BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1 Hasil Penelitian Sebelumnya Dalam penelitian Nuarta (2005) menjelaskan tentang adanya kerjasama yang dilakukan oleh pihak swasta yakni PT. Rekreasi Air Beratan Indah, Pemerintah Kabupaten Tabanan dan masyarakat Satakan Pura Ulun Danu Beratan dalam mengembangkan dan mengelola objek wisata Ulun Danu Beratan. Hal ini menandakan adanya interaksi yang baik diantara ketiga komponen tersebut untuk tercapainya tujuan yang diinginkan yaitu bekerjasama untuk mengelola objek wisata Ulun Danu Beratan secara baik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kerjasama yang dilakukan oleh tiga komponen tersebut, memperoleh banyak keuntungan yang berhubungan dengan kunjungan wisatawan ke objek wisata Ulun Danu Beratan. Penghasilan yang diperoleh secara langsung dari keterlibatan masing-masing komponen dalam aktivitas kerjasama ini meliputi: bertambahnya wisatawan yang melakukan foto dengan ular, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Tabanan, merenovasi fisik pura, di samping itu hubungan kerjasama ini memberikan peluang bisnis bagi masyarakat di sekitar objek wisata Ulun Danu Beratan dengan menjual makanan dan minuman maupun souvenir bagi wisatawan. Hubungan antara penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaan dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya memiliki kesamaan adanya kerjasama yang dilakukan oleh pihak swasta dengan masyarakat sehingga masyarakat dilibatkan dalam pengembangan pariwisata dan dapat merasakan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan
9
10
sehari-hari dengan bekerja atau terlibat dalam usaha pengembangan dan pembangunan pariwisata. Perbedaannya adalah penelitian ini membahas tentang kerjasama yang dilakukan pihak investor atau swasta dengan masyarakat atas pembangunan pengembangan usaha perhotelan yang menggunakan lahan masyarakat lokal dengan imbalan mempekerjakan masyarakat sebagai tenaga kerja perhotelan. Sedangkan dalam penelitian yang sebelumnya, kerjasama yang dilakukan oleh tiga pihak yaitu pihak swasta, pemerintah dan masyarakat mengembangkan dan mengelola daya tarik wisata Ulun Danu Beratan. Dalam penelitian Adhika (2012) menjelaskan tentang dampak pengembangan kawasan Desa Pecatu, Kuta Selatan dapat sangat dirasakan oleh masyarakat Desa Pecatu. Dampak yang ditimbulkan ada dua yaitu positif dan negatif. Dampak positifnya adalah pengembangan kawasan telah membawa dampak positif terhadap masyarakat di sekitarnya, seperti kegiatan sosial ekonomi berkembang, kegiatan sosial-budaya berkembang, munculnya kesenian baru, dan meningkatnya kunjungan wisatawan ke kawasan. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah ditemukan adanya konflik masalah lahan, tergusurnya petani penggarap, ketidakberdayaan masyarakat,
ketidakharmonisan hubungan antara sejumlah
pihak, kebebasan aktivitas ritual terganggu, serta munculnya kekuasaan baru. Hubungan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah memiliki kesamaan dalam keterlibatan masyarakat desa sangat diperlukan dalam pembangunan kawasan pariwisata. Selain itu, lokasi penelitian masih dalam sekitar Kecamatan Kuta Selatan dengan pengembangan kepariwisataannya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian sebelumnya membahas tentang pengembangan Desa Pecatu yang memiliki daya
11
tarik wisata Pura, sedangkan penelitian ini membahas mengenai pembangunan hotel bintang lima di Kawasan Lingkungan Sawangan Nusa Dua yang akan dikembangkan sebagai kawasan akomodasi pariwisata dan kerjasama yang dilakukan oleh pihak hotel dengan masyarakat lokal. 2.2 Landasan Konsep dan Teori 2.2.1 Pembangunan Pariwisata Perkembangan pariwisata di suatu daerah secara tidak langsung akan membawa pengaruh positif terhadap daerah itu sendiri. Bardgett (2000) dalam Wowor (2011), menjelaskan bahwa aktivitas dalam pembangunan pariwisata dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini bisa disaksikan dari penyerapan tenaga kerja pada sektor perhotelan, restoran dan rumah makan. Menurut Sondang P.Siagian (2008) pembangunan merupakan suatu rangkaian usaha untuk mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana serta sadar, yang ditempuh oleh suatu negara menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Modernitas yang dimaksud adalah pembangunan yang dilakukan ke arah peningkatan kualitas suatu wilayah yang lebih baik. Rangkaian usaha pembangunan ini berupa pembangunan yang terdiri dari pembangunan fisik dan pembangunan non fisik. Pembangunan fisik adalah pembangunan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat atau pembangunan yang tampak oleh mata (Kuncoro, 2010). Pembangunan fisik misalnya berupa infrastruktur, bangunan, fasilitas umum. Sedangkan pembangunan non fisik adalah jenis pembangunan yang tercipta oleh dorongan masyarakat setempat dan memiliki jangka waktu yang lama (Wresniwiro, 2007). Contoh dari pembangunan non fisik adalah berupa peningkatan perekonomian rakyat desa, peningkatan kesehatan masyarakat.
12
Dalam penelitian ini, pembangunan terfokus pada pembangunan fisik yaitu kegiatan membangun sebuah bangunan seperti gedung rumah sakit, gedung hotel, dan gedung perkantoran. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan / atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus (UU RI No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung). Pembangunan dalam sektor kepariwisataan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan membangun sebuah fisik bangunan dalam konteks pariwisata yaitu bangunan hotel bintang lima di Kawasan Lingkungan Sawangan. Pembangunan ini dapat melibatkan pihak – pihak yang bersangkutan beserta masyarakat demi mencapai suatu tujuan hidup dengan melakukan perencanaan dan pembangunan fasilitas pariwisata. 2.2.2 Hotel Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makanan, dan minum serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial serta memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan di dalam keputusan pemerintah (Sugiarto, 1996). Menurut Keputusan Dirjen Pariwisata No. 14 Tahun 1998, pengertian hotel adalah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian bangunan yang disediakan secara khusus di mana setiap orang dapat menginap dan makan serta memperoleh pelayanan dan menggunakan fasilitas lainnya dengan pembayaran. Dari definisi tersebut nampak jelas bahwa suatu
13
hotel memiliki unsur-unsur pihak yaitu adanya bangunan, kamar tidur, kamar mandi, penyediaan makanan dan minuman yang dikelola secara komersial. Sedangkan menurut SK Menparpostel No. KM 37 / PW. 340 / MPPT – 86 tentang Peraturan Usaha Penggolongan Hotel Bab 1, Pasal 1, Ayat (b) yang dikutip oleh Sulastiyono (2002) adalah hotel merupakan suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa penginapan, makan dan minuman serta jasa penunjang lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial. Menurut Damardjati (1991) penggolongan atau jenis hotel dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : 1.
Residential hotel adalah hotel di mana wisatawan tinggal lama (menetap)
dan
biasanya
bangunannya
menyerupai
apartemen,
menyediakan layanan yang diperlukan oleh penghuni, tersedia pula ruang makan dan bar. 2.
Transit hotel adalah hotel yang diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan untuk bisnis, sehingga sering disebut dengan commercial hotel. Hotel jenis ini biasanya terletak di dalam kota atau di pusat-pusat perdagangan.
3.
Resort hotel adalah hotel yang biasanya menampung orang-orang yang melakukan perjalanan untuk berlibur dan biasanya terletak di tempattempat peristirahatan seperti di pegunungan dan di daerah pantai.
Menurut
Keputusan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Nomor
KM.3/HK.001/MKP.02 tentang penggolongan kelas hotel di Indonesia menurut jenisnya dapat digolongkan menjadi dua yaitu golongan kelas hotel berbintang
14
dan golongan kelas melati atau hotel non berbintang. Golongan kelas hotel menurut peraturan ini dapat dibagi atas lima penjenjangan kelas yaitu hotel berbintang satu sampai dengan hotel bintang lima. Untuk dapat memberikan informasi kepada para tamu yang akan menginap ulang di hotel tentang standar fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing jenis dan tipe hotel, maka Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi melalui Direktorat Jenderal Pariwisata mengeluarkan suatu peraturan usaha dan penggolongan hotel (SK. No. KM37/PW.304/MPPT-86). Penggolongan hotel di Indonesia kemudian digolongkan ke dalam 5 kelas hotel, ditandai dengan bintang yaitu : 1.
Hotel Bintang 1 (*) : hotel dan penginapan pada umumnya berskala kecil dengan fasilitas yang cukup dengan perabot. Semua kamar tidur terdapat air panas dan air dingin, kamar mandi yang memadai dan pengaturan toilet, makanan yang disediakan bagi tamu, tetapi ketersediaan mereka untuk yang bukan penghuni kamar terbatas.
2.
Hotel Bintang 2 (**) : Hotel menawarkan standar yang lebih tinggi, beberapa kamar mandi pribadi, dan kebutuhan air mandi. Memiliki beberapa pilihan menu makanan disediakan tetapi ketersediaan makanan untuk yang bukan penghuni terbatas.
3.
Hotel Bintang 3 (***) : hotel yang baik ditunjuk dengan akomodasi lainnya yang luas, sejumlah kamar tidur besar dengan kamar mandi pribadi dan mandi. Fasilitas menu makanan yang beragam, tetapi makan siang dan jasa makanan di akhir pekan untuk yang bukan penghuni kamar dapat dibatasi.
15
4.
Hotel Bintang 4 (****) : hotel yang sangat baik menawarkan standar kenyamanan yang tinggi dan layanan dengan mayoritas kamar tidur yang besar menyediakan kamar mandi pribadi dan shower.
5.
Hotel Bintang 5 (*****) : hotel mewah yang menawarkan standar internasional tinggi (Tim Knowles, 1994).
Kriteria
penggolongan
kelas
hotel
menurut
Keputusan
Menteri
No.KM.03/HK.001/MKP.02 dibagi menjadi dua yaitu : 1.
Persyaratan dasar, merupakan unsur persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap hotel untuk dapat beroperasi. Unsur perlindungan publik ini diatur
oleh
peraturan
perundang-undangan
yang berlaku,
dan
merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyatakan dan kelayakan teknis operasional. Unsur ini meliputi: a.
Semua perijinan untuk suatu hotel, antara lain ijin mendirikan bangunan, dan usaha perhotelan.
b.
Kelayakan teknis instalasi atau peralatan yang dipergunakan hotel, antara lain lift, dan instalasi listrik.
c.
Sanitasi dan hygiene, pemeriksaan kualitas dan kuantitas air, pemeriksaan yang berkaitan dengan pengolahan makanan (food processing).
Termasuk
pemeriksaan
kesehatan
karyawan
pengolahan makanan atau minuman. 2.
Persyaratan Teknis Operasional, merupakan unsur persyaratan yang akan membentuk kualitas produk hotel dalam upaya pencapaian golongan kelas hotel dalam upaya pencapaian golongan kelas hotel. Unsur ini terdiri dari unsur fisik, pengelolaan, dan pelayanan.
16
Berdasarkan pengertian hotel tersebut menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa hotel dalam penelitian ini adalah hotel bintang lima yang merupakan bangunan yang sangat besar menawarkan jasa penginapan dengan fasilitas yang sangat baik, berkualitas tinggi dan lengkap, seperti kamar tidur, toilet pribadi, swimming pool/kolam renang, restoran, Spa, Gym, Wifi, dan fasilitas lainnya. 2.2.3 Kawasan Pariwisata Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan kawasan sebagai wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Paturusi (2008) menyebutkan kawasan wisata masuk dalam kawasan tertentu, di mana kawasan tertentu merupakan kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 1 menyebutkan yang dimaksud dengan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan keamanan. Selanjutnya pada pasal 14 ayat 1b dan penjelasannya, menyebutkan usaha kawasan wisata merupakan usaha yang kegiatannya membangun dan atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Kawasan wisata yang direncanakan dalam pengembangannya harus memperhatikan karakteristik kawasan tersebut baik karakteristik alam dan budaya yang menjadi potensi dalam pengembangannya. Paturusi (2008) menyebutkan
17
bahwa dalam perencanaan kawasan wisata hendaknya memperhatian prinsipprinsip sebagai berikut: 1.
Pelestarian lingkungan khusus, seperti pantai, danau, kawasan arkeologi, kawasan yang disakralkan masyarakat setempat, termasuk lahan kritis yang terkendala dalam pengembangannya.
2.
Pemeliharaan panorama lingkungan sepanjang koridor menuju kawasan perencanaan.
3.
Pengelompokkan fasilitas dan kegiatan berdasarkan jenis kegiatan (pembedaan zona bising dan tenang) dan sifat kegiatan (privasi tinggi dan zona publik).
4.
Penempatan ruang akomodasi pada pemandangan yang menarik.
5.
Fasilitas hiburan dan komersial hendaknya direncanakan memusat sehingga mudah dicapai oleh pengunjung.
6.
Pengawasan dan pembatasan pencapaian ke arah kawasan perencanaan untuk menghindari kemacetan lalu lintas,
7.
Jaringan sirkulasi internal yang efisien dan menarik.
8.
Adanya kawasan penyangga (zona hijau atau pemukiman) antara kawasan perencanaan dengan sekitarnya.
9.
Pertimbangan
jaringan
infrastruktur
(penerangan,
telekomunikasi, air kotor, dan pengelolaan sampah). 10. Rancangan arsitektur dan pertamanan yang menarik. 11. Pertimbangan pemukiman bagi pekerja. 12. Pentahapan pembangunan.
air
bersih,
18
Dapat disimpulkan bahwa kawasan pariwisata adalah wilayah yang areaareanya dibangun beberapa fasilitas pariwisata yang disediakan bagi wisatawan yang membutuhkan kebutuhan akomodasi yang utama dan telah direncanakan dari awal pembangunannya. 2.2.4 Kerjasama Menurut Dougherty dan Pfaltzgraff (1997) kerjasama dapat dijalankan dalam suatu proses perundingan yang diadakan secara nyata atau karena masing-masing pihak saling tahu sehingga tidak lagi diperlukan suatu perundingan. Kerjasama dapat didefinisikan sebagai serangkaian hubungan-hubungan yang tidak didasarkan pada kekerasan atau paksaan dan disahkan secara hukum, seperti dalam sebuah organisasi internasional seperti PBB atau uni Eropa. Aktor-aktor negara membangun hubungan kerjasama melalui suatu organisasi internasional dan rezim internasional, yang didefinisikan sebagai seperangkat aturan-aturan yang
disetujui,
regulasi-regulasi,
norma-norma,
dan
prosedur-prosedur
pengambilan keputusan di mana harapan-harapan para aktor dan kepentingankepentingan negara bertemu dalam suatu lingkup hubungan internasional . Kerjasama
dapat
tumbuh
dari
suatu
komitmen
individu
terhadap
kesejahteraan bersama atau sebagai usaha pemenuhan kepentingan pribadi. Kunci dari perilaku kerjasama ada pada sejauh mana setiap pribadi percaya bahwa yang lainnya akan bekerjasama. Hafsah (2000) mengatakan bahwa pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan (kerjasama) adalah win-win solution. Maksudnya adalah bahwa dalam kerjasama harus menimbulkan kesadaran dan saling menguntungkan kedua pihak. Saling menguntungkan dalam hal ini bukan berarti bahwa kedua pihak yang
19
bekerjasama tersebut harus memiliki kekuatan dan kemampuan yang sama serta memperoleh keuntungan yang sama besar. Akan tetapi, kedua pihak memberi kontribusi atau peran yang sesuai dengan kekuatan dan potensi masing-masing pihak, sehingga keuntungan atau kerugian yang dicapai atau diderita kedua pihak bersifat proporsional, artinya sesuai dengan peran dan kekuatan masing-masing. Sebagai contoh, Si A dan si B melakukan kesepakatan kerjasama. A memiliki sejumlah uang yang dapat dipakai untuk modal suatu usaha, namun A kurang menguasai manajemen usaha. Sementara B tidak memiliki uang, namun memiliki keahlian dalam pengelolaan usaha. Dalam hal ini, kekuatan dan peran dari A dan B tidak sama, namun mereka sepakat untuk melakukan kerjasama usaha dan menyepakati pula pembagian keuntungan yang bakal diperoleh, misalnya dengan pembagian 60% untuk A dan 40% untuk B, serta kesepakatan-kesepakatan lain. Dari ilustrasi contoh di atas, jelas bahwa dalam kerjasama, antara pihak yang bekerjasama tidak harus memiliki kekuatan yang sama besar, namun yang lebih utama adalah motivasi yang jelas dari kerjasama tersebut. Oleh karena itu, kesuksesan kerjasama tidak akan dicapai kalau hanya satu pihak saja yang berperan, sedangkan pihak lain hanya menuntut hasil. Sebelum kesepakatan kerjasama ditandatangani, harus jelas apa saja yang disepakati beserta aturan mainnya dan sanksi-sanksi, bila salah satu pihak ingkar janji dari kerjasama. Jadi dalam kerjasama usaha harus dimunculkan rasa kesadaran memiliki sense of belonging), sehingga melahirkan rasa bertanggung jawab (sense of responsibility) atas apa yang telah disepakati dalam kerjasama. Dalam penelitian ini, kerjasama yang diterapkan adalah didasarkan pada pemenuhan kepentingan pribadi, di mana hasil yang menguntungkan kedua belah
20
pihak antara pihak hotel dengan masyarakat lokal Lingkungan Sawangan yaitu masyarakat menyetujui pihak hotel untuk menggunakan lahan mereka sebagai lahan pembangunan hotel dan pihak hotel menyerap tenaga kerja dari masyarakat lokal. 2.2.5 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Sankat dan Clement (2002) dalam Rudito dan Famiola (2007) mendefinisikan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas. Secara umum, CSR dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui peningkatan kemampuan manusia sebagai individu untuk beradaptasi dengan keadaan sosial yang ada, menikmati, memanfaatkan, dan memelihara lingkungan hidup yang ada. CSR merupakan salah satu wujud partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan untuk mengembangkan program kepedulian perusahaan kepada masyarakat sekitar melalui penciptaan dan pemeliharaan keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Kotler (2005) menyebutkan beberapa bentuk program CSR yaitu cause promotions, cause-related marketing, corporate social marketing, corporate philanthrophy, dan corporate volunteering. 1.
Cause Promotions
Dalam cause promotions ini perusahaan berusaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai suatu isu tertentu, dimana isu ini tidak harus berhubungan atau berkaitan dengan bisnis perusahaan, dan kemudian perusahaan mengajak
21
masyarakat untuk menyumbangkan waktu, dana atau benda mereka untuk membantu mengatasi atau mencegah permasalahan tersebut. Dalam cause promotions ini, perusahaan dapat melaksanakan programnya secara sendiri ataupun bekerjasama dengan lembaga lain. Mengajak orang untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan acara tertentu, misalnya, mengikuti gerak jalan dan mengadakan kegiatan jalan sehat bersama dengan karyawan dan masyarakat. 2.
Cause-Related Marketing
Dalam cause related marketing, perusahaan akan mengajak masyarakat untuk membeli atau menggunakan produknya, baik itu barang atau jasa, dimana sebagian dari keuntungan yang didapat perusahaan akan didonasikan untuk membantu mengatasi atau mencegah masalah tertentu. Contoh cause related marketing dapat berupa setiap produk tertentu yang terjual, maka sekian persen akan didonasikan,setiap pembukaan rekening atau account baru, maka beberapa rupiah akan didonasikan. 3.
Cause related marketing
Cause related marketing ini dilakukan perusahaan dengan tujuan untuk mengubah perilaku masyarakat (behavioral changes) dalam suatu isu tertentu. Biasanya cause related marketing, berfokus pada bidang kesehatan (health issues), misalnya mengurangi kebiasaan merokok, HIV/AIDS, dan kanker; bidang keselamatan (injury prevention issues), misalnya keselamatan berkendara dan pengurangan peredaran senjata api; bidang lingkungan hidup (environmental issues), misalnya konservasi air, polusi, dan pengurangan penggunaan pestisida;
22
bidang masyarakat (community involvement issues), misalnya memberikan suara dalam pemilu, menyumbangkan darah, dan perlindungan hak-hak binatang. 4.
Corporate Philanthrophy
Corporate Philanthrophy mungkin merupakan bentuk CSR yang paling tua. Corporate Philanthrophy ini dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan kontribusi / sumbangan secara langsung dalam bentuk dana, jasa atau alat kepada pihak yang membutuhkan baik itu lembaga, perorangan ataupun kelompok tertentu. Corporate philanthrophy dapat dilakukan dengan menyumbangkan uang secara langsung, misalnya memberikan beasiswa kepada anak-anak yang tidak mampu. Memberikan barang / produk, misalnya memberikan bantuan peralatan tulis untuk anak-anak yang belajar di sekolah-sekolah terbuka. Memberikan jasa, misalnya memberikan bantuan imunisasi kepada anak-anak di daerah terpencil. Memberi ijin untuk menggunakan fasilitas atau jalur distribusi yang dimiliki oleh perusahaan, misalnya sebuah hotel menyediakan satu ruangan khusus untuk menjadi showroom bagi produk-produk kerajinan tangan rakyat setempat. 5.
Corporate Volunteering
Corporate Volunteering adalah bentuk CSR di mana perusahaan mendorong atau mengajak karyawannya ikut terlibat dalam program CSR yang sedang dijalankan dengan jalan mengkontribusikan waktu dan tenaganya. Beberapa contoh corporate volunteering yaitu perusahaan mengorganisir karyawannya untuk ikut berpartisipasi dalam program CSR yang sedang dijalankan oleh perusahaan, misalnya sebagai staf pengajar, perusahaan memberikan dukungan dan informasi kepada karyawannya untuk ikut serta dalam program-program CSR yang sedang dijalankan oleh lembaga-lembaga lain, dimana program-program CSR tersebut
23
disesuaikan dengan bakat dan minat karyawan, memberikan kesempatan (waktu) bagi karyawan untuk mengikuti kegiatan CSR pada jam kerja, dimana karyawan tersebut tetap mendapatkan gajinya, memberikan bantuan dana ke tempat-tempat dimana karyawan terlibat dalam program CSR. Banyaknya dana yang disumbangkan tergantung pada banyaknya jam yang dihabiskan karyawan untuk mengikuti program CSR di tempat tersebut. CSR dalam penelitian ini adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap perusahaan yakni hotel sebagai penyelenggara untuk membantu kemajuan hidup masyarakat yang lebih baik dengan memberikan bantuan-bantuan yang berguna bagi kesejahteraan masyarakat. CSR yang diterapkan dalam penelitian ini adalah bentuk CSR Corporate Philanthrophy. 2.2.6 Partisipasi Masyarakat Menurut Sumaryadi (2010), partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil – hasil pembangunan. Menurut Soetomo (2006), mengemukakan partisipasi masyarakat adalah keikutsertaaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan. Ada lima cara untuk melibatkan keikutsertaan masyarakat yaitu: 1.
Survei dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan.
24
2.
Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melakukan tugasnya sebagai agen pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan.
3.
Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
4.
Perencanaan melalui pemerintah lokal.
6.
Menggunakan strategi pembangunan komunitas (community development)
Menurut Slamet (2003), berdasarkan pengertian partisipasi, maka partisipasi dalam pembangunan dapat dibagi menjadi lima jenis : 1.
Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya.
2.
Ikut memberi input dan menikmati hasilnya.
3.
Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung.
4.
Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input.
5.
Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menerima hasilnya. Dengan adanya definisi mengenai partisipasi masyarakat, penelitian ini
mengarah kepada keterlibatan masyarakat untuk bersama-sama mendukung pembangunan dalam kepariwisataan dalam bentuk keikutsertaan masyarakat dan juga menikmati hasil dari pembangunan yang dilakukan demi tercapainya kehidupan masyarakat yang berkualitas tentang adanya isu pariwisata di lingkungannya.