BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Pajak
2.1.1.1 Definisi Pajak Dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1 Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Siti Resmi (2013:169) adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut Djajadiningrat dalam dalam Siti Resmi (2013:169), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.
9
10
Menurut Andreson dalam Diana Sari (2013:35) adalah pembayaran yang bersifat paksaan kepada negara yang dibebankan pada pendapatan kekayaan seseorang yang diutamakan untuk membiayai pengeluaran negara. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara sebagai pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.
2.1.1.2 Dasar Hukum pajak Negara kita telah menempatkan landasan pemungutan pajaknya dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, yang berbunyi: “segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-undang” Pengertian hukum pajak menurut Rochmat Somitro dalam Diana Sari (2013:45) adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak.
11
Dalam pengaturan dan sistematikanya peraturan-peraturan di bidang perpajakan dipisahkan antara kelompok hukum pajak, yaitu: 1. Hukum Pajak Materill Yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang dikenakan pajak. Umumnya hukum pajak materiil mempermasalahkan subjek, objek, tarif dan dasar pengenaan pajak. 2. Hukum Pajak Formil Yang memuat norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang berisi bagaimana melaksanakan hukum pajak materiil tersebut. Umumnya hukum pajak formil mengatur tentang hak dan kewajiban, prosedur, dan sanksi.
2.1.1.3 Fungsi Pajak Terdapat dua fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti PPh, PPN, PPnBM, PBB, dan lain-lain.
12
2. Fungsi Regularend (Pengatur) Sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalamidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Contohnya: a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan. c. Tarif pajak ekspor 0%. d.
Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja, dan lain-lain.
e. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi. f. Pemberlakuan tax holiday.
2.1.1.4 Jenis Pajak Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga: 1. Menurut Golongan a. Pajak Langsung Pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. b. Pajak Tidak Langsung Pajak yang pada akhirnya dapat dibeankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika
13
terdapat
suatu
kegiatan,
peristiwa,
atau
perbuatan
yang
menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa.
2. Menurut Sifat a. Pajak Subjektif Pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. b. Pajak Objektif Pajak yang pengenaannya memperhatikan objeknya baik berpa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal.
3. Menurut Lembaga Pemungut a. Pajak Negara (Pajak Pusat) Pajak yang dipungut oleh pemerintah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya. b. Pajak Daerah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat satu (pajak provinsi) maupun daerah tingkat dua (pajak kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga masing-masing.
14
2.1.1.5 Sistem Pemungutan Pajak 1. Official Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 2. Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 3. Wihtholding System Sistem pemungutan pajak yang memeberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak tahunnya sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku.
2.1.2
Pajak Penghasilan
2.1.2.1 Definisi Pajak Penghasilan Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 1 Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
15
2.1.2.2 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Peraturan perundangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU No. 36 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak maupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.
2.1.2.3 Subjek Pajak Penghasilan Berdasar Pasal 2 ayat 1 UU No.36 Tahun 2008 yang menjadi subjek pajak adalah: 1. Orang Pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. 2.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak Pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
3. Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, BUMN, BUMD,
firma,
kongsi,
koperasi,
dana
pensiun,
persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
16
lembaga, dan bentuk badan lainnya temasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 4. Bentuk Usaha Tetap (BUT) BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
2.1.2.4 Objek Pajak Penghasilan Menurut Siti Resmi (2013:80) objek pajak penghasilan merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Objek pajak penghasilan dikelompokkan menjadi: a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja d b. an peekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya. c. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
17
d. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha. e. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
2.1.3
Pajak Penghasilan Pasal 21
2.1.3.1 Definisi Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut Siti Resmi (2013:169), merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri. Menurut Diana Sari (2013:25), Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah PPh yang harus dipotong oleh setiap pemberi kerja terhadap imbalan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, penghargaan, maupun pembayaran lainnya, yang mereka bayar atau terutang kepada orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan orang pribadi tersebut.
2.1.3.2 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, menetapkan: 1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
18
a. Pemberi kerja membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka apapun. d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjan bebas, dan e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. 2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. 3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. 4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi
19
bagian penghasilan yang todak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. 5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. 5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. 6) Dihapus. 7) Dihapus. 8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.1.3.3 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU No. 36 Tahun 2008 untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Termasuk pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/KMK.03/2008 adalah: 1. Pemberi kerja; 2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
20
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembagalembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; 3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; 4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar: a. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. b.
Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.
c. Honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pegawai magang. 5. Penyelenggara kegiatan.
21
2.1.3.4 Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 Penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan: 1. Pegawai; 2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya; 3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberi jasa, meliputi: a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri pengacara, akuntan, dokter, arsitek, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; b. Pemain musik, pembawa acara, pelawak, penyanyi, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; c. Olahragawan; d. Pensihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; e. Pengarang, peneliti, penerjemah; f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; g. Agen iklan; h. Pengawas atau pengelola proyek;
22
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; j. Petugas penjaga barang dagangan; k. Petugas dinas luar asuransi; l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan jenis lainnya; 4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama. 5. Mantan pegawai; 6. Peserta kegiatanyang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi: a. Peserta kegiataan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; b. Peserta rapat, koferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; d. Peserta pendidikan dan pelatihan; e. Peserta kegiataan lainnya.
23
2.1.3.5 Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan 21 adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; 2. Penghasilan yang diteria atau diperoleh Penerima pensiun seacara teratur berupa uang pesiun atau penghasilan sejenisnya; 3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan; 4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakuakn; 5. Imabalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis dengan nama apa pun; 6. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka watu 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja. 7. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisari atau dewan
24
pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama; 8. Penghasilan berupa jasa produksi, , tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; 9. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; 10. Semua jenis penghasilan no. 1 s.d. 9 yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh: a. Wajib Pajak yang dikenakan PPh bersifat fianal;atau b. Wajib Pajak yang dikenakan PPh berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit).
2.1.3.6 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak secara umum diformulasikan sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Pasal 21 = Tarif Dasar x Penghasilan Kena Pajak (PKP)
25
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.36 Tahun 2008 digunakan sebagai dasar menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 0 s.d Rp 50.000.000 Rp 50.000.000 s.d Rp 250.000.000 Rp 250.000.000 s.d Rp 500.000.000 Di atas Rp 500.000.000
Tarif Pajak 5% 15% 25% 30%
Penghitungan Pajak Pengahasilan 21 bagi pegawai tetap atas penghasilan yang bersifat tetap secara umum dapat dirumuskan sebagi berikut:
Penghasilan Bruto
1. Gaji sebulan
xxx
2. Tunjangan Pajak Penghasilan
xxx
3. Tunjangan dan honorarium lainnya
xxx
4. Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja
xxx
5. Penerimaan dalam bentuk natura yang dikenakan pemotongan PPh 21 xxx 6. Jumlah penghasilan bruto (jumlah 1 s.d 5)
xxx
Pengurangan
7. Biaya jabatan (5% x penghasilan bruto, maks Rp 500.000 sebulan)
xxx
8. Iuran pensiun atau iuran THT/JHT (yang dibayarkan oleh WP)
xxx
9. Jumlah pengurangan (jumlah 7 + 8)
(xxx)
26
Penghitungan Pajak Penghasilan 21
10. Penghasilan neto sebulan (6 - 9)
xxx
11. Penghasilan neto setahun/disetahunkan (10 x 12)
xxx
12. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
xxx
13. Penghasilan Kena Pajak setahun (11 -12)
xxx
14. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang (13 x tarif pasal 17 ayat 1)
xxx
15. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebulan (14 : 12)
xxx
2.1.4
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
2.1.4.1 Definisi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebagaimana dimaksud pasal 7 UU No. 77/2000, seorang pegawai dihitung berdasarkan penghasilan nettonya dikurang dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang jumlahnya telah ditentukan dalam
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
122/PMK.010/2015 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam Michel Salim & Lili Syafitri (2013) adalah faktor pengurangan terhadap penghasilan netto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia. Sedangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam Nuritomo (2007) merupakan standar kehidupan minimum yang diberikan negara kepada wajib pajak yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.
27
2.1.4.2 Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 122/PMK.010/2015 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya tariff Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah:
Wajib Pajak Tambahan Untuk WP Kawin Tambahan Untuk Tanggungan Tambahan Apabila Penghasilan Isteri Digabung
2.2
Rp 36.000.000 Rp 3.000.000 Rp 3.000.000 Rp 36.000.000
Kerangka Pemikiran Pajak merupakan salah satu penerimaan Negara yang berpotensi besar
dalam membiayai pengeluaran serta biaya negara yang dibebankan kepada masyarakat. Salah satu pajak yang di bebankan oleh pemerintah kepada masyarakatnya adalah Pajak Penghasilan (Michel Salim & Lili Syafitri, 2013). Dalam Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2008 pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (Siti Resmi, 2013:169). Menurut Nuritomo (2007) Pajak penghasilan merupakan pajak subjektif sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak. Hal ini diwujudkan dengan pemberian kelonggaran berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan komponen
28
pengurang dalam perhitungan PPh Pasal 21, yaitu sebagai pengurang dalam pemotongan penghasilan yang dapat dikenakan tarif pajak yang terutang (Michel Salim & Lili Syafitri, 2013). Menurut UU No.36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (3) kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penjelasan ayat tersebut bahwa dalam menghitung Laba Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 122/PMK.010/2015 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) mempengaruhi penerimaan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi melalui potensi pajaknya dan dalam kondisi tertentu. Keberadaan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebenarnya adalah untuk memberikan keringanan kepada penduduk berpenghasilan rendah (redistribusi pendapatan). Namun keringanan ini harus mengacu kepada perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi yang terjadi pada masyarakat kelas bawah. Keputusan untuk merubah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ideal berapa besar, dan bagaimana pengaruhnya terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Ramli, 2006). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah faktor pengurang terhadap penghasilan netto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak
29
penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia (Michel Salim & Lili Syafitri, 2013). Dengan demikian, maka Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21, besar kecilnya peranan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam mempengaruhi penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 tergantung pada tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang digunakan. Berikut adalah tabel hasil penelitian-penelitian terdahulu yang menyangkut keterkaitan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Tabel 2.2 Peneliti Terdahulu No 1
Nama dan Tahun Penelitian Nuritomo (2007)
Judul Penelitian Pengaruh Peningkatan PTKP Terhadap Penerimaan Pajak
Variabel Penelitian
2
Michel Salim & Lili Syafitri (2013)
Analisis Pengaruh Kenaikan PTKP Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
Variabel Independen (X) dalam Penelitian ini adalah Peningkatan PTKP Variabel Dependen (Y) dalam Penelitian ini adalah Penerimaan Pajak Variabel Independen (X) dalam Penelitian ini adalah Kenaikan PTKP Variabel Dependen (Y) dalam Penelitian
Hasil Penelitian
Peningkatan PTKP memberikan pengaruh yang besar terhadap penerimaan pajak penghasilan pasal 21. Penerimaan pajak penghasilan pasal 21 mengalami penurunan sebesar 26,04% dengan diberlakukannya PTKP baru ini. Batas PTKP meningkatkan penerimaan pajak Batas PTKP meningkatkan jumlah Wajib Pajak.
30
3
Ramli (2006)
Analisis Perubahan PTKP Terhadap Penerimaan PPh 21 dan Ekonomi
ini adalah Penerimaan Pajak Penghasilan Variabel Independen (X) dalam Penelitian ini adalah Perubahan PTKP Variabel Dependen (Y) dalam Penelitian ini adalah Penerimaan PPh 21 dan Ekonomi
4
Putri Indrayanti
Pengaruh Kenaikan
Variabel Independen (X)
Persentase potensi wajib pajak akibat perubahan PTKP sebesar 68,56 % dan tidak potensi sebesar 31,50 %. Besar potential loss pendapatan yang diterima akibat perubahan PTKP sebesar 38,39 %. Disposable Income yang diterima sampel akibat perubahan PTKP cenderung naik sebesar 2,63 %. Fungsi konsumsi sebelum perubahan PTKP Y = 1119688 + 0,5983 X1, dan sesudah perubahan PTKP Y = 896174,80 + 0,5980 X1. Fungsi pajak sebelum perubahan PTKP Y = 549559,40 + 0,0804 X1, dan sesudah perubahan PTKP Y = -701297,60 + 0,0728 X1. Perubahan pendapatan tidak kena pajak akibat perubahan PTKP sebesar 46,22 %. Penerimaan pajak tidak langsung dari sampel yang diamati sebesar Rp. 56.912.337,53. Pada tahun 2012 sebelum perubahan Penghasilan
31
(2014)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
dalam Penelitian ini adalah Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Variabel Dependen (Y) dalam Penelitian ini adalah Penerimaan Pajak Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) dan data pada tahun 2013 setelah perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak mengalami perubahan pada 3 (tiga) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sukabumi, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Tegallega, dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Karees karena nilai sig0.304 lebih besar dari 0.05 (5%).
Berikut adalah gambar paradigma penelitian perubahan Pengahasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pajak Penghasilan Pasal 21
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Gambar 2.1 Paradigma Penelitian
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian pada kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan
hipotesis penelitian ini adalah:
32
H1
: Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21