 Pemotong PPh Pasal 21 Pemotong PPh Pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 untuk memotong PPh Pasal 21. Pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 adalah pemberi kerja yang melakukan pembayaran penghasilan kepada orang pribadi. Pemotong pajak terdiri dari pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, 19
dana pensiun atau pihak penyelenggara suatu kegiatan yang membayar gaji, upah, honorarium, uang pensiun atau pembayaran imbalan lainnya. Di lain sisi, pihak yang dipotong PPh Pasal 21 (si terpotong) adalah orang pribadi yang telah melakukan usaha, kegiatan atau memberikan jasa baik sebagai pegawai maupun bukan pegawai. Menurut Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009, pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau 26 meliputi : -
Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
-
Bendaharawan atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, dan kegiatan.
-
Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
-
Orang pribadi yag melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar : a. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek 20
Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas atau bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. b. Honorarium atau pembayaran lai sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri. c. Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan dan magang. -
Penyelenggara kegiatan termasuk badan pemerintahan, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dalam suatu kegiatan.
II.2.6 Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak Siti Resmi (2009), hak-hak pemotong PPh Pasal 21 adalah a. Pemotong pajak berhak atas kelebihan jumlah penyetoran PPh Pasal 21 yang terjadi karena jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam waktu 1 tahun takwim lebih kecil daripada jumlah PPh Pasal 21 yang telah disetor. Jumlah kelebihan tersebut akan diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
21
b. Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Pasal 21. Permohonan diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwin berikutnya dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara PPh Pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwin yang bersangkutan. c. Pemotong pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan permohonan banding kepada Badan Pengadilan Pajak. Kewajiban Pemotong PPh Pasal 21 adalah a. Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Perlayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak Setempat. b. Pemotong pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Perlayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. c. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap akhir bulan takwim. d. Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya.
22
e. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima jaminan hari tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun. f. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan baik kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun pajak berakhir. g. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak berkewajiban mengitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiunan bulanan menurut tarif Pasal 17 UU No. 17 Tahun 2000 atau tarif yang terbaru tarif Pasal 17 UU No. 36 tahun 2008. h. Pemotong pajak wajib mengisi, menandatangi, dan menyampaikan SPT Tahunan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak temapt pemotong pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. i. Pemotong pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh dalam waktu pajak yang bersangkutan. j. Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang apabila jumlah PPh pasal 21 terutang dalam 1 (satu) tahun takwim lebih besar daripada PPh Pasal 21 yang telah disetor.
23
II.2.7 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21 Mardiasmo (2009), Hak-hak Wajib Pajak PPh Pasal 21 adalah : a. Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari pajak penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. b. Wajib Pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemungut pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. c. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21 adalah : a. Wajib pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga. b. Menyerahkan bukti pemotongan PPh 21 kepada : •
Kantor cabang baru, dalam hal pindah tugas
•
Tempat kerja baru, dalam hal pindah kerja
•
Dana pensiun, dalam hal pensiun
c. Menyerahkan SPT Tahunan PPh 21 jika bekerja pada lebih dari 1 pemberi kerja. 24
II.2.8 Pengurangan Yang Diperbolehkan Purno. M et al. (2011), pengurangan yang diperbolehkan untuk penghasilan bruto pegawai tetap terdiri dari biaya jabatan dan iuran pensiun/Jaminan Hari Tua. Sementara itu, untuk penerima pensiun, pengurang yang diperbolehkan hanya terdiri dari biaya pensiun. Berikut ini adalah uraian lebih rinci : •
Biaya jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan besarnya 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000 setahun atau Rp500.000 sebulan. (peraturan lama besarnya maksimal Rp 1.296.000 atau Rp 108.000 per bulan).
•
Maksimum / tahun
1999-2008 KMK 521/1998 Rp 1.296.000
2009 PMK 250/2008 Rp 6.000.000
Maksimum / bulan
Rp 108.000
Rp 500.000
Iuran pensiun / Jaminan Hari Tua, yaitu iuran yang terkait dengan gaji yang dibayarkan oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
•
Biaya pensiun adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang pensiun besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-tingginya Rp2.400.000 setahun atau Rp200.000 sebulan. (Peraturan lama besarnya maksimal Rp 432.000 atau Rp 36.000/bulan).
25
II.2.9 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penyesuaian PTKP dari tahun ke tahun yaitu : 2005
2006-2008
2009
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri
UU No 36
Keuangan No.
Keuangan No.
Tahun 2008
564/KMK.03/2004
137/PMK.03/2005
Untuk diri sendiri
Rp 12.000.000
Rp 13.200.000
Rp15.840.000
Tambahan
Rp 1.200.000
Rp 1.200.000
Rp 1.320.000
Rp 1.200.000
Rp 1.200.000
Rp 1.320.000
untuk
Wajib Pajak yang menikah Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang.
Wajib pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan 26
seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh wajib pajak. Skema hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Hubungan sedarah : a. Lurus satu derajat : Ayah, Ibu, Anak kandung b. Kesamping satu derajat : Saudara kandung (kakak, adik kandung) 2. Hubungan semenda : a. Lurus satu derajat : Mertua, anak tiri b. Kesamping satu derajat : Saudara ipar ( adik ipar, kakak ipar) Penjelasan mengenai status Wajib Pajak yang terdiri dari : •
Tidak Kawin (TK) beserta tanggungannya. Misalnya TK/1 : tidak kawin dengan satu tanggungan, TK/2, TK/3, dan TK/0.
•
Kawin beserta tanggungannya. Misalnya kawin tanpa tanggungan (K/0), kawin dengan satu tanggungan (K/1). Wajib Pajak untuk status ini berarti Wajib Pajak kawin, istri tidak mempunyai penghasilan atau mempunyai penghasilan tetapi tidak digabungkan dengan penghasilan suami di SPT PPh Orang Pribadi.
•
Kawin, istri punya penghasilan dan digabungkan dengan penghasilan suami, serta jumlah tanggungannya. Misal K/I/1 artinya Wajib Pajak kawin, istri berpenghasilan dan digabungkan dengan suami di SPT dengan satu tanggungan.
27
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008, besarnya PTKP untuk karyawati yang bekerja yaitu : •
Status karyawati kawin, sebesar PTKP untuk diri sendiri.
•
Status karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk diri sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
•
Status karyawati kawin dapat menunjukan surat keterangan tertulis dari PEMDA setempat minimal tingkat kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk diri sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
II.2.10 Tarif Pajak dan Perhitungan PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 dikenakan atas penghasilan orang pribadi, sehingga besarnya tarif PPh Pasal 21 yang digunakan sama dengan tarif yang digunakan untuk perhitungan PPh terutang penghasilan orang pribadi dari kegiatan usaha, tarif pajak menurut Ketentuan Pasal 17 ayat (1) a Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000 sebagai berikut : Lapisan Penghasilan kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,00
5%
Di atas Rp 25.000.000,00 s.d Rp 50.000.000,00
10 %
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00
15%
Di atas Rp 100.000.000,00 s.d. Rp 200.000.000,00
25%
Di atas Rp 200.000.000,00
35%
28
Sedangkan tarif pajak menurut Ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000
5%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000
15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000
25%
Diatas Rp 500.000.000
30%
Tarif ini mulai berlaku pajak 2009 (per 1 Januari 2009). Berdasarkan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh bahwa besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang menunjukan NPWP. Tarif umum PPh Pasal 21, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU PPh, adalah sebagai berikut (non-NPWP) : Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Non NPWP
Sampai dengan Rp 50.000.000
6%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000
18%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000
30%
Diatas Rp 500.000.000
36%
Untuk keperluan penerapan tarif pajak sesuai dengan Pasal 21 UU PPh, jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
29
Formula perhitungan pasal 21 secara umum, bekerja sejak awal tahun (Jan–Des) adalah sebagai berikut : Penghasilan bruto / bulan
XXX
Biaya yang diperkenankan sebagai Pengurang: -
Biaya jabatan
XXX
-
Iuran pensiun
XXX
-
Biaya pensiun
XXX
Total biaya pengurang
(XXX)
Penghasilan netto x 12 (disetahunkan)
XXX
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
(XXX)
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
XXX
Dikalikan tarif progresif ( 5%,15%,25%,30%) PPh Pasal 21 terutang pertahun
XXX
PPh pasal 21 terutang perbulan (PPh terutang : 12)
XXX
Untuk mempermudah dalam menerapkan dasar pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima, klasifikasi berdasarkan status karyawan, penerapan biaya jabatan, PTKP, dan objek pajak dapat dilakukan. Berikut klasifikasinya:
1. Karyawan yang berhak mendapatkan biaya jabatan/pensiun dan PTKP hanyalah karyawan tetap dan/atau pensiunan. (Penghasilan bruto – biaya jabatan – PTKP = Penghasilan Kena Pajak) 2. Karyawan yang berhak mendapatkan PTKP saja yaitu karyawan tidak tetap yang terdiri dari: a. Pegawai harian lepas dengan upah harian, mingguan, satuan, borongan, honorarium, dan imbalan lainnya yang jumlah honorarium dan imbalan lainnya tersebut dihitung atas dasar banyaknya hari yang dipakai. 30
b. Penerima beasiswa. c. Pemagang dan calon pegawai. d. Penerima komisi atas kegiatan multilevel marketing. (Penghasilan Bruto – PTKP = Penghasilan Kena Pajak) 3. Berdasarkan Pasal 11 Kep-DJP No.545/PJ./2000, karyawan yang tidak berhak mendapatkan biaya jabatan dan PTKP adalah karyawan tidak tetap yang terdiri dari: a. Honorarium, uang saku, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung
tidak
atas
dasar
banyaknya
hari
yang
diperlukan
untuk
menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan, termasuk yang diterima oleh wajib pajak, seperti: 1. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan, peragawati, pemain drama, penari, pemahar, pelukis, dan seniman lainnya 2. Olahragawan 3. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator 4. Pengarang, peneliti, dan penerjemah 5. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk di bidang teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, dan ekonomi dan sosial 6. Agen iklan
31
7. Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan serta peserta sidang atau rapat 8. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan 9. Peserta perlombaan 10. Petugas penjaja barang dagangan 11. Petugas dinas luar asuransi 12. Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai b. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama, selama 1 tahun takwim. c. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai, selama 1 tahun takwim. d. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan oleh peserta program pensiun, yang diterima atau diperoleh selama 1 tahun takwim. (Penghasilan Bruto = Penghasilan Kena Pajak) 4. Jasa Ahli (Karyawan Tidak Tetap) a. Jasa yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, notaris, penilai, aktuaris, dan konsultan. b. PPh terutang atas PPh Pasal 21 yang dikenakan kepada para tenaga ahli sebesar 7,5% x penghasilan bruto dan menurut Peraturan Direktur Jenderal
32
Pajak Nomor PER-31/PJ/2009, Tarif Pasal 17 x 50% x Jumlah Penghasilan Bruto. 5. Atas penghasilan pegawai atau karyawan yang dikenakan pajak bersifat final. a. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan lain yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah dipotong PPh Ps. 21 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali yang dibayarkan kepada PNS Gol. IId kebawah, anggota TNI/POLRI Peltu kebawah/ Ajun Insp./Tingkat I Kebawah. 6. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp.150.000 sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp. 1.320.000,- dan atau tidak di bayarkan secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp. 150.000. Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp.1.320.000,- sebulan, maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi 360. II.3
Pelaporan dan Penyetoran Pajak Gatot.S .M (2010), pelaporan pajak terdiri dari pelaporan bulanan dan tahunan.
Pelaporan bulanan terdiri dari laporan pajak atas nama sendiri dan laporan atas pemotongan atau pemungutan pajak pihak lain. Sarana pelaporan pajak ialah Surat Pemberitahuan (SPT).
33
Menurut UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu : •
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
•
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
No 1
Uraian
Jenis SPT
Keterangan
Surat Pemberitahuan SPT Masa Bulanan
PPh Pasal 21/26 SPT Masa
Pengganti SPT
Terakhir PPh Pasal 21 Tahunan PPh Pasal 21 2
Surat Pemberitahuan SPT Tahunan Tahunan
PPh Pasal 21
Ditiadakan sejak tahun pajak 2009
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah •
Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.
•
Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
34
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka dikenai sanksi administrasi sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. Jika Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan maupun Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak lebih besar, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang bayar. Batas waktu pengumpulan SPT Tahunan PPh Pasal 21 adalah tanggal 31 Maret setelah akhir Tahun Pajak, SPT tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau dikukuhkan dengan cara menyampaikan langsung atau melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 Maret setelah Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT disampaikan. SPT Tahunan PPh Pasal 21 terdiri dari induk SPT dan lampiran-lampirannya yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Induk SPT dan lampiran-lampirannya masing-masing diberi nomor, kode, dan nama pada formulirnya sebagai berikut :
35
No Kode 1 1721 2 1721 - A 3
1721 - A1
4
1721 - A2
5
1721 - B
6
1721 - C
Nama Formulir SPT Tahunan PPh Pasal 21. Daftar Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun/ THT/ JHT. Penghasilan dan Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai tetap atau Pensiun/ THT/ JHT. Penghasilan dan Perhitungan PPh Pasal 21 PNS, Anggota ABRI, Pejabat Negara dan Pensiunannya. Daftar Pegawai Tidak Tetap/ Penerima Honorarium dan Penghasilan Lainnya/ Penerima Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 21 Bersifat Final/ Pegawai dengan Status WP Luar Negeri. Daftar Penghasilan yang dibayarkan kepada Pengurus/ Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas/ Tenaga Ahli.
Keterangan Induk SPT Lampiran I Lampiran I-A Lampiran I-B
Lampiran II
Lampiran III
Gatot. S. M (2010), sejak Tahun Pajak 2009 SPT Tahunan PPh Pasal 21 sudah tidak digunakan, untuk Tahun Pajak 2009 digunakan SPT Masa Terakhir (Desember) PPh Pasal 21 sesuai dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2009 Format SPT Masa PPh Pasal 21 (Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2009). No Kode 1 1721 2 1721 - I
3
4
1721 - II
1721 - T
Keterangan SPT masa PPh Pasal 21. Formulir ini merupakan daftar bukti pemotongan PPh Pasal 21 pegawai tetap/penerima pensiun. Fungsinya sama dengan formulir 1721 A dulu. Formulir ini hanya dilampirkan di masa Desember saja. Namun demikian, Wajib Pajak tidak perlu melampirkan formulir 1721 A1 atau A2 sebagaimana dulu di SPT Tahunan PPh Pasal 21. Formulir ini merupakan daftar perubahan pegawai tetap dan hanya dilampirkan pada saat ada pegawai tetap yang keluar atau masuk dan ada pegawai tetap yang baru memiliki NPWP. Formulir ini merupakan daftar pegawai tetap/penerima pensiunan berkala. Dilampirkan hanya pada saat pertama kali Wajib Pajak berkewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21. Bagi Wajib Pajak yang sudah memiliki kewajiban penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21, maka formulir ini harus disampaikan pada masa Juli 2009. 36
5
6
Formulir 1721 A1 Formulir ini kalau dilihat sepintas sama saja dengan formulir atau A2 1721 A1-A2 yang lama, fungsinyapun sama saja, hanya saja formulir ini sekarang merupakan pendukung dari formulir SPT Masa PPh Pasal 21 pada bulan Desember saja walaupun tidak dilampirkan. Bukti Potong PPh Untuk SPT Masa PPh Pasal 21 masa Januari sampai dengan Pasal 21 Non Desember, tetap saja ada daftar bukti potong dan bukti Pegawai Tetap potong untuk penerima penghasilan selain pegawai tetap. Nah, kalau praktek seperti ini sama saja dengan sebelumnya. Yang membedakan mungkin di masa Desember yang ada perhitungan PPh Pasal 21 pegawai tetap selama setahun.
37