BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Sinyal (Signaling Theory) Menurut Sri Sulistyanto (2008), teori sinyal digunakan untuk menjelaskan bahwa pada dasarnya laporan keuangan dimanfaatkan perusahaan untuk member sinyal positif maupun negatif kepada para pemakainya. Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Menurut Jama’an (2008), sinyal ini berupa informasi mengenai segala informasi mengenai kegiatan yang telah dilakukan manajemen untuk memenuhi keinginan pemilik. Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan kepada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi kepada pihak eksternal adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan dan menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai nilai lebih atau keunggulan kompetitif dari perusahaan lainnya. Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Manajemen mempunyai informasi akurat mengenai nilai perusahaan yang tidak diketahui oleh pihak investor atau pihak eksternal lainnya, sehingga jika manajemen menyampaikan suatu informasi ke pasar maka informasi tersebut akan direspon oleh pihak eksternal perusahaan sebagai suatu sinyal adanya peristiwa tertentu
yang
dapat
mempengaruhi
nilai
perusahaan.
Pertanggungjawaban
manajemen (agent) kepada para pemilik perusahaan (principals) dalam bentuk
10
laporan keuangan dapat dianggap sebagai sebuah sinyal apakah pihak manajemen telah berbuat sesuai kontrak yang telah disepakati. Jika dikaitkan dengan karakteristik hubungan keagenan, maka dapat dipastikan bahwa manajer memiliki informasi yang lebih baik, lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan dengan pihak eksternal perusahaan. Artinya manajemen memiliki asimetri informasi sehingga mereka mampu mengendalikan informasi yang ada mengenai perusahaan. Asimetri informasi inilah yang meberikan dorongan kepada manajemen untuk melakukan moral hazard dalam bentuk manajemen laba (earnings management) dengan tujuan untuk memaksimalkan kemakmuran manajemen.
2.1.2 Manajemen Laba (Earning Management) Manajemen laba (earning management) diartikan sebagai pilihan bagi manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa objektif yang spesifik dalam manejemen keuangan (Scott, 1995: 351). Manajemen laba biasanya terjadi ketika manajer menggunakan kebijakan dalam pelaporan keuangan dan juga ketika menstruktur transaksi dalam pelaporan keuangan untuk mengaburkan sebagian
stakeholder
tentang
kinerja
ekonomis
perusahaan atau
untuk
mempengaruhi kontrak yang bergantung atas angka akuntansi yang dilaporkan (Healy 1999). Menurut definisi Healy (1999), manajemen laba mengaburkan informasi kinerja ekonomi perusahaan karena ada kondisi dimana manajer perusahaan memiliki akses informasi secara langsung sementara sebagian stakeholder tidak. Ada sebagian informasi yang tidak tersampaikan ke stakeholder. Di sisi lain, manajer memang dapat menggunakan kebijakan untuk membuat laporan keuangan menjadi
11
lebih informatif, mencerminkan kinerja perusahaan sesungguhnya, misalnya penetuan umur mesin, nilai sisa (salvage value) aset jangka panjang, atau menentukan metode penyusutan yang dipakai. Tindakan manajemen laba dapat memberikan gambaran yang tidak sebenarnya kepada stakeholder jika stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan atau tidak peduli dengan praktik manajemen laba. Keputusan melakukan manajemen laba memiliki konsekuensi biaya dan manfaat (cost and benefit). Biaya memiliki potensi salah mengalokasikan sumber daya akibat dilakukannya mananjemen laba, sedang manfaatnya mencakup potensi perbaikan komunikasi informasi antara pihak internal kepada pihak eksternal.
2.1.3 Motivasi Manajemen Laba Ada berbagai macam motivasi dari manajemen untuk melakukan manajemen laba. Motivasi dan tekanan kadang kali yang menjadikan salah satu faktor dari para manajer dalam melakukan manajemen laba. Menurut Scoot (2000: 352) motivasi terjadinya manajemen laba, antara lain: 1) Motivasi bonus (bonus scheme) Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini untuk memperoleh bonus yang besar untuk kepentingan pribadi. 2) Motivasi kontrak (debt covenant) Motivasi ini menyatakan bahwa manajemen laba akan dapat terjadi apabila manajer berkeinginan untuk memperoleh pinjaman dari kreditur.
12
Manajer akan cenderung untuk meningkatkan laba sehingga mereka mendapatkan pinjaman dari para kreditur. 3) Motivasi politik (political motivation) Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan oleh perusahaan publik pada umumnya. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. Selain itu manajer akan cenderung melaporkan laba yang lebih kecil dari laba yang seharusnya dengan tujuan agar perusahaan memperoleh subsidi dan kemudahan dari pemerintah. 4) Motivasi perpajakan (taxation motivation) Manajer berupaya untuk melaporkan laba mereka lebih rendah daripada laba aktual dengan tujuan agar perusahaan membayar pajak lebih rendah daripada yang seharusnya dibayarkan oleh perusahaan. 5) Pergantian CEO (changes of chief executive officer) Motivasi ini umumnya terjadi menjelang pergantian direksi atau CEO. CEO yang mendekati masa pergantian atau pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Selain itu tujuan lain dari motivasi
ini
adalah agar
terjadi
pembatalan
pemecatannya. 6) Penawaran saham perdana (intial public offering) Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
13
Selain motivasi untuk melakukan manajemen laba seperti yang dikemukakan Scott (2000: 352), Healy dan Wahlen (1999) juga menyebutkan ada tiga motivasi bagi para manajer dalam melakukan manajemen laba, yaitu: 1) Motivasi pasar modal (capital market motivation) Penggunaan informasi akuntansi oleh investor atau analis keuangan untuk menentukan nilai saham perusahaan menjadi dorongan bagi perusahaan untuk mencapai tingkat laba tertentu. Tujuannya untuk mempengaruhi kinerja harga pasar saham jangka pendek.
Manajemen cenderung
melaporkan laba bersih lebih rendah (understated) ketika melakukan buy out dan melaporkan laba lebih tinggi (overstated) ketika melakukan penawaran saham ke publik. 2) Motivasi kontrak (contracting motivation) Motivasi kontrak atas terjadinya manajemen laba dikaitkan dengan penggunaan data akuntansi dalam memonitor dan meregulasi kontrak atas perusahaan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). misalnya perjanjian hutang antara perusahaan dengan kreditor dapat mendorong dilakukannya manajemen laba oleh manajemen. Atau dapat pula berupa pemberian bonus atau penghargaan kepada manajemen puncak yang didasarkan pada angka laba yang dilaporkan atau ukuran kinerja lainnya. 3) Motivasi peraturan (regulation motivation) Manajemen melakukan manajemen laba karena ingin memenuhi ketetapan peraturan-peraturan tertentu. Misalnya perusahaan sektor usaha perbankan di Indonesia diwajibkan untuk memenuhi rasio kecukupan
14
modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini akan memicu atau memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba.
2.1.4 Bentuk-bentuk Manajemen Laba Menurut Scott (2003: 383-384) ada berbagai pola yang sering dilakukan manajer dalam manajemen laba, antara lain: 1) Taking a bath Taking a bath terjadi selama periode di mana perusahaan mengalami kondisi reorganisasi seperti pemilihan CEO baru. Tehnik ini mengakui biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan ketika perusahaan dalam keadaan buruk yang tidak menguntungkan dan tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Manajemen akan menghapus beberapa aktiva, membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang. Akibatnya, laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya. 2) Income minimization Income
minimization
biasanya
dilakukan
pada
saat
perusahaan
memperoleh laba yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat dan sebagainya. 3) Income maximation Income maximation dimaksudkan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan dan untuk menghindar dari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. Income maximation dilakukan
15
dengan cara mempercepat pencatatan pendapatan, atau menunda biaya dan memindahkan biaya untuk periode lain. 4) Income smoothing Income smoothing merupakan cara yang paling popular dan sering dilakukan.
Pihak
manajemen
dengan
sengaja
menurunkan
atau
meningkatkan laba untuk mengurangi gejolak dalam pelaporan laba, sehingga perusahaan terlihat stabil atau tidak berisiko tinggi.
Disarikan dari Dechow dan Skinner 2000; Healy dan Wahlen 1999; Levitt 1998 dan Lev 2003 metode manajemen laba dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu: 1) Manajemen laba yang melanggar prinsip akuntansi yang berlaku. Misalnya perusahan melakukan transaksi fiktif, pengakuan biaya sebagai aset, penghapusan beban, pengakuan pendapatan lebih awal, dan sebagainya. 2) Manajemen laba yang sejalan dengan prinsip akuntansi yang berlaku. Manajemen laba ini digolongkan menjadi tiga cara yaitu: a. Pengubahan unsur estimasi, manajemen menggunakan metode ini untuk memanipulasi laba dengan mengubah estimasi dari akuntansi. Contoh-contoh dari manajemen laba ini antara lain: perubahan estimasi umur ekonomis suatu aset, estimasi piutang yang tidak tertagih, estimasi biaya garansi, amortisasi aktiva tidak berwujud, dan sebagainya. b. Pemilihan metode, suatu metode manajemen laba yang di mana terdapat perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat
16
suatu transaksi. Misalnya merubah metode depresiasi angka tahun menjadi depresiasi garis lurus. c. Penggeseran periode biaya atau pendapatan, metode ini sering disebut sebagai manipulasi keputusan operasional, dengan cara mempercepat atau menunda pengeluaran operasional. Misalnya mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya. Perusahaan yang mencatat persediaan dengan menggunakan metode LIFO, juga dapat merekayasa peningkatan laba melalui pengaturan saldo persediaan.
2.1.5 Dividen Dividen merupakan bagian dari laba bersih perusahaan yang didistribusikan oleh perusahaan kepada para pemegang saham. Dividen dibayarkan sesuai dengan besarnya saham yang dimiliki oleh pemegang saham (Farlex Financial Dictionary, 2009). Pada umumnya dividen dibagikan secara teratur dalam interval waktu yang tetap. Misalnya tiap tahun, enam bulan dan sebagainya. Menurut Baridwan (2003: 434) dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham dapat berupa: 1) Dividen tunai (cash dividend) Dividen tunai adalah dividen dalam bentuk kas atau tunai. Yang perlu diperhatikan oleh perusahaan sebelum membuat pengumuman adanya dividen kas adalah apakah jumlah kas yang ada mencukupi untuk pembagian dividen tersebut.
17
2) Dividen aktiva selain kas (property dividend) Properti dividen adalah dividen yang dibagikan dalam bentuk aktiva selain kas. Aktiva yang dibagikan bisa berbentuk surat-surat berharga perusahaan lain yang dimiliki oleh perusahaan tersebut, barang dagangan atau aktiva lain. 3) Dividen hutang (script dividend) Dividen hutang timbul apabila saldo laba ditahan mencukupi untuk pembagian dividen, tetapi saldo kas yang ada tidak mencukupi sehingga pimpinan perusahaan akan mengeluarkan script dividend yaitu janji tertulis untuk membayar jumlah tertentu di waktu yang akan datang. Script dividend ini mungkin berbunga mungkin tidak. 4) Dividen likuidasi (liquidating dividend) Dividen likuidasi adalah dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham dimana sebagian dari jumlah tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran bagian laba (cash dividend) sedangkan sebagian lagi dimaksudkan
sebagai
pengembalian
modal
yang
ditanamkan
(diinvestasikan) oleh para investor. Apabila perusahaan membagikan dividen likuidasi, maka pemegang saham harus diberitahu mengenai berapa
jumlah
pembagian
laba,
dan
berapa
yang
merupakan
pengembalian modal sehingga para pemegang saham bisa mengurangi rekening investasinya. 5) Dividen saham (stock dividend) Dividen saham adalah pembagian tambahan saham tanpa dipungut biaya kepada para pemegang saham, dan jumlah yang dibagikan sesuai dengan proporsi saham yang dimiliki pemegang saham. Dengan demikian para
18
pemegang saham mempunyai jumlah lembar saham yang lebih banyak setelah menerima dividen saham. Dividen saham dapat berupa saham sejenis maupun beda jenis.
Berdasarkan periode satu tahun buku perusahaan, maka dividen dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu dividen interim dan dividen final. Dividen interim adalah bagian dari dividen tunai yang dibayarkan setelah laporan tengah tahunan diterbitkan. Perusahaan membagikan dividen interim jika perusahaan mendapatkan keuntungan yang cukup serta tidak memiliki rencana untuk melakukan ekspansi usaha yang membutuhkan modal tambahan dari laba perusahaan.dividen interim diumumkan setelah mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dividen final adalah dividen yang dibagikan setelah tutup tahun buku dilakukan. Dividen final dibayarkan berdasarkan besarnya laba bersih yang diterima perusahaan selama satu tahun pembukuan.
2.1.6 Dividend Payout Ratio Dividend payout ratio (DPR) adalah sebuah parameter untuk mengukur besaran dividen yang akan dibagikan ke pemegang saham. Dividend payout ratio dapat diukur sebagai dividen yang dibayarkan dibagi dengan laba yang tersedia untuk pemegang saham. Perusahaan yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi akan mempunyai rasio pembayaran dividen yang rendah, sebaliknya perusahaan yang tingkat pertumbuhannya rendah akan mempunyai rasio pembayaran dividen yang tinggi. Semakin tinggi DPR yang ditetapkan oleh suatu perusahaan semakin kecil jumlah laba ditahan yang mengakibatkan pertumbuhan perusahaan terhambat karena tidak tersedianya dana untuk mengembangkan perusahaan.
19
Dividend payout ratio mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai (cash dividen) kepada para pemegang saham setiap tahun berdasarkan besar kecilnya laba bersih (net income). DPR dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pembayaran dividen merupakan bagian dari kebijakan dividen perusahaan. Bambang Riyanto (1995: 269) menungkapkan bahwa ada beberapa cara penetapan dividend payout ratio antara lain: 1) Kebijakan yang stabil Artinya jumlah dividen per lembar saham yang akan dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya berfluktuasi. Dividen yang stabil ini dipertahankan untuk beberapa tahun dan apabila ternyata pendapatan perusahaan naik dan kenaikan pendapatan tersebut nampak mantap dan relatif permanen, barulah dividen per lembar saham dinaikkan. Dana dividen yang sudah dinaikkan ini akan dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif panjang. 2) Kebijakan dividen minimal dan dividen tambahan Menetapkan jumlah minimal dividen per lembar saham setiap tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik, perusahaan akan membayarkan dividen tambahan di atas jumlah minimal dividen yang biasa dibagikan. Bagi investor ada kepastian bahwa mereka akan menerima dividen sejumlah minimal tertentu tiap tahunnya meskipun keadaan keuangan perusahaan memburuk. Tetapi jika keadaan keuangan perusahaan baik maka investor akan menerima dividen minimal tersebut ditambah dengan 20
dividen tambahan. Kalau keadaan keuangan memburuk lagi maka yang dibayarkan hanya dividen minimal saja. 3) Kebijakan yang konstan Kebijakan di mana perusahaan menetapkan dividend payout ratio yang konstan, misal 50%. Ini berarti bahwa jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan keuntungan bersih yang diperoleh setiap tahunnya. 4) Kebijakan dividen yang fleksibel Penetapan dividend payout ratio
yang fleksibel yang besarnya
disesuaikan tiap tahunnya dengan potensi keuangan dan kebijakan keuangan perusahaan yang bersangkutan.
2.1.7 Dividend Smoothing Dividend smoothing adalah jumlah dividen yang jumlahnya tergantung dari keuntungan perusahaan tahun berjalan dengan dividen tahun sebelumnya (Lintner, 1956). Dengan dilakukannya dividend smoothing, perusahaan dapat membagikan dividen yang stabil. Dividen yang stabil ini dipertahankan untuk beberapa tahun dan apabila kemudian terdapat peningkatan pendapatan yang mantap dan relatif permanen, barulah perusahaan menaikkan jumlah dividen. Baker dan Powell (2005), mengatakan bahwa manajer berfokus pada tingkat dividen yang diinginkan sebelum mempertimbangkan dividend payout ratio. Manipulasi laba melalui aktivitas riil membantu perusahaan untuk meratakan dividend payout ratio
sesuai dengan target dividen yang diharapkan, dan
meningkatkan kapasitas perusahaan untuk membagikan dividen tunai. Laba yang diperoleh perusahaan akan mempengaruhi seberapa besar perusahaan akan
21
membagikan dividen karena dividen merupakan bagian dari laba yang diperoleh perusahaan. Perusahaan yang berkeinginan untuk menarik investor dengan membagikan dividen yang stabil akan membandingkan laba yang akan dibagikan tahun berjalan dengan periode sebelumnya. Apabila jumlah laba yang akan dibagikan di bawah target dividen yang diinginkan maka manajer akan berusaha melakukan dividend smoothing melalui manipulasi laba agar bisa mencapai target dividen. Begitu juga apabila jumlah laba yang akan dibagikan jauh melebihi target dividen yang diinginkan maka manajer akan berusaha melakukan dividend smoothing melalui manipulasi laba agar bisa mencapai target dividen karena walaupun laba yang diperoleh pada tahun berjalan tinggi, namun peningkatan ini masih belum mantap dan berkelanjutan. Dividen akan ditingkatkan apabila laba yang diperoleh perusahaan mengalami peningkatan yang mantap dan relatif permanen. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan Lintner (1956) terhadap 28 perusahaan, ditemukan bahwa perusahaan pada awalnya memutuskan apakah akan mengubah dividen dari tingkat yang ada atau tidak. Manajer mengaku mengurangi dividennya apabila mereka tidak punya pilihan lain dan meningkatkan dividen hanya jika mereka yakin bahwa arus kas masa depan dapat mempertahankan tingkat dividen yang baru. Menurut Lintner (1956) motivasi utama dalam melakukan smoothing adalah keengganan untuk memotong dividen (cutting dividend). Berdasarkan bukti empiris yang ada menyatakan bahwa perusahaan lebih sering meningkatkan dividen daripada memotong dividen. Tujuan utama dividend smoothing adalah untuk mempertahankan citra perusahaan di hadapan para investor karena dividen merupakan cerminan laba perusahaan pada saat itu. Perusahaan akan menaikkan dividen apabila perusahaan yakin arus kas perusahaan dapat menopang dividen selama beberapa tahun ke depan
22
dan menurunkan dividen jika memang harus dilakukan. Dengan dilakukannya kebijakan dividend smoothing, perusahaan dapat menciptakan kestabilan tingkat dividen yang dibagikan dapat meningkatkan citra perusahaan di hadapan para investor. Alasan perusahaan melakukan smoothing dividend: 1) Perusahaan berusaha menyakinkan atau memenuhi harapan investor dengan kebijakan dividen yang stabil. Kebijakan dividen yang stabil akan memberi gambaran pada investor bahwa perusahaan tersebut mempunyai prospek yang baik di masa mendatang dan dapat selalu membagikan dividen tiap tahunnya. 2) Banyak para pemegang saham yang menjadikan penerimaan dividen sebagai penghasilan utamanya, sehingga mereka lebih menyukai dividen yang stabil. Mereka lebih senang membayar harga lebih untuk saham yang sudah dipastikan akan memberikan dividen tiap tahunnya.
2.1.8 Manajemen Laba Melalui Manipulasi Aktivitas Riil Manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil menurut Roychowdury (2006) adalah sesuatu yang berangkat dari praktek operasi yang normal, dimotivasi oleh keinginan manajer untuk mengelabui beberapa stakeholder untuk percaya bahwa tujuan laporan keuangan telah tercapai melalui kegiatan operasi normal. Manipulasi aktivitas riil dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas perusahaan sehari-hari selama periode akuntansi berjalan. Manajemen laba riil dapat dilakukan kapan saja sepanjang periode akuntansi dengan tujuan spesifik, yaitu memenuhi target laba tertentu, menghindari kerugian, dan mencapai target analyst forecast. Selain itu, manajemen laba riil sulit untuk dideteksi oleh auditor.
23
Berdasarkan definisi dari Roychowdury (2006), dapat dilihat bahwa pihak manajemen memberikan perhatian yang besar terhadap target laba seperti laba pada periode sebelumnya atau ramalan analisis. Pihak manajemen akan melakukan manipulasi aktivitas riil agar bisa memenuhi target laba, meskipun tindakan ini dapat berpotensi mengurangi nilai perusahaan. Graham et al. (2005) secara spesifik mengidentifikasi beberapa jenis insentif manajemen dalam memenuhi target laba, yaitu: 1) Mempertahankan atau meningkatkan harga saham 2) Mempertahankan reputasi di hadapan stakeholder 3) Membantu karyawan agar dapat memperoleh bonus 4) Meningkatkan reputasi manajemen di hadapan eksternal perusahaan. 5) Menghindari pelangaran perjanjian hutang Berdasarkan penelitian Roychowdury (2006), manajemen laba melalui aktivitas riil dapat dilakukan dengan tiga tehnik, yaitu: 1) Manipulasi penjualan (sales manipulation) Merupakan usaha yang dilakukan oleh manajer untuk menaikkan penjualan selama periode tertentu dengan tujuan meningkatkan laba perusahan. Sebagai contoh manajer melakukan tambahan penjualan atau mempercepat penjualan dengan cara menawarkan potongan harga yang terbatas. Perusahaan juga dapat menawarkan jangka waktu kredit yang lebih lunak. Sebagai contoh perusahaan retailer dan otomobil sering menawarkan tingkat bunga kredit yang rendah sampai dengan akhir periode akuntansi. Hal ini menyebabkan volume penjualan meningkat dan laba menjadi tinggi namun arus kas menurun karena arus kas masuk kecil akibat adanya potongan harga dan penjualan kredit. Oleh karena itu
24
manajemen penjualan menyebabkan arus kas kegiatan operasi pada periode berjalan lebih rendah dibandingkan level penjualan normal dan menyebabkan pertumbuhan abnormal dari piutang. 2) Produksi berlebihan (overproduction) Manajer perusahaan memproduksi barang lebih banyak daripada yang dibutuhkan dengan tujuan mencapai permintaan sesuai harapan sehingga laba meningkat. Produksi dalam skala besar menyebabkan biaya overhead tetap dibagi dengan jumlah unit produksi yang besar sehingga rata-rata biaya per unit dan harga pokok penjualan menurun. Penurunan harga pokok penjualan ini akan berdampak pada peningkatan pendapatan tetapi arus kas kegiatan operasi menjadi lebih rendah daripada tingkat penjualan pada kondisi normal karena perusahaan mengeluarkan biaya untuk unitunit yang over- produced. 3) Pengurangan biaya diskresioner (reduction of discretionary expenditures) Biaya diskresioner yang dapat dikurangi adalah biaya iklan, biaya penelitian dan pengembangan, biaya penjualan, dan biaya umum dan administrasi seperti biaya pelatihan karyawan dan biaya perbaikan dan perjalanan. Pada umumnya hal ini terjadi ketika biaya diskresioner tidak memberikan manfaat secara langsung terhadap pendapatan perusahaan. Penurunan biaya diskresioner akan menyebabkan penurunan aliran kas keluar sehingga memiliki dampak positif terhadap arus kas dari operasi abnormal pada periode berjalan, namun dapat menyebabkan risiko arus kas lebih rendah di periode selanjutnya
25
Manipulasi aktivitas riil dapat mengurangi nilai perusahaan karena tindakan yang dilakukan pada periode saat ini dapat meningkatkan pendapatan tetapi dapat menimbulkan efek negatif pada arus kas di periode mendatang. Hal ini disebabkan karena tindakan yang diambil manajer untuk meningkatkan laba periode saat ini akan mempunyai dampak negatif terhadap kinerja laba pada periode selanjutnya (Roychowdhury,2006). Misalnya, pemberian potongan harga atau diskon secara besar-besaran dapat meningkatkan volume penjualan dan memenuhi target pendapatan jangka pendek. Namun tindakan ini dapat membuat konsumen berekspektasi akan adanya potongan harga atau diskon yang lebih di periode mendatang sehingga apabila perusahaan tidak memberika diskon, volume penjualan di periode mendatang akan mengalami penurunan. Produksi yang berlebih juga menyebabkan semakin banyaknya barang yang harus dijual dan memerlukan biaya untuk menyimpan dan memelihara persediaan tersebut. Meskipun manajemen aktivitas riil memiliki potensi membebankan biaya yang lebih besar dalam jangka panjang bagi perusahaan, ada beberapa alasan manajemen laba melalui aktivitas riil dipilih daripada manajemen laba akrual. Pertama, manajemen laba akrual lebih cenderung menarik perhatian auditor dan regulator daripada pengambilan keputusan tindakan riil dalam penetapan harga dan produksi. Kedua, menggunakan strategi manajemen laba berbasis akrual saja mungkin tidak cukup untuk mencapai target laba sehingga harus dilengkapi dengan strategi manajemen laba aktivitas riil.
26
2.2
Penelitian-penelitian Sebelumnya Gunny (2005) dalam papernya yang diterbitkan dalam jurnal “What Are The
Consequences of Real Earnings Management?” melakukan penelitian tentang konsekuensi dari manajemen laba nyata. Empat aktivitas utama manajemen laba nyata yang digunakan adalah a) mengurangi biaya diskresioner riset dan pengembangan, b) mengurangi biaya diskresioner penjualan dan biaya administrasi dan umum, c) melakukan timing penjualan aktiva tetap untuk menaikkan laba, dan d) overproduction, diskon harga atau keringanan kredit untuk mengurangi biaya produksi atau menaikkan penjualan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen laba dan arus kas masa depan yang rendah. Selain itu, aktivitas manajemen laba nyata secara ekonomis signifikan menurunkan kinerja operasi perusahaan. Roychowdhury (2006) dalam papernya yang diterbitkan dalam jurnal “Earning Management Through Real Activities Manipulation.” menyatakan bahwa perusahaan menggunakan tindakan manipulasi aktivitas riil untuk menghidari pelaporan kerugian dalam laporan tahunan. Roychowdhury menyatakan bahwa manajer memberikan potongan harga untuk menaikkan penjualan sementara, mengurangi pengeluaran diskresioner untuk menaikkan laba yang dilaporkan, dan melakukan overproduction untuk mengurangi harga pokok penjualan. Aprilia (2010) dalam hasil penelitiannya “Indikasi Manajemen Laba Melalui Manupulasi Aktivitas Riil (Studi Empiris pada Perusahaan Right Issue yang terdaftar di BEI).” menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan right issue dan terdaftar di BEI terindikasi melakukan manipulasi aktivitas riil melalui arus kas kegiatan operasi. Tetapi dalam hasil penelitian ini tidak terindikasi adanya manajemen laba melalui biaya produksi dan biaya diskresioner.
27
Agmarina (2011) dalam penelitiannya “Dampak Manipulasi Aktivitas Riil Melalui Arus Kas Kegiatan Operasi Terhadap Kinerja Pasar.” menyimpulkan bahwa dari 105 sampel yang digunakan, terdapat 93 sampel yang diduga cenderung melakukan manipulasi aktivitas riil melalui arus kas kegiatan operasi dan sebesar 12 sampel cenderung tidak melakukan. Sampel yang diduga cenderung melakukan manipulasi aktivitas riil melalui arus kas kegiatan operasi memiliki rerata cummulative abnormal return (CAR) yang lebih besar disbanding sampel yang cenderung tidak melakukan manipulasi aktivitas riil melalui arus kas kegiatan operasi.
2.3
Pengembangan Hipotesis Secara teoritis, perusahaan yang memperoleh laba tinggi akan mampu
membagikan dividen yang semakin besar. Di mata investor dan calon investor hal ini merupakan daya tarik untuk menanamkan modalnya dengan membeli saham perusahaan tersebut di mana kebanyakan para investor dan calon investor tidak terlalu memperhatikan prosedur dan standar yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan informasi laba tersebut. Hal inilah yang mendorong pihak manajemen perusahaan untuk melakukan manajemen laba agar dapat menghasilkan laporan yang dipandang baik oleh para investor. Berdasarkan perumusan masalah yang ada, penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: H1a
: Perusahaan diduga cenderung melakukan manipulasi –aktivitas riil melalui arus kas kegiatan operasi
H1b
: Perusahaan diduga cenderung melakukan manipulasi aktivitas riil melalui biaya produksi
28
H1c
: Perusahaan diduga cenderung melakukan manipulasi-aktivitas riil melalui biaya diskresioner
H2
: Ada pengaruh antara manajemen laba melalui aktivitas riil terhadap dividend payout ratio.
29