BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya dilakukan oleh (Adikampana dkk, 2014) yang berjudul “Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa adanya kelompok masyarakat Manuk Jegeg menjadi salah satu ruang yang sangat ideal bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata ekologis. Penelitian lain yaitu yang dilakukan oleh Suardana dan Ariani (2011) dengan judul “Penataan Kemitraan dan Kelembagaan Desa Wisata Tista, Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa dalam pengelolaan Desa Wisata Tista, desa adat setempat membentuk sebuah kelompok yaitu Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Desa Adat Tista. Keanggotaan kelompok ini diambil dari tokoh masyarakat desa sebanyak 10 orang. Kedua penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu pada fokus penelitian, dimana sama-sama meneliti tentang partisipasi masyarakat dan kelembagaan pariwisata dalam mengelola desa wisata. Sedangkan, untuk penelitian yang sama-sama dilakukan di Desa Wisata Blimbingsari, belum ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.
8
Berdasarkan telaah penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, penelitian terkait Komite Pariwisata sebagai Bentuk Partisipasi Masyarakat di Desa Wisata Blimbingsari Kabupaten Jembrana belum dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan agar dapat mengkaji jenis partisipasi masyarakat di Desa Wisata Blimbingsari. 2.2. Landasan Konsep 2.2.1. Konsep Masyarakat Menurut Subadra (2006), masyarakat merupakan sekelompok orang yang berada di suatu wilayah geografi yang sama dan memanfaatkan sumber daya alam lokal yang ada di sekitarnya. Masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai objek yang hanya menerima apa yang diputuskan dari atas (pemerintah), tetapi masyarakat pada saat ini juga harus dilibatkan sebagai subjek dalam kerangka mengembangkan pariwisata (Manafe, 2003). Dari kedua konsep masyarakat di atas, masyarakat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah setiap individu yang ada di Desa Wisata Blimbingsari yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata serta berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan pariwisata dan wisatawan. 2.2.2. Konsep Desa Wisata Konsep desa wisata seperti yang dikutip oleh Priasukmana dan Mulyadin (2001) dalam program Pariwisata Inti rakyat (PIR) adalah :
9
“Suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan status tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya : atraksi, akomodasi, makanan-minuman, dan kebutuhan wisata lainnya.” Konsep desa wisata menurut Priasukmana dan Mulyadin menjadi acuan dalam mendeskripsikan desa wisata bagi penelitian ini. Sehingga yang dimaksudkan dengan desa wisata dalam penelitian ini adalah keseluruhan kehidupan sosial, budaya dan keseharian yang ditawarkan oleh Desa Wisata Blimbingsari. 2.2.3. Konsep Religious Tourism Vukonic (1996) mendefinisikan religious tourism sebagai berikut : ”Religious tourism as consisting of a range of spiritual sites and associated services, which are visited for both secular and religious reasons” Pengertian tersebut menunjukkan bahwa wisata keagamaan dapat terjadi bukan hanya karena alasan keagamaan namun ada hal lain juga yang menjadi motivasi seseorang melakukan perjalanan wisata keagamaan. Selain itu, Santos (2003) menyebutkan lima karakteristik yang dimiliki oleh religious tourism, yaitu sebagai berikut : a. Voluntary, temporary and unpaid travel. b. Motivated by religion. c. Supplemented by other motivations. d. The destination is a religious site (local, reginoal, national or international status).
10
e. Travel to the destination is not a religious practice. Karakteristik yang disebutkan di atas menjadi syarat utama sebuah perjalanan dikategorikan sebagai wisata keagamaan. 2.2.4. Konsep Community Based Tourism (CBT) Community based tourism (CBT) menurut Muallisin (2007) adalah pariwisata yang menyadari kelangsungan budaya, sosial dan lingkungan. Bentuk pariwisata ini dikelola dan dimiliki oleh masyarakat guna membantu wisatawan meningkatkan kesadaran mereka dan belajar tentang tata cara hidup masyarakat lokal. CBT menjadi model pengembangan pariwisata yang berasumsi bahwa pariwisata dimulai dari kesadaran nilai-nilai yang dibutuhkan masyarakat sebagai upaya untuk membangun pariwisata yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan dan peluang masyarakat lokal. Konsep lain tentang CBT, dikemukakan oleh Nugroho (2011) yaitu konsep usaha ekowisata yang dimiliki, dikelola dan diawasi oleh masyarakat setempat. Masyarakat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan ekowisata mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Hasil kegiatan ekowisata sebanyak mungkin dinikmati oleh masyarakat setempat. Jadi, dalam hal ini masyarakat memiliki wewenang yang memadai untuk mengendalikan kegiatan ekowisata. Suansri (2003) mendefinisikan CBT sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya. Suansri juga menjelaskan bahwa CBT merupakan alat bagi pembangunan
11
komunitas dan konservasi lingkungan. Dengan kata lain CBT merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Dari beberapa konsep community based tourism (CBT) di atas, konsep CBT menurut Suansri yang menjadi acuan dalam penelitian ini. Konsep CBT ini akan digunakan untuk membantu dalam menemukan jawaban bagi rumusan masalah pertama, yaitu dalam mengidentifikasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata di Desa Wisata Blimbingsari. 2.2.5. Konsep Kedudukan (Status) dan Peranan (Role) Menurut Soekanto (2004), kedudukan (status) adalah : “Tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut.” Soekanto membagi kedudukan (status) ke dalam tiga bagian, yaitu : 1. Ascribed status, dimana status ini sudah diperoleh secara otomatis sejak lahir. Contohnya jenis kelamin, gelar kebangsawanan, keturunan. 2. Achieved status, dimana status ini diperoleh secara sengaja, tergantung dengan kemampuan masing-masing individu dalam mencapai tujuannya. Contohnya status yang diperoleh melalui pendidikan guru, dokter, insinyur, dan lain-lain. 3. Assigned status, merupakan kombinasi antara perolehan status secara otomatis dan melalui usaha. Status ini diperoleh melalui penghargaan atau pemberian dari pihak lain, atas jasa perjuangan sesuatu untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Contohnya gelar pahlawan.
12
Lebih lanjut, Soekanto (2004) menjelaskan bahwa peranan (role) adalah : “Aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan sesuatu peranan. Peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.” Berdasarkan kedua konsep yang dikemukakan oleh Soekanto tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan dan peranan tidak dapat terpisahkan dan memiliki kaitan yang erat. Keterkaitan ini terjadi dimana peranan bisa terlaksana ketika adanya kedudukan dalam suatu status sosial. Kedudukan (status) dalam penelitian ini yaitu setiap orang yang mengambil bagian dalam kepengurusan Komite Pariwisata. Sedangkan peranan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tugas dan tanggung jawab yang dijalankan oleh setiap pengurus dalam Komite Pariwisata serta kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada pengurus Komite Pariwisata dalam mengelola kepariwisataan di Desa Blimbingsari. Kedua konsep tersebut digunakan dalam membantu menemukan jawaban bagi rumusan masalah yang kedua, yaitu untuk mengetahui status dan peranan Komite Pariwisata yang ada di Desa Wisata Blimbingsari. 2.2.6. Konsep Implikasi Menurut Shadily (1989), implikasi adalah keadaan yang terpengaruh dalam suatu masalah pada kehidupan masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang timbul dalam
13
membentuk atau mengubah sesuatu keadaan. Implikasi adalah pengaruh yang sifatnya satu arah. Maka, implikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keadaan terpengaruh yang ditimbulkan akibat dari adanya Komite Pariwisata di Desa Wisata Blimbingsari. Konsep implikasi ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga. 2.3. Teori Analisis 2.3.1. Tipologi Partisipasi Masyarakat Menurut Tosun (1999), partisipasi masyarakat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu : 1. Partisipasi spontan (spontaneous participation), yang artinya partisipasi masyarakat terjadi secara sukarela, tanpa didorong oleh pihak luar. Bentuk ini merupakan bentuk yang ideal dari partisipasi masyarakat. Namun, untuk penjelasan lebih terperinci lagi, jenis partisipasi ini terbagi dalam beberapa dimensi, sebagai berikut : a. Partisipasi aktif (active participation), dimana dapat terjadi jika masyarakat mencapai tujuan yang ditetapkan sendiri dan mendapatkan kepuasan. Contohnya adalah ketika masyarakat melakukan perannya secara bebas dan memiliki kehendak bebas untuk mengambil keputusan.
14
b. Partisipasi langsung (direct participation), dimana adanya interaksi langsung kepada masyarakat untuk mengambil keputusan dan masyarakat secara langsung dapat menyampaikan aspirasinya. c. Partisipasi tidak resmi (informal participation), adanya interaksi yang terjadi di luar status resmi partisipasi antara pemimpin lokal dan pihak pengembangan masyarakat. d. Partisipasi yang asli (authentic participation), adanya kesadaran masyarakat
untuk
menjadi
penanggungjawab
sepenuhnya
atas
keputusan yang telah diambil, dimana mengharapkan bagian yang lebih besar dari hasil pengembangan. Biasanya partisipasi ini menunjukkan keterlibatan masyarakat lokal yang mana mereka bukan hanya membutuhkan perubahan dalam bidang politik nasional, tetapi juga menginginkan sebuah perubahan dalam bidang ekonomi. 2. Partisipasi terdorong (induced participation), dimana adanya dukungan, perintah dan secara resmi disetujui. Jenis partisipasi ini paling sering ditemui di negara-negara berkembang, dimana pemerintah memiliki peran utama untuk memulai aksi partisipatif melalui strategi-strategi untuk mendorong dan melatih pemimpin lokal agar mengambil peran memimpin, membangun, kerjasama dan mendukung masyarakat. Untuk memberikan pemahaman yang lebih tentang partisipasi ini, maka akan dibagi dalam beberapa bagian, yaitu :
15
a. Partisipasi pasif (passive participation), terjadi dimana masyarakat hanya terlibat dalam pelaksanaan dan tidak dilibatkan saat pengambilan keputusan. b. Partisipasi tidak langsung (indirect participation), dimana masyarakat tidak mengalami sendiri dan keputusan yang diambil tidak disampaikan langsung, namun melalui perwakilan lembaga atau kelompok tertentu yang ditunjuk secara umum. c. Partisipasi resmi (formal participation), dimana sudah terstatus dan disetujui secara resmi, yaitu peraturan dan batasan partisipasinya ditetapkan oleh pemerintah. d. Partisipasi semu (pseudo participation), dimana masyarakat tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, tetapi masyarakat terlibat dalam pelaksanaan keputusan yang telah diambil oleh pihak lain. 3. Partisipasi terpaksa (coercive participation), merupakan bentuk partisipasi yang paling ekstrim, dimana masyarakat diwajibkan dan dimanipulasi oleh pihak penguasa untuk terlibat dalam pengembangan. Mungkin dalam jangka pendek, ada hasil secara langsung. Namun, dalam jangka panjang, partisipasi ini akan kehilangan dukungan dari masyarakat, tidak menghasilkan bahkan mengikis minat masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas pengembangan. Tipologi partisipasi masyarakat menurut Tosun ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama. Hasil yang ditemukan di Desa Wisata Blimbingsari akan dianalisis, setelah itu dicocokkan dengan tipe-tipe
16
partisipasi masyarakat yang ada. Hasil analisis yang karakteristiknya paling mendekati dengan kenyataan di lapangan akan menunjukkan jenis partisipasi yang ada di lokasi penelitian. 2.3.2. Teori Struktural Fungsional Teori struktural fungsional yang dikemukakan oleh Parsons (Ritzer dan Goodman, 2008) adalah sebuah teori yang memberikan pemahaman tentang masyarakat berdasarkan pada sistem organik dalam ilmu biologi. Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan statusnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Hal ini juga dialami oleh masyarakat dalam sistem pengelolaan sebuah destinasi wisata, dimana sebuah masyarakat memiliki status serta perannya masing-masing. Parson juga mengembangkan apa yang dinamakan dengan imperatifimperatif fungsional, dimana menjadi syarat yang berfungsi untuk mempertahankan sebuah sistem yang ada. Imperatif-imperatif fungsional tersebut adalah adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency).
1. Adaptation (adaptasi), artinya sebuah sistem diibaratkan makhluk hidup, artinya agar dapat terus berlangsung hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung.
17
2. Goal Attainment (pencapaian tujuan), artinya sebuah sistem harus memiliki suatu arah yang jelas dan dapat berusaha mencapai tujuan utamanya. Dalam syarat ini, sistem harus dapat mengatur, menentukan dan memiliki sumberdaya untuk menetapkan dan mencapai tujuan yang bersifat kolektif. 3. Integration (integrasi), artinya sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. 4. Latency (latensi), atinya sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Teori struktural fungsional ini akan dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua. Teori ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi upaya-upaya yang dilakukan oleh Komite Pariwisata dalam mempertahankan kinerjanya bagi eksistensi Desa Wisata Blimbingsari.
18