BAB II LANDASAN TEORI
A. Work-Family Conflict 1. Definisi Work-Family Conflict Kahn, dkk. (1964) menjelaskan konsep work-family conflict dengan menggunakan kerangka teori peran. Penulis menjelaskan bahwa penentu utama dari perilaku individu adalah ekspektasi perilaku yang orang lain miliki terhadap dirinya. Teori peran menelaah ekspektasi yang dimiliki oleh masingmasing peran dapat menghasilkan inter-role conflict (konflik antar peran) ketika terdapat tekanan untuk mendominasi demi memuaskan seluruh ekspektasi, karena masing-masing peran memerlukan waktu, energi dan komitmen. Berdasarkan kerangka tersebut, Kahn dkk. (1964) mendefinisikan work-family conflict sebagai bentuk dari konflik antar peran di bidang pekerjaan dan lingkungan yang bertentangan. Menggunakan definisi dari Kahn, Greenhaus & Beutell (1985) yang menjabarkan work-family conflict sebagai bentuk dari konflik antar peran yaitu saat tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga saling bertentangan sehingga partisipasi dalam salah satu peran menjadi lebih sulit karena partisipasi pada peran lainnya. Pertentangan serta tekanan yang semakin meningkat antara peran di keluarga dan di tempat kerja menyebabkan efektivitas pada salah satu peran terhambat oleh kegiatan peran lainnya. Dengan kata lain, work-family conflict muncul ketika kegiatan dalam suatu
12
13
peran mengganggu pemenuhan syarat dan pencapaian efektivitas dalam peran lainnya. Menurut Frone, dkk (1992), work-family conflict umumnya terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran pekerjaannya dan usahanya dipengaruhi oleh kemampuan dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, atau sebaliknya, pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga
dipengaruhi
oleh
kemampuan
dalam
memnuhi
tuntutan
pekerjaannya. Tuntutan yang berasal dari pekerjaan antara lain meliputi beban kerja yang berlebihan dan batas waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan tuntutan yang berasal dari keluarga meliputi waktu yang dibutuhkan untuk menangani masalah dan tugas rumah tangga (Murtiningrum, 2005). Frone,dkk. (1992) kemudian mendefinsikan work-family conflict sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, yang pada satu sisi harus melakukan tanggung jawabnya di kantor dan di sisi lain ia harus memperhatikan dan mengurus keluarga. Hal ini berakibat pada sulitnya membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga (work-family conflict) dan keluarga mengganggu pekerjaan (family-work conflict). Netemeyer, dkk. (1996) mendefinisikan work family conflict sebagai bentuk konflik antar peran saat terdapat tuntutan umum pada waktu yang dihabiskan bersama keluarga sehingga terciptanya ketegangan akibat pekerjaan yang mengganggu dalam melaksanakan tanggung jawab yang berhubungan dengan keluarga. Tuntutan pada satu peran membuat pelaksanaan tugas pada peran lainnya menjadi lebih sulit. Tuntutan umum
14
dalam suatu peran antara lain adalah tanggung jawab, persyaratan, ekspektasi, tugas dan komitmen yang berhubungan dengan peran yang diberikan. Soeharto (2010) mendefinisikan work-family conflict sebagai bentuk dari interrole conflict ketika peran yang dituntut dalam pekerjaan dan keluarga saling mempengaruhi satu sama lain. Work-family conflict dinyatakan sebagai studi dua arah mengenai kategori konflik yang dapat diidentifikasi sebagai konflik pekerjaan ke keluarga dan konflik keluarga ke pekerjaan (Zhang, dkk, 2012). Boles, dkk. (2001) menyatakan work-family conflict mencerminkan kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan yang diberikan dengan banyaknya tuntutan terkait performa kerja dan tugas di dalam keluarga. Berdasarkan definisi yang disampaikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa work-family conflict adalah salah satu bentuk dari konflik peran ketika tuntutan antara peran di pekerjaan dan keluarga saling bertentangan sehingga menyebabkan pelaksanaan salah satu peran menjadi terhambat dan menimbulkan konflik.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work-Family Conflict Dalam jurnalnya, Michel, dkk. (2011) mengungkapkan beberapa faktor yang melatar belakangi work family conflict, yaitu : a. Faktor Pekerjaan Faktor
pekerjaan
menunjukkan
bagaimana
masing-masing
karyawan memiliki peran yang berbeda tergantung pada pekerjaannya, peran pekerjaan tertanam dalam suatu keadaan atau kondisi yang sudah melekat pada pekerjaan tersebut.
15
1) Stresor Peran (Role Stressors) Stresor pada pekerjaan dan keluarga merupakan hasil daripada tekanan yang dimiliki peran pada masing-masing domain. Konflik peran, ambiguitas peran, peran yang berlebihan dan komitmen waktu kerja secara umum dipandang sebagai sumber utama stres dalam kerangka stresor (Kahn dkk., 1964). Banyak individu yang akhirnya menyerah pada tekanan yang ada dalam usahanya untuk memenuhi beragam ekspektasi dari masing-masing peran. Salah satu penyebabnya adalah ketika tekanan peran yang ada dalam kerangka stressor (konflik peran, ambiguitas peran, kelebihan peran dan tuntutan waktu) dihadapi, tenaga individu akan lebih banyak terkuras. Manusia memiliki energi serta waktu yang terbatas, sehingga ketika stressor peran pada salah satu domain mengalami peningkatan akan menghasilkan konflik yang lebih besar. 2) Keterlibatan Peran (Role Involvement) Keterlibatan kerja dan keluarga mengacu pada tingkat keterikatan psikologis atau kaitan terhadap peran di pekerjaan dan keluarga (Frone, 2003). Individu yang memiliki keterikatan peran tinggi memiliki ketertarikan kognitif terhadap peran tertentu. Ketertarikan peran yang tinggi membuat sesorang melihat peran tersebut sebagai hal terpenting dan pusat dari kehidupannya. Tingginya keterlibatan psikologis terhadap suatu peran tertentu dapat membuat sulit untuk terikat dalam kegiatan peran saingannya, misalnya keterlibatan pada
16
pekerjaan dapat membuat keterikatan pada perannya di keluarga berkurang. Teori peran menjelaskan bahwa individu dapat terlibat secara psikologis dengan perannya di pekerjaan dan di rumah sebagai usaha untuk memenuhi ekspektasi dari masing-masing peran. Seandainya ketidakpuasan ditemui dalam salah satu peran, individu dapat menyesuaikan waktu, perhatian dan energi yang dimiliki. Teori kompensasi menjelaskan bahwa terdapat hubungan terbalik antara domain pekerjaan dan keluarga, di mana ketidakpuasan pada satu domain akan diimbangi melalui kepuasan atau keterlibatan yang lebih besar dalam domain lain (Edwards & Rothbard, 2000 dalam Michel, 2011). 3) Dukungan Sosial (Social Support) Dukungan sosial merujuk pada bantuan peran, kekhawatiran emosional, informasi dan penilaian fungsi lain yang berfungsi untuk meningkatkan perasaan penting dalam diri seseorang (Carlson & Perrewe, 1999). Dukungan sosial dari domain pekerjaan dapat datang dari beberapa sumber seperti rekan kerja, supervisor dan organisasi itu sendiri. Dukungan sosial untuk domain keluarga dapat datang dari pasangan atau seluruh keluarga. Seperti yang dikemukankan oleh Stoner, dkk (2011) yaitu dukungan dari keluarga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya work-family conflict yang dialami oleh seseorang. Dukungan sosial yang didapatkan dari salah satu domain dapat
17
memimpin kepada berkurangnya waktu, perhatian dan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan peran tersebut. 4) Karakteristik Kerja (Work Characteristic) Karakteristik kerja terdiri dari beberapa hal dalam domain yang dapat mempengaruhi pelaksanaan peran (Morgenson & Campion, 2003). Beberapa hal tersebut antara lain durasi peran (pekerjaan dan kepemilikan organisasi), karakteristik peran (tipe pekerjaan, autonomi pekerjaan, variansi tugas, dan gaji), serta pengaruh organisasional terhadap peran tersebut (alternatif jadwal kerja dan seberapa jauh organisasi tersebut responsive terhadap keluarga). Tingginya status dalam pekerjaan serta gaji yang semakin tinggi mengindikasikan tanggung jawab yang lebih besar, stress yang lebih besar sehingga menyulitkan untuk menjaga keseimbangan dalam kedua peran yang dimiliki baik di rumah ataupun pekerjaan. Karakter yang dimiliki oleh pekerjaan dan organisasi mempengaruhi bagaimana individu dapat menjalankan perannya dan seberapa besar tanggung jawab dan waktu yang dibutuhkan. Karakteristik pekerjaan yang menuntut tanggung jawab serta perhatian yang besar dapat mempengaruhi bagaimana individu menjalankan perannya di rumah. b. Faktor Individu Faktor individu yang dimaksudkan mempengaruhi work-family conflict adalah kepribadian seseorang. Kepribadian menurut Allport dalam Schultz & Schultz (2013) merujuk pada dinamika struktur mental dan
18
proses mental yang terkoordinasi yang menentukan penyesuaian emosional dan perilaku individu terhadap lingkungannya. Salah satu bagian dari kepribadian yang berpengaruh terhadap work family conflict adalah internal locus of control dan efektifitas negatif serta neurotisme. Internal locus of control secara umum didefinsikan sebagai sejauh mana seseorang melihat hasil yang ada disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) dan bukan semata-mata karena kesempatan (eksternal) (Rotter, 1966). Efektifitas negatif dan neurotisme secara umum didefinsikan sebagai tingkatan stress yang lebih tinggi yang didasarkan pada sifat psikologis, kecemasan, dan ketidakpuasan secara umum (Costa & McCrae, 1992). Kemampuan dari dalam diri individu sendiri merupakan salah satu cara untuk menyeimbangkan kedua peran yang dimiliki, dan aspek-aspek dalam kerpibadian mempengaruhi individu dalam menghadapi tekanan yang didapat dari kedua peran yang akan mempengaruhi kemungkinan munculnya konflik antara kedua peran. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahawa faktor-faktor mempengaruhi terjadinya work-family conflict berasal dari pekerjaan seperti stresor yang ada, keterlibatan peran, dukungan sosial dan karakteristik pekerjaan serta berasal dari individu itu sendiri seperti kepribadiannya.
19
3. Aspek Work-Family Conflict Terdapat enam aspek work-family conflict menurut Kopelman dan Burley (Arinta & Azwar, 1993), yang terdiri dari : 1) Masalah pengasuhan anak Pada umumnya individu mencemaskan kesehatan jasmani dan emosi anakanak yang artinya menuntut perhatian, tenaga dan pikiran individu sewaktu mereka di tempat kerja. 2) Bantuan pekerjaan rumah tangga Wanita dengan peran ganda membutuhkan bantuan dari berbagai pihak baik dari suami, anak amupun seorang asisten rumah tangga untuk turut serta dalam mengerjakan urusan rumah tangga. 3) Komunikasi dan interaksi dengan keluarga Komunikasi adalah sarana untuk berinteraksi dengan orang lain serta merupakan cara untuk mengutarakan kebutuhan, keinginan serta keluhan yang dimiliki. 4) Waktu untuk keluarga Menurut Sukanto, dkk (1999),ibu yang bekerja sering merasa kekurangan waktu untuk suami, anak-anak bahkan untuk dirinya sendiri. 5) Penentuan prioritas Prioritas
disusun
berdasarkan
pada
keperntingan
individu
yang
bersangkutan agar tidak menimbulkan pertentangan antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain (Sukanto, dkk, 1999)
20
6) Tekanan karir dan keluarga Dalam bekerja terdapat banyak tantangan yang menuntut penyelesaian. Begitu pula dengan di rumah, terdapat peran dan tanggung jawab lain yang menuntut untuk diselesaikan. Tuntutan-tuntutan yang ada dapat berubah menjadi tekanan bagi individu yang kemudian menimbulkan konflik dalam dirinya. Dengan mempertimbangkan bentuk serta arah yang mempengaruhi work-family conflict, maka Carlson, dkk (2000) menyimpulkan enam aspek dari work family conflict, yaitu : 1) Time based WIF Terjadi ketika waktu yang digunakan untuk menyelasaikan permasalahan pekerjaan mengganggu pemenuhan tanggung jawab di keluarga. 2) Time based FIW Terjadi ketika waktu yang digunakan untuk memenuhi tuntutan keluarga mengganggu pekerjaan. 3) Strained based WIF Terjadi ketika urusan pekerjaan mengganggu performa dalam memenuhi tanggung jawab di keluarga . 4) Strained based FIW Terjadi ketika tekanan dari tuntutan keluarga mengganggu pekerjaan yang seharusnya dilakukan.
21
5) Behavior based WIF Perilaku yang biasanya ditampilkan saat bekerja menjadi masalah ketika ditampilkan dalam keluarga. 6) Behavior based FIW Perilaku yang biasanya ditampilkan dalam keluarga tidak sesuai ketika diterapkan di pekerjaan sehingga menimbulkan masalah. Baltes & Heydens-Gahir (2003) mengemukakan terdapat beberapa aspek dari work-family conflict yaitu 1) Time based demands Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh individu, wantu yang digunakan untuk pekerjaan seringkali berakibat pada keterbatasan waktu untuk keluarga dan begitu pula sebaliknya. 2) Strained based demands Ketegangan dalam salah satu peran akhirnya mempengaruhi kinerja pada peran yang lain. 3) Behavior based demands Terjadi kesulitan untuk melakukan perubahan perilaku dari satu peran ke peran yang lainnya. Peneliti
menggunakan
aspek-aspek
work-family
conflict
yang
dikemukakan oleh Kopelman dan Burley (Arinta&Azwar, 1993) sebagai aspek penelitian work-family conflict. Aspek ini dipilih karena cakupan yang lebih luas dan rinci mengenai work-family conflict.
22
4. Arah Work-Family Conflict Carlson, dkk. (2000) menyatakan bahwa work-family conflict memiliki konsep bi-dirrectional atau memiliki dua arah yang terdiri : a. Work interference with family (WIF) Sebuah kondisi ketika hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan menjadi hambatan dalam melaksanakan kewajiban dalam keluarga. Misalnya, ibu yang pulang kerja malam akibat lembur tidak dapat membantu anaknya mengerjakan tugas. b. Family interference with work (FIW) Sebuah kondisi ketika urusan keluarga (rumah tangga) menghambat urusan pekerjaan. Misalnya, ketika anak sakit membuat sang ibu merawatnya hingga terlambat datang ke kantor dan pekerjaannya banyak yang tertunda. Berdasarkan uraian di atas makan dapat disimpulkan bahwa workfamily conflict memiliki dua arah yaitu work interference with family dan family interference with work.
5. Bentuk Work-Family Conflict Greenhaus & Beutell (1985) memaparkan tiga bentuk dari work-family conflict, yaitu : a. Time-Based Conflict Merupakan konflik yang terjadi akibat waktu yang digunakan dalam memenuhi satu peran tidak dapat untuk memenuhi tanggung jawab peran
23
lainnya. Hal ini meliputi pembagian waktu, energi dan kesempatan antara peran di pekerjaan dan di keluarga. Time-based conflict memiliki 2 tipe, yaitu yang pertama merupakan tekanan waktu yang berhubungan dengan keanggotaan dalam satu peran membuat pemenuhan ekspektasi dari peran lain menjadi tidak mungkin. Kedua, tekanan dapat menimbulkan preokupasi terhadap satu peran, walaupun secara fisik berusaha untuk memenuhi tuntutan-tuntutan pada peran lain (Bartolome & Evans, 1979). b. Strain-Based Conflict Merupakan konflik yang berasal dari ketegangan yang diproduksi oleh peran, ketika ketegangan dari satu peran mengganggu pemenugan tanggung jawab pada peran lain. Salah satu pemicu dari ketegangan pada peran ialah stress kerja yang mampu menimbulkan gejala-gejala ketegangan seperti tekanan, kecemasan, depresi, kelelahan, apatis dan mudah marah. Strain-based conflict muncul ketika ketegangan yang dihasilkan dari suatu peran mempengaruhi pelaksanaan peran lain yang dimiliki individu (Pleck, 1980). c. Behavior-Based Conflict Merupakan konflik yang muncul ketika perilaku yang ditampilkan dalam satu peran tidak sesuai dengan ekspektasi perilaku pada peran lain. Ketidaksesuaian perilaku individu ketika bekerja dan ketika berada di rumah terjadi karena disebabkan perbedaan aturan yang berlaku dan kadang sulit menukar peran yang satu dengan peran yang lainnya.
24
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work family conflict memiliki tiga bentuk yaitu time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict.
6. Dampak Work-Family Conflict Work-family conflict yang dialami oleh pekerja yang sudah menikah dapat menimbulkan dampak bukan hanya bagi organisasi tempatnya bekerja, melaikankan juga bagi individu itu sendiri dan keluarganya. Duxburry & Higgins (2003) menyakatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan ketika individu mengalami work interfering with family yaitu dapat menurunkan komitmen organisasi dan kepuasan kerja, meningkatkan tingkat stres saat bekerja, menurunkan kepuasan jumlah jam kerja, meningkatkan keluhan terhadap beban kerja yang diterima, serta niat untuk berganti pekerjaan. Dampak yang ditimbulkan dalam diri individu itu sendiri yaitu dapat mengakibatkan depresi, stres psikologi (burnout), menurunnya tingkat kepuasan hidup, serta mengalami penurunan kesehatan fisik (Duxburry & Higgins, 2003). Clarke-Stewart & Dunn (2006) menyatakan dampak yang ditimbulkan work-family conflict bagi keluarga adalah tekanan yang dialami oleh orang tua akan mempengaruhi anak secara tidak langsung yaitu melalui pola pengasuhan yang mengalami perubahan akibat tekanan yang diterima orang tua. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa work-family conflict memiliki dampak terhadap organisasi, individu itu sendiri dan keluarga.
25
B. Job Involvement 1. Definisi Job Involvement Michel,dkk. (2011) mendefinisikan job involvement sebagai tingkat keterlibatan psikologis (kelekatan, hubungan) terhadap peran kerja. Job involvement menurut Thomas, Desmukh, dan Kumar (2008) menunjukkan sejauh mana karyawan melibatkan diri dalam pekerjaannya, menginvestasikan waktu dan tenaga di dalamnya, serta melihat pekerjaan sebagai sentral dalam kehidupannya secara keseluruhan. Tingkat keterlibatan yang tinggi dapat mendorong keteraturan kerja sehingga karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya secara tepat waktu. Job involvement dalam berbagai studi didefinisikan dengan berbagai cara dan merujuk sebagai aktivitas yang merupakan “pusat ketertarikan dalam hidup”, pentingnya pekerjaan karyawan bagi reputasi yang dimiliki, dan menjadi tempat menyatakan konsep diri atau harga dirinya (Boon, dkk., 2007). Boon, dkk. (2007) menyimpulkan job involvement sebagai faktor luar biasa dalam meningkatkan motivasi karyawan. Rotenberry & Moberg (2007) mendefinisikan job involvement sebagai keadaan dimana pekerjaan adalah sisi penting dari interpretasi dirinya yang akan mendahuluka pekerjaan ke arah sukses dan kemungkinan untuk turnover lebih rendah. Mohzan dkk. (2011) juga menyatakan bahwa job involvement merujuk pada sumber utama dari komitmen organisasi, motivasi dan kepuasan kerja yang mempengaruhi hasil kerja karyawan. Ini berkaitan
26
dengan penampilan kerja secara individu seperti absensi dan dorongan untuk keluar dari organisasi. Menurut Castellano (2013), keterlibatan kerja mengacu pada identifikasi terhadap minat pekerjaan seseorang dan merupakan aspek penting dari keterlibatan psikologis seseorang terhadap pekerjaannya. Dilihat dari perspektif organisasi, keterlibatan kerja merupakan cara untuk meningkatkan motivasi karyawan dan dalam perspektif individu, keterlibatan kerja menjadi kunci untuk perkembangan pribadi dan kepuasan dengan tempat kerja (Castellano, 2013). Keterlibatan kerja merupakan aspek inti dari dalam diri individu terhadap pekerjannya. Robbins (2003) mengungkapkan job involvement sebagai derajat dikenalnya individu di pekerjaannya, berpartisipasi aktif didalamnya, dan menganggap prestasi penting untuk harga diri. definisi tersebut juga didukung oleh pendapat Schultz dkk (1990) yang menyatakan job involvement merupakan
intensitas
dan
identifikasi
psikologis
individu
terhadap
pekerjaannya. Berdasarkan definsi oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa job involvement adalah seberapa besar keterlibatan dan identifikasi diri individu terhadap pekerjaannya baik secara psikologis ataupun fisik termasuk waktu dan energi yang diberikan dalam melaksanakan pekerjaannya yang dikarenakan individu memiliki ketertarikan terhadap pekerjaannya tersebut
27
2. Aspek Job Involvement Yoshimura (1996) memperkenalkan konsep multi-dimensional job involvement yang terdiri dari tiga aspek yaitu : 1)
Emotional Job Involvement, merujuk pada seberapa kuat ketertarikan karyawan terhadap pekerjaannya atau seberapa besar karyawan menyukai pekerjaannya.
2)
Cognitive Job Involvement, merujuk pada seberapa besar keinginan karyawan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam pekerjaan atau seberapa penting pekerjaan ini dalam hidupnya.
3)
Behavioral Job Involvement, merujuk pada seberapa sering karyawan biasanya mengambil perilaku peran ekstra seperti mengambil kelas malam untuk meningkatkan kemampuannya dalam pekerjaan atau memikirkan pekerjaan setelah pulang dari kantor. Tabel.1 Model Multi-Dimensional Job Involvement (Sumber : Yoshimura, KEIO Business Review No.33, 1996) Dimensi Indikator Emotional Job Involvement
Cognitive Job Involvement
Behavior Job Involvement
Attachment - Interest - Liking Psychological state - Self esteem - Active Participation Behavioral Intention - Extra-role behavior - Voluntary learning
28
Lodahl dan Kejnerr (1965) membagi konsep keterlibatan kerja menjadi lima aspek yaitu : 1)
Harapan yang besar terhadap pekerjaan, dilihat dari kesanggupan karyawan dalam bekerja, adanya harapan dan komitmen ntuk berusaha mengembangkan karir serta partisipasi dalam mencapai tujuan akhir organisasi.
2)
Keterlibatan emosional terhadap pekerjaan, ketika karyawan karyawan memiliki keinginan dan dorongan yang kuat untuk melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan individu itu sendiri baik dalam kebutuhan hingga kecocokan individu dengan perusahaan.
3)
Rasa tanggung jawab pada pekerjaan, yaitu keinginan untuk bertanggung jawab atas kelangsungan organisasi dan untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.
4)
Rasa bangga terhadap pekerjaan, saat karyawan mempunyai sikap menjaga
dan
rasa
tanggung
jawab
terhadap
perusahaan
yang
menimbulkan loyalitas. 5)
Keinginan mobilitas tinggi, yaitu kesanggupan karyawan dalam melaksanakan tugas dan kesadaran akan risiko yang ada dalam pekerjaan. Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, peneliti
menggunakan aspek-aspek job involvement yang dikemukakan oleh Lodahl dan Kejnerr (1965). Aspek ini dipilih karena lebih spesifik dan lebih mendalam untuk menjelaskan mengenai job involvement.
29
C. Locus of Control Internal 1. Definisi Locus of Control Internal Rotter (1966) membedakan locus of control menjadi internal dan eksternal. Menurut Rotter, locus of control internal adalah suatu keadaan seseorang yang mempercayai bahwa dirinya adalah penguasa atas nasibnya sendiri, sehingga seringkali bersikap percaya diri, waspada dan mengontrol lingkungan luarnya. Individu melihat adanya hubungan yang kuat antara perilaku yang ditunjukkan dan konsekuensinya. Orang dengan locus of control internal yakin bahwa dirinya mampu mengontrol tiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Michel dkk. (2011) menyatakan bahwa locus of control internal merupakan sejauh mana individu merasa bahwa hasil yang ada adalah karena dirinya sendiri, dan bukan karena sekedar kesempatan. Individu dengan locus of control internal memiliki karakteristik pribadi yang aktif di lingkungan, mandiri, ramah, percaya diri, bertanggung jawab, mau bekerja keras, memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha mencari pemecaha masalah yang ada di lingkungan, berpikir efektif, mampu mengambil kepurusan serta lebig antusias dan optimis dalam hidupnya. Individu dikatakan memiliki locus of control internal ketika mampu memposisikan diri untuk menggunakan kekuatan dalam dirinya untuk melakukan suatu tindakan (Ng, Sorensen & Eby, 2006). Individu dengan locus of control internal lebih berorientasi kepada keberhasilan karena menganggap perilaku yang ditunjukkan dapat menghasilkan efek positif dan tergolong
30
dalam high-achiever (Findley & Cooper, 1983, dalam Ng, Sorensen, & Eby, 2006). Spector (1982) memberikan pandangannya mengenai locus of control internal sebagai salah satu karakteristik dari kepribadian yang telah terbukti mempunyai peran penting dalam menjelaskan perilaku individu dalam organisasi. Pada dasarnya, locus of control menggambarkan letak keyakinan dan seberapa kuat kontrol individu terhadap perilakunya. Menurut Robbins (2007),individu dengan locus of control internal adalah individu yang memiliki kepercayaan bahwa dirinya memegang kendali atas apapun yang terjadi pada diri sendiri. Individu dengan locus of control internal mempunyai persepsi bahwa lingkungan dapat dikontrol oleh dirinya sehingga mampu membuat perubahan sesuai dengan keinginannya. Faktor internal individu antara lain mencakup kemampuan kerja, kepribadian dan kepercayaan diri individu itu sendiri. Berdasarkan definisi dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa locus of control internal adalah sejauh mana individu memiliki kepercayaan kepada dirinya sendiri dan bahwa yang memiliki kontrol dan bertanggung jawab atas perilaku serta apa yang terjadi dalam kehidupannya.
2. Aspek Locus of Control Internal Rotter (1990) menyatakan bahwa tidak ada individu yang sepenuhnya internal ataupun eksternal, sehingga tidak terdapat aspek yang sepenuhnya menyatakan locus of control internal ataupun eksternal melainkan secara
31
keseluruhan yaitu aspek locus of control. Rotter membagi aspek locus of control menjadi dua yaitu : 1) Eskternal, yaitu derajat keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak dapat diprediksi, berada dibawah kontrol pihak lain, tergantung nasib, keberuntungan dan kesempatan. 2) Internal, yaitu derajat keyakinan bahwa hasil dari perilaku terhantung pada diri sendiri. Berdasarkan pada aspek yang terdapat pada skala Rotter, Levenson kemudian melakukan revisi dan menyusun kembali skala I-E menjadi skala Internal, Powerful others and Chance (Skala IPC- Locus of Control). Levenson (1972) mengemukakan bahwa aspek dari locus of control ialah : 1) Internal (I), keyakinan individu bahwa ia dapat mengendalikan hidupnya sendiri. 2) External powerful others (P), keyakinan individu bahwa peristiwa yang terjadi berada di bawah kendali orang lain. 3) External chance (C), keyakinan bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidup individu adalah dikarenakan adanya kesempatan, keberuntungan, dan takdir. Kemudian Wolfgang dan Weiss (1980) menjelaskan bahwa terdapat dua aspek dalam locus of control yaitu : 1) Locus of personal control, yaitu kepercayaan individu terhadap kompetensi serta efikasi diri. Locus of personal control terdiri dari dua yaitu internal dan eksternal. Orientasi internal ditandai dengan efikasi diri,
32
sedangkan orientasi eksternal ditandai dengan keyakinan pada kesempatan dan keberuntungan. 2) Locus of responsibility, yaitu pengukuran tingkat tanggung jawab individu terhadap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Locus of responsibility kembali terterdiri atas dua yaitu internal dan eksternal. Orientasi internal ditandai dengan keyakinanadanya hubungan yang kuat antara usaha, kerja keras dan kesuksesan, sedangkan orienatasi eksternal ditandai dengan keyakinan bahwa sosial, politik dan ekonomi adalah kekuatan dan pengendali nasib individu. Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan aspek-aspek locus of control internal yang dikemukakan oleh Levenson. Aspek ini dipilih karena mampu memberika gambaran locus of control internal secara lebih luas.
D. Hubungan antar Variabel 1. Hubangan antara Job Involvement dan Locus of Control Internal dengan Work Family Conflict Setelah menikah, wanita memiliki peran utama selain menjadi istri, yaitu menjadi ibu rumah tangga yang mengurus dan mengatur masalah dalam rumah tangga dan kelak ketika sudah memiliki anak tanggung jawabnya pun bertambah dalam perihal mengurus anak. Perkembangan zaman yang pesat mendorong wanita untuk turut mulai meniti karir dan mencari nafkah. Tanggung jawab pada wanita yang sudah menikah dan tetap bekerja terkadang mengalami bentrokan karena ketidak sesuaian tanggung jawab peran di
33
pekerjaan dengan tanggung jawab perannya di rumah sebagai ibu rumah tangga. Tumpang tindih dalam peran ganda yang dimiliki (peran kerja-peran keluarga) dan kurangnya kemampuan dalam mengontrol dapat memicu timbulnya konflik antar peran (Kussundyarsana dan Soepatini, 2008). Pilihan yang diambil wanita yang sudah menikah untuk bekerja di luar rumah membawab peran tambahan bagi dirinya dan terkadang tanggung jawab antar peran tersebut saling bertentangan. Individu memerlukan kemampuan untuk membagi waktu serta energy dan perhatian yang diberikan dalam masing-masing peran. Job involvement merupakan keadaan individu yang lebih banyak menghabiskan waktu, energi dan perhatiannya pada perannya di pekerjaan. Kondisi ketika perhatian dan tenaga lebih banyak diberikan pada salah satu peran membuat peran lain tidak berjalan dengan baik sebgaimana mestinya (Kahn, 1964). Job involvement merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan konflik peran (work-family conflict) dalam rumah tangga wanita karir yang sudah menikah (Michel, 2011). Guna menghindari terjadinya konflik, dibutuhkan kontrol dari dalam diri sendiri sebagai salah satu cara untuk mengendalikan tanggung jawab yang harus dipenuhi dari peran yang ada. Locus of control internal merupakan salah satu karakteristik yang dibutuhkan untuk mencegah sekaligus menangani konflik yang terjadi. Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan Ng, Sorensen dan Eby yang menunjukkan bahwa karyawan dengan locus of control internal memiliki tingkat konflik peran yang lebih rendah. Individu dengan locus of control internal memiliki inisiatif yang tinggi dalam mencari
34
penyelesaian masalah yang dimilikinya (Wanberg, 1997). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa locus of control internal memiliki hubungan yang signifikan dengan work-family conflict. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara job involvement dan locus of control internal dengan work family conflict.
2. Hubungan antara Job Involvement dengan Work Family Conflict Sebagai seorang ibu rumah tangga, wanita dituntut untuk memberikan waktu dan perhatian lebih terhadap urusan rumah tangga dan keluarga. Namun seiring berkembangnya zaman, wanita mendapat kesempatan yang sama seperti pria untuk dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin dan ikut mengambil bagian dalam dunia pekerjaan. Kebutuhan untuk aktualisasi diri pada wanita dan kesempatan untuk membuktikan diri serta mengaplikasikan pendidikan yang sudah diterima membuat wanita dari tahun ke tahun semakin banyak yang ikut meniti karis dalam dunia pekerjaan (Majid, 2012). Kahn (1964) membuktikan dengan menggunakan teori peran, bahwa ketika seseorang memberikan perhatian lebih pada salah peran, maka peran yang lain tidak dapat berjalan dengan baik karena perhatian, waktu dan energi yang dibutuhkan sudah diberikan kepada peran lain. Pendapat tersebut dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Michel dkk. (2011) yang pada hasil penelitiannya menunjukkan bahwa individu dengan job involvement yang tinggi memiliki tingkat konflik pekerjaan-keluarga yang tinggi juga. Hal
35
ini disebabkan karena peran di keluarga tidak mendapat cukup waktu, perhatian dan energi. Michel menunjukkan bahwa adanya job involvement merupaka salah satu faktor yang melatar belakangi munculnya konflik perankeluarga. Penelitian yang dilakukan Seif, dkk. (2014) menunjukkan adanya hubungan antara job involvement dan work family conflict. Dalam penjelasannya, Seif dkk. (2014) mengungkapkan bahwa individu dengan keterlibatan kerja yang tinggi cenderung mengalami konflik pekerjaankeluarga. Penyebabnya adalah karena individu terlalu memperhatikan dan berusaha untuk memenuhi ekspektasi yang ada dalam pekerjaannya, sehingga tanggung jawab perannya di rumah sebagai ibu rumah tangga menjadi terbengkalai. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara job involvement dengan work family conflict.
3. Hubungan antara Locus of Control Internal dengan Work Family Conflict Untuk mencegah munculnya konflik antar peran, wanita karir yang sudah menikah memerlukan kemampuan untuk mengontrol tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu diperlukan juga kemampuan untuk mengatur waktu, energi, serta pembagian perhatian yang baik dan dibutuhkan pula kemampuan untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam pelaksanaan peran agar tidak terbawa ke dalam pelaksanaan peran lainnya.
36
Rotter (1996) menyatakan bahwa individu dengan locus of control internal memandang bahwa setiap konsekuensi yang diterima merupakan hasil perbuatannya sendiri. Individu dengan locus of control internal memiliki karakteristik pribadi yang aktif di lingkungan, mandiri, ramah, percaya diri, bertanggung jawab, mau bekerja keras, memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha mencari pemecahan masalah yang ada di lingkungan, berpikir efektif, mampu mengambil keputusan serta lebih antusias dan optimis dalam hidupnya.
Kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh wanita dengan peran
ganda, karena dengan kemampuan ini individu mampu menghadapi tantangan-tantangan yang diberikan oleh masing-masing peran tanpa merasa tekanan berlebih karena memiliki keyakinan pada diri sendiri dalam menyelesaikan tantangan yang ada (Robbins, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Michel dkk. (2011) menunjukkan bahwa individu dengan locus of control internal memiliki tingkat work-family conflict yang rendah. Penanganan masalah secara langsung dan optimisme dalam menghadapi tantangan menjadi salah satu faktor yang membuat tingkat konflik menjadi lebih rendah, karena individu akan mengatasi tantangan dengan usaha sebaik mungkin. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ng, dkk (2006), menampilkan hasil yang serupa yaitu locus of control internal terbukti secara signifikan mampu mengurangi tingkat konflik peran-pekerjaan yang dialami oleh karyawan. Dorongan untuk mengendalikan kehidupannya sendiri tanpa pengaruh dari lingkungan luar membuat individu dengan locus of control internal terdorong untuk menyelesaikan masalah dalam perannya dan
37
mencapai prestasi sebaik mungkin dalam kedua peran yang dimiliki (Findley & Cooper, 1983 dalam Ng, dkk. 2006). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara locus of control internal dengan work-family conflict.
E. Kerangka Pemikiran
2 Job Involvement 1 Locus of Control Internal
Work-Family Conflict
3
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan antara Job Involvement dan Locus of Control Internal dengan Work-Family Conflict
1. Hubungan antara job involvement dan locus of control internal dengan work-family conflict. 2. Hubungan antara job involvement dengan work-family conflict. 3. Hubungan antara locus of control internal dengan work-family conflict.
38
F. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka di atas maka penulis menjadikan hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan antara job involvement dan locus of control internal dengan work-family conflict. 2. Terdapat hubungan negatif antara job involvement dengan work-family conflict. 3. Terdapat hubungan negatif antara locus of control internal dengan workfamily conflict.