BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi Pajak Definisi
pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”(p.3) Pengertian pajak menurut beberapa ahli, diantaranya sebagai berikut: 1.
Prof. Dr. M.J.H. Smeets “Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terutang melalui normanorma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai Pemerintah”.
2.
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. “Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi),
7
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Menurut Ilyas Wirawan B. & Richard Burton (2010, p6-7) dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur dalam pengertian pajak, yaitu: 1.
Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
2.
Sifatnya dapat dipaksakan;
3.
Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak;
4.
Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan
5.
Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
II.1.2 Fungsi Pajak Terdapat 2 (dua) fungsi pajak menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak.(2009, p1-2), yaitu : 1.
Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya.
2.
Fungsi mengatur (regulerend)
8
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. II.1.3 Jenis-Jenis Pajak Pajak dikelompokkan menjadi beberapa jenis pajak yang dibagi sesuai dengan tujuan dan manfaatnya, diantaranya yaitu: 1.
Pajak penghasilan (PPh)
2.
Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN & PPn BM)
3.
Bea meterai
4.
Pajak bumi dan bangunan (PBB)
5.
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
6.
Pajak daerah dan restribusi daerah
II.1.4 Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti pajak penjualan, yaitu pajak yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan atas barang dan/atau jasa kepada konsumen, sehingga pengusaha tersebut akan memasukkan Pajak Pertambahan Nilai di dalam harga jualnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai disebut juga sebagai pajak atas konsumsi (tax on consumption). Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai antara lain : 1.
Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda. 9
2.
Netral dalam perdagangan lokal dan internasional.
3.
Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan barang modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan,
4.
Ditinjau dari besar pendapatan Negara, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mendapat predikat sebagai money maker. Karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.
Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai antara lain; : 1. Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan pajak tidak langsung lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun di pihak wajib pajak. 2. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul. 3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. 4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. II.1.5 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Subjek dari Pajak Pertambahan Nilai adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.
10
Tidak termasuk sebagai subjek dari Pajak Pertambahan Nilai yaitu pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak, antara lain untuk : 1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). 2. Memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang. 3. Membuat Faktur Pajak atas setiap penyerahan kena pajak. 4. Membuat nota retur dalam hal terdapat pengambilan Barang Kena Pajak (BKP). 5. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya. 6. Menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang. 7. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN). II.1.6 Objek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009, p276) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas : 1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah : 11
a)
Barang Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak (BKP).
b)
Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud.
c)
Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.
d)
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor Barang Kena Pajak (BKP). 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Syarat-syaratnya adalah : a) Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak (JKP) b) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean c) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 6. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). 7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. 8. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (bukan inventori) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), sepanjang Pajak
12
Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan. II.1.7 Non-Objek Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai no.42 tahun 2009 pasal 4A, jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan d. Uang, emas batangan, dan surat berharga. Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: a. Jasa pelayanan kesehatan medis; b. Jasa pelayanan sosial; c. Jasa pengiriman surat dengan perangko; d. Jasa keuangan; e. Jasa keagamaan; f. Jasa pendidikan; 13
g. Jasa kesenian dan hiburan; h. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; i. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; j. Jasa tenaga kerja; k. Jasa perhotelan; l. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; m. Jasa penyediaan tempat parkir; n. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; o. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan p. Jasa boga atau katering. II.1.8 Tarif Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No.42 tahun 2009 Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas ekspor Barang Kena Pajak (BKP) adalah 0% (nol persen).
14
II.2 Mekanisme Pemungutan, Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai II.2.1 Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009, p284) Mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat digambarkan sebagai berikut: a)
Pada saat membeli / memperoleh Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP), akan dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh penjual. Bagi pembeli, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa Faktur Pajak.
b)
Pada saat menjual/menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pihak lain, wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bagi penjual, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual wajib membuat Faktur Pajak.
c)
Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
d)
Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
15
e)
Pelaporan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
II.2.2 Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Mardiasmo (2009, p278) untuk menghitung besarnya PPN yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah: 1. Harga Jual Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 2. Penggantian Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 3. Nilai Ekspor Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. 16
4. Nilai Impor Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undang Pabean untuk impor Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan nilai. 5. Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. II.2.3 Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut:
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak II.3 Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan Menurut Resmi, S (2008, p40) Pajak Masukan dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran, jika dipenuhi ketentuan berikut ini: 1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penjual menerbitkan Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak Sederhana yang diterima oleh pembeli tentu saja tidak dapat digunakan sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan sehingga merugikan pembeli. 2. Faktur Pajak Standar diisi dengan lengkap dan tidak cacat. Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap dan cacat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana. 3. Pajak Masukan dengan Faktur Pajak Standar dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. 17
Apabila dalam masa suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. 4. Pajak Masukan dengan Faktur Pajak Standar yang belum dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. 5. Setelah batas akhir pengkreditan Pajak Masukan terlampaui, maka Faktur Pajak Standar tidak dapat lagi dikreditkan dan kesempatan mengkreditkan dapat dilakukan lagi jika Pengusaha Kena Pajak melakukan pembetulan SPT masa PPN. II.4 Faktur Pajak II.4.1 Definisi Faktur Pajak Menurut Waluyo (2009, p69) Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai. Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean atau ekspor Barang Kena Pajak dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean. Pembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi setiap Pengusaha Kena Pajak, karena Faktur Pajak adalah bukti yang menjadi sarana pelaksanaan cara kerja (mekanisme) pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai. 18
II.4.2 Jenis Faktur Pajak Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009, p288) yang masih didasari Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No.18 tahun 2000, Faktur Pajak dapat berupa: 1. Faktur Pajak Standar. Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang paling sedikit memuat: 1. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP); 2. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP); 3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; 4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut; 5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) yang dipungut; 6. Kode, nomor seri, tanggal pembuatan Faktur Pajak; 7. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak Standar harus dibuat pada: a) Saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). b) Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau 19
c) Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 2. Faktur Pajak Gabungan. Untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) yang sama. Faktur Pajak Gabungan yang merupakan Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). 3. Faktur Pajak Sederhana. Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat: 1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP); 2. Jenis dan kuantitas Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP); 3. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau besarnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dicantumkan terpisah; 4. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana dalam hal:
20
a) Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada konsumen akhir, dan/atau; b) Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP )dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) yang nama, alamat atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)nya tidak dapat diketahui. 4. Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar oleh Dirjen Pajak. Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar paling sedikit harus memuat: 1. Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen; 2. Nama dan alamat penerima dokumen; 3. Nomor Pokok Wajib Pajak dalam hal penerima dokumen adalah sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri. 4. Jumlah satuan barang apabila ada; 5. Dasar Pengenaan pajak; 6. Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor. Sehubungan dengan diterbitkannya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No.42 tahun 2009, maka jenis Faktur Pajak Sederhana telah dihapuskan dan hanya dikenal satu jenis Faktur Pajak yang disebut dengan Faktur Pajak yang diatur dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No.42 tahun 2009 Pasal 13.
21
II.5 Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) II.5.1 Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN Menurut Mardiasmo (2009, p299) Surat Pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), mengenai perhitungan: 1. Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian Barang Kena Pajak (BKP) atau realisasi penerimaan Jasa Kena Pajak (JKP). 2. Pajak Keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). 3. Penyetoran Pajak atau kompensasi. II.5.2 Bentuk Formulir SPT Masa PPN Jenis SPT masa Pajak Pertambahan Nilai menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-147/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Bagi Pemungut PPN, maka dikenal 2 (dua) SPT Masa PPN, yaitu: 1. SPT masa Pajak Pertambahan Nilai bentuk formulir 1107, yang wajib digunakan bagi semua Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan mulai berlaku sejak Masa Pajak Januari 2007; serta
22
2. SPT masa Pajak Pertambahan Nilai bentuk formulir 1107 PUT, yang wajib digunakan bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mulai berlaku sejak Masa Pajak Januari 2007. Namun sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), dan diatur juga dalam SE-98/PJ/2010 maka sejak 1 Januari 2011 atau sejak SPT Masa PPN untuk Masa Januari 2011 akan dikenai 3 (tiga) jenis SPT Masa PPN, yaitu : 1. SPT Masa PPN 1111 SPT Masa PPN 1111 digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menggunakan mekanisme Pajak Masukan dan Pajak Keluaran (Normal). Petuntuk pengisian SPT Masa PPN 1111 dan bentuk formulirnya dapat dilihat di lampiran PER-44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN). 2. SPT Masa PPN 1111 DM SPT Masa PPN 1111 DM, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan; Petuntuk pengisian SPT Masa PPN 1111 DM dan bentuk formulirnya dapat dilihat di lampiran PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
23
Nilai (SPT Masa PPN). Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan. 2. SPT Masa PPN 1107 PUT SPT Masa PPN 1107 PUT, yang digunakan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). II.5.3 Pembetulan SPT Menurut Mardiasmo (2009, p31) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan Syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan: a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil; 24
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar; c. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau d. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ini beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. II.6 Saat Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Saat penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Undangundang No.18 tahun 2000, yaitu: a. Penyetoran dilakukan paling lama pada tanggal 15 setelah berakhirnya Masa Pajak. b. Pelaporan dilakukan paling lama pada tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak. Saat penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Undangundang No.42 tahun 2009, yaitu: a. Penyetoran dilakukan paling
lama pada akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. b. Pelaporan dilakukan paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
25