BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Waris 1. Pengertian Hukum Waris Dalam sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab أرﺛﺎ- ﻳﺮث- ورثyang artinya mewarisi.1 Jika dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.2 Sedangkan pengertian hukum waris secara terminologi adalah hukum yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi, orangorang yang tidak mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya.3 Dalam redaksi yang lain, Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kepemilikan seseorang atas sesuatu setelah meninggalnya pewaris karena adanya sebab dan syarat tertentu.4
1
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren alMunawir, 1984, hlm. 1655. 2 Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin, 1981, hlm. 81. 3 T.M. Hasby As-Shidiqy, Fiqh Mawaris, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, Cet. Ke1, 1997, hlm. 6. 4 Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Ahkam al-Mawariis fi al-Islamiyati, Dar alKitab al-‘Araby, Cet. Ke-I, 1984, hlm. 5.
15
16 Hukum waris sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak dari kata ﻓﺮﻳﻀﻪyang artinya bagian.5 Hal ini karena dalam Islam bagianbagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam alQur’an. Sedangkan secara istilah, al-Syarbani mendefinisikan sebagai berikut :
اﻟﻔﻘﻪ اﻟﻤﺘﻌﻠﻖ ﺑﻼرث وﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﺤﺴﺎب اﻟﻤﻮﺻﻮل اﻟﻰ ﻣﻌﺮﻓﺔ داﻟﻚ .6ﺡﻖ
وﻣﻌﺮﻓﺔ ﻗﺪر اﻟﻮاﺟﺐ ﻣﻦ اﻟﺘﺮآﺔ ﻟﻜﻞ ذى
Artinya : “Ilmu fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, mengetahui cara perhitungan yang dapat mengetahui bagian yang wajib diberikan kepada orang yang berhak atas harta waris tersebut” Dari pengertian hukum waris dan faraid diatas, dapat diambil suatu titik temu bahwa pada dasarnya hukum waris atau faraid merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas permasalahan yang berkaitan dengan hubungan orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup terhadap harta kekayaan maupun hak dan kewajiban yang ditinggalkannya. 2. Dasar Hukum Waris Dasar hukum waris terdapat dalam beberapa sumber hukum Islam diantaranya:
5
Ahmad Warson al-Munawir, Op. Cit., hlm. 1124. Muhammad Khatib al-Syarbani, Mugni al-Muhtaj, Juz III, Beirut-Libanon : Dar AlFikr, t.th., hlm. 3. 6
17 a. Al-Qur’an Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang kuat, yaitu ayat-ayat al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’i al-wurud, juga qath’i al-dalalah meskipun pada dataran tanfiz (aplikasi) sering ketentuan baku al-Qur’an tentang bagian-bagian waris mengalami perubahan pada bagian nominalnya misalnya kasus radd, ’aul dan sebagainya.7 Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan dapat dijumpai dalam beberapa surat dan ayat sebagai berikut: 1. Al-Qur’an surat al-Nisa’ Ayat 33, yang menyatakan adanya hak bagi ahli waris dari setiap harta peninggalan.
ت ْ ﻋ َﻘ َﺪ َ ﻦ َ ن وَاﱠﻟﺬِﻳ َ ن وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑُﻮ ِ ك ا ْﻟﻮَاِﻟﺪَا َ ﻲ ِﻣﻤﱠﺎ َﺕ َﺮ َ ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ َﻣﻮَاِﻟ َ ﻞ َوِﻟ ُﻜ ﱟ (٣٣ :)اﻟﻨﺴﺎء
َأ ْﻳﻤَﺎ ُﻥ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺂﺕُﻮ ُه ْﻢ َﻥﺼِﻴ َﺒﻬُﻢ
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dari karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya”.8 (QS. Al-Nisa’: 33) 2. Al-Qur’an syarat al-Nisa’ Ayat 7 menyatakan bahwa ahli waris laki-laki dan perempuan, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang ditentukan.
7
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, jakarta:PT Raja Grafindo Persada,cet.ke3,1989,hlm.374. 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Semarang : CV. Toha Putra, 1989,hlm.122-123.
18
ﺐ ِﻣﻤﱠﺎ ٌ ن َوﻟِﻠ ﱢﻨﺴَﺎ ِء َﻥﺼِﻴ َ ن وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑُﻮ ِ ك ا ْﻟﻮَاِﻟﺪَا َ ﺐ ِﻣﻤﱠﺎ َﺕ َﺮ ٌ ل َﻥﺼِﻴ ِ ﻟِﻠ ﱢﺮﺟَﺎ (٧:ﻣ ْﻔﺮُوﺽ ًﺎ )اﻟﻨﺴﺎء َ َأ ْو َآ ُﺜ َﺮ َﻥﺼِﻴﺒًﺎ
ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ن ِﻣﻤﱠﺎ َﻗ ﱠ َ ن وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑُﻮ ِ ك ا ْﻟﻮَاِﻟﺪَا َ َﺕ َﺮ
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.9 (QS. Al-Nisa’: 7) 3. Ayat yang menerangkan secara rinci ketentuan bagi ahli waris (furud al-muqoddaroh) terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 11,12 dan 176. 4. Ayat yang menegaskan pelaksanaan ketentuan ayat-ayat waris diatas, yaitu surat al-Nisa’ ayat 13 dan 14, bahwa bagi orang yang melaksanakan akan dimasukkan surga selamanya dan bagi orang yang sengaja mendurhakai hukum Allah maka bagi mereka akan mendapat siksa di neraka. b. Al-Hadits Selain al-Qur’an, hukum kewarisan juga didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW. Adapun hadits yang berhubungan dengan hukum kewarisan diantaranya: 1. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas riwayat Bukhari Muslim:
ﻗﺎل رﺱﻮل:اﺧﺒﺮﻥﺎ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻃﺎوس اﺑﻴﻪ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ اﻗﺴﻤﻮااﻟﻤﺎل ﺑﻴﻦ اهﻞ اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﻋﻠﻰ .10ذآﺮ
9
آﺘﺎب اﷲ ﻓﻤﺎ ﺕﺮآﺖ اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﻓﻼوﻟﻰ رﺟﻞ
Ibid, hlm.116. Imam Abi al-Kusain Muslim Ibn al-Hijjaj Al-Qusyairy al-Naisabury, Sohih Muslim, beirut-libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992, hlm. 1234. 10
19 Artinya: “Kami telah diberi tahu oleh Ma’mar dari Ibn Thowus, dari bapaknya, dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: “bagilah harta waris diantara orang-orang yang berhak menerima bagian sesuai dengan ketentuan al-Qur’an. Jika masih ada tinggalan (sisa) maka yang lebih berhak adalah ahli waris lakilaki” 2. Hadits Nabi dari Jabir Ibn Abdillah
أﺧﺒﺮﻥﺎ ﻋﻤﺮ واﺑﻦ اﺑﻰ ﻗﻴﺲ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﻨﻜﺪر ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﺟﺎءﻥﻰ رﺱﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ ﻳﻌﻮدوﻥﻰ:ﻋﺒﺪ اﷲ ﻗﺎل ﻳﺎﻥﺒﻲ اﷲ آﻴﻒ أﻗﺴﻢ ﻣﺎﻟﻰ ﺑﻴﻦ:واﻥﺎ ﻣﺮﻳﺾ ﻓﻰ ﺑﻨﻰ ﺱﻠﻤﺔ ﻓﻘﻠﺖ )ﻳﻮﺻﻴﻜﻢ اﷲ ﻓﻰ اوﻻدآﻢ:وﻟﺪى؟ ﻓﻠﻢ ﻳﺮد ﻋﻠﻲ ﺷﻴﺄ ﻓﻨﺰﻟﺖ 11
(ﻟﻠﺬآﺮ ﻣﺜﻞ ﺡﻆ اﻻﻥﺜﻴﻴﻦ
Artinya: “Kami telah diberitahukan oleh ‘Amr Ibn Abi Qois dan Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin Abdillah berkata: Rasulullah telah datang menjengukku sedang saya dalam keadaan sakit di bani Salamah kemudian saya bertanya: “Wahai Nabi Allah bagaimana saya harus membagi harta diantara anak-anakku, maka sebelum Nabi bertolak dariku maka turunlah ayat:
ﻳﻮﺻﻴﻜﻢ اﷲ ﻓﻰ اوﻻدآﻢ ﻟﻠﺬآﺮ ﻣﺜﻞ ﺡﻆ اﻻﻥﺜﻴﻴﻦ Yang artinya Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”. 3. Ijma dan ijtihad. Ijma’ dan ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris
11
Abi Isa’ Muhammad Bin Isa Bin Sauri, al-Jami’al-Shahih, Juz IV,Beirut-Libanon:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,t.th.,hlm.363.
20 yang belum dijelaskan oleh nash-nash shorih.12 Ijma dan Ijtihad disini adalah menerima hukum warisan sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan masyarakat dan menjawab persoalan yang muncul dalam pembagian warisan yaitu dengan cara menerapkan hukum, bukan mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada. B. Rukun Dan Syarat Kewarisan 1. Rukun Kewarisan Sebagaimana hukum lainnya, masalah warispun memiliki ketentuan khusus (rukun-rukun) yang harus terpenuhi. Dengan kata lain, hukum waris dipandang sah secara hukum Islam jika dalam proses penetapannya dipenuhi tiga rukun, yaitu: waris, muwarrits dan maurutus.13 Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Sabiq, menurut beliau pewarisan hanya dapat terwujud apabila terpenuhi 3 hal, yaitu:14 a.
Al- Waris, yaitu orang yang akan mewariskan harta peninggalan si muwaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempustakai seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dengan si muwaris.
12
13
Fahtur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT Al Ma’arif, Cet. Ke-2, 1981,hlm.33.
Allamah Abu bakarUsman bin Muhammad Syaththo al-Dimyati al-Bakry, I’anat alTholibin, juz III, Bairut-Libanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Cet.ke-I, 1995, hlm.383. 14 Al-Syayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Baerut-Libanon : dar-alFikr, cet ke- I, 1977.
21 b.
Al –Muwarris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqy maupun mati hukmy, seperti orang yang hilang kemudian dihukumi mati.
c.
Al–Maurus, disebut juga tirkah dan miras yaitu harta benda atau hak yang akan dipindahkan dari muwaris kepada al-waris.
2. Syarat Kewarisan Pusaka mempusakai adalah berfungsi sebagai menggantikan kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya. Oleh karena itu pusaka mempusakai memerlukan syarat-syarat sebagai berikut: a. Matinya mawarris
(orang yang mempusakakan). Meninggalnya
pewaris merupakan conditio sine quanon untuk terbukanya harta waris, karenanya meninggalnya pewaris harus nyata adanya. Apabila tidak jelas kematiannya tetap menjadi miliknya yang utuh sebagaimana dalam keadaan yang jelas hidupnya.15 Kematian pewaris menurut doktrin fikih dapat dibedakan kepada tiga macam, yaitu: 1.
Mati haqiqy artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
2.
Mati Hukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti kasus seseorang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Melalui keputusan
22 hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal. 3.
Mati taqdiri yaitu anggapan bahwa seseorang talah meninggal dunia. Misalnya karena ada ikut ke medan perang atau tujuan lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak di ketahui kabar beritanya dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal dunia, maka dapat dinyatakan bahwa ia meninggal.16
b. Hidupnya waris (orang yang mempusakai) di saat kematian muwaris, ketentuan ini merupakan syarat mutlak agar seseorang berhak menerima warisan, sebab orang yang sudah meninggal dunia tidak mampu lagi membelanjakan hartanya, baik yang diperoleh karena pewarsi maupun sebab-sebab lainnya.17 Hidupnya ahli waris itu baik secara hakiki maupun secara taqdir hidup secara hakiki berarti ketetapan tentang hidupnya ahli waris secara nyata dapat diketahui dan dapat diterima menurut syara, sedangkan hidup secara taqdir sebagaimana anak dalam kandungan, ia tetap berhak menerima harta waris bila bapaknya meninggal.18 c. Tidak adanya penghalang-penghalang mempusakai (mawani’ul irsi). Dalam kitab I’anat al-Tholibin dijelaskan bahwa penghalang 15
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT> Pustaka Jaya, Cet Ke- 1995, hlm.52. 16 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet ke-2, 1995,hlm. 22-23. 17 Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, Cet Ke-1, 1999,hlm. 46.
23 mempusakai itu ada 3 macam yaitu pembunuhan, perbudakan dan perbedaan agama.19 Dengan dipenuhinya rukun dan syarat kewarisan seperti tersebut di atas, maka harta waris yang tertinggal dapat dibagikan kepada para ahli waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. C. Kewajiban Ahli Waris Terhadap Harta Peninggalan Menurut jumhur fuqoha dan ketentuan yang termuat dalam pasal 175 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, terhadap peninggalan pewaris tersebut melekat beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh ahli waris sebelum diadakan pembagian harta warisan, yaitu : 1. Biaya pengurusan jenazah (tajhiz) Yang disebut tajhiz ialah biaya-biaya perawatan yang diperlukan orang yang meninggal, mulai dari saat meninggalnya sampai saat penguburannya. Biaya itu mencakup biaya-biaya untuk memandikanya, mengkafani, mengusung dan menguburkannya.20 Besar biaya tersebut diselesaikan secara wajar dan makruf, tidak boleh terlalu kurang dan tidak boleh berlebihan. Firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Furqon ayat 67: (٦٧:َﻗﻮَاﻣ ًﺎ )اﻟﻔﺮﻗﺎن
18 19
hlm. 383.
20
ﻚ َ ﻦ َذِﻟ َ ن َﺑ ْﻴ َ ﺴ ِﺮﻓُﻮا َوَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻘ ُﺘﺮُوا َوآَﺎ ْ ﻦ ِإذَا َأ ْﻥ َﻔﻘُﻮا َﻟ ْﻢ ُﻳ َ وَاﱠﻟﺬِﻳ
Muhammad Muhyyidin’ Abdul Hamid, Op. Cit, hlm. 14-15. Allamah Abu Bakar Usman bin Muhammad Syaththo al-Dimyati al-Bakary, Op. Cit., Fathur Rahman, Op. Cit, hlm .43.
24 Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya) tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, tetapi adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.21 Para Fuqaha telah sepakat bahwa perawatan pewaris harus diambilkan dari harta peninggalanya.22 Apabila harta peninggalanya tidak mencukupi biaya tersebut, para ulama berbeda pendapat, Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa kewajiban menanggung biaya perawatan tersebut terbatas keluarga yang semasa hidupnya ditanggung oleh si mati. Karena merekalah yang telah menikmati hasil jerih payah si mati, maka sangat wajar apabila mereka yang diberi tanggung jawab memelihara jenazah orang yang berjasa kepada mereka.23 Kalau si mati tidak mempunyai kerabat, diambilkan dari bait al-mal, dan kalau dari bait al-mal pun tidak memungkinkan, maka biaya perawatannya dibebankan kepada orang Islam yang kaya, sebagai pemenuhan kewajiban fardu kifayah.24 Fuqaha aliran Makiyyah berpendapat bahwa biaya perawatannya harus diambilkan dari bait al mal (kas perbendaharaan negara), karena keadaan yang semacam itu menjadi beban kewajiban bait al-mal.25 Pendapat mayoritas ulama kiranya patut dipedomi karena keluargalah yang sebaiknya bertanggung jawab menyelesaikan persoalan pewaris, apakah meninggalkan harta, maka sudah sepantasnya mereka pula bertanggung jawab mengurus segala sesuatunya. 21
Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 568. Fahtur Rahman ,Loc. Cit. 23 Ahmad Rofiq,Op. Cit, hlm. 389. 24 Fatchur Rahman, Loc. Cit. 22
25 2. Pelunasan Hutang Hutang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang.26 Apabila seseorang yang meninggalkan hutang pada orang lain belum dibayar, maka sudah seharusnya utang tersebut dilunasi dari harta peninggalannya, sebelum harta dibagikan kepada ahli waris. Kewajiban-kewajiban terhadap Allah yang belum sempat ditunaikan seperti mengeluarkan zakat, pergi haji, pembayaran kafarah dan lain sebagainya, juga disebut dengan hutang secara majazy, bukan haqiqy, sebab kewajiban untuk menunaikan hal-hal tersebut bukan sebagai imbalan dari suatu prestasi yang pernah diterima oleh seseorang, tetapi sebagai pemenuhan kewajiban yang dituntut sewaktu seseorang masih hidup.27 Dasar hukum tentang wajibnya didahulukan pelunasan utang si mati dijelaskan dalam firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 11 : (١١ :)اﻟﻨﺴﺎء
ﻦ ٍ ﺻ ﱠﻴ ٍﺔ ﻳُﻮﺻِﻲ ِﺑﻬَﺎ َأ ْو َد ْﻳ ِ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ َو ْ ِﻣ
Artinya: “………(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang Ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…..” .28 Para ulama memahami bahwa kata au yang secara harfiyah berarti atau berlaku sebagai tafsil (rincian) bukan tartib (urutan). Dengan
25
Ibid. Ibid. 27 Ibid. 28 Departemen Agama RI, Op. Cit. Hlm. 117. 26
26 demikian, didahulukannya kata wasiat daripada utang hendaknya untuk memberi motivasi agar orang yang akan meninggal hendaknya melakukan wasiat pada sebagian hartanya. Untuk itu, utang tetap didahulukan daripada wasiat.29 3. Pelaksanaan Wasiat Setelah menggunakan harta peninggalan orang yang meninggal untuk mengurus dan membayar hutang, langkah selanjutnya adalah untuk melaksanakan wasiat selama tidak bertentangan dengan ketentuan syara’. Wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela tabarru) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan baik sesuatu berupa barang maupun manfaat.30 Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 106:
ﺻ ﱠﻴ ِﺔ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻮ َ ت ﺡِﻴ ُ ﺡ َﺪ ُآ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻀ َﺮ َأ َ ﺡ َ ﺷﻬَﺎ َد ُة َﺑ ْﻴ ِﻨ ُﻜ ْﻢ ِإذَا َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا َ َﻳَﺎ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ض ِ ﺽ َﺮ ْﺑ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر َ ن َأ ْﻥ ُﺘ ْﻢ ْ ﻏ ْﻴ ِﺮ ُآ ْﻢ ِإ َ ﻦ ْ ن ِﻣ ِ ﺧﺮَا َ ل ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َأ ْو ﺁ ٍ ﻋ ْﺪ َ ن َذوَا ِ ا ْﺛﻨَﺎ (١٠٦ :)اﻟﻤﺎﺋﺪة
ت ِ َﻓَﺄﺻَﺎ َﺑ ْﺘ ُﻜ ْﻢ ُﻣﺼِﻴ َﺒ ُﺔ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang diantara kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat maka hendaklah diantara kamu, atau dua orang berlainan yang kamu, atau dua orang berlainan agama dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di muka bumi kalau kamu ditimpa bahaya kematian. 31 (QS: al-Maidah: 106) Mengenai jumlah harta yang diwasiatkan, ulama sepakat bahwa jumlahnya tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW: 29
Ahmad Rofiq, Op.Cit, hlm.39. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa’adillatuhu, ,juz IV, Damsyik : Dar al-Fikr ,Cet ke-3, 1989, hlm.86. 30
27
اﺧﺒﺮﻥﻲ ﻋﻤﺮ وﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﺑﻦ ﺱﻌﻴﺪ ﻗﺎل ﺡﺪﺛﻨﺎ ﺱﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﻣﺮﺽﺎ :اﺷﻔﻴﺖ ﻣﻨﻪ ﻓﺎﺕﺎﻥﻰ رﺱﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ ﻳﻌﻮدﻥﻰ ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎرﺱﻮل اﷲ ان ﻟﻲ ﻣﺎﻻ آﺜﻴﺮا وﻟﻴﺲ ﻳﺮﺋﻨﻰ اﻻ اﺑﻨﺘﻰ اﻓﺎﺕﺼﺪق ﺑﺜﻠﺜﻰ ﻣﺎﻟﻲ ﻗﺎل ﻻ ﻗﻠﺖ ﻓﺎﺷﻄﺮ ﻗﺎل ﻻ ﻗﻠﺖ ﻓﺎﻟﺜﻠﺚ واﻟﺜﻠﺚ آﺜﻴﺮ ان ﺕﺘﺮك .32اﻟﻨﺎس
ورﺋﺘﻚ اﻏﻨﻴﺎء ﺧﻴﺮ ﻟﻬﻢ ﻣﻦ ان ﺕﺘﺮآﻬﻢ ﻋﺎﻟﺔ ﻳﺘﻜﻔﻔﻮن
Artinya: “Telah mengabarkan kepada saya ‘Amr bin ‘Utsman bin Sa’id ia telah bercerita kepada kami sufyan bin Sa’id dari bapaknya ia berkata: saya sedang menderita sakit keras saya memerlukan obat darinya, maka datanglah Rasulullah SAW untuk menjengukku dan saya bertanya kepada beliau: “ Wahai Rasulullah saw, aku sedang menderita sakit keras bagaimana pendapatmu? Aku ini orang berada, sementara tidak ada yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku sedekahkan dua pertiga hartaku (sebagai wasiat)? Rasulullah SAW menjawab ‘jangan’. Kemudian Sa’ad berkata kepada beliau, bagaimana jika separuhnya? Rasulullah bersabda ‘jangan’. Kemudian Rasulullah bersabda pula ‘sepertiga, dan sepertiga itu banyak atau besar. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orangorang kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta kepada orang banyak (Riwayat Imam Bukhori dan Muslim) Setelah semua hal yang bersangkutan dengan harta pusaka tersebut dilaksanakan, maka harta peninggalan yang ada dibagikan kepada para ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.
D. Ahli Waris Dan Bagian-Bagiannya 1.
Ahli Waris
31
Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 180. Jalal al-Din al-Suyuthi, Sunan al-Nasai, Juz V, Beirut : Dar al-Fikr, Cet Ke-1, 1930, hlm. 241-242. 32
28 Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima warisan ada 17 orang, terdiri dari 10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan.33 Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan 34. Dari jenis kelamin laki-laki adalah ; anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ke bawah, bapak, kakek hingga ke atas, saudara sekandung, saudara sebapak, saudara seibu, anak laki-laki dari saudara sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-laki dari paman sekandung, anak laki-laki adari paman sebapak, suami dan orang laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya (mu’tiq). Sedangkan ahli waris dari jenis kelamin perempuan adalah :anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak bapak, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, isteri dan perempuan yang memerdekakan hamba sahaya (mu’tiqoh).35 2.
Macam-macam Ahli waris Berdasarkan tiga penyebab mewarisi yang disepakati Ulama Fikih, maka ahli waris dapat dibagi tiga macam.36 a. Ahli Waris karena hubungan perkawinan (sababiyah), adalah ahli waris yang berhubungan pewarisannya timbul karena hubungan perkawinan.37
33
Abi Ishaq Ibrohim bin’Ali bin Yusf, al-Muhadzdzab, Beirut-Libanon : Dar al-Kutub al- Ilmiyah, cet ke-1,1995,hlm. 406. 34 Ahmad Rofiq,Op.Cit, hlm.50. 35 Abdul Aziz Dahlan (et al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT> Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet Ke- 1, 1997, hlm.309. 36 Ibid.
29 b. Ahli waris karena hubungan keturunan (nasabiyah) atau kekerabatan (gharibah) adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada muwaris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini terdiri dari 13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, seluruhnya 21 orang.38 Dari Ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila dikelompokkan menurut tingkatan kekerabatannya adalah sebagai berikut.39 1.
Furu ‘al-waris, yaitu ahli waris anak keturunan si mati, atau tersebut kelompok cabang (al-bunuwwah). Kelompok inilah yang terdekat, dan mereka yang didahulukan menerima warisan. Ahli waris kelompok ini adalah: anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki, anak laki-laki dan cucu laki-laki garis laki-laki.
2.
Ushul al-waris, yaitu ahli waris leluhur si mati. Kedudukannya berada setelah kelompok furu’al-waris. Mereka adalah :bapak, ibu kakek garis bapak, kakek garis ibu, nenek garis ibu dan nenek garis bapak.
3.
Al-Hawasy, yaitu ahli waris kelompok saudara termasuk di dalamnya paman dan keturunannya seluruhnya ada 12 orang, yaitu: saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak saudara laki-laki
37
Ahmad Rofiq, Loc. Cit. Ibid. 39 Ibid, hlm.51-52. 38
30 sekandung, maka saudara laki-laki seayah, paman sekandung, paman seayah, anak paman sekandung dan anak paman seayah. c. Ahli waris karena membebaskan hamba sahaya (wala’), yaitu ahli waris yang hubungan pewarisnya timbul karena memerdekakan hamba sahaya.40 Ahli waris wala’ hanya satu, yaitu mantan tuan (yang memerdekakan), sedangkan hamba sahaya (yang memerdekakan) bukan ahli waris bagi mantan tuannya.41 Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima dapat dibedakan kepada: a.
Ahli waris ashab-al-furud, yaitu orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash al-Qur’an, al-Sunnah atau al-Ijma.42
b.
Ahli waris ashabah, yaitu waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan kepada waris ashab al-furud.43sebagai penerima bagian sisa, ahli waris ashabah, terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan ), terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena habis diambil ahli waris ashab al-furud.44
c.
Ahli waris zawi al-arham, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, tetapi mereka tidak termasuk ke dalam golongan ashab al-furud dan tidak pula
40
Ibid, hlm. 53-54. Abdul Aziz Dahlan (et al), Op. Cit, hlm.310. 42 Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Op. Cit, hlm. 54-55. 43 Ahmad Rofiq, Op. Cit, hlm. 49. 41
31 ke dalam golongan ashabah.45 Kerabat yang termasuk dalam golongan zawi al-arham ialah sebagaimana yang tersebut dalam kitab I’anat al-thholibin jilid III:
, وﺑﻨﺖ اخ, واﺧﺖ, وﻟﺪ ﺑﻨﺖ: وهﻢ اﺡﺪ ﻋﺸﺮ,ﺛﻢ ذوي اﻻ رﺡﺎم ووﻟﺪ, وام اﺑﻰ ام, واﺑﻮ ام, وﻋﻤﻪ, وﺧﺎﻟﺔ, وﺧﺎل,وﻋﻢ وﻋﻢ ﻻم .46ﻻم
اخ
“ Kemudian dzawi al-arham itu sebelas, yaitu cucu (laki-laki atau perempuan) dari garis perempuan, anak perempuan dari cucu perempuan, saudara perempuan, anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan paman, paman seibu, saudara (laki-laki atau perempuan) ibu, saudara perempuan bapak, kakek dari pihak ibu, nenek dari pihak bapak, dan anak dari saudara laki-laki seibu Para ulama berbeda pendapat apakah mereka dapat menerima warisan atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang saling berlawanan yaitu: 47 a. Pendapat yang mengatakan bahwa dzawi al-arham itu tidak dapat mempusakai sama sekali. Jadi, andaikata ada seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan ahli waris ashad al-furud atau ashabiyah, maka harta peninggalannya diserahkan kepada bait almal, biarpun ia meninggalkan ahli waris dzawi al-arham. b. Pendapat yang mengatakan bahwa dzawi al-arham itu dapat mempusakai harta peninggalan, bila ahli warisnya yang telah
44
Ibid, hlm. 59. Muhammad Hasbi As-Shiddiqy, Op. Cit, hlm. 61. 46 Allarah Abu Bakar Usman bin Muhammad Syaththo al-Dimyathi al-Bakary, Op. Cit, hlm. 386-387. 47 Fatchur Rahman, Op. Cit,hlm. 351-353. 45
32 wafat tidak meninggalkan ahli waris ashad al furud yang dapat menerima radd atau ahli waris ashabah nasabiyah. 3.
Bagian-bagian Ahli Waris Masing-masing ahli waris mempunyai bagian yang berbedabeda, keadaan ini dipengaruhi oleh jumlah ahli waris ada. Adapun perincian bagian masing-masing adalah sebagai berikut:48 a.
b.
Anak perempuan, berhak menerima bagian: -
½ jika sendirian tidak bersama anak laki-laki
-
2/3 jika dua orang anak atau lebih tidak dengan anak laki-laki
Cucu perempuan garis laki-laki berhak menerima: -
½ jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub (terhalang)
-
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki
-
1/6 sebagai pelengkap 2/3 jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau lebih ia tidak mendapatkan bagian.
c.
Ibu, berhak menerima bagian: -
1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau lebih
-
1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih
48
Ahmad Rofiq, Op. Cit, hlm.50.
33 d.
Bapak, berhak menerima bagian: -
1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki
-
1/6 + sisa, jika bersama satu perempuan atau cucu perempuan.
Jika bapak bersama ibu: -
Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih
-
1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika ada anak, cucu atau saudara dua orang lebih
-
ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami atau isteri
e.
Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian: -
1/6 jika seorang
-
1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
f.
Kakek, jika tidak mahjud berhak menerima bagian: -
1/6 jika bersama anak lak0-laki atau cucu laki-laki
-
1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki
-
1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain
-
1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain.
34 g.
Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian: -
½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung
-
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara lak-laki sekandung
h.
Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian : -
½ seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
-
2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
-
1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3
i.
Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedududkannny sama apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian : -
1/6 jika seorang diri
-
1/3 dua orang atau lebih
-
Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu (musyarakah)
j.
k.
Suami, berhak menerima bagian -
½ jika tidak mempunyai anak atau cucu
-
¼ jika bersama dengan anak atau cucu
Isteri, berhak menerima bagian
35 -
¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu
-
1/8 jika bersama anak atau cucu
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Islam mengatur peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup dengan tidak membedakan apakah ahli waris perempuan atau ahli waris laki-laki. Islam membedakan besar kecilnya bagian-bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhan dan tanggung jawab yang dipikul, disamping memandang jauh dekatnya hubungan dengan pewaris. Namun demikian, dalam skripsi ini penulis lebih menitikberatkan pada praktek pembagian harta waris antara ahli waris anak laki-laki dengan ahli waris anak perempuan yang dilaksanakan oleh masyarakat muslim di Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal. Hal ini bukan bermaksud memanfaatkan ahli waris lain, akan tetapi semata-mata karena hal tersebut merupakan fokus dari penelitian yang dilakukan oleh penulis.