BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 1.1. Landasan Teori Pemegang saham yang menginvestasikan dananya di perusahaan memiliki “jarak” hubungan atau pengetahuan dari mereka yang mengelola perusahaan. Untuk meminimalisir “jarak” tersebut, perlu diciptakan suatu mekanisme pengawasan dan sistem yang memungkinkan pemegang saham memiliki akses ke perusahaan publik – mekanisme ini dapat dilakukan lewat tata kelola perusahaan (Corporate Governance). Perkembangan konsep corporate governance sesungguhnya telah jauh dimulai bersama dengan dikembangkannya sistem korporasi di Inggris, Eropa dan Amerika Serikat sekitar satu setengah abad lalu (1840-an). Untuk pertama kalinya, istilah corporate governance diperkenalkan oleh Cadburry Committee pada tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadburry Report. Laporan inilah yang menentukan praktik Corporate Governance di seluruh dunia. Cadburry Committee dalam Tjager (2003) menjelaskan definisi Corporate Governance sebagai berikut: "A set of rules that define the relationship between shareholder, managers, creditors, the government, employees and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities". Pada definisi tersebut membicarakan mengenai seperangkat peraturan yang berhubungan dengan shareholder, manajer, kreditur, pemerintah, pegawai dan pihak stakeholder lain baik dari internal maupun eksternal. Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah stewardship theory dan agency theory (Donaldson dan Davis, 1991). 1.1.1. Teori Penatalayanan (Stewardship Theory) Teori Stewardship mempunyai akar psikologi dan sosiologi yang didesain untuk menjelaskan situasi dimana manajer sebagai steward dan bertindak sesuai kepentingan pemilik (Donaldson & Davis, 1991). Dalam teori stewardship manajer akan berperilaku sesuai kepentingan bersama. Ketika kepentingan steward dan pemilik tidak sama, steward akan berusaha bekerja sama daripada menentangnya, karena steward merasa kepentingan bersama 13
14 dan berperilaku sesuai dengan perilaku pemilik merupakan pertimbangan yang rasional karena steward lebih melihat pada usaha untuk mencapai tujuan organisasi. Teori stewardship mengasumsikan hubungan yang kiat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan pemilik. Steward akan melindungi dan memaksimalkan kekayaan organisasi dengan kinerja perusahaan, sehingga dengan demikian fungsi utilitas akan maksimal. Asumsi penting dari stewardship adalah manajer meluruskan tujuan sesuai dengan tujuan pemilik. Namun demikian tidak berarti steward tidak mempunyai kebutuhan hidup. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. 1.1.2. Teori Keagenan (Agency Theory) Agency
theory
(teori
keagenan)
merupakan
suatu
teori
yang
mengemukakan bahwa pemisahan antara pemilik (prinsipal) dan pengelola (agen) suatu perusahaan dapat menimbulkan masalah keagenan/agency problem (Jensen & Meckling, 1976). Hubungan keagenan ini memunculkan dua permasalahan: (a) Terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarya dan posisi operasi entitas dari pemilik, dan (b) Terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidak samaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Manajer
memang
mempunyai
kewajiban
untuk
memaksimumkan
kesejahteraan para pemegang saham, namun di sisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka. Memburuknya kondisi dari agency problem juga disebabkan walaupun manajer telah mendapatkan kompensasi dari pekerjaannya namun pada kenyataannya
15 perubahan kemakmuran manajer jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan perubahan kemakmuran pemegang saham atau pemilik (Jensen dan Meckling 1976). Upaya yang dilakukan untuk mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini akan menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh principal maupun agent. Agency Cost ini mencakup biaya pengawasan oleh pemegang saham, biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal, serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk “bonding expenditures” yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham (Nicken Destriana, 2011). Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal. Menurut Eisenhardt (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu : (a) Asumsi tentang sifat manusia Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion) (b) Asumsi tentang keorganisasian Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen.
16 (c) Asumsi tentang informasi Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan. Corporate
Governance
muncul
karena
terjadi
pemisahan
antara
kepemilikan dengan pengendalian perusahaan atau sering kali dikenal dengan istilah masalah keagenan (agency problem). Posisi manajemen yang sangat dominan dalam suatu perusahaan membuat manajemen sering keluar dari batas yang ditentukan dan melupakan esensi keberadaan pihak manajemen, yaitu meningkatkan kesejahteraan pemilik perusahaan, Corporate Governance di perlukan untuk mengurangi konflik keagenan antara pemilik dan manajer (Tearney, 2003). Menurut Jensen dan Meckling (1976) kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu mengendalikan masalah keagenan (agency conflict). Struktur kepemilikan manajer merupakan prosentase saham yang dimiliki oleh manajer yaitu managerial ownership (MO). Beberapa penelitian telah menguji apakah kepemilikan manajerial mempengaruhi masalah keagenan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kontrol internal dilakukan oleh pihak dalam perusahaan (manajer). Dengan struktur kepemilikan saham oleh manajer dapat mensejajarkan kepentingan pemilik (shareholder) dengan manajer. Sehingga, dalam melaksanakan pekerjaannya manajer akan selalu berupaya meyakinkan kinerja perusahaan berjalan dengan baik. Selain itu, kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dan pemegang saham, manajer akan merasakan lansung manfaat dari keputusan yang diambil dengan benar dan merasakan kerugian sebagai konsekuensi dan pengambilan keputusan yang salah. Struktur kepemilikan dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan investasi, keputusan pendanaan dan keputusan dividen yang tercermin dalam harga saham di pasar modal, demikian jika dilihat berdasarkan sudut pandang manajemen keuangan. Kondisi ini memperkecil biaya keagenan ekuitas tetapi menimbulkan biaya keagenan baru yaitu biaya keagenan hutang (Husnan : 2001). Peningkatan dividen diharapkan dapat mengurangi biaya keagenan.
17 1.1.3. Modal Kerja Modal kerja merupakan modal yang digunakan untuk melakukan kegiatan operasi perusahaan. Modal kerja diartikan sebagai investasi yang ditanamkan dalam aktiva lancar atau aktiva jangka pendek seperti kas, bank, surat-surat berharga, piutang, persediaan dan aktiva lancar lainnya (Kasmir, 2010). 2.1.3.1. Konsep Modal Kerja Pengertian modal kerja secara mendalam terkandung dalam konsep modal kerja yang dibagi menjadi tiga macam (Kasmir, 2010) yaitu: (a) Konsep Kuantitatif Konsep kuantitatif, menyebutkan bahwa modal kerja adalah seluruh aktiva lancar. Dalam konsep ini adalah bagaimana mencukupi kebutuhan dana untuk membiayai operasi perusahaan jangka pendek. Konsep ini sering disebut dengan modal kerja kotor (gross working capital). Kelemahan konsep ini adalah pertama, tidak mencerminkan tingkat likuiditas perusahaan, dan kedua, konsep ini tidak mementingkan kualitas apakah modal kerja dibiayai oleh utang jangka panjang atau jangka pendek atau pemilik modal. Jumlah aktiva lancar yang besar belum menjamin margin of safety bagi perusahaan sehingga kelangsungan operasi perusahaan belum terjamin. Gross Working Capital = Ʃ Aktiva Lancar
(b) Konsep Kualitatif Konsep kualitatif, merupakan konsep yang menitikberatkan kepada kualitas modal kerja. Konsep ini melihat selisih antara jumlah aktiva lancar dengan kewajiban lancar. Konsep ini sering disebut modal kerja bersih atau (net wotking capital). Keuntungan konsep ini adalah terlihatnya tingkat likuiditas perusahaan. Aktiva lancar yang lebih besar dari kewajiban lancar menunjukan kepercayaan para kreditor kepada pihak perusahaan sehingga kelangsungan operasi perusahaan akan lebih terjamin dengan dana pinjaman kreditor. Net Working Capital = Ʃ Aktiva Lancar – Ʃ Kewajiban Lancar
(c) Konsep Fungsional Konsep fungsional menekankan kepada fungsi dana yang dimiliki perusahaan dalam memperoleh laba. Artinya sejumlah dana yang dimiliki
18 dan digunakan perusahaan untuk meningkatkan laba perusahaan. Semakin banyak dana yang digunakan sebagai modal kerja seharusnya dapat meningkatkan perolehan laba. Demikian pula sebaliknya, jika dana yang digunakan sedikit, laba pun akan menurun. Akan tetapi, dalam kenyataannya terkadang kejadiannya tidak selalu demikian. 2.1.3.2. Tujuan Modal Kerja Tujuan manajemen modal kerja bagi perusahaan antara lain adalah (Kasmir, 2010): (a) Guna memenuhi kebutuhan likuiditas perusahaan, (b) Dengan modal kerja yang cukup perusahaan memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban pada waktunya, (c) Memungkinkan perusahaan untuk memiliki persediaan yang cukup dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggannya, (d) Memungkinkan perusahaan untuk memperoleh tambahan dana dari para kreditor, apabila rasio keuangannya memenuhi syarat, (e) Memungkinkan perusahaan memberikan syarat kredit yang menarik minat pelanggan, dengan kemampuan yang dimilikinya, (f) Guna memaksimalkan penggunaan aktiva lancar guna meningkatkan penjualan dan laba, (g) Melindungi diri apabila terjadi krisis modal kerja akibat turunnya nilai akitiva lancar, serta (h) Tujuan lainnya. Manfaat utama modal kerja adalah menjaga tingkat likuiditas suatu perusahaan (Mardiyanto, 2009). Dengan modal kerja yang memadai, suatu perusahaan akan mampu membayar seluruh kewajiban jangka pendeknya, memiliki cadangan yang cukup untuk menghindari kekurangan persediaan dan memberikan piutang kepada pelanggan sehingga hubungan dengan pelanggan dapat terus dipertahankan. 2.1.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Modal kerja Lebih lanjut menurut Kasmir (2010) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi modal kerja: (a) Jenis Perusahaan Jenis kegiatan perusahaan dalam praktiknya meliputi dua macam, yaitu: perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa dan non jasa (industri).
19 Kebutuhan modal
dalam
perusahaan
industri
lebih besar jika
dibandingkan dengan perusahaan jasa. Di perusahaan industri, investasi dalam bidang kas, piutang dan persediaan relatif lebih besar jika dibandingkan dengan perusahaan jasa. (b) Syarat Kredit Untuk meningkatkan penjualan bisa dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah melalui penjualan secara kredit. Penjualan barang secara kredit memberikan kelonggaran kepada konsumen untuk membeli barang dengan cara pembayaran diangsur (dicicil) beberapa kali untuk jangka waktu tertentu. Agar modal kerja yang diinvestasikan dalam sektor piutang dapat diperkecil, perusahaan perlu memberikan potongan harga. Kebijakan ini di samping bertujuan untuk menarik minat debitur untuk segera membayar utangnya, juga untuk memperkecil kemungkinan risiko utang yang tidak tertagih (macet). (c) Waktu Produksi Makin lama waktu yang digunakan untuk memproduksi suatu barang, maka akan semakin besar modal kerja yang dibutuhkan. Demikian pula sebaliknya semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi modal kerja, maka semakin kecil modal kerja yang dibutuhkan. (d) Tingkat Perputaran Persediaan Semakin kecil atau rendah tingkat perputaran, kebutuhan modal kerja semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian , dibutuhkan perputaran persediaan yang cukup tinggi agar memperkecil risiko kerugian akibat penurunan harga serta mampu menghemat biaya penyimpanan dan pemeliharaan persediaan. Sumber-sumber dana untuk modal kerja dapat diperoleh dari penurunan jumlah aktiva dan kenaikan pasiva. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kenaikan dan penurunan modal kerja disebabkan: (a) Adanya kenaikan modal (penambahan modal pemilik atau laba). (b) Adanya pengurangan aktiva tetap (penjualan aktiva tetap). (c) Adanya penambahan utang.
20 2.1.3.4. Hubungan Likuiditas dengan Profitabilitas Terdapat hubungan terbalik antara likuiditas (modal kerja) dengan profitabilitas. Hubungan tersebut dijelaskan melalui rumus ROA (Return on Asset) sebagai berikut: ROA =
=
Apabila aktiva tetap dan laba bersih dianggap konstan, peningkatan aktiva lancar (modal kerja kotor) akan menurunkan ROA (profitabilitas). Dengan demikian, jika hal-hal lain tetap, peningkatan likuiditas (modal kerja) justru akan menurunkan tingkat profitabilitas. Likuiditas yang tinggi merupakan indikator bahwa risiko perusahaan rendah, artinya perusahaan aman dari kemungkinan kegagalan membayar berbagai kewajiban lancar, namun hal itu harus dicapai dengan merelakan rendahnya tingkat profitabilitas, yang akan berdampak terhadap rendahnya pertumbuhan perusahaan (Mardiyanto, 2009). Sebaliknya, jika perusahaan menginginkan profitabilitas yang tinggi, perusahaan harus bersedia menghadapi rendahnya likuiditas atau risiko yang kian meningkat atas kegagalan membayar kewajiban jangka pendek (yang bisa menyebabkan kebangkrutan usaha. Kebijakan modal kerja (working capital policy) mancakup dua hal: (a) Jumlah aktiva lancar yang dikehendaki, dan (b) Bagaimana aktiva lancar itu dibiayai. Dikaitkan kembali dengan trade-off antara likuiditas dan profitabilitas, kebijakan modal kerja sebenarnya bertujuan mencapai bauran yang optimal antara likuiditas dan profitabilitas. Dengan kata lain, kebijakan modal kerja dimaksudkan untuk mencapai tingkat profitabilitas tertentu sesuai dengan tingkat risiko yang bersedia ditanggung oleh perusahaan. 2.1.3.5. Strategi Modal Kerja Kebijakan modal kerja suatu perusahaan pada akhirnya harus diwujudkan melalui strategi tertentu. Terdapat tiga macam strategi modal kerja (Mardiyanto, 2009) yaitu: (a) Strategi Modal Kerja Moderat Aktiva lancar musiman didanai oleh dana musiman, sedangkan total aktiva permanen didanai oleh dana permanen. Jadi, perusahaan menyelaraskan antara aktiva lancar musiman dengan dana musiman serta
21 aktiva permanen dan dana permanen. Dengan cara itu, perusahaan pada dasarnya telah menyediakan sumber pendanaan yang sesuai dengan jangka waktu aktivanya sehingga akan terhidar dari kesulitan likuiditas. (b) Strategi Modal Kerja Agresif Total aktiva permanen didanai oleh sebagian dana permanen dan sebagian lagi didanai oleh dana musiman. Dengan semikian ada sebagian aktiva permanen yang didanai oleh dana musiman. Jika tidak berhati-hati, perusahaan mungkin terjebak dalam kesulitan likuiditas, yang dapat berakhir dengan kebangkrutan. Tujuan utama strategi agresif memang lebih mengutamakan imbal hasil yang tinggi walaupun harus menghadapi risiko yang tinggi pula. (c) Strategi Modal Kerja Konservatif Total aktiva permanen dan sebagian aktiva lancar musiman didanai seluruhnya oleh dana permanen. Perusahaan baru menggunakan dana musiman jika terjadi kenaikan aktiva lancar musiman akibat permintaan musiman yang melonjak tajam. Sebaliknya, saat aktiva lancar musiman menurun (akibat lesunya permintaan), perusahaan akan menginvestasikan kelebihan dana musimannya ke dalam surat berharga jangka pendek. 1.1.4. Economic Value Added (EVA) 1.1.4.1. Pengertian EVA EVA merupakan suatu konsep pengukuran kinerja keuangan perusahaan yang dikembangkan dan dipopulerkan pada tahun 1993 oleh Stern Stewart & Co, sebuah perusahaan konsultan manajemen keuangan yang berkantor pusat di New York - Amerika Serikat. Dalam website-nya Stern Stewart & Co mengatakan: “Economic Value Added is a measure of economic profit. It is calculated as the difference between the Net Operating Profit After Tax (NOPAT) and the opportunity cost of invested capital. This opportunity cost is determined by the weighted average cost of debt and equity capital (WACC) and the amount of capital employed.” (sternstewart.com)
Menurut Tunggal (2008), EVA adalah laba yang tertinggal setelah dikurangi dengan biaya modal (cost of capital) yang diinvestasikan untuk
22 menghasilkan laba tersebut. Pendekatan ini mengukur kinerja perusahaan berdasarkan nilai, yang menggambarkan jumlah absolute dari nilai pemegang saham (shareholder value) yang diciptakan (created) atau dirusak (destroyed) pada suatu periode tertentu, biasanya satu tahun (Iriana, 2003). Gagasan di balik EVA sebenarnya sudah lama ada. Pada tahun 1920-an Alfred Sloan melaksanakan sistem seperti EVA untuk divisi operasi General Motors. Perusahaan Jepang Matsushita menciptakan sistem serupa pada tahun 1930-an, sebagaimana halnya General Electric pada tahun 1950-an. Pada zaman itu banyak orang yang menamainya lain, seperti; pendapatan residual (residual income) atau laba ekonomis (economic profit), dan istilah EVA belum ditemukan (O’Byrne, 2001). EVA dapat ditingkatkan dengan cara : 1) Memperoleh lebih banyak laba tanpa menggunakan lebih banyak modal. Cara yang populer dalam hal ini adalah memotong biaya-biaya, bekerja dengan biaya produksi dan pemasaran yang lebih rendah agar diperoleh margin laba yang lebih besar. Hal ini dapat juga dicapai dengan meningkatkan perputaran aktiva, baik dengan cara menaikan volume penjualan atau bekerja dengan aktiva yang lebih rendah (lower assets). 2) Memperoleh pengembalian (return) yang lebih tinggi daripada biaya modal atas investasi baru. Hal ini sesungguhnya menyangkut pertumbuhan perusahaan. EVA didasarkan pada gagasan keuntungan ekonomis atau juga dikenal sebagai penghasilan sisa yang menyatakan bahwa kekayaan hanya diciptakan ketika suatu perusahaan meliputi laba operasional dan biaya modal. Dalam kaitannya dengan penjelasan sebelumnya, EVA hanya merupakan cara alternatif untuk meninjau kinerja perusahaan, jika hanya dibatasi peranannya seperti hal tersebut, maka akan menjadi suatu kesalahan. Ketika digunakan untuk meninjau kinerja divisi internal, pada saat manajer menyusun strategi hendaknya juga difokuskan untuk memaksimumkan aliran EVA perusahaan untuk masa yang akan datang. Berbeda dengan pengukuran kinerja lainnya dalam akuntansi tradisional, pengukuran
kinerja
dengan
EVA
mempertimbangkan
kepentingan
shareholders. Secara eksplisit EVA memperhitungkan biaya modal atas ekuitas dan mengakui bahwa, karena lebih tingginya risiko yang dihadapi pemilik
23 modal, besarnya tingkat biaya modal atas ekuitas lebih tinggi dibanding biaya modal atas utang. 1.1.4.2. Menghitung EVA® a) Menghitung NOPAT NOPAT (Net Operating Profit After Tax) merupakan laba operasi perusahaan, setelah pajak, dan mengukur laba yang diperoleh perusahaan dari operasi berjalan (O’Byrne, 2001). Menurut Tunggal (2008), NOPAT adalah laba yang diperoleh dari operasi perusahaan setelah dkurangi pajak penghasilan, tetapi termasuk biaya keuangan (financial cost) dan “non cash bookkeeping entries” seperti biaya penyusutan. NOPAT dapat dihitung sebagai berikut : NOPAT = Pendapatan Operasi + Pendapatan Bunga + Pendapatan Ekuitas (-Kerugian Ekuitas) + Pendapatan Investasi lainnya - Pajak Penghasilan – Pembebasan Pajak terhadap Biaya Bunga.
(O’Byrne, 2001) b) Menghitung Invested Capital Invested capital adalah jumlah seluruh pinjaman perusahaan diluar pinjaman jangka pendek tanpa bunga (non – interest bearing liabilities), seperti utang dagang, biaya yang masih harus dibayar, utang pajak, uang muka pelanggan, dan sebagainya (Tunggal, 2008). Perhitungan Invested Capital dapat dilakukan dengan cara, yaitu : 1) Pendekatan Operasi (Operating Approach) Invested Capital = Kas + Working capital requirement + Aktiva tetap.
sedangkan, Working Capital Requirement = (persediaan + piutang dagang + aktiva lancar lainnya) - (utang dagang + biaya masih harus dibayar + uang muka pelanggan).
24 2) Pendekatan Keuangan (Finance Approach) Invested Capital = pinjaman jangka pendek + pinjaman jangka panjang lain (interest bearing liabilities) + ekuitas pemegang saham.
c) Menghitung WACC Mardiyanto (2009) menjelaskan, biaya modal adalah tingkat imbal hasil minimum yang harus diterima oleh investor sehingga investor bersedia mendanai suatu proyek pada tingkat risiko tertentu. Biaya modal suatu perusahaan bergantung tidak hanya pada biaya utang dan pembiayaan ekuitas tetapi juga seberapa banyak dari masingmasing itu dimiliki dalam struktur modal (O’Byrne, 2001). Menurut Tunggal (2008), Weighted Average Cost of Capital (WACC) adalah jumlah biaya dari masing-masing komponen modal. Bentuk rumus WACC adalah sebagai berikut : WACC = Wd . Kd (1-T) + We . Ke
Wd = Bobot dari utang Kd = Biaya utang (cost of debt) sebelum pajak T
= Tingkat pajak yang berlaku
We = Bobot modal ekuitas Ke = Biaya modal ekuitas (cost of equity) 1). Menghitung Biaya Utang Biaya utang adalah tingkat pengembalian sebelum pajak yang dibayarkan oleh perusahaan kepada pemberi pinjaman (O’Byrne, 2001). Biaya utang sebelum pajak Kd = (beban bunga / total utang) x 100%
Biaya utang setelah pajak Kd (setelah pajak) = Kd x (1-T)
25
2). Menghitung Biaya Modal Ekuitas Biaya ekuitas adalah pengembalian yang diminta oleh investor untuk membuat investasi ekuitas pada perusahaan tersebut (O’Byrne, 2001).
Di =dividen saham biasa per lembar P =harga saham biasa per lembar g =pertumbuhan dividen (rata-rata) Stern Stewart menghitung EVA sebagai laba operasi setelah pajak (after tax operating income) dikurangi dengan total biaya modal (total cost of capital), di mana total biaya modal dihitung sebagai berikut: total modal yang diinvestasikan × tingkat biaya modal
Total biaya modal menunjukan besarnya kompensasi atau pengembalian yang dituntut investor atas modal yang diinvestasikan pada perusahaan. Besarnya kompensasi tergantung pada tingkat risiko perusahaan yang bersangkutan, dengan asumsi bahwa investor sebagai penghindar risiko (risk averter), semakin tinggi tingkat risikonya, semakin tinggi pula tingkat pengembalian yang dituntut investor. Perhitungan EVA melalui cara mengurangi laba bersih operasional setelah pajak dengan biaya modal akan menghasilkan nilai residual. Hasil perhitungan bisa berupa nilai yang positif, nilai yang negatif atau sama dengan nol. EVA yang positif menunjukan bahwa manajemen perusahaan berhasil meningkatkan nilai perusahaan bagi pemilik perusahaan
sesuai
dengan
tujuan
manajemen
keuangan
yaitu
memaksimumkan nilai perusahaan. 1.1.4.3. EVA® Sebagai Pengukur Kinerja Apabila EVA > 0, maka terjadi proses nilai tambah perusahaan, kinerja perusahaan baik. Bila EVA = 0, menunjukan posisi impas perusahaan antara laba operasional setelah pajak dengan biaya modal pada tahun yang
26 bersangkutan. Bila EVA < 0, berarti total biaya modal perusahaan lebih besar daripada laba operasi yang diperolehnya, sehingga kinerja keuangan perusahaan tersebut tidak baik. Perbedaan pokok antara EVA dengan pengukuran laba konvensional adalah EVA merupakan laba ekonomis, kebalikan dari laba akuntansi. 2.2. Kerangka Konseptual Berikut merupakan penjabaran kerangka konseptual yang mencakup variabel independen dan dependen: Variabel Independen
Variabel Dependen
Net Working Capital Economic Value Added Managerial Ownership
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.3. Pengembangan Hipotesis Modal kerja diartikan sebagai investasi yang ditanamkan dalam aktiva lancar atau aktiva jangka pendek seperti kas, bank, surat-surat berharga, piutang, persediaan dan aktiva lancar lainnya (Kasmir, 2010). Modal kerja dibedakan menjadi dua: (1) modal kerja kotor (total aktiva lancar), dan (2) modal kerja bersih (total aktiva lancar dikurangi total hutang lancar). Modal kerja bersih lebih mampu mengukur kondisi likuiditas suatu perusahaan daripada modal kerja kotor (Mardiyanto, 2009). Pada beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh negatif dengan quick ratio, ini berarti setiap peningkatan persediaan mengakibatkan profit menurun, hal tersebut mungkin merupakan hasil tekanan pada pemimpin perusahaan untuk menempatkan penjualannya pada level terendah dan melebihkan persediaan (Deloof, dalam Gondal 2013). Fox dan Limmack (1998, dalam Azim Aslani 2014) berpendapat bahwa aktiva lancar mewakili lebih dari setengah total aset perusahaan dan investasi ini cenderung merupakan aset yang relatif stabil dan dengan demikian aktiva lancar perusahaan perlu perhatian khusus.
27 Likuiditas yang tinggi merupakan indikator bahwa risiko perusahaan rendah, artinya perusahaan aman dari kemungkinan kegagalan membayar kewajiban lancar. Namun hal itu harus dicapai dengan merelakan rendahnya tingkat profitabilitas yang akan berdampak rendahnya pertumbuhan perusahaan (Mardiyanto, 2009). Adanya penelitian yang menunjukan bahwa profitabilitas (ROA & ROE) berkorelasi positif dengan EVA, membuat dalam penelitian ini mencoba untuk menggunakan EVA sebagai proksi untuk menguji pengaruhnya dengan likuiditas tersebut. Maka hipotesis untuk penelitian ini adalah: H1 : Net Working Capital berpengaruh terhadap Economic Value Added. Kepemilikan manajerial telah diidentifikasi sebagai mekanisme corporate governance yang cukup efektif dalam membantu mensejajarkan kepentingan manajer dan pemegang saham. Hal tersebut dapat mencegah agency problem yang disebabkan karena pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian serta menurunkan biaya keagenan (J.A. Brickley, 1988). Li dan Sun (2013) menunjukan bahwa level tertinggi dari kepemilikan manajerial sangat berkaitan dengan tingginya kinerja dan nilai perusahaan. Penilaian kinerja dengan menggunakan pendekatan EVA dapat membantu para manajer membuat keputusan investasi yang lebih baik, mengidentifikasi kesempatankesempatan untuk peningkatan kinerja dan mempertimbangkan benefit jangka pendek dan jangka panjang untuk perusahaan. Lebih lanjut studi-studi menyebutkan bahwa EVA adalah suatu ukuran dari kualitas keputusan manajerial (Lehn and Mahkija, 1996). Berdasarkan penjabaran tersebut maka hipotesis untuk penelitian ini adalah: H2 : Managerial Ownership berpengaruh terhadap Economic Value Added. Kebijakan modal kerja yang ditentukan oleh perusahaan umumnya tidak lepas dari pengaruh keputusan manajemen (Mardiyanto, 2009). Tujuan utama perusahaan adalah memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham, namun pihak manajemen seringkali memiliki tujuan lain yang bertentangan dengan tujuan utama tersebut. Sebagai pemilik, pemegang saham menginginkan timbal balik yang sesuai dengan biaya dan risiko yang ditanggungnya, namun, manajemen juga mempunyai kepentingan untuk memperoleh kompensasi yang sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Bila keputusan yang diambil oleh manajemen merugikan bagi pemegang saham maka dapat menyebabkan munculnya masalah keagenan.
28 Kepemilikan manajerial telah diidentifikasi sebagai mekanisme corporate governance yang cukup efektif dalam membantu mensejajarkan kepentingan manajer dan pemegang saham. Dalam penelitiannya (Yuni Puspitasari, 2013) membuktikan bahwa semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen pada perusahaan, bedampak semakin tinggi EVA atau semakin bergerak ke arah positif yang menandakan bahwa kepemilikan manajerial dalam perusahaan dapat membantu menciptakan nilai bagi pemegang saham lainnya. Maka hipotesis untuk penelitian ini adalah: H3 : Net Working Capital dan Managerial Ownership berpengaruh terhadap Economic Value Added