BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Dasar Perpajakan
II.1.1
Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Leroy Beaulieu dalam Santoso (2003 : 3) “ Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.” Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam Ilyas dan Burton (2007 : 5) “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak sebagai berikut : 1. Iuran masyarakat kepada negara; dalam arti bahwa yang berhak untuk melakukan pemungutan pajak hanyalah negara, dengan alasan apapun swasta atau partikelir tidak boleh memungut pajak.
10
2. Berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan); dalam arti bahwa walaupun
negara
mempunyai
hak
untuk
memungut
pajak
namun
pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari rakyatnya yaitu melalui undang-undang. 3. Tanpa jasa timbal (prestasi) dari negara yang dapat langsung ditunjuk; dalam arti bahwa jasa timbal atau kontra prestasi yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak. 4. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum; dalam arti bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah tersebut mempunyai manfaat bagi masyarakat secara umum.
II.2
Pajak Penghasilan Menurut Ilyas (2007 : 19) pajak penghasilan merupakan jenis pajak yang
bersifat langsung yaitu pajak yang bebannya ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan dikenakan berulang-ulang pada waktu tertentu. Selain itu, pajak penghasilan merupakan pajak subjektif yang dikenakan dengan memerhatikan keadaan pribadi subjeknya. Jadi, PPh merupakan pajak yang akan dikenai kepada subjek pajak (wajib pajak) atas penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun pajak. Pajak Penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif. Menurut Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008, penghasilan yang diperoleh oleh wajib pajak dikenai PPh sesuai dengan ketentuan dan jenis pajaknya. PPh yang telah disetor oleh wajib pajak dapat dikreditkan dengan beberapa pajak penghasilan yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain, seperti Pajak Penghasilan pasal 22 11
(PPh 22) dan Pajak Penghasilan pasal 21/26 (PPh 21/26). Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut atas transaksi pembelian yang dananya bersumber dari APBN/APBD dan transaksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. Pada PPh 22 menggunakan istilah pemungutan yang akan menambah pembayaran bagi pihak yang bertransaksi atau pembeli yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK.154/PMK.03/2010 tanggal 31 Agustus 2010 yang merupakan perubahan dari PMK.210/PMK.03/2008. PPh 21/26 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan bentuk dan nama apapun yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak orang pribadi luar negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatannya. Dalam PPh 21/26 dikenal dengan istilah pemotongan yang berarti penghasilan bruto yang dibayar oleh pemberi kerja pada penerima penghasilan akan dipotong PPh pasal 21/26. Sedangkan PPh yang tidak dapat dikreditkan seperti Pajak Penghasilan pasal 4 ayat (2) atau disebut dengan PPh Final yang merupakan jenis pajak yang dikenai pada penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak berupa bunga deposito, bunga tabungan, bunga obligasi, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi pengalihan harta berupa tanah/bangunan, usaha jasa konstruksi, dan persewaan tanah dan atau bangunan.
12
II.2.1
Subjek Pajak Penghasilan “Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju dalam pasal 2 UU PPh No.
36 Tahun 2008 untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak yang berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak”. (Waluyo,2002:54). Menurut UU PPh No. 36 Tahun 2008 menyebutkan subjek pajak adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha tetap. Berdasarkan lokasi geografis subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri (orang pribadi, badan, bentuk usaha tetap dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak) dan subjek pajak luar negeri yang dapat dibedakan dengan mengetahui apa tujuan subjek pajak tersebut serta berapa lama subjek pajak tersebut berada di Indonesia. Menurut Djuanda dan Lubis (2009 : 5) orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia dan yang memiliki niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Sebagaimana diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007, badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha atau tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun dan bentuk badan lainnya.
13
Menurut Djuanda dan Lubis (2009 : 6) Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa cabang perusahaan, pabrik, bengkel, gedung kantor dan lain-lain.
II.2.2
Objek Pajak Penghasilan Objek PPh adalah penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh wajib pajak.
Hal ini dijelaskan dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat (1), objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, maksud dari pasal di atas menekankan bahwa seluruh penghasilan yang diperoleh dan diterima oleh wajib pajak menjadi objek pajak apabila memiliki tambahan kemampuan ekonomis. Penghasilan dapat dikelompokan menjadi : 1. Penghasilan yang diperoleh dari usaha dan kegiatan. 2. Penghasilan yang diperoleh karena adanya hubungan kerja misalnya gaji atau karena adanya pekerjaan bebas misalnya penghasilan dari praktik dokter. 3. Penghasilan yang diperoleh dari modal yang dapat berupa harta bergerak dan harta tidak bergerak, misalnya bunga, dividen, dan lain – lain. 4. Penghasilan lainnya, misalnya hadiah. 14
Tidak semua penghasilan dapat dikenakan Pajak Penghasilan UU PPh No. 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat (3) menjelaskan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak, yaitu : 1. Penghasilan yang berasal dari bantuan atau sumbangan, zakat, dan hibah dengan syarat tertentu; 2. Warisan; 3. Setoran tunai sebagai pengganti saham atau pengganti penyertaan modal. Setoran tunai yang dimaksud adalah setoran tunai yang diterima oleh Wajib Pajak badan; 4. Penggantian atau imbalan dengan syarat tertentu; 5. Pembayaran dari perusahaan asuransi untuk Wajib Pajak orang pribadi; 6. Dividen dengan syarat tertentu; 7. Iuran pensiun dengan syarat tertentu; 8. Beasiswa; 9. Penghasilan bukan objek pajak lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersebut.
II.2.3 Biaya Fiskal Pengukuran biaya dalam ketentuan perpajakan disesuaikan dengan metode atau cara pencatatan yang digunakan dalam pembukuan wajib pajak khususnya wajib pajak badan. Menurut Waluyo (2008 : 222) menyebutkan terdapat dua metode pencatatan yaitu metode kas dan metode akrual. Metode kas dipakai dengan mengakui
15
biaya pada saat pembayaran, sedangkan metode akrual mengakui biaya pada saat terutang. Undang-undang PPh menganut pemajakan yang berbasis neto yaitu pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan bruto usaha dikurangi dengan pengeluaran atau biaya yang sesuai dengan Undang-undang. Pengeluaran atau biaya adalah penurunan masa manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar serta kerugian yang belum direalisasi, misalnya kerugian akibat selisih kurs mata uang asing. Pengeluaran atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT dapat dibedakan. Menurut Waluyo (2008 : 223), terdapat biaya yang masa manfaatnya satu tahun atau kurang dari satu tahun dan yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun. Biaya dengan masa manfaat satu tahun atau kurang pembebanannya dilakukan langsung pada tahun yang bersangkutan, misalnya biaya gaji, sedangkan biaya yang dengan masa manfaat lebih dari satu tahun pembebanannya dilakukan dengan menggunakan penyusutan (depreciation) atau amortisasi (amortization).
II.2.3.1 Biaya yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan yang merupakan pengurang penghasilan bruto, menurut periode manfaatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a.
Beban atau biaya yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari satu tahun, seperti biaya gaji, biaya perlengkapan kantor, biaya administrasi, dan lain-lain;
16
b.
Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, seperti penyusutan, biaya dibayar dimuka, dan lain-lain.
Selain biaya-biaya tersebut di atas, pada dasarnya biaya-biaya yang dikeluarkan boleh menjadi pengurang penghasilan bruto Wajib Pajak dalam perhitungan PPh terutang. Biaya-biaya yang dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak menurut Pasal 6 UU PPh No. 36 Tahun 2008 adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, terdiri atas : a. Biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, pajak kecuali pajak penghasilan dan biaya promosi. Biaya promosi merupakan penambahan biaya dalam pasal 6 ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK. 03/2009 tanggal 10 Juni 2009. b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Penyusutan diatur lebih lanjut dalam pasal 11 dan 11A:
17
Tabel II.1 Ketentuan Penyusutan Kelompok Harta Berwujud Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan Garis Saldo Menurun Lurus
I. Bukan Bangunan Kelompok 1
4 Tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 Tahun
12,50%
25%
Kelompok 3
16 Tahun
6,25%
12,50%
Kelompok 4
20 Tahun
5%
10%
Permanen
20 Tahun
5%
Tidak Permanen
10 Tahun
10%
II. Bangunan
Sumber: Undang-undang PPh Ps.11dan 11A No 36 Tahun 2008 Tabel II.2 Ketentuan Penyusutan Kelompok Harta Tidak Berwujud Kelompok Tak Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Amortisasi Garis Saldo Menurun Lurus
Kelompok 1
4 Tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 Tahun
12,50%
25%
Kelompok 3
16 Tahun
6,25%
12,50%
Kelompok 4
20 Tahun
5%
10%
Sumber: Undang-undang PPh Ps.11dan 11A No 36 Tahun 2008
Jenis-jenis harta atau aktiva berwujud diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK.138/KMK.03/2002 tanggal 8 April 2002 yang telah diubah kedalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK.96/PMK 03 Tahun 2009 tanggal 15 Mei 2009. c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
18
d. Kerugian karena penjualan atau penagihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing; f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : 1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang antara kreditor dengan debitor yang bersangkutan; 3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; 4) Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Dirjen Pajak. i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional; j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia; k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial; l. Sumbangan fasilitas pendidikan; m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.
19
Biaya-biaya yang dijelaskan pada huruf i sampai dengan huruf m merupakan penambahan dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2009 tanggal 9 Februari 2009. Ketentuan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto selain diatur dalam pasal 6 UU PPh No. 36 Tahun 2008, diatur juga dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP.220/PJ/2002 tanggal 18 April 2002 yang menjelaskan biaya yang boleh dikurangkan sebesar 50% untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut : 1. Biaya perolehan atau pembelian telepon selular yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya; 2. Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon selular yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya; 3. Biaya perolehan, pembelian, dan atau perbaikan besar kendaraan sedan atau sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya; 4. Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sedan atau sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya.
Biaya entertainment atau biaya representative dapat dibebankan sebagai biaya apabila digunakan untuk menagih, mendapatkan, dan memelihara penghasilan. Dalam SE-334/PJ.312/2003 tanggal 22 Mei 2003 yang merupakan penegasan Surat Edaran 20
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tanggal 14 Juni 1986 tentang biaya entertainment dan sejenisnya yang ditegaskan bahwa:
1. Biaya entertainment, representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh No. 36 Tahun 2008; 2. Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benarbenar dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materil); 3. Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya, agar melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif atas biaya-biaya tersebut.
II.2.3.2 Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Secara umum biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung PPh terutang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1.
Biaya tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
2.
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara (3M) penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau yang penghasilannya dikenakan PPh Final
21
atau Norma Perhitungan Penghasilan Neto dan Norma Perhitungan Khusus (deemed prefit). 3.
Biaya yang dikeluarkan di luar praktek akuntansi yang sehat (kondisi tidak wajar).
4.
Biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (tanpa bukti, daftar nominatif, dokumen, dan lain-lain)
5.
PPh yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali PPh Pasal 26 (tidak termasuk dividen) sepanjang PPh tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk pemotongan pajak (di-gross up)
6.
Kerugian dari harta atau utang yang tidak memiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
7.
Pajak Masukan yang memenuhi kriteria: - Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk faktur pajak cacat, kecuali dapat dibuktikan atas PM tersebut benar-benar telah dibayar oleh PKP; - Faktur Pajak yang dibuat atas perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
Adapun biaya-biaya yang tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh adalah sebagai berikut: a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 22
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan; e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; 23
h. Pajak Penghasilan (PPh); i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. Gaji yang dibayarkan pada anggota persekutuan firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan; l. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan
sekaligus,
melainkan
dibebankan
melalui
penyusutan
atau
amortisasi. Huruf e pasal 9 Undang undang PPh menjelaskan mengenai natura dan kenikmatan yang diterima oleh pegawai. Ketentuan mengenai pembayaran dalam bentuk natura atau kenikmatan diatur oleh Direktur Jendral Pajak dalam Surat Edaran No. S 1821/PJ.21/1985 tanggal 7 Oktober 1985. Contoh pemberian natura atau kenikmatan kepada karyawan diantaranya sebagai berikut: 1. Fasilitas pengobatan Apabila biaya pengobatan karyawan dibayarkan langsung oleh perusahaan pada klinik atau rumah sakit maka, ini merupakan kenikmatan bagi karyawan dan tidak dapat dibebankan oleh perusahaan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto. Jika karyawan menerima fasilitas pengobatan dalam bentuk uang tunai
24
sebagai penggantian pengobatan, maka perusahaan dapat membebankannya sebagai biaya. 2. Fasilitas rekreasi dan olah raga Pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk pengadaan dan membiayai fasilitas rekreasi dan olah raga yang berada di luar kota dapat dibebankan sebagai biaya, sedangkan pengadaan fasilitas rekreasi dan olah raga yang berada di dalam kota tidak dapat dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan. 3. Biaya perjalanan Biaya perjalanan dalam rangka perjalanan dinas yang dilakukan oleh karyawan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan. Pengeluaran ini merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto oleh perusahaan. 4. Fasilitas pelatihan dan pendidikan Fasilitas pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan keterampilan karyawan seperti kegiatan seminar dan workshop dapat dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan. 5. Fasilitas kendaraan Apabila kendaraan yang dimiliki perusahaan digunakan untuk kepentingan perusahaan dan kegiatan operasional perusahaan serta tidak digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik atau karyawan tertentu maka, biaya yang berhubungan dengan kendaraan seperti biaya perbaikan dan perawatan kendaraan dapat dibebankan sebagai biaya.
25
II.2.4
Tarif Pajak Menurut UU PPh No. 17 Tahun 2000 tarif PPh diatur dalam Pasal 17 ayat (1)
yang menjelaskan tarif wajib pajak badan dalam negeri adalah sebagai berikut :
Tabel II.3 Tarif Pajak Penghasilan Badan Tahun 2000-2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
10%
Di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,-
15%
Di atas Rp 100.000.000,-
30%
Sumber: Undang-undang PPh Ps.17 ayat (1) No 17 Tahun 2000
Sedangkan sesuai dengan ketentuan yang baru Undang-undang PPh No.36 Tahun 2008 Pasal 17, besarnya tarif PPh yang ditetapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap sebagai berikut:
Tabel II.4 Tarif Pajak Penghasilan Badan Tahun 2009 dan 2010
Berlaku Tarif Tunggal (single tax)
Tahun Pajak
Tarif Pajak
2009
28%
2010 dan seterusnya
25%
Sumber: Undang-undang PPh Ps.17 No 36 Tahun 2008
Dalam penggunaan tarif PPh Badan Pasal 17 UU PPh No. 36 Tahun 2008 berlaku mekanisme yang diatur dalam Pasal 31E huruf (e) sebagai berikut:
26
1. Jika Penghasilan Bruto lebih dari Rp 50 Milyar, maka Penghasilan Kena Pajaknya langsung dikalikan dengan tarif 28% atau 25% pada tahun 2010 dan seterusnya. 2. Jika Penghasilan Bruto berkisar antara Rp 0 s.d Rp 50 Milyar, maka: a. Jika Penghasilan Bruto kurang dari Rp 4,8 Milyar, maka Pengusaha Kena Pajak mendapat pengurangan 50% b. Jika Penghasilan Bruto lebih dari Rp 4,8 Milyar tetapi tidak melebihi Rp 50 Milyar, maka yang mendapat pengurangan 50% hanya bagian Penghasilan Bruto s.d Rp 4,8 Milyar.
PPh (50% x 28%) x Penghasilan Terutang = Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang + Memperoleh fasilitas
Rp4.800.000.000,00 Peredaran Bruto
x
28% x Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas.
Penghasilan Kena Pajak
II.3
Akuntansi Pajak Penghasilan
II.3.1
Laporan Keuangan Komersil & Fiskal Laporan keuangan merupakan suatu bentuk informasi yang dihasilkan oleh
perusahaan setiap tahunnya. Laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) biasa disebut laporan keuangan komersil. Untuk keperluan perpajakan, suatu perusahaan atau wajib pajak tidak hanya diwajibkan menyusun dan
27
melaporkan laporan keuangan komersil saja, namun wajib menyusun dan melaporkan laporan keuangan fiskal. Menurut Djuanda (2009 : 14) terdapat beberapa perbedaan antara laporan keuangan komersil dan laporan keuangan fiskal. Perbedaan tersebut diantaranya dalam hal dasar penyusunan, tujuan, dan akibat penyimpangan apabila laporan keuangan tidak disusun dengan baik.
Tabel II.5 Perbedaan Laporan Keuangan Komersil dan Laporan Keuangan Fiskal KETERANGAN
Dasar Penyusunan
LAPORAN KEUANGAN
LAPORAN
KOMERSIL
KEUANGAN FISKAL
Standar Akuntansi Keuangan Standar (SAK).
Akuntansi
Keuangan
disesuaikan
dengan undang – undang pajak yang berlaku. Tujuan
•
Menghitung bersih
laba
•
(laba
Menghitung besarnya
pajak
akuntansi)
terhutang
•
Mengukur kinerja
berdasarkan laba
•
Laporannya
fiskal.
digunakan pihak
ketiga
manajemen.
untuk dan
•
Laporannya untuk
pihak
fiskus.
28
Akibat Penyimpangan
•
•
•
Pengambilan
Sanksi dibidang
keputusan yang tidak
perpajakan
tepat oleh manajemen
(sanksi
Opini
administrasi dan
yang
terhadap
buruk laporan
sanksi pidana).
keuangan.
Sumber: Suandy, Early (2008:38). Perencanaan Pajak
Laporan keuangan fiskal disusun setelah laporan keuangan komersil karena laporan keuangan komersil digunakan oleh wajib pajak sebagai dasar melakukan rekonsiliasi fiskal untuk menghasilkan laporan keuangan fiskal. Menurut Zain (2008: 221) rekonsiliasi fiskal adalah upaya dalam penyesuaian atau mencocokan perbedaan yang terdapat pada laporan keuangan komersil dan laporan keuangan fiskal. Laba akuntansi atau disebut juga laba komersil merupakan pengukuran laba yang biasa digunakan oleh perusahaan. Penghitungan laba akuntansi harus sesuai dengan prinsip atau aturan akuntansi yang berlaku umum di Indonesia yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Laba akuntansi diatur ketentuannya dalam PSAK No. 46 yang menyebutkan bahwa laba akuntansi adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak. Menurut Waluyo (2008 : 30) penghitungan laba akuntansi harus sesuai dengan prinsip penandingan antara pendapatan dengan biaya atau beban yang berkaitan dengan kegiatan bisnis perusahaan. Apabila perusahaan memiliki pengeluaran atau biaya yang
29
tidak memiliki future economic benefit, maka biaya tersebut tidak boleh dikategorikan sebagai aset namun harus dibebankan sebagai biaya. Penghasilan dalam laba akuntansi merupakan adanya penambahan aset dan penurunan kewajiban yang dapat meningkatkan ekuitas. Pendapatan yang timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi dan keuntungan yang diperoleh perusahaan merupakan penghasilan dalam laba akuntansi. Biaya (cost) adalah pengurang terhadap penghasilan sedangkan beban (expense) adalah suatu penurunan manfaat ekonomi dalam satu periode akuntansi yang menyebabkan adanya penurunan ekuitas. Laba pajak merupakan laba yang penghitungannya sesuai dengan undangundang dan peraturan perpajakan yang disebut sebagai penghasilan kena pajak. Menurut Suandy (2008 : 117) prinsip penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:
“...penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pada prinsip taxability deductability, dengan prinsip ini suatu biaya baru dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila pihak yang menerima pengeluaran atas biaya yang bersangkutan, melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenakan pajak.”
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tidak semua biaya dan beban yang dikeluarkan atau ditanggung oleh perusahaan dapat mengurangi penghasilan bruto. Misalnya, tunjangan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan dapat diakui sebagai biaya dan dapat mengurangi laba kotor apabila karyawan tersebut mengakui tunjangan yang diberikan sebagai bagian dari penghasilan bruto dan dikenakan PPh Pasal 21.
30
II.3.2
Penyesuaian Fiskal Positif Penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan
meningkatnya penghasilan kena pajak yang pada akhirnya akan membuat Pajak Penghasilan Badan terhutangnya meningkat. Rincian jenis-jenis penyesuaian fiskal positif antara lain sebagai berikut: a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu atau anggota; b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan; c. Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura atau kenikmatan; d. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan. e. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan. f. Pajak Penghasilan; g. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau cv yang modalnya tidak terbagi atas saham. h. Sanksi administrasi;
II.3.3
Penyesuaian Fiskal Negatif Penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan
menurunnya penghasilan kena pajak. Contoh penyesuaian fiskal negatif antara lain: penghasilan yang bukan objek pajak, penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final (contoh: pendapatan bunga bank). 31
II.4
Manajemen Pajak Dalam rangka penghematan pajak
secara legal dapat dilakukan melalui
manajemen pajak. Menurut Suandy (2008 : 6) manajemen pajak dapat didefinisikan sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar namun jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Jadi manajemen pajak merupakan suatu proses pengelolaan besarnya pajak dengan mengefisiensikan jumlah pajak yang harus di setor pada negara. Menurut Mangonting (2001 : 45) tujuan dari manajemen pajak pada umumnya sama dengan tujuan dari manajemen keuangan yaitu memperoleh likuiditas dan laba yang cukup. Manajemen pajak disini didefinisikan sebagai memenuhi kewajiban pajak dengan benar, tetapi jumlah pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba yang diharapkan agar tidak menimbulkan denda. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan manajemen pajak adalah untuk menerapkan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan sebagai suatu usaha untuk mengefisiensikan laba. Menurut Suandy (2008 : 6) tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi – fungsi manajemen pajak yang terdiri dari perencanaan pajak (tax planning), pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation), dan pengendalian pajak (tax control).
II.5
Perencanaan pajak (Tax Planning)
II.5.1
Pengertian Perencanaan Pajak Perencanaan pajak merupakan langkah pertama dalam memenuhi manajemen
pajak. Perencanaan pajak adalah upaya dalam manajemen pajak yang dilakukan oleh 32
wajib pajak untuk mengoptimalkan laba perusahaan dengan mengefisiensikan beban pajak yang harus dibayar. Perencanaan pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan maupun yang melanggar ketentuan perpajakan. Namun perencanaan pajak yang baik dan tepat adalah perencanaan pajak yang memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku. Menurut Farid Ahmad dalam Gunadi (2009 : 279) perencanaan pajak merupakan serangkaian proses atau tindakan yang dilakukan Wajib Pajak untuk merekayasa sumber-sumber penghasilan dan beban maupun transaksi lainnya dengan tujuan minimalisasi atau mengeliminasi beban pajak yang masih berada dalam kerangka peraturan perundang-undangan. Menurut Mangonting (2001 : 45) tujuan tax planning secara khusus adalah untuk menghilangkan pajak, menunda pengakuan penghasilan, mengubah penghasilan rutin berbentuk capital gain, memperluas bisnis, menghindari pengenaan pajak ganda, dan menghindari penghasilan yang bersifat rutin atau teratur dengan memperbanyak pengurang pajak. Dari tujuan tersebut, manfaat yang dapat diperoleh adalah mengatur aliran kas dan penghematan kas keluar. Tujuan perencanaan pajak pada dasarnya adalah untuk meminimalkan beban pajak tanpa melanggar peraturan dan undang-undang perpajakan. Menurut Suandy ( 2008 : 9) perencanaan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak harus memenuhi tiga hal berikut ini: 1. Perencanaan pajak yang dilakukan untuk menghemat pajak tidak melanggar peraturan dan ketentuan perpajakan agar tidak melemahkan keberhasilan perencanaan pajak tersebut. 33
2. Perencanaan pajak yang dilakukan secara bisnis harus masuk akal. 3. Perencanaan pajak harus memiliki bukti-bukti pendukung seperti faktur dan perlakuan akuntansinya.
II.5.2
Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan Setelah memahami aspek-aspek perencanaan pajak, maka langkah selanjutnya
adalah melaksanakan hasil perencanaan pajak secara maksimal dengan memastikan pelaksanaan kewajiban perpajakan telah memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku dan sejalan dengan perencanaan pajak. Menurut Suandy (2008 : 9) terdapat dua hal yang harus dikuasai dan dilakukan oleh wajib pajak untuk mencapai tujuan manajemen pajak sebagai berikut : 1. Memahami ketentuan dan peraturan perpajakan seperti undang-undang, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Dirjen Pajak yang bertujuan untuk mengetahui peluang yang dapat dimanfaatkan dalam melakukan perencanaan pajak dan peraturan lainnya. 2. Menyelenggarakan pembukuan sesuai ketentuan yang berlaku karena pembukuan merupakan sarana yang penting dalam mendukung penyajian laporan keuangan perusahaan karena menurut Pasal 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007 pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan atau penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan penyusunan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut. 34
II.5.3
Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak Menurut Zain (2008 : 70) langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam
penyusunan perencanaan pajak adalah sebagai berikut : 1. Menetapkan sasaran atau tujuan manajemen pajak yang meliputi : a) Usaha-usaha mengefisienkan beban pajak yang terdapat pada ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. b) Memahami segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan sanksi-sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana, seperti bunga, denda, kenaikan, dan hukum kurungan penjara. c) Melaksanakan secara efektif segala ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan seperti pelaksanaan pemotongan atau pemungutan pajak. 2. Melakukan identifikasi situasi sekarang baik yang mendukung atau menghambat perencanaan meliputi : a) Identifikasi faktor lingkungan perencanaan pajak jangka panjang. Faktor ini umumnya memiliki sifat yang permanen yang secara eksplisit terdapat dan melekat pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b) Etika kebijakan perusahaan dan ketentuan yang jelas mengenai fungsi dan tanggung jawab manajemen perpajakan serta tata cara manajemen perpajakan yang berlaku bagi personil perusahaan. c) Strategi dan perencanaan pajak yang terintegrasi dengan perencanaan perusahaan. 35
3. Melakukan pengembangan rencana meliputi : a) Mengadakan sistem informasi yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaian perencanaan pajak kepada para petugas yang memonitor perpajakan dan kepastian kefektifan pengendalian pajak penghasilan yang terkait, seperti pencantuman masalah perpajakan dalam setiap kontrak bisnis, sehingga tidak terjadi pelanggaran ketentuan perpajakan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sistem akuntansi perusahaan. b) Melakukan pengendalian dan penyesuaian sedemikian rupa sehingga setiap modifikasi rencana dan tindakan dapat dilakukan dengan waktu yang sesuai.
II.5.4
Strategi Mengefisiensikan Beban Pajak Penghasilan Badan Menurut Suandy (2008 : 121-128) strategi yang dapat digunakan untuk
mengefisiensikan beban PPh badan adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan alternatif dasar pembukuan, basis kas atau basis akrual Pemilihan dasar pembukuan harus dilakukan secara konsisten. Basis akrual (accrual basis) dan basis kas yang dimodifikasi merupakan bentuk dasar pembukuan yang diakui oleh Dirjen Pajak. Pada basis akrual, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat timbulnya hak dan kewajiban atau pada saat terjadinya transaksi meskipun belum terjadi pembayaran. Tata cara pembukuan menurut basis kas yang diakui oleh Dirjen Pajak dalam melaporkan pendapatan dan beban dalam menghitung besarnya PPh badan adalah sebagai berikut : 36
a. Penghitungan jumlah penjualan dalam satu periode harus meliputi seluruh penjualan; b. Perolehan harta berwujud dan tidak berwujud, biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah biaya penyusutan dan amortisasi dari harta tersebut; c. Biaya-biaya yang dapat dibebankan adalah biaya yang telah dibayar. 2. Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan kepada karyawan Pada biaya-biaya yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan karyawan terdapat peluang untuk mengefisiensikan beban PPh badan. Strategi utama dalam hal ini tergantung dari kondisi perusahaan. Peluang efisiensi beban pajak yang berhubungan dengan kesejahteraan karyawan diantaranya: a. Memberikan tunjangan PPh Pasal 21. Tunjangan ini akan tercantum dalam daftar gaji setiap karyawan. Dalam perhitungan laba rugi perusahaan, tunjangan PPh Pasal 21 ini menyatu dengan pos gaji di laporan laba rugi sehingga tunjangan ini dapat dibebankan sebagai biaya. Menurut Handoko dalam artikelnya metode pemotongan pajak yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk perencanaan pajak adalah metode gross up. Metode gross up merupakan metode pemotongan pajak yang ditanggung oleh perusahaan dengan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan. 37
b. Perjalanan dinas karyawan Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan misalnya biaya transport dan biaya perjalanan dinas karyawan merupakan biaya perusahaan dan bukan penghasilan bagi karyawan. Apabila biaya perjalanan dinas yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak ada unsur untuk kepentingan pribadi karyawan maka dapat dibebankan sebagai biaya. c. Pakaian seragam untuk karyawan Pemberian pakaian seragam untuk karyawan merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan, dan keselamatan dalam lingkungan pekerjaan. Departemen Tenaga Kerja dan Pemerintah Daerah setempat mewajibkan perusahaan tertentu untuk memberikan pakaian seragam kepada karyawan untuk menjaga keselamatan dan keamanan karyawan, seperti pakaian pemadam kebakaran, proyek, dan pakaian untuk satpam. Pemberian pakaian seragam untuk karyawan ini dapat dibebankan sebagai biaya. d. Transportasi untuk karyawan Biaya transportasi dapat dibebankan sebagai biaya. Transportasi untuk karyawan dapat diberikan dalam bentuk memberikan tunjangan transportasi, fasilitas antar jemput, dan memberikan fasilitas kendaraan kepada karyawan. e. Makanan dan natura lainnya Pemberian makanan di tepat kerja yang disediakan perusahaan dengan menggunakan jasa catering atau pemberian beras pada seluruh karyawan 38
dapat dibebankan sebagai biaya. Pemberian natura lainnya yang dapat dilakukan oleh perusahaan yaitu pemberiaan tunjangan atau uang makan pada karyawan. Menurut Muljono (2009 : 110) pembayaran natura maupun kenikmatan kepada pegawai pada dasarnya bukan merupakan penghasilan
bagi pegawai, tetapi juga bukan merupakan biaya bagi
perusahaan. Namun, apabila pemberian natura dan kenikmatan diberikan dalam bentuk tunjangan seperti tunjangan makan maka, pembayaran tersebut dapat menjadi biaya bagi perusahaan dan merupakan penghasilan bagi pegawai. 3. Pemilihan metode penilaian persediaan Pemilihan metode dalam menilai persediaan cukup penting untuk perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur dan perdagangan dalam mengefisiensikan beban pajak perusahaan. Metode rata-rata dan metode FIFO dapat digunakan oleh perusahaan untuk menilai persediaan. Metode rata-rata dapat digunakan apabila sedang terjadi inflasi dan harga barang sedang meningkat, karena dibandingkan dengan metode FIFO, metode rata-rata akan menghasilkan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang cukup tinggi. Menurut Muljono (2009 : 107) untuk kondisi harga yang terus meningkat, metode FIFO akan menghasilkan biaya yang lebih rendah sehingga menghasilkan laba yang tinggi dan besarnya PPh terutang menjadi besar. 4. Pemilihan metode penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tidak berwujud Metode penyusutan dan amortisasi yang diakui oleh fiskus adalah metode garis lurus dan saldo menurun. Pemilihan metode penyusutan untuk melakukan 39
perencanaan pajak dapat dilakukan perusahaan dengan melihat kondisi dari perusahaan. Jika kondisi perusahaan adalah laba, maka metode saldo menurun akan lebih menguntungkan. Sedangkan, apabila kondisi perusahaan adalah rugi maka metode garis lurus lebih menguntungkan. Penyusutan dan amortisasi dengan metode saldo menurun akan menghasilkan beban penyusutan lebih besar pada awal periode dan akan menurun pada periode berikutnya. 5. Optimalisasi pengkreditan pajak yang telah dibayar Melakukan pengkreditan pajak akan membantu perusahaan mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Pajak yang dapat dikreditkan selain angsuran masa bulanan (PPh Pasal 25) atas PPh badan yang terutang pada akhir tahun adalah PPh dibayar maupun yang dipungut oleh pihak lain yang bersifat tidak final. PPh yan dapat dikreditkan diantaranya PPh Pasal 22 atas Impor dan PPh Pasal 24 yang dipotong diluar negeri, PPh Pasal 23 atas bunga dari nonbank, dan PPh atas penghasilan tanah atau bangunan bagi perusahaan yang bukan bergerak di bidang real estat. 6. Permohonan penurunan pembayaran angsuran masa (Pajak Penghasilan Pasal 25 bulanan) Besarnya pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 tergantung dari besarnya Pajak Penghasilan terutang tahun lalu. Namun bisa saja terjadi diproyeksikan dalam tahun berjalan akan terdapat penurunan laba (Penghasilan Kena Pajak), sehingga jika kita mengangsur Pajak Penghasilan Pasal 25 yang besarnya berdasarkan tahun lalu maka kemungkinan pada akhir tahun akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Untuk itu, perusahaan sebaiknya mengajukan permohonan 40
penurunan angsuran masa dengan disertai proyek laba pada akhir tahun dan alasannya terjadi penurunan laba. Hal ini disebabkan jika terjadi kelebihan pembayaran pajak yang walaupun dapat direstitusi, tetapi sebelumnya Wajib Pajak akan dikenakan tindakan pemeriksaan. 7. Pengelolaan transaksi yang biayanya tidak dapat dikurangkan secara fiskal Manajemen
perusahaan
diwajibkan
memahami
dengan
baik
pengalokasian biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam penyusunan laporan laba rugi perusahaan. Misalnya, biaya entertainment
yang tidak
memiliki dokumen pendukung dialokasikan pada biaya lain-lain, dan biaya liburan direktur dialokasikan pada biaya perjalanan dinas perusahaan. Apabila perusahaan salah dalam melakukan pengalokasian biaya dalam laporan laba rugi dan harus mengalami pemeriksaan oleh aparat pajak, maka biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. 8. Rekonsiliasi Surat Pemberitahuan SPT Perusahaan dapat melakukan rekonsiliasi secara periodik antara rekening yang ada dalam SPT badan, SPT PPh 21, dan SPT PPN. Apabila terdapat perbedaan dapat dilakukan koreksi untuk menghindari pengenaan sanksi perpajakan. 9. Penyertaan modal pada Perseroan Terbatas (PT.) dalam negeri Dividen dikecualikan dari pengenaan PPh apabila jumlah saham yang dimiliki minimal 25% (dua puluh lima persen). Oleh karena itu, perusahaan yang
41
berbentuk perseroan terbatas dapat melakukan investasi dengan membeli sejumlah saham. 10. Biaya pendirian dan perluasan modal Untuk biaya pendirian dan perluasan modal dapat digunakan dalam Pasal 11A ayat (3) UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang menyediakan dua pilihan antara tingkat tarif amortisasi kelompok I apabila menggunakan metode saldo menurun dengan tarif 50 % dan metode garis lurus dengan tarif 25%, atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a sesuai dengan pembukuannya. Dari penjelasan mengenai strategi atau cara yang dapat dilakukan untuk perencanaan pajak, setiap wajib pajak badan berhak menentukan strategi apa yang akan dipakai untuk melakukan perencanaan pajak dengan memperhatikan kondisi usahanya. Setiap strategi atau cara perencanaan pajak memiliki aturan khusus yang diatur dalam peraturan dan perundang-undangan pajak. Oleh karena itu, wajib pajak badan harus memahami peraturan dan perundangan-undangan tersebut agar perencanaan pajak yang dilakukan tetap sejalan dengan aturan perpajakan yang berlaku.
42