BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Landasan Teori 2.1.1.
Teori Keagenan Sugiarto (dalam Rosliana, 2012) menyatakan agency theory atau teori
keagenan mengasumsikan bahwa suatu organisasi yang terdiri dari banyak individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan tiap individu termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict interest) dalam organisasi, khususnya antara principal dan agent. Jensen dan Meckling (dalam Septian, 2014) menyatakan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara manajemen (agent) dengan pemegang saham (principal) yang muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian principal juga mendelegasikan wewenang kepada agent tersebut. Dalam praktiknya hubungan antara principal dengan agent tidak selalu harmonis dikarenakan adanya conflict of interest dari masing-masing pihak. Pemegang saham sebagai principal fokus pada peningkatan nilai sahamnya, sedangkan manajemen sebagai agent yang diberi wewenang untuk mengurus operasional perusahaan berpotensi untuk melakukan kecurangan demi kepentingan pribadinya sehingga kepentingan principal menjadi terabaikan. Hal ini dapat terjadi karena agent sebagai pihak yang mengoperasikan perusahaan mengetahui informasi lebih banyak dibandingkan dengan principal sehingga berpotensi untuk melakukan kecurangan yang dapat merugikan principal. Risiko ini menimbulkan rasa tidak percaya principal terhadap agent sehingga dapat memicu terjadinya berbagai masalah dan konflik di antara keduanya yang disebut dengan agency problem. Menurut Kim, Nofsinger, dan Mohr (2010) agency problem merupakan konflik yang terjadi antara shareholder dengan manajemen karena adanya perbedaan tujuan atau kurangnya kepercayaan antara kedua belah pihak. Adanya agency problem dapat mempengaruhi kinerja perusahaan dalam aktivitas bisnisnya sehingga akan merugikan kedua belah pihak. Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan keagenan adalah dengan menjalankan fungsi monitoring melalui praktik
corporate
governance.
Dengan 13
dilaksanakannya
corporate
14 governancediharapkan para pemegang saham dapat memperoleh keyakinan bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana investor yakin bahwa manajemen akan memberikan keuntungan bagi mereka, yaitu manajemen tidak akan mencuri, menggelapkan atau menginvestasikan dana investor ke dalam proyek yang tidak menguntungkan, serta berkaitan dengan bagaimana para investor mengendalikan para manajer (Sleifer dan Vishny dalam Yulia 2014).
2.1.2.
Teori Stakeholder dan Teori Legitimasi Pemikiran awal mengenai teori stakeholder dicetuskan oleh Freeman pada
tahun 1984. Dalam Tarigan dan Semuel (2014) disebutkan bahwa Freeman mendefinisikan stakeholders sebagai sekelompok orang atau pihak yang secara signifikan mempengaruhi kesuksesan dan juga kegagalan dari suatu organisasi. Teori stakeholder berusaha mengatur hubungan antara perusahaan dengan seluruh pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan, baik secara internal maupun eksternal. Clarkson dalam Soelistyoningrum (2011) menyatakan bahwa stakeholder dikelompokkan menjadi 2 yaitu stakeholder primer dan sekunder. Stakeholder primer meliputi shareholder dan investor, karyawan, konsumen dan pemasok. Sedangkan yang termasuk dalam stakeholder sekunder adalah pemerintah dan komunitas atau masyarakat. Perbedaan diantara keduanya adalah stakeholder primer berinteraksi langsung dengan perusahaan secara transaksional dan berpengaruh kuat terhadap sumber daya yang dimiliki perusahaan. Sementara stakeholder sekunder tidak berhubungan secara langsung dengan perusahaan secara transaksional dan tidak berinteraksi secara langsung dengan perusahaan, namun tetap mempengaruhi atau dipengaruhi perusahaan. Menurut teori stakeholder, perusahaan harus memperhatikan kepentingan baik stakeholder primer ataupun sekunder secara seimbang sesuai dengan konsep GCG yaitu “memberikan value added bagi seluruh stakeholder”. Perusahaan berusaha memenuhi kepentingan stakeholder primer yang merupakan sumber dana perusahaan dan elemen penting dalam kelangsungan hidup perusahaan. Kepentingan stakeholder primer adalah profit atau return dari investasi mereka di dalam perusahaan. Perusahaan berusaha untuk terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja keuangannya demi kepentingan stakeholder primer, karena jika kinerja
15 keuangan perusahaan dianggap tidak dalam kondisi yang baik dan tidak mampu menghasilkan return bagi para pemilik modal maka perusahaan terancam ditinggalkan stakeholder primer-nya dan kehilangan sumber dana. Di dalam upaya-nya memperoleh laba semaksimal mungkin demi kepentingan stakeholder primer, perusahaan seringkali mengabaikan kepentingan stakeholder sekunder. Kepentingan stakeholder sekunder sebagai pihak yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan secara transaksional seringkali menjadi terabaikan, padahal stakeholder sekunder juga memiliki hak yang sama untuk diperhatikan kepentingannya sama seperti stakeholder primer. Masyarakat memiliki kontribusi dalam menentukan kelangsungan hidup perusahaan sesuai dengan konsep yang terdapat dalam teori legitimasi. Legitimasi dalam konteks hubungan antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan sosial, dapat diartikan bahwa perusahaan membutuhkan dukungan masyarakat atau lingkungan sosial untuk dapat melaksanakan aktivitasnya. Deegan dalam Tarigan dan Semuel (2014) menyatakan bahwa perusahaan harus memastikan bahwa usaha yang dioperasikan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat atau lingkungan dimana mereka berada. Salah satu wujud pembuktian perusahaan melakukan aktivitasnya sesuai norma adalah dengan melakukan pengelolaan lingkungan yang baik serta bertanggung jawab atas dampak aktivitasnya terhadap lingkungan. Dampak aktivitas yang dimaksud adalah limbah yang dihasilkan akibat aktivitas perusahaan. Dengan mengolah limbah maka perusahaan turut berperan dalam mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan sehingga timbul citra yang baik terhadap perusahaan. Sebaliknya,
perusahaan yang tidak mampu mengendalikan pencemaran dan
kerusakan lingkungan akan dinilai negatif oleh masyarakat. Perusahaan yang dianggap merugikan masyarakat dengan pencemaran yang dihasilkan maka keberadaan dan kesinambungan perusahaan menjadi terancam karena adanya penolakan dari masyarakat yang dapat mencabut hak legitimasi perusahaan sewaktuwaktu, misalnya dengan melakukan demonstrasi yang menuntut perusahaan untuk ditutup. Ghozali dan Chariri (dalam Tarigan dan Semuel, 2014) menyatakan bahwa pada dasarnya terjadi kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan tersebut berada dan melakukan kegiatan usahanya. Ketika masyarakat merasa tidak puas dengan operasi suatu organisasi atau perusahaan, maka
16 masyarakat dapat mencabut kontrak sosial dalam operasi organisasi atau perusahaan tersebut. Perusahaan yang tidak memperoleh penerimaan dari masyarakat maka kelangsungan hidup usahanya menjadi terancam. Untuk menghindari hal tersebut, perusahaan perlu membuktikan bahwa mereka melakukan aktivitas usaha sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan bertanggung jawab atas dampakdampak yang ditimbulkan dari aktivitas yang mereka lakukan.
2.2. Good Corporate Governance (GCG) Dikutip dalam Manik (2012), istilah GCG pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992. Istilah ini pertama kali digunakan di dalam laporan mereka yang dikenal dengan Cadbury Report. Laporan ini dianggap sebagai titik balik (turning point) yang sangat menentukan bagi praktik GCG di seluruh dunia. Definisi GCG menurut Cadbury Committee, merupakan sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan memberikan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham dan seluruh stakeholder sebagai pihak yang berkaitan dengan perusahaan. Namun, GCG sebagai suatu konsep tidak memiliki definisi tunggal. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), GCG dapat didefinisikan sebagai berikut: “Salah satu pilar sistem ekonomi pasar corporate governance berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu Negara. Penerapan GCG mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu diterapkannya GCG oleh perusahaan-perusahaan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan. Penerapan GCG juga diharapkan dapat menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan. Penerapan GCG juga diharapkan dapat menunjang upaya pemerintah dalam menegakkan GCG pada umumnya di Indonesia. Saat ini pemerintah sedang berupaya untuk menerapkan GCG dalam birokrasinya dalam rangka menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa.” Dari penjelasan tersebut, Mustikaningrum (2011) mengartikan GCG sebagai alat yang digunakan untuk membangun persaingan yang sehat dan GCG penting
17 untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan bagi perusahaan. Pengertian GCG menurut Organization for Economic Corporation and Development(OECD) yang dikutip dari Rachmandy (2012) adalah sebagai berikut: “Corporate governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board managers, shareholders, and other stakeholder.” Artinyacorporate governance adalah sistem dimana suatu kegiatan bisnis perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Struktur corporate governance terkait dengan distribusi hak dan tanggung jawab seluruh partisipan perusahaan, seperti board managers, shareholders, dan stakeholder lainnya. Sedangkan corporate governance didefinisikan oleh Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG) sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. Corporate governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja perusahaan.Dari berbagai pengertian tersebut, secara umum GCG dapat diartikan sebagai suatu konsep yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi seluruh stakeholder (Pratama, 2013). GCG memiliki beberapa tujuan dan manfaat. Dikutip dalam Septian (2014), tujuan GCG menurut KNKG adalah sebagai berikut: 1.
Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.
2.
Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi, dan rapat umum pemegang saham.
3.
Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris dan anggota direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
18 4.
Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5.
Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.
6.
Meningkatkan
daya
saing
perusahaan
secara
nasional
maupun
internasional sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Sedangkan manfaat GCG menurut Mas Achmad (dalam Ferlinda, Ribawanto, dan Siswidiyanto, 2013) adalah sebagai berikut: 1.
Peningkatan kinerja perusahaan melalui supervise atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.
2.
Memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
3.
Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
2.2.1.
Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Beasly et al. (dalam Mustikaningrum, 2011) menyatakan bahwa ada 2 hal yang
menjadi perhatian dalam konsep GCG, yang pertama adalah pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar, akurat, dan tepat pada waktunya. Kedua adalah kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat pada waktunya dan transparan mengenai semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Kedua hal penting di atas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar GCG menurut KNKG. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1.
Transparency (Transparansi) Perusahaan wajib untuk memberikan informasi secara terbuka, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi yang material dan relevan mengenai perusahaan. Perusahaan
19 wajib memberikan informasi yang lengkap, akurat, dan tepat waktu kepada para stakeholders. 2.
Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas
adalah
kejelasan
fungsi,
struktur,
sistem,
dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan dapat berjalan secara efektif. Kejelasan ini bertujuan agar tercipta mekanisme checks and balanceskewenangan dan peran masing-masing organ di dalam perusahaan dalam mengelola perusahaan. 3.
Responsibility (Responsibilitas) Pertanggungjawaban perusahaan terkait kesesuaian atau kepatuhan di dalam mengelola perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
4.
Independency (Independensi) Independensi berarti pengelolaan perusahaan secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak maupun sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif, dan sistem pengendalian internal dapat berfungsi secara efektif.
5.
Fairness (Kewajaran) Fairness adalah prinsip terkait perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading).
2.2.2.
Mekanisme Good Corporate Governance (GCG) Mekanisme GCG menurut Septian (2014) adalah cara yang dilakukan atau
diterapkan untuk mencapai tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Mekanisme GCG dilakukan untuk membatasi perilaku manajemen dan mengelola pengawasan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kecurangan dalam pengoperasian perusahaan yang dapat merugikan para shareholder ataupun stakeholder. Mekanisme GCG dibagi menjadi 2 yaitu mekanisme internal dan eksternal. Menurut Widyati (2013) mekanisme internal meliputi kepemilikan manajerial, dan ukuran dewan komisaris, sedangkan mekanisme eksternal dilakukan melalui kepemilikan institusional. Di samping itu, untuk membangun sistem monitoring dan
20 controlling yang efektif, ada 2 pihak yang diperlukan yaitu komite audit, dan dewan komisaris independen. 1.
Kepemilikan Manajerial Dalam mengawasi dan memonitor perilaku manajer (agent), pemegang saham (principal) seringkali mengeluarkan biaya pengawasan (agency cost). Salah satu langkah principal untuk mengurangi agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial. Melalui kepemilikan manajerial, principal memberikan kesempatan kepada manajer untuk terlibat dalam kepemilikan saham. Dengan keterlibatan akan kepemilikan saham, diharapkan manajer dalam aktivitasnya bertindak dengan mempertimbangkan segala risiko yang mungkin terjadi dan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya (Ningsih dalam Wida dan Suartana, 2014).
2.
Ukuran Dewan Direksi Menurut UU No. 40 Pasal 1 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan. Ukuran dan komposisi direksi dapat mempengaruhi efektif atau tidaknya aktivitas monitoring. Dewan direksi dipilih oleh para pemegang saham dan bertugas mengawasi pekerjaan yang dilakukan oleh manajemen dalam pengelolaan perusahaan untuk tujuan kepentingan para pemegang saham (Iqbal dalam Husni, 2013).
3.
Kepemilikan Institusional Tarjo (dalam Susanti, 2013) mendefinisikan kepemilikan institusional sebagai kepemilikan saham perusahaan oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Menurut Maftukhah (2013) kepemilikan saham oleh perusahaan lain baik di dalam ataupun luar negeri juga merupakan kepemilikan saham institusional. Kepemilikan saham oleh institusi lain dalam suatu perusahaan diharapkan dapat membuat pengawasan menjadi lebih optimal terhadap perusahaan.
21 Bathala et. al (dalam Widyati, 2013) menyatakan bahwa kepemilikan institusional merupakan salah satu monitoring agents penting yang berperan aktif dan konsisten dalam melindungi investasi saham yang ditanamkan dalam perusahaan. 4.
Komite Audit Komite audit menurut Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) adalah suatu komite yang bekerja secara profesional dan independen yang dibentuk oleh dewan komisaris, dan tujuannya adalah melakukan pengawasan atas proses pelaporan keuangan, manajemen risiko, pelaksanaan audit, dan implementasi GCG dalam perusahaan.Kehadiran komite audit diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan internal perusahaan dan mengoptimalkan mekanisme checks and balances.
5.
Proporsi Dewan Komisaris Independen Perusahaan yang tidak dapat lepas dari adanya conflict of interest, membuat dewan komisaris independen menjadi sangat diperlukan dalam perusahaan. Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Kehadiran komisaris independen dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang lebih objektif dan independen, serta menjaga fairness dan mampu memberikan keseimbangan antara kepentingan pemegang saham mayoritas,
perlindungan
terhadap
kepentingan
pemegang
saham
minoritas, dan kepentingan stakeholders lainnya (Chandra, 2010).
2.3. Kinerja Lingkungan (Environmental Performance) Pengukuran ini adalah bagian penting dari sistem manajemen lingkungan, terlebih lagi dengan adanya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kepedulian terhadap lingkungan menjadi bagian dari tanggung jawab sosial industri, seperti yang telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Effendi (2012) saat ini telah terjadi pergeseran dalam bisnis, yang sebelumnya hanya dibangun dengan single P atau Profit, kini menjadi
22 bisnis yang beretika
melalui konsep sustainable
development.Konsep
ini
menekankan bahwa dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia saat ini (current) tidak boleh sampai mengganggu kemampuan generasi berikutnya (next generation) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di masa yang akan datang. Untuk mencapai sustainable development maka manusia saat ini (current) harus memiliki kesadaran untuk mengelola lingkungan dengan baik melalui environmental performance. Dikutip dalam Nuraini (2011) environmental performance menurut Suratno, et. al adalah kinerja perusahaan dalam menciptakan lingkungan yang baik (green). Environmental performance merupakan usaha manajemen untuk mewujudkan lingkungan yang selaras, serasi, dan seimbang dimana akan membangun citra yang baik di mata stakeholders (Arfan dalam Prabandari dan Suryanawa 2012). Rahma (2010) menyatakan bahwa saat ini paling tidak ada 4 macam tolok ukur environmental performance yang dapat digunakan untuk menilai kinerja lingkungan, yaitu AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), PROPER, ISO (yaitu ISO 14001 untuk sistem manajemen lingkungan dan ISO 17025 untuk sertifikasi uji lingkungan dari lembaga independen), dan GRI (Global Reporting Initiative). Dalam penelitian ini, environmental performance diukur dengan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup).
2.3.1.
Program
Penilaian
Peringkat
Kinerja
Perusahaan
dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER) Dalam menyikapi kesepakatan mengenai konsep sustainability development yang telah dilakukan tahun 1992, Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia membuat sejumlah program serta kebijakan, termasuk di antaranya adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat dengan PROPER. Dikutip dalam Kusuma, Mendra, dan Anggraini (2014) dasar hukum pelaksanaan PROPER tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 127/MENLH/2002 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. PROPER dilaksanakan dengan tujuan mendorong penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Program ini dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan berbagai stakeholder. Mulai dari tahapan penyusunan kriteria penilaian,
23 pemilihan perusahaan, penentuan tingkat, sampai kepada pengumuman peringkat kerja kepada publik (Phelvi, 2013). PROPER mengadopsi pola insentif dan disinsentif, dan pengawasan atas kinerja perusahaan (www.menlh.go.id). Instrumen insentif adalah pemberian reputasi atau citra baik bagi perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan baik. Sedangkan instrumen disinsentif adalah pemberian reputasi atau citra buruk bagi perusahaan dengan kinerja pengelolaan lingkungan yang buruk (Sukaedi, 2011). Para stakeholder akan memberikan apresiasi kepada perusahaan yang berperingkat baik, dan memberikan tekanan dan atau dorongan kepada perusahaan yang berperingkat buruk (KLH dalam Iriyanto dan Nugroho, 2014).Penilaian dalam PROPER melibatkan 3 aspek yaitu penilaian terhadap pengelolaan limbah cair, emisi gas buang dan pengelolaan limbah B3. Kriteria penilaian serta pemberian peringkat PROPER diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Masing-masing peringkat warna yang diberikan memiliki arti yang berbedabeda sesuai dengan penilaian terkait pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan. Berikut adalah arti dari masing-masing warna tersebut: 1.
Emas Dibeikan kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan (environmental excellency) dalam proses produksi dan atau jasa, melaksanakan bisnis yang beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.
2.
Hijau Diberikan kepada penganggung jawab usaha dan atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara efisien melalui upaya 4R (Reduce, Reuse, Recycle, dan Recovery), serta melakukan upaya tanggung jawab sosial (CSR) dengan baik.
3.
Biru Diberikan kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan dan atau peraturan perundang-undangan, dengan kata
24 lain
perusahaan
melaksanakan
pengelolaan
lingkungan
sesuai
persyaratan minimum yang diatur oleh pemerintah. 4.
Merah Diberikan kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang upaya pengelolaan lingkungan hidupnya tidak atau belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan kata lain perusahaan telah berupaya untuk melakukan pengelolaan lingkungan namun dalam implementasinya belum berhasil untuk memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi lingkungan.
5.
Hitam Diberikan kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang sengaja
melakukan
perbuatan
atau
melakukan
kelalaian
yang
mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran
terhadap
peraturan
perundang-undangan
atau
tidak
melaksanakan sanksi administrasi.
2.4. Bursa Efek Indonesia Berdasarkan situs resmi Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id), bursa efek telah hadir di Indonesia sejak tahun 1912 di Batavia atau yang saat ini dikenal dengan nama Jakarta. Saat itu pasar modal didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan persekutuan dagang pemerintahan kolonial atau VOC (Vereenigde Oostindiche Compagnie). Perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan dengan baik meskipun telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan dalam beberapa periode kegiatan pasar modal sempat vakum. Beberapa penyebab terjadinya hal tersebut adalah karena adanya Perang dunia ke I dan II, serta perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia. Hal ini terus berlanjut hingga akhirnya pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977. Setelah diaktifkan kembali, beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring adanya berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Menurut salah satu situs pasar modal di Indonesia yaitu www.britama.com saat ini telah lebih dari 500 emiten yang tercatatdi pasar modal.
25 Adapun sejarah singkat mengenai perkembangan pasar dirangkum dalam tabel berikut: Tabel 2.1 Sejarah Singkat Perkembangan BEI Desember 1912
Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda.
1914 - 1918
Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia ke I.
1925 - 1942
Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya.
Awal tahun 1939
Karena isu politik (Perang Dunia ke II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup.
1942 - 1952
Bursa Efek di Jakarta ditutup selama Perang Dunia ke II
1956
Program
nasionalisasi
perusahaan
Belanda
yang
menyebabkan Bursa Efek semakin tidak aktif. 1956 - 1977
Perdagangan di Bursa Efek vakum.
10 Agustus 1977
Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. Bursa Efek Jakarta (BEJ) dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Pengaktifan kembali ditandai dengan go public-nya PT. Semen Cibinong sebagai emiten pertama. Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal.
1977 - 1987
Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga tahun 1987 hanya mencapai 24 emiten. Hal ini dikarenakan masyarakat memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen pasar modal.
1987
Hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan penawaran umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
1988 - 1990
Paket deregulasi di bidang perbankan dan pasar modal diluncurkan. BEJ menjadi terbuka untuk asing sehingga aktivitas bursa meningkat.
Sumber: www.idx.co.id (Sejarah BEI)
26 Tabel 2.1 Sejarah Singkat Perkembangan BEI 2 Juni 1988
Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.
Desember 1988
Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.
16 Juni 1989
Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT. Bursa Efek Surabaya.
13 Juli 1992
Swastanisasi BEJ serta BAPEPAM diubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ.
22 Mei 1995
Sistem otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems).
10 November
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 8 Tahun
1995
1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan Januari 1996.
1995
Bursa Paralel Indonesia (BPI) merger dengan Bursa Efek Surabaya.
2000
Sistem perdagangan tanpa warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia
2002
BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading).
2007
Penggabungan Bursa Efek Surabaya ke Bursa Efek Jakarta menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).
2 Maret 2009
Peluncuran perdana sistem perdagangan baru PT. Bursa Efek Indonesia.
Sumber: www.idx.co.id (Sejarah BEI)
27 Sampai dengan saat ini jumlah emiten yang tercatat di BEI adalah 518 dan seluruh perusahaan tercatat tersebut diklasifikasikan sesuai dengan sistem klasifikasi sektoral yang telah ditetapkan oleh BEI yaitu Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA). Berdasarkan JASICA, perusahaan tercatat di BEI diklasifikasikan ke dalam 9 sektor sebagai berikut: A.
Sektor utama (Industri penghasil bahan baku) 1.
Sektor Pertanian 1.1. Sub sektor tanaman pangan 1.2. Sub sektor perkebunan 1.3. Sub sektor peternakan 1.4. Sub sektor perikanan 1.5. Sub sektor kehutanan 1.6. Sub sektor lainnya
2.
Sektor Pertambangan 2.1. Sub sektor pertambangan batubara 2.2. Sub sektor pertambangan minyak dan gas bumi 2.3. Sub sektor pertambangan logam dan mineral lainnya 2.4. Sub sektor pertambangan batu-batuan 2.5. Sub sektor pertambangan lainnya
B.
Sektor kedua (Industri manufaktur) 3.
4.
Sektor Industri Dasar dan Kimia 3.1.
Sub sektor semen
3.2.
Sub sektor keramik, porselen, dan kaca
3.3.
Sub sektor logam dan sejenisnya
3.4.
Sub sektor kimia
3.5.
Sub sektor plastik dan kemasan
3.6.
Sub sektor pakan ternak
3.7.
Sub sektor kayu dan pengolahannya
3.8.
Sub sektor pulp dan kertas
3.9.
Sub sektor lainnya
Sektor Aneka Industri 4.1.
Sub sektor mesin dan alat berat
4.2.
Sub sektor otomotif dan komponennya
28
5.
C.
4.3.
Sub sektor tekstil dan garmen
4.4.
Sub sektor alas kaki
4.5.
Sub sektor kabel
4.6.
Sub sektor elektronika
4.7.
Sub sektor lainnya
Sektor Industri Barang Konsumsi 5.1.
Sub sektor makanan dan minuman
5.2.
Sub sektor rokok
5.3.
Sub sektor farmasi
5.4.
Sub sektor kosmetik dan barang keperluan rumah tangga
5.5.
Sub sektor peralatan rumah tangga
5.6.
Sub sektor lainnya
Sektor ketiga (Industri jasa) 6.
7.
Sektor Properti dan Real Estate 6.1.
Sub sektor properti dan real estate
6.2.
Sub sektor konstruksi bangunan
6.3.
Sub sektor lainnya
Sektor Infrastruktur, Utilitas, dan Transportasi 7.1. Sub sektor energi 7.2. Sub sektor jalan tol, pelabuhan, bandara, dan sejenisnya 7.3. Sub sektor telekomunikasi 7.4. Sub sektor transportasi 7.5. Sub sektor konstruksi non bangunan 7.6. Sub sektor lainnya
8.
Sektor Keuangan 8.1. Sub sektor bank 8.2. Sub sektor lembaga pembiayaan 8.3. Sub sektor perusahaan efek 8.4. Sub sektor asuransi 8.5. Sub sektor lainnya
9.
Sektor Perdagangan, Jasa, dan Investasi 9.1. Sub sektor perdagangan besar barang produksi 9.2. Sub sektor perdagangan eceran 9.3. Sub sektor restoran, hotel, dan pariwisata
29 9.4. Sub sektor advertising, printing, dan media 9.5. Sub sektor kesehatan 9.6. Sub sektor jasa komputer dan perangkatnya 9.7. Sub sektor perusahaan investasi 9.8. Sub sektor lainnya
2.5. Perusahaan Manufaktur Menurut Kurniati dan Yanfitri (2010) kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian cukup besar sehingga perekonomian tidak dapat terlepas dari dinamika yang terjadi di dalam industri manufaktur. Adapun yang dimaksud dengan industri manufaktur adalah industri yang kegiatannya mengolah bahan baku atau mentah menjadi bahan jadi untuk kemudian dijual. Perusahaan manufaktur adalah perusahaan-perusahaan yang termasuk di dalam industri pengolahan bahan mentah menjadi bahan jadi. Industri manufaktur di BEI terbagi ke dalam 3 sektor yaitu sektor industri dasar dan kimia, sektor aneka industri, dan sektor industri barang konsumsi. Hingga akhir tahun 2014 jumlah perusahaan tercatat yang termasuk sektor industri dasar dan kimia sebanyak 65, yang termasuk sektor aneka industri sebanyak 42, dan yang termasuk sektor industri barang konsumsi sebanyak 38 sehingga secara keseluruhan perusahaan manufaktur yang tercatat dalam BEI berjumlah 145.
2.6. Kinerja Keuangan Jumingan dalam Gandhi (2015) menyatakan bahwa kinerja keuangan adalah gambaran kondisi keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu baik menyangkut aspek penghimpunan dana ataupun penyaluran dana. Kinerja keuangan digunakan oleh pihak manajemen untuk dijadikan pedoman dalam menggunakan sumber daya perusahaan. Kinerja keuangan merefleksikan kinerja fundamental perusahaan yang akan diukur dengan menggunakan data yang berasal dari laporan keuangan perusahaan. Informasi yang diperoleh dari kinerja keuangan dibuat untuk menggambarkan kondisi keuangan perusahaan masa lalu dan digunakan untuk memprediksikan kondisi keuangan di masa yang akan datang. Selain itu, kinerja keuangan juga digunakan sebagai informasi utama yang paling banyak digunakan oleh para
30 stakeholders untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Sari dalam Natalia dan Tarigan, 2014). Pengukuran kinerja keuangan perusahaan yang paling umum adalah melalui analisis rasio keuangan (financial ratio analysis) dengan menggunakan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan. Roos, Westerfield, dan Jordan (dalam Agung, 2012) menyatakan bahwa analisis rasio keuangan adalah hubungan yang dihitung dari informasi keuangan suatu perusahaan dan kemudian digunakan untuk tujuan perbandingan. Analisis rasio keuangan mampu menjelaskan atau memberi gambaran mengenai baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu perusahaan, serta mampu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan perusahaan (Agung, 2012). Munawir dalam Phelvi (2013) menyatakan rasio keuangan pada dasarnya dapat digunakan untuk: 1.
Untuk keperluan pengukuran kerja keuangan secara menyeluruh (overall measures).
2.
Untuk keperluan pegukuran profitabilitas atau rentabilitas, kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari operasinya (profitability measures).
3.
Untuk keperluan pengujian investasi (test of investment utilization).
4.
Untuk keperluan pengujian kondisi keuangan antara lain tentang tingkat likuiditas dan solvabilitas (test of finance condition).
Adapun jenis-jenis rasio keuangan dapat digolongkan menjadi 4, yaitu rasio likuiditas, solvabilitas, aktivitas, dan profitabilitas (Kasmir dalam Kartika, 2013). 1.
Rasio likuiditas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka pendeknya dari aktiva lancar. Rasio ini dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan kewajiban jangka pendek. Rasio likuiditas terdiri dari: a.
Current Ratio yaitu perbandingan antara aktiva lancar (current assets) dengan utang lancar (current liabilities).
b.
Quick Ratio yaitu perbandingan antara aktiva lancar dikurangi persediaan terhadap utang lancar.
c.
Cash Ratio yaitu perbandingan antara kas dengan utang lancar.
d.
Cash Turnover Ratio yaitu perbandingan antara penjualan bersih dengan modal bersih.
31 e.
Inventory to Net Working Capital yaitu perbandingan persediaan terhadap aktiva lancar yang dikurangi utang lancar.
2.
Rasio solvabilitas adalah rasio yang mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan dalam memenuhi semua utangnya termasuk kewajiban jangka panjangnya. Rasio ini terdiri dari: a.
Debt to Asset Ratio yaitu perbandingan antara total utang dengan total asset.
b.
Debt to Equity Ratio yaitu perbandingan antara jumlah utang lancar dan utang jangka panjang terhadap modal sendiri.
c.
Long Term Debt to Equity Ratio (LTDER) yaitu perbandingan antara utang jangka panjang terhadap modal sendiri.
d.
Times Interest Earned (TIE) yaitu perbandingan antara pendapatan sebelum pajak terhadap bunga utang jangka panjang.
3.
Rasio aktivitas adalah rasio yang menunjukkan kemampuan serta efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya atau aktivanya. Rasio aktivitas terdiri dari: a.
Receivable Turnover yaitu perbandingan antara penjualan dengan rata-rata piutang dagang.
b.
Inventory Turnover yaitu perbandingan antara harga pokok penjualan dengan persediaan.
c.
Working Capital Turnover yaitu perbandingan antara penjualan bersih terhadap modal kerja rata-rata.
d.
Fixed Assets Turnover yaitu perbandingan penjualan dengan total aktiva tetap.
e.
Total Assets Turnover yaitu perbandingan penjualan dengan total aktiva.
4.
Rasio profitabilitas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Rasio profitabilitas terdiri dari: a.
Gross Profit Margin (GPM) yaitu perbandingan antara laba kotor terhadap total penjualannya.
b.
Net Profit Margin (NPM) yaitu perbandingan antara laba setelah pajak terhadap total penjualannya.
c.
Return On Asset (ROA) yaitu perbandingan antara laba setelah pajak dengan jumlah aktiva.
32 d.
Return On Equity (ROE) yaitu perbandingan antara laba setelah pajak terhadap ekuitas perusahaan.
Penelitian ini menggunakan rasio Return on Equity (ROE) untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan.
2.6.1.
Return on Equity (ROE) Return on Equity (ROE)adalah salah satu rasio yang digunakan untuk
mengukur profitabilitas dari sudut pandang para pemegang saham. Mursidah (dalam Fahrizal, 2013) menyatakan bahwa ROE merupakan rasio yang sangat penting bagi pemilik perusahaan (common stockholder) karena dapat menunjukkan tingkat pengembalian (laba) yang dihasilkan oleh manajemen untuk para pemilik dari modal yang telah mereka sediakan. Dengan rasio ini kemampuan manajemen dalam mengelola investasi dari para investor dapat terlihat sehingga dapat dinilai bagaimana prospek dan pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang. Investor maupun calon investor menginginkan return yang besar dari investasi yang ditanamkan di dalam perusahaan untuk itu rasio ini menjadi perhatian penting dan menjadi tolok ukur serta pertimbangan penting sebelum melakukan investasi. Pertumbuhan ROE yang baik mampu menumbuhkan ketertarikan serta kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di dalam perusahaan. Menurut Kurnianto (2013) semakin besar ROE yang dimiliki perusahaan maka semakin besar dan efektif pula kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba bagi perusahaan. Menurut Gitman dan Zutter (2012) ROE dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
ROE =
Net Income ݔ100% Total Equity
2.7. Penelitian Terdahulu Berikut adalah beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penelitipeneliti terdahulu terkait topik yang serupa dengan penelitian ini, meliputi Good Corporate Governancedan mekanismenya, serta environmental performance, dan kinerja keuangan.
33 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Desi Ariyani dan Juniati Gunawan (2014),yang berjudul “Pengaruh Pengungkapan Good Corporate Governance dan
Corporate
Social
Responsibility
terhadap
Kinerja
Perusahaan
Perbankan”dilakukan terhadap perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek tahun 2005-2010. Pengukuran pengungkapan GCG adalah dengan menggunakan IGCG, pengungkapan CSR diukur dengan ICSR, dan kinerja perusahaan diukur dengan rasio ROA dan ROE.Hasil penelitian yang dilakukan melalui analisis regresi berganda tersebut menemukan bahwa pengungkapan GCG dan pengungkapan CSR masing-masing berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan perbankan. Selain itu persentase pengungkapan GCG cenderung mengalami kenaikan, dan hal ini menunjukkan bahwa sektor perbankan sudah menyadari pentingnya GCG bagi kelangsungan kinerja perusahaan perbankan. Sedangkan persentase pengungkapan CSR bersifat fluktuatif dan dapat disimpulkan bahwa perusahaan
perbankan
belum
menyadari
kewajibannya
untuk
mengungkapkan CSR. 2. Penelitian Tri Purwani (2010), berjudul “Pengaruh Good Corporate Governance
terhadap Kinerja Perusahaan”. Dalam penelitian ini Eva
Momentum digunakan sebagai ukuran kinerja perusahaan, sedangkan implementasi GCG diukur dengan menggunakan Corporate Governance Performance
Index
(CGPI)
yang
dikeluarkan
oleh
IICG
secara
annually.Penelitian ini menggunakan 2 variabel kontrol untuk implementasi GCG, yaitu growth opportunity dan firm’s size. Sampel penelitian adalah perusahaan terdaftar di Bursa Efek Jakarta yang mengikuti survey IICG dan diberikan score CGPI selama tahun 2004-2008. Penelitian dilakukan dengan regresi statistik, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi GCG tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja perusahaan dengan alat ukur EVA Momentum. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan teori yang menyebutkan bahwa penerapan GCG berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. 3. Penelitian Titis Waskito (2014), berjudul “Pengaruh Struktur Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kinerja Keuangan (Ditinjau dari Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2011)”. Dalam
34 penelitian ini kinerja keuangan diukur dengan ROA dan sampel penelitian adalah perusahaan manufaktur yang tercatat di BEI tahun 2008-2011.Hasil penelitian dengan menggunakan uji t menunjukkan bahwa variabel kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan, sedangkan variabel kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan. Hasil penelitian dengan uji F menunjukkan
bahwa
variabel
kepemilikan
manajerial,
kepemilikan
institusional, dan ukuran perusahaan merupakan penjelas yang signifikan dan bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja keuangan. 4.
Abukosim, Mukhtaruddin, Ika Sasti Ferina, dan Claudya Nurcahaya (2014), melakukan penelitian dengan judul“Ownership Structure and Firm Values: Empirical Study on Indonesia Manufacturing Listed Companies”. Di dalam penelitian inifirm value atau nilai perusahaan diukur denganPrices to Book Value (PBV). Sampel penelitian adalah perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. Penelitian menggunakan analisis regresi berganda dan analisis statistik deskriptif.Berdasarkan hasil penelitian, kepemilikan manajerial tidak berpengaruh positif terhadap firm values, sebaliknya, semakin besar kepemilikan manajerial maka semakin rendah value perusahaan. Demikian hal-nya dengan kepemilikan terkonsentrasi (concentrated) yang juga tidak berpengaruh positif terhadap firm value. Sedangkan kepemilikan institusional dan kepemilikan asing berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap firm values.
5. Penelitian dilakukan oleh Hani El-Chaarani (2014), dengan judul “The Impact of Corporate Governance on The Performance of Lebanese Banks”. Penelitian dilakukan terhadap bank di Libanon menggunakan analisis data kuantitatif. Variabel independen dalam penelitian ini adalah corporate governance yang diukur melalui ukuran dewan, proporsi direktur independen, CEO duality, konsentrasi kepemilikan, serta kepemilikan internal. Sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah kinerja bank yang diukur dengan ROA, ROE, dan deposits collected by the bank over total assets (DEPSTS). ROA dan ROE digunakan untuk mengukur kinerja bank secara keseluruhan, sementara
DEPSTS
digunakan
untuk
mengukur
dampak corporate
governance terhadap tingkat kepercayaan depositor.Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 40 bank selama tahun 2006-2010 tersebut menunjukkan
35 bahwa proporsi direktur independen serta kepemilikan internal berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap kinerja bank, sedangkan CEO duality berpengaruh secara negatif terhadap kinerja bank. Dari hasil penelitian tersebut juga ditemukan bahwa ukuran dewan dan konsentrasi kepemilikan tidak memiliki pengaruh apapun terhadap kinerja bank. 6. Penelitian dilakukan oleh Priyanka Aggarwal (2013), dengan judul “Impact of Corporate Governance on Corporate Financial Performance”. Penelitian dilakukan terhadap 20 perusahaan non-keuangan di India yang listing di National Stock Exchange (NSE) serta termasuk dalam NIFTY 50 Index (indeks saham terkemuka di India untuk 50 perusahaan besar) selama April 2010 hingga Maret 2012. Variabel independen dalam penelitian ini adalah corporate governance yang diukur melalui governance ratings yang diperoleh melalui CSRHub database. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah financial performance yang diukur melalui Return On Assets (ROA), Return On Equity (ROE), Return On Capital Employed (ROCE), dan Profit Before Tax (PBT). Selain itu juga digunakan variabel kontrol yaitu ukuran perusahaan (firm size).Hasil penelitian Aggarwal menunjukkan bahwa corporate governance yang diukur melalui governance ratings berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap financial performance perusahaan. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel kontrol yaitu firm size berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan. 7. Reny Dyah Retno dan Denies Priantinah (2012), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Good Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 20072010)”. Sampel penelitian adalah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2010. Untuk mengetahui pengaruh GCG terhadap nilai perusahaan, digunakan variabel kontrol size dan leverage. Dan untuk mengetahui pengaruh pengungkapan CSR terhadap nilai perusahaan digunakan variabel kontrol size, jenis industri, profitabilitas, dan leverage. Nilai perusahaan diukur dengan Tobin’s Q, sementara GCG diukur dengan CGPI dan CSR diukur dengan CSRI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa GCG berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, sementara pengungkapan
36 CSR berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, dan GCG dan CSR secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. 8. Penelitian dilakukan oleh Mazda Eko Sri Tjahjono (2013), dengan judul “Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan dan Kinerja Keuangan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kinerja lingkungan terhadap nilai perusahaan, dengan kinerja keuangan sebagai variabel intervening. Kinerja lingkungan diukur dengan peringkat PROPER, sedangkan kinerja perusahaan diukur dengan Market Value Added (MVA), dan nilai perusahaan diukur dengan Tobin’s Q. Penelitian dilakukan terhadap seluruh perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2011 dan mengikuti PROPER tahun 2010-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja lingkungan berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Berikutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, dan kinerja lingkungan berpengaruh secara tidak langsung terhadap nilai perusahaan melalui kinerja keuangan. 9. Penelitian dilakukan oleh Treesje Runtu dan Princilvanno Andreas Naukoko (2014), dengan judul “Hubungan antara Environmental Performance Tahun Sebelumnya dengan Economic Performance Tahun Berjalan (Studi pada Perusahaan Tambang yang Mengikuti Program PROPER dan Terdaftar di IDX)”. Economic performance dalam penelitian ini menggunakan rasio ROA, dan environmental performance diukur dengan prestasi perushaan dalam program PROPER. Sampel penelitian adalah perusahaaan tambang yang mengikuti program PROPER tahun 2011-2012 dan mempublikasikan laporan keuangannya dalam IDX 2013. Penelitian dilakukan dengan analisis korelasi, dan hasilnya menunjukkan bahwa hubungan environmental performance tahun sebelumnya dengan economic performance tahun berjalan sangat lemah, bersifat positif, namun tidak signifikan. 10. Tze San Ong, Boon Heng Teh, dan Yee Woon Ang (2014), melakukan penelitian dengan judul “The Impact of Environmental Improvements on the Financial Performance of Leading Companies Listed in Bursa Malaysia”. Objek penelitian ini adalah 78 perusahaan dengan tahun penelitian 2008-2012 yang termasuk dalam leading companiesyang tercatat di Bursa Malaysia.
37 Untuk mengukur variabel kinerja lingkungan, digunakan sustainability report perusahaan yang didasarkan pada pedoman Global Reporting Initiative (GRI). Variabel kinerja lingkungan dibagi lagi menjadi 4 variabel yaitu: material, energi, dan udara; biodiversitas; emisi, limbah, dan sampah; dan other environmental aspects (termasuk di dalamnya adalah produk dan layanan, kepatuhan, transport, dan overall). Sedangkan variabel dependen adalah kinerja keuangan yang diukur melalui ROA dan ROE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel material, energi, dan air berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan yang diukur dengan ROA dan ROE sementara variabel other environmental aspects juga berpengaruh signifikan terhadap ROA dan ROE namun secara negatif. Kedua variabel lainnya yaitu biodiversitas serta emisi, limbah, dan sampah ditemukan tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. 11. A.A. Alit Candrayanthi dan I D.G. Dharma Saputra (2013), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan Pertambangan Di Bursa Efek Indonesia)”. Sampel yang digunakan adalah 34 perusahaan pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.Variabel independen dalam penelitian ini adalah CSR yang diukur dengan Corporate Social Disclosure Index (CSDI), sedangkan variabel dependen adalah kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA, ROE, dan NPM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial CSR berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA dan ROE, namun bepengaruh negatif terhadap NPM. 12. Penelitian dilakukan oleh M. Yasser Arafat, Ari Warokka, dan Siska Ratna Dewi (2012), dengan judul “Does Environmental Performance Really Matter? A Lesson from the Debate of Environmental Disclosure and Firm Performance”.Sampel penelitian adalah 33 perusahaan manufaktur yang tercatat
dalam
PROPER
dan
menerbitkan
laporan
keberlanjutan
(sustainability report)2009. Environmental performance diukur dengan peringkat PROPER, sementara environmental disclosure diukur dengan membandingkan sustainability report perusahaan dengan ketentuan yang tercantum dalam Global Reporting Inititative Index (GRI). Variabel dependen yaitu financial performance yang diukur dengan ROA. Hasil penelitian
38 tersebut menunjukkan bahwa secara parsial environmental performance berpengaruh
secara
positif
terhadap
kinerja
keuangan
perusahaan.
Sementaraenvironmental disclosure tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan secara parsial. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa environmental performance dan environmental disclosure secara simultan berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
2.8. Kerangka Pemikiran Perusahaan sebagai organisasi harus mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada seluruh stakeholders. Perusahaan harus memberikan transparansi dan keterbukaan informasi kepada seluruh stakeholders, salah satunya adalah melalui laporan keuangan. Stakeholders, terutama penanam modal menuntut kinerja keuangan perusahaan yang sesuai agar mampu bertahan dalam persaingan bisnis. Pengukuran kinerja keuangan sangat penting, baik bagi stakeholders maupun bagi perusahaan sendiri. Menurut Rahma (2010), kinerja keuangan yang baik dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan dan kemudian dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya. Sedangkan bagi stakeholders, diperlukan analisis kinerja keuangan untuk menilai kemampuan perusahaan di masa yang akan datang sebagai pengambilan keputusan investasi. Untuk memperoleh kinerja keuangan yang baik, saat ini ada tata kelola perusahaan (corporate governance) yang dimaksudkan untuk mengatur kewenangan masing-masing pihak dalam perusahaan untuk menghindari konflik kepentingan yang dapat merugikan pihak lain dan memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Dengan GoodCorporate Governance diharapkan perusahaan dapat mencapai kinerja semaksimal mungkin tanpa cara-cara yang merugikan stakeholder perusahaan tersebut (Ferlinda, Ribawanto, dan Siswidiyanto, 2013). Di samping GCG, saat ini kinerja lingkungan juga menjadi perhatian penting terhadap perusahaan. Perusahaan sebagai salah satu pihak yang paling besar memanfaatkan sumber daya alam perlu memperhatikan permasalahan lingkungan. Menurut Pujiasih (2013) permasalahan lingkungan semakin menjadi perhatian baik oleh pemerintah, investor, maupun konsumen. Dengan pengelolaan lingkungan yang baik diharapkan citra perusahaan akan ikut meningkat sehingga mempengaruhi tingkat konsumsi dan investasi di dalam perusahaan.
39 2.8.1.
Pengembangan Hipotesis
2.8.1.1.Pengaruh
Kepemilikan
Manajerial
terhadap
Kinerja
Keuangan
Perusahaan Menurut agency theory, ketika principalmelakukan pengawasan kepada agent, maka akan timbul biaya yang disebut agency cost. Salah satu contoh agency cost adalah
dikeluarkannya
imbalan-imbalan
kepada
pihak
manajemen
apabila
manajemen telah mampu menunjukkan kinerja yang baik sesuai dengan tujuan principal. Hal ini dimaksudkan untuk memotivasi agent agar memberikan performa kerja yang baik, serta mengurangi risiko kecurangan oleh agent. Untuk mengurangi agency cost, dapat diimplementasikan salah satu mekanisme GCG yaitu kepemilikan manajerial. Kepemilikan manajerial adalah salah satu mekanisme corporate governance yang bertujuan memberikan kesempatan kepada pihak manajemen
untuk
memperoleh saham perusahaan. Ketika pihak manajemen memiliki saham perusahaan maka akan timbul rasa ikut memiliki terhadap perusahaan sehingga timbul motivasi untuk menjalankan usaha dengan sebaik-baiknya karena jika tidak, manajemen sebagai pihak yang juga memiliki kontribusi saham di dalam perusahaan juga akan ikut mengalami kerugian. Dengan memiliki saham perusahaan, diharapkan manajemen akan bekerja lebih hati-hati dan mempertimbangkan dengan baik seluruh keputusan-keputusannya sehingga tidak merugikan perusahaan. Dikutip dalam Aprina (2012), hasil penelitian Wahyudi dan Pawestri yang dilakukan terhadap 168 perusahaan yang tercatat dalam Bursa Efek Jakarta tahun 2003 menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap keputusan investasi serta keputusan pendanaan, dan berpengaruh terhadap nilai perusahaan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hasil penelitian serupa juga ditemukan oleh Daraghma dan Alsinawi (2010) yang dilakukan terhadap 28 perusahaan di Palestina dengan tahun penelitian 20052008. Penelitian tersebut dilakukan dengan uji parametrik dan hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Return on Sales (ROS). Sedangkan hasil penelitian menggunakan analisis regresi data panel oleh Wahla, Shah, dan Hussain (2012) yang dilakukan terhadap 61 perusahaan non-keuangan tercatat di Karachi Stock Exchange (Pakistan) tahun 2008-2010 menunjukkan bahwa
40 kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Hଵ :Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. 2.8.1.2.Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Berdasarkan konsep agency theory, terdapat konflik kepentingan di antara principal dan agent. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kecurangan oleh kedua belah pihak, dibutuhkan suatu pengawasan independen yang dapat dilakukan dengan salah satu mekanisme GCG yaitu kepemilikan institusional. Sabrinna (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin baik kinerja perusahaan. Hal ini dikarenakan adanya kontrol dari institusi terhadap kinerja perusahaan sehingga perusahaan akan lebih berhati-hati dan mempertimbangkan dengan baik dalam setiap pengambilan keputusannya. Investor institusional berperan untuk memberikan pengawasan optimal dan independen terhadap tindakan manajemen. Kepemilikan institusional diharapkan dapat memperkecil potensi manajemen untuk melakukan kecurangan, dan dengan demikian juga dapat menyelaraskan kepentingan stakeholders lainnya untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Peruno, 2015) sesuai dengan prinsip stakeholder theory yang menjunjung kesejahteraan bagi seluruh stakeholder. Menurut hasil penelitian Manafi, Mahmoudian, dan Zabihi (2015) yang dilakukan terhadap 110 perusahaan tercatat di Tehran Stock Exchange melalui analisis regresi linier, kepemilikan institusional berpengaruh secara positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hasil penelitian serupa ditemukan oleh Fazlzadeh, Hendi, dan Mahboubi (2011) yang juga melakukan penelitian terhadap 137 perusahaan di Tehran Stock Exchange, menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Hଶ : Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
41 2.8.1.3.Pengaruh Proporsi Komisaris Independen terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Keberadaan komisaris independen muncul setelah terbit Surat Edaran BAPEPAM Nomor: SE03/PM/2000 dan Peraturan Pencatatan Efek Nomor: 339/BEJ/07-2001 (Septian, 2014) yang menyatakan bahwa perusahaan publik yang tercatat di bursa wajib memiliki beberapa anggota dewan komisaris yang memenuhi kualifikasi sebagai komisaris independen yaitu jumlah komisaris independen adalah sekurang-kurangnya 30% dari seluruh jumlah anggota komisaris. Berdasarkan konsep agency theory mengenai adanya perbedaan kepentingan di antara principal dan agent, komisaris independen hadir sebagai salah satu fungsi pengawasan dari GCG. Komisaris independen dapat menjadi penyeimbang di dalam perusahaan agar bebas dari konflik kepentingan di dalam tiap-tiap pengambilan keputusannya. Selain itu dengan adanya komisaris independen, suara kepemilikan saham minoritas juga menjadi terlindungi. Hasil penelitian Kumaat (2013) yang dilakukan terhadap perusahaan manufaktur tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2011 menunjukkan bahwa komisaris independen berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur melalui Cash Flow Return on Asset (CFROA). Sedangkan menurut penelitian Tertius dan Christiawan (2015) yang dilakukan terhadap 62 perusahaan keuangan tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2011-2013, ditemukan bahwa komisaris independen berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Hଷ : Proporsi komisaris independen berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
2.8.1.4.Pengaruh Komite Audit terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Komite audit adalah komite yang membantu komisaris atau dewan pengawas untuk memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan efektifitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan internal (Alijoyo dalam Priantana dan Yustian, 2011). Struktur komite audit adalah minimal berjumlah 3 anggota dengan salah satunya adalah komisaris independen yang juga merangkap sebagai ketua, dan 2 anggota lainnya adalah pihak eskternal dan independen.
42 Kehadiran komite audit merupakan bentuk pengawasan yang dibentuk untuk menghindari kecurangan yang dapat terjadi dan merugikan para stakeholder. Komite audit berperan penting dalam fungsi pengawasan terhadap pelaporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan adalah informasi penting yang digunakan oleh seluruh
stakeholders,
dan
seringkali
menjadi pertimbangan
utama
dalam
pengambilan keputusan. Untuk itu komite audit harus bekerja secara independen dan profesional untuk mengawasi kinerja perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian Amba (2014) terhadap 39 perusahaan tercatat di Bursa Efek Bahrain, komite audit berpengaruh secara positif namun tidak signifikan secara statistik terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur melalui ROA. Sedangkan hasil penelitian Trisnantari (2012) yang dilakukan terhadap 134 perusahaan manufaktur tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2006-2008, menunjukkan bahwa secara statistik komite audit berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q.
Hସ : Komite audit berpengaruh terhadap kinerja keuanganperusahaan. 2.8.1.5.Pengaruh Environmental Performance terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Berdasarkan teori stakeholder dan legitimasi, perusahaan sebagai suatu organisasi tidak boleh hanya berorientasi pada keuntungan semata melainkan juga harus memperhatikan kepentingan stakeholder secara keseluruhan. Perusahaan yang tidak mampu menunjukkan bahwa ia memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, dapat mengalami penolakan dari masyarakat dan kehilangan legitimasinya. Apabila hal ini terjadi maka kelangsungan hidup perusahaan menjadi terancam. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menunjukkan bahwa ia berkontribusi positif bagi stakeholder dan lingkungan adalah melalui penataan lingkungan yang baik. Kinerja lingkungan merupakan kinerja perusahaan untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik, atau ketika perusahaan mengeluarkan biaya terkait dengan aspek lingkungan (Ikhsan dalam Rafianto, 2015). Dengan melakukan pengelolaan lingkungan yang baik, atau memberikan perhatian kepada kelestarian lingkungan, perusahaan berharap dapat menarik perhatian
43 investor dan masyarakat. Disamping itu perusahaan juga secara tidak langsung berkontribusi dalam menjaga kesehatan masyarakat karena pengelolaan limbah yang baik serta pengendalian pencemaran lingkungan. Ketika perusahaan berkontribusi untuk kelestarian alam maka perusahaan ikut berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat meningkatkan citra perusahaan di mata publik, dan secara tidak langsung juga menarik investor dan konsumen, sehingga perusahaan akan memperoleh keuntungan dari segi finansial melalui tingkat konsumsi dan investasi. Dikutip dalam Rafianto (2015), Almilia dan Wijayanto mengemukakan bahwa perusahaan yang memperoleh peringkat PROPER yang baik (Emas) akan berpengaruh pada kinerja keuangan perusahaan. Hasil penelitian Tjahjono (2013) menunjukkan bahwa kinerja lingkungan yang diukur dengan PROPER berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan yang diukur dengan Market Value Added (MVA). Dalam penelitian tersebut Tjahjono menggunakan metode analisis jalur (path analysis) terhadap 56 perusahaan terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 20102011. Hasil penelitian Tjahjono tersebut sejalan dengan hasil penelitian Titisari dan Alviana (2012) yang dilakukan dengan menggunakan PROPER sebagai pengukuran kinerja lingkungan dan ROA sebagai pengukuran kinerja keuangannya. Tahun penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tahun 2007-2009 dengan sampel berjumlah 90. Dan hasil penelitian yang dilakukan dengan analisis regresi tersebut menunjukkan bahwa environmental performance berpengaruh positif dan signifikan terhadap economic performance.
Hହ :Environmental performance berpengaruh terhadap kinerja keuanganperusahaan.
44 2.8.2.
Model Penelitian
Model pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
X1 Kepemilikan Manajerial
RX1Y
X2 Kepemilikan Institusional X3 Proporsi Komisaris Independen X4 Komite Audit
RX2Y
RX3Y RX4Y RX5Y
X5 Environmental Performance Sumber: Hasil olahan sendiri, 2015
Gambar 2.1 Model Penelitian
Y Return on Equity (ROE)
45