BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan teori keagenan yang menjelaskan hubungan antara manajemen perusahaan (agen) dan pemegang saham (principal). Konflik antar kelompok atau Agency Conflict merupakan konflik yang timbul antara pemilik, dan manajer perusahaan dimana ada kecenderungan manajer lebih mementingkan tujuan individu daripada tujuan perusahaan. Principal merupakan pemegang saham sedangkan agen adalah manajemen yang melakukan pengelolaan perusahaan (Rahmawati, 2012).
Dalam praktiknya sering terjadi suatu konflik antara pihak manajemen dengan pemegang saham. Konflik tersebut sering terjadi karena manajer cenderung mengutamakan kepentingan pribadi (Rahmawati, 2012). Kepentingan pribadi manajer terlihat melalui kecenderungan manajer untuk menggunakan free cash flow untuk over investment dan untuk memenuhi keinginan pribadi mereka seperti gaji yang lebih tinggi (Richardarson, 2005).
10
11
Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya masalah keagenan (Colgan, 2001 dalam Yuniasih, dkk, 2012), yaitu : 1. Moral Hazard Biasanya terjadi pada perusahaan besar, dimana manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. 2. Penahanan Laba (Earnings Retention) Masalah ini cenderung untuk melakukan investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau penghargaan
bagi
dirinya,
namun
dapat
menghancurkan
kesejahteraan pemegang saham. 3. Horizon waktu Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dengan mana prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. 4. Penghindaran Resiko Manajerial Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya, sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari keputusan investasi yang meningkatkan
12
risikonya. Misalnya manajemen lebih senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman utang, karena mengalami kebangkrutan atau kegagalan. Masalah keagenan dapat merugikan pihak prinsipal (pemilik) karena tidak terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan sehingga kurang mengetahui informasi yang memadai. Manajemen sebagai agen memiliki wewenang untuk mengelola aktiva perusahaan sehingga bisa melakukan Transfer Pricing dengan tujuan menurunkan beban pajak yang dibayarkan ke negara.
B. Teori Legitimasi Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial (Suchman, 1995 dalam Kirana, 2009). Legitimasi dianggap penting bagi perusahaan dikarenakan legitimasi masyarakat kepada perusahaan menjadi faktor yang strategis bagi perkembangan perusahaan ke depan.
O’Donovan (2000) berpendapat legitimasi organisasi
dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian legitimasi memiliki manfaat untuk mendukung keberlangsungan hidup suatu perusahaan. Legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah individu dan
13
kelompok masyarakat, Gray et al. (1996: 46) dalam Ahmad dan Sulaiman (2004). Untuk itu, sebagai suatu sistem yang mengutamakan keberpihakan atau kepentingan masyarakat. Operasi perusahaan harus sesuai dengan harapan dari masyarakat. Deegan, Robin dan Tobin (2002) dalam Fitriyani (2012) menyatakan legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai (congruent) dengan eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam. Dasar pemikiran teori ini adalah organisasi atau perusahaan akan terus berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan tahunan mereka untuk menggambarkan kesan tanggung jawab lingkungan, sehingga mereka diterima oleh masyarakat.
C. Signaling Theory Teori ini menekankan kepada pentingnya informasi dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi merupakan catatan penting suatu perusahaan baik di masa lalu, saat ini maupun di masa yang akan datang. Teori sinyal menunjukkan adanya asimetris informasi anatara manajemen perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan
14
informasi tersebut
dan mengemukakan tentang
bagaimana perusahaan
memberikan sinyal-sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Informasi
yang
dipublikasikan
sebagai
suatu
pengumuman
akan
memberikan sinyal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pelaku pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut dan diterima oleh para pelaku pasar. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain (Jogiyanto, 2000). Sama halnya jika dikaitkan dengan hubungan kinerja dengan pengungkapan sosial atau lingkungan, yaitu jika suatu perusahaan memiliki kinerja finansial yang tinggi maka dapat memberikan sinyal positif bagi investor atau masyarakat melalui laporan keuangan atau laporan tahunan yang akan diungkapkan.
D. Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan merupakan salah satu pajak langsung yang dapat dipungut pemerintah pusat atau pajak negara. Sebagai pajak langsung maka beban pajak tersebut menjadi tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam arti beban pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan pada pihak lain. Sebagai pajak langsung, Pajak Penghasilan dipungut secara periodik terhadap kumpulan penghasilan yang diperoleh atau diterima Wajib Pajak selama satu tahun pajak. Definisi penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, menyatakan bahwa penghasilan adalah: Sedangkan penghasilan sendiri didefinisikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang
15
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam betuk apapun. Sedangkan Definisi pajak penghasilan menurut Siti (2003:74) dalam buku yang berjudul Perpajakan: Teori dan Kasus, menyatakan bahwa pajak penghasilan adalah: Pajak Penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukkan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam masa atau tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang langsung dikenakan kepada Wajib Pajak yang telah mendapat Penghasilan Kena Pajak (PKP), yang dibayarkan tiap bulan dengan perhitungan penghasilan selama satu tahun, yang digunakan untuk kepentingan bersama tanpa mendapat imbalan secara langsung. 1. Deffered Tax Expense (Beban pajak tangguhan) Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu. Dampak PPh dimasa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih
16
besar dimasa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil dimasa datang. Bila dampak pajak dimasa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya. Dalam hal ini pajak tangguhan akan dihitung dengan menggunakan tarif yang berlaku atau efektif akan berlaku di masa yang akan datang. Dalam praktek, biasanya pajak tangguhan dihitung dengan tarif PPh yang tertinggi yaitu sebesar 30%, meskipun tarif yang sebenarnya berlaku bersifat progresif. Lapisan tarif PPh sebesar 10% dan 15% dianggap tidak terlalu material untuk diperhitungkan. Di samping itu, kedua lapisan tarif PPh tersebut biasanya dipergunakan untuk menghitung pajak kini. Meskipun pajak tangguhan berkaitan dengan dampak pajak dimasa datang, namun dalam pengukurannya tidak boleh didiskonto (Discounted). 2. Metode Penangguhan Pajak penghasilan Metode alokasi pajak digunakan untuk mempertanggungjawabkan pengaruh-pengaruh pajak dan bagaimana pengaruh-pengaruh tersebut harus disajikan dalam laporan keuangan. Ada tiga metode untuk mengalokasikan pajak, (Kieso dan Weygant, 2001 : 1067-1068) antara lain :
17
a. Deferred Method (Metode Penangguhan) Metode ini menggunakan pendekatan laba rugi (Income Statement Approach) yang memandang perbedaan perlakuan antara akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang laporan laba rugi, yaitu kapan suatu transaksi diakui dalam laporan laba rugi baik dari segi komersial maupun fiskal. Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan waktu dan perbedaan permanen. Hasil hitungan dari pendekatan ini adalah pergerakan yang akan diakui sebagai pajak tangguhan pada laporan laba rugi. Metode ini lebih menekankan Matching Principle pada periode terjadinya perbedaan tersebut. Namun, perkembangan dunia bisnis dan akuntansi telah sedemikian pesatnya sehingga muncul transaksi-transaksi yang tidak diakui dalam laporan laba rugi tetapi langsung diakui sebagai bagian dari ekuitas misalnya keuntungan atau kerugian dari surat berharga yang siap untuk dijual kapan saja. Apabila menggunakan pendekatan laba rugi transaksi seperti itu tidak dapat terdeteksi, sehingga pendekatan ini dipandang kurang relevan. b. Asset-Liability Method (Metode Aktiva-Kewajiban) Metode ini menggunakan pendekatan neraca (Balance Sheet Approach) yang menekankan pada kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi keuangan dan memprediksikan aliran kas pada masa yang akan datang. Pendekatan neraca memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang
18
neraca, yaitu perbedaan antara saldo buku menurut komersial dan dasar pengenaan pajaknya. Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan temporer dan perbedaan non temporer. Pada metode ini terjadi pengakuan pajak tangguhan (Deferred Tax) atas konsekuensi pajak dimasa mendatang berupa aktiva (kewajiban) pajak tangguhan yang harus dilaporkan di neraca. Beban pajak tangguhan dilaporkan di laba rugi bagian taksiran PPh sebagai komponen pajak tangguhan, sedangkan penghasilan pajak tangguhan harus dilaporkan di laba rugi sebagai komponen negatif dari beban pajak tangguhan. c. Net-of-Tax Method (Metode Bersih dari Pajak) Pada metode ini tidak ada pajak tangguhan yang diakui. Konsekuensi pajak atas perbedaan temporer tidak dilaporkan secara terpisah, sebaliknya diperlakukan sebagai penyesuaian atas nilai aktiva atau kewajiban tertentu dan penghasilan atau beban yang terkait. Dalam metode ini, beban pajak yang disajikan dalam laporan laba rugi sama dengan jumlah pajak penghasilan yang terhutang menurut SPT tahunan.
E. Tunneling Incentive Strategi merger dan akuisisi merupakan strategi bisnis yang banyak dipilih oleh perusahaan agar tetap unggul dalam persaingan. Motivasi perusahaan melakukan merger dan akuisisi adalah untuk melakukan sinergi dan meningkatkan nilai tambah (value added) bagi seluruh pemegang saham
19
(Khanna dan Palepu, 1997 dan 2000). Strategi merger dan akuisisi di Indonesia didukung oleh pemerintah melalui Peraturan Bapepam no. IX.E.1 yang melindungi hak-hak pemegang saham minoritas. Peraturan ini menjelaskan bahwa setiap transaksi yang mengandung benturan kepentingan harus mendapat persetujuan dari pemegang saham independen (minoritas), sehingga meskipun pemegang saham utama setuju dengan sebuah transaksi atau keputusan, namun apabila pemegang saham independen (minoritas) tidak setuju, maka transaksi tersebut tetap tidak boleh dilaksanakan. Melalui rapat umum pemegang saham (RUPS), tercermin bahwa kepentingan pemegang saham independen atau minoritas terlindungi dari perilaku moral hazard yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas, karena mereka mempunyai kekuatan untuk menolak suatu transaksi benturan kepentingan yang tidak
mereka setujui,
meskipun
kepemilikan saham mereka amat kecil. Johnson et al (2000a) mendefinisikan tunneling sebagai pengalihan asset keluar dari perusahaan sehingga menguntungkan pemilik modal yang memiliki kendali terhadap perusahaan. Lemahnya perlindungan hak-hak pemegang saham minoritas, mendorong pemegang saham mayoritas untuk melakukan Tunneling yang merugikan pemegang saham minoritas (Claessens et al., 2002, dalam Yuniasih, dkk, 2012). Contoh Tunneling adalah tidak membagikan dividen, menjual aset atau sekuritas dari perusahaan yang mereka kontrol ke perusahaan lain yang mereka miliki dengan harga dibawah harga pasar, dan memilih anggota keluarganya yang tidak
20
memenuhi kualifikasi untuk menduduki posisi penting di perusahaan (La Porta et al., 2000 dalam Yuniasih, dkk, 2012). F. Kompensasi Bonus Insentif merupakan faktor yang mendukung kesuksesan sistem Transfer Pricing. Grabski (1985) menyimpulkan bahwa dalam proses Negotiated Transfer Pricing akan lebih baik kalau menggunakan insentif yang didasarkan pada laba korporasi (Corporate Profits) dari pada laba divisi (Division Profits). Temuan Spicer (1988) menunjukkan bahwa semakin besar penghasilan (Reward) yang diterima manajer divisi yang dihubungkan dengan laba korporasi, maka akan semakin besar pula dukungan manajer divisi untuk korporasi. Kompensasi bonus adalah elemen yang paling cepat tumbuh dalam total kompensasi dan seringkali merupakan bagian terbesar. Ada tiga aspek penting dalam pengelompokan program pemberian bonus : 1. Harga saham 2. Kinerja berbasis biaya, pendapatan, laba, atau investasi 3. Balanced Scorecard Dua sumber kompensasi yang paling umum adalah laba manajer dan sumber perusahaan keseluruhan berdasarkan total laba perusahaan. Dua cara umum dalam perhitungan bonus adalah tunai dan saham. Tunai dan saham dapat diberikan saat ini ataupun ditangguhkan ke tahun-tahun mendatang. Saham dapat diberikan secara langsung atau diberikan dalam bentuk opsi saham.
21
1. Dasar Komponen Bonus Kelemahan metode Pembandingan Kinerja Sekarang dengan Kinerja Tahun Sebelumnya, dan Pembandingan Anggaran adalah bahwa situasi ekonomi dari manajer bisa saja sangat berubah dari tahun sebelumnya atau dari saat target anggaran ditetapkan, sehingga menyebabkan jumlah anggaran atau jumlah tahun sebelumnya menjadi dasar yang tidak adil untuk evaluasi dan kompensasi. Jumlah bonus dapat didasarkan pada jumlah kenaikan harga saham atau pada harga saham tersebut apakah telah mencapai sasaran tertentu yang telah ditentukan. Apabila ukuran akuntansi atau CSF digunakan, jumlah bonus dapat ditentukan melalui salah satu dari tiga cara berikut : 1. Dengan membandingkan kinerja sekarang dengan kinerja tahuntahun sebelumnya. 2. Membandingkan kinerja dengan anggaran yang telah ditentukan. 3. Membandingkan kinerja manajer dengan kinerja manajer lainnya. Setelah memilih dasar kompensasi perusahaan juga harus memilih metode untuk menghitung jumlah bonus berdasarkan tingkat kinerja aktual secara relatif terhadap targetnya. Pendekatan yang paling umum adalah perhitungan linier sederhana, yaitu semakin besar kinerja melebihi target, semakin besar jumlah bonusnya. Keuntungan dan kerugian dasar kompensasi bonus yang berbeda relatif terhadap tujuan kompensasi.
22
2. Sumber Kompensasi Manajemen Sebagai alternatif penentuan jumlah bonus bagi manajer adalah sumber perusahaan keseluruhan, yaitu dasar penentuan bonus yang tersedia bagi seluruh manajer melalui suatu jumlah yang disisihkan untuk tujuan ini. Pada umumnya, sumber perusahaan keseluruhan memberikan insentif penting untuk koordinasi antar kerjasama antar di dalam perusahaan. Manajemen dalam hal praktik transfer pricing bertujuan untuk memaksimalkan laba setelah pajak,
karena pada dasarnya Transfer
Pricing memotivasi manajer untuk meningkatkan kinerja guna agar dapat memaksimalkan laba. Berkaitan dengan Transfer Pricing, manajemen cenderung
memanfaatkan
transaksi
Transfer
Pricing
untuk
memaksimalkan laba, dan dihitung berdasarkan pada laba yang diperoleh. kompensasi bonus terkait dengan transaksi Transfer Pricing diartikan yaitu prosedur perhitungan bonus yang diperoleh oleh manajemen yang didasarkan pada laba yang diperoleh perusahaan. Jensen dan Murphy (1990) menyatakan bahwa sebagian besar penentuan kompensasi eksekutif adalah laba. Watts (1977) serta Watts dan Zimmerman(1986) menunjukkan bahwa kemungkinan besar perusahaan akan mengganti CEO-nya apabila kinerja laba perusahaan jelek. Penelitian diatas secara empiris membuktikan bahwa hubungan antara prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka akuntansi, hal ini memacu manajemen
23
untuk
memikirkan
bagaimana
angka
akuntansi
dapat
lebih
memaksimumkan kepentingannya. Penggunaan angka akuntansi sebagai dasar pemberian kompensasi dapat memicu manajer untuk memanfaatkan wewenang manajer memilih metode akuntansi dan menetapkan estimasi akuntansi untuk memaksimumkan bonus yang diperoleh (Healy, 1985). Healy menunjukkan bahwa laba suatu periode akuntansi yang lebih rendah dan target laba dapat memotivasi manajer untuk mengurangi laba yang dilaporkan dalam periode tersebut dan mentransfer laba ke periode berikutnya dengan harapan mendapat bonus dalam periode berikutnya. Jika pemberian bonus memiliki batas atas, laba suatu periode yang lebih tinggi dan batas atas target laba juga dapat memotivasi manajer untuk menunda pelaporan laba sampai periode berikutnya dengan harapan periode yang akan datang kembali memperoleh bonus. G. Transfer Pricing Perusahaan yang melakukan ekspansi bisnis secara internasional, selalu melakukan diversifikasi usanya untuk memasuki berbagai pasar. Diversifikasi adalah suatu usaha manajemen puncak untuk menghadapi ketidakpastian yang semakin tinggi dalam lingkungan bisnis yang semakin kompleks. Semakin luas proses diversivikasi yang dilakukan manajemen puncak, semakin diperlukan metode-metode untuk mengintegrasikan unit-unit organisasi yang telah di bentuk. Global ekonomi telah membawa dampak semakin meningkatnya transaksi internasional. Harga Transfer adalah jumlah nilai uang untuk setiap transfer
24
produk (barang/jasa) dari pusat pertanggungjawaban yang satu kepada pusat pertanggungjawaban yang lain atau sebaliknya. Jadi harga transfer menetapkan dengan tegas hak masing-masing manajer pusat pertanggung jawaban untuk mendapatkan laba.
Harga transfer berperan sebagai salah satu alat untuk menciptakan mekanisme integrasi, yaitu dengan kebijakan manajer pusat pertanggungjawaban bisnis unit diharuskan untuk menetapkan harga transfer yang adil bagi semua pusat pertanggungjawaban laba yang terlibat, sehingga dua atau lebih unit bisnis dapat berinteraksi dalam mencapai tujuan perusahaan. Jadi, harga transfer merupakan penetapan harga atas transaksi penyerahan produk (barang/jasa) antara pihak yang memiliki hubungan istimewa. Beberapa definisi mengenai transfer pricing secara umum adalah sebagai berikut: Harga transfer adalah penentuan harga balas jasa suatu transaksi antar unit dalam suatu perusahaan atau antar unit dalam suatu perusahaan atau antar perusahaan dalam suatu grup (Sophar ,2007) Penentuan harga (Transfer Pricing) merupakan jumlah harga atas penyerahan barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis Financial maupun transaksi lainnya (Gunadi, 2007 : 222) Harga transfer adalah jumlah nilai uang untuk setiap transfer produk (barang atau jasa) dari pusat pertanggungjawaban yang satu kepada pusat pertanggungjawaban yang lain atau sebaliknya (Sumarsan, 2012 : 233)
25
Berikut merupakan pengertian harga transfer (Transfer Pricing) secara peyoratif: Harga Transfer adalah suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artificial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara (Gunadi, 2007 : 223) Harga transfer adalah suatu perbuatan pemberian harga faktur (Invoice) pada barang-barang (juga jasa-jasa) yang diserahkan antar bagian / cabang suatu perusahaan multinasional (Rochmat, 2008 : 195) Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa harga transfer (Transfer Pricing) merupakan penentuan atau penetapan harga barang, jasa atau harta tak berwujud yang dialihkan antara divisi dalam suatu perusahaan atau dalam perusahaan yang memiliki hubungan istimewa atau perusahaan multinasional. 1. Transfer Pricing Domestik dan Multinasional Pada umumnya berdasarkan jangkauan teritorial operasi perusahaan, Transfer Pricing dapat dikelompokkan dalam Transfer Pricing domestik dan Transfer Pricing multinasional. Transfer Pricing domestik adalah harga transfer barang atau jasa antar badan dalam satu grup perusahaan atau antar divisi dalam satu perusahaan dalam satu wilayah kedaulatan negara, sedangkan transfer pricing multinasional berkenaan dengan transaksi antar divisi dalam satu unit hukum atau antar unit hukum dalam satu kesatuan ekonomi yang meliputi berbagai wilayah kedaulatan negara.
26
H. Pengertian Perusahaan Multinasional Pengertian perusahaan multinasional (Multinational Company / MNC atau Multinational Enterprise/MNE) menurut beberapa para ahli adalah sebagai berikut : Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang beroperasi diberbagai negara dengan membuka cabang, mengorganisasikan anak perusahaan atau melakukan kontrak keagenan, dan sebagainya (Gunadi, 2007 : 238 ). Perusahaan multinasional atau PMN adalah perusahaan yang berusaha di banyak negara, perusahaan ini biasanya sangat besar. Perusahaan seperti ini memiliki kantor-kantor, pabrik atau kantor cabang dibanyak negara. Mereka biasanya memiliki sebuah kantor pusat dimana mereka mengkoordinasi manajemen global. Perusahaan bisnis multinasional adalah perusahaan yang memiliki beberapa pabrik yang berdiri di negara yang berbeda-beda. Penyesuaian dengan budaya di tiap negara yang dimasuki adalah suatu keharusan untuk dapat bertahan dan sukses. Dengan mendirikan banyak unit produksi di negara lain diharapkan dapat menghemat biaya ongkos produksi dan distribusi produk hingga sampai ke tangan konsumen akhir. Pengertian perusahaan multinasional menurut (Tindall 2008 : 272) adalah: Multinational enterprise is a combination of companies of different nationality connected by means of shareholdings, managerial control or contract and contituting as economic unit. Perusahaan multinasional adalah kombinasi dari perusahaan-perusahaan dari kebangsaan yang berbeda yang dihubungkan melalui kepemilikan saham, kontrol manajerial atau kontrak dan Contituting sebagai unit ekonomi.
27
Perusahaan multinasional adalah “perusahaan yang beroperasional dan memiliki cabang atau perwakilan di hampir seluruh belahan dunia” (Sumarsan, 2012 : 239) Dari definisi diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa perusahaan
multinasional adalah perusahaan yang beroperasi di wilayah antar negara, yang terikat hubungan istimewa, baik karena penyertaan modal saham, pengendalian manajemen atau penggunaan teknologi, dapat berupa anak perusahaan, cabang perusahaan, agen, dan sebagainya, dengan berbagai tujuan, antara lain untuk memaksimalkan laba setelah pajak (memini I.
Hubungan Istimewa Hubungan istimewa terjadi antara induk perusahaan dengan anak
perusahaannya atau dengan cabang-cabangnya atau perwakilannya yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri, sementara di Indonesia diatur dalam pasal 18 ayat (3), (3a), dan 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, yang menyatakan sebagai berikut : 1. Dirjen pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. 2. Dirjen pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan bekerja sama dengan otoritas pajak negara lain untuk menentukan
28
harga transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. Hubungan istimewa sebagaimana dianggap ada, apabila : a. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir. b. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnnya, atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung, atau c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/ atau samping satu derajat.
Berikut ini adalah pihak-pihak istimewa menurut PSAK No. 7 paragraf 4 adalah : 1. Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara (Intermediaries). Mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada dibawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk Holding Companies, Subsidiaries, dan Fellow Subsidiaries).
29
2. Perusahaan asosiasi (Assosiated Company). 3. Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluraga dekat adalah mereka yang diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor). 4. Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi, dan manajer dari perusahaan, serta anggota keluarga dekat orangorang tersebut. 5. Perusahaan dimana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh setiap orang yang diuraikan dalam (c) atau (d) atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Ini mencakup perusahaanperusahaan yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham dari perusahaan pelapor dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota manajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.
30
J.
Tujuan Harga Transfer Dengan globalisasi bisnis, aspek internasional dalam harga transfer menjadi
suatu perhatian penting, terutama dengan adanya isu-isu pajak. Tujuan internasional mencakup meminimalkan beban pajak, pengendalian devisa, dan berkenaan dengan resiko pengambilalihan oleh pemerintah asing. Fenomena perusahaan multinasional dalam ekspansinya cenderung mengoperasikan usahanya secara desentralisasi dan melaksanakan konsep cost revenue profit center concept, yang dapat mengukur dan menilai kinerja dan motivasi setiap divisi/unit yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan tersebut antara lain digunakan sistem harga transfer.
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam rangka aplikasi Transfer Pricing (Zain, 2007), baik bagi perusahaan domestik maupun bagi perusahaan multinasional, adalah : -
Evaluasi kinerja (mengukur hasil operasi setiap unit).
-
Motivasi manajemen (penyusunan orientasi produksi dan laba paada semua unit).
-
Pengendalian harga untuk lebih merefleksikan “Cost” dan “margin” yang seharusnya diterima dari langganan dan penetapan harga optimal.
-
Pengendalian pasar untuk mengamankan posisi komparatif perusahaan.
31
Menurut (Erly 2011:179) harga transfer memiliki tujuan diantaranya : 1. Memaksimalkan penghasilan global. 2. Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar. 3. Mengevaluasi kinerja anak/cabang perusahaan mancanegara. 4. Menghindarkan pengendalian devisa. 5. Mengatrol kredibilitas asosiasi. 6. Mengurangi resiko moneter. 7. Mengatur arus kas anak/cabang perusahaan yang memadai. 8. Membina hubungan baik dengan administrasi setempat. 9. Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk. 10. Mengurangi resiko pengambilalihan oleh pemerintah.
Menurut Gunadi (2009: 179) motivasi dilakukan Transfer Pricing khususnya di Indonesia adalah : 1. Pengurangan objek pajak (terutama pajak penghasilan). 2. Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri. 3. Penurunan pengaruh depresiasi rupiah. 4. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor. 5. Mempertahankan sikap Low Profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha.
32
6. Mengamankan
perusahaan
dari
tuntutan
atas
imbalan
atau
kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan (ekologi dan masyarakat). 7. Memperkecil akibat pembatasan, ketidakpastian atas resiko kegiatan usaha perusahaan luar negeri. Menurut (Hutagaol 2008 : 186) dalam perspektif yang lebih luas, tujuan Transfer Pricing adalah : 1. Mencapai tujuan perusahaan secara keseluruhan (The Achievement of Strategic Corporate Golas) yaitu dengan menyelaraskan tujuan dari anak-anak perusahaan (Subsidiary Company) dengan tujuan organisasi secara keseluruhan termasuk keputusan atas Transfer Pricing. 2. Meningkatkan kinerja anak-anak perusahaan dengan memberikan kebebasan dalam pengambilan
keputusan termasuk keputusan
Transfer Pricing. Dari beberapa tujuan diatas dapat di tariik kesimpulan bahwa tujuan ari penetapan Transfer Pricing adalah untuk memaksimalkan penghasilan (penghematan pajak secara global) dengan merelokasi penghasilan globalnya pada Low Tax Countries dan menggeser-geser biaya dalam jumlah yang lebih besar pada High Tax Countries.
33
3. Faktor-faktor dalam Penetapan Harga Transfer Penetapan harga transfer akan sangat berjalan efektif dan kondusif apabila didukung oleh faktor-faktor positif berikut ini : 1. Pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mempengaruhi kesuksesan organisasi,
sebagai
contoh adalah pelanggan,
karyawan, pemasok, dewan pemerintah komisaris, pemegang saham, komunitas lokal maupun profesional. Pihak-pihak yang berkepentingan ini harus memiliki keterampilan yang di tunjukkan oleh kemampuannya yang konsisten memberikan tingkat kinerja yang memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan spesifik. Jadi, dengan memiliki orang yang kompeten seperti di atas maka perusahaan akan lebih mudah mencapai tujuan organisasi. 2. Terdapat suasana yang baik dan mendukung penetapan harga transfer yang adil, yaitu antara unit yang melakukan transfer dengan unit yang menerima transfer berada pada situasi yang menang-menang (Win-Win Solution). 3. Produk yang akan dilakukan transfer sebaiknya memiliki harga pasar diluar perusahaan (A Market Price). Jika harga pasar atas produk tersedia berarti harga transfer dapat ditentukkan secara independen dan wajar, karena barang/jasa yang di transfer dari/ ke antar perusahaan dinilai berdasarkan harga pasar yang berlaku.
34
4. Terdapat kebebasan dalam menentukkan sumber perolehan barang/jaasa (Freedom to Determine the Source). Pihak pembeli memiliki hak yang bebas untuk membeli produk dari pihak luar dan pihak penjual memiliki hak yang bebas untuk menjual produk ke
pihak
luar,
pertanggungjawaban
sehingga dapat
masing-masing
memaksimalkan
laba
pusat unit
bisnis/divisinya. 5. Pihak-pihak yang berkepentingan memiliki informasi yang lengkap dalam mengambil keputusan (Full Information) tentang biaya dan pendapatan. 6. Unit bisnis/ divisi memiliki proses negosiasi.
K. Metode Pencatatan dalam Investasi Saham Kepemilikan saham perusahaan investee menyebabkan perusahaan investor menjadi bagian dari perusahaan investee. Perkembangan perusahaan investi akan berdampak pada perusahaan investor. Prinsip akuntansi yang diterima secara umum untuk pencatatan akuisisi saham biasa mewajibkan investasi tersebut dicatat pada biaya perolehannya. Ada dua metode pencatatan investasi dalam saham yaitu metode Cost (biaya), dan metode Equity (ekuitas) (Golrida, 2009) a. Metode Cost/Biaya (Kepemilikan kurang dari 20%) Persentase saham dalam perusahaan lain yang jumlahnya kurang dari 20% maka investor memandang investasi tersebut tidak dapat
35
mempengaruhi perusahaan yang saham dimilikinya. Metode Cost disebut juga metode pendapatan. Metode Cost menganut pandangan bahwa perusahaan investee adalah sumber pendapatan investor . Bila investee mengumumkan laba, hal itu belum serta merta menjadi pendapatan bagi perusahaan investor, karena berdasarkan teori akuntansi, pendapatan itu harus dibuktikan dengan adanya aliran masuk kas atau bukti akan menerima kas (piutang) (Golrida, 2009) PSAK 15 mengatur penerapan metode Cost. Menurut metode Cost, investor mencatat investasinya pada perusahaan investee sebesar biaya perolehan. Investor mengakui penghasilan hanya sebatas distribusi laba (kecuali deviden saham) yang diterima yang berasal dari laba bersih yang diakumulasikan oleh investi setelah tanggal perolehan. Dalam PSAK 4 paragraf dan PSAK 15 paragraf 9 juga mensyaratkan penerapan metode Cost sesuai dengan PSAK 13 sekalipun investasi dalam saham investee lebih dari 20%. (Golrida, 2009) Penerapan metode Cost ini disebabkan kondisi di mana investor yang memiliki hak suara diatas 20% bahkan diatas 50% tidak memiliki pengendalian atau pengaruh signifikan pada investee karena alasan-alasan tertentu yakni : 1. Pengendalian dimaksudkan untuk sementara, karena saham anak perusahaan dibeli dengan tujuan dijual kembali dalam jangka pendek.
36
2. Anak perusahaan dibatasi oleh restriksi jangka panjang sehingga mempengaruhi secara signifikan kemampuannya dalam mentransfer dana kepada induk perusahaan. 3. Penggunaan metode ekuitas atas investi tidak lagi sesuai dengan alasan-alasan tertentu. b. Metode Equity/ Ekuitas (Persentase Kepemilikan 20% sampai 50%) Pemegang saham yang kepemilikannya sebesar 20% sampai dengan 50% dari seluruh jumlah saham beredar akan mencatat akan mencatat investasinya dengan metode ekuitas (Equity Method). PSAK no.15 menyatakan bahwa metode ekuitas adalah metode akuntansi yang mencatat investasi saham sebesar harga perolehannya dan selanjutnya menyesuaikan dengan perubahan dalam bagian kepemilikan investor atas aktiva bersih perusahaan yang terjadi setelah perolehan.setiap periode akuntansi harga pokok surat berharga harus disesuaikan dengan laba atau rugi yang diperoleh perusahaan investee sebanding dengan persentase pemilikannya. Metode ekuitas disebut juga metode harta. Pendekatan metode ini adalah bahwa investee adalah harta atau kekayaan investor. Metode ini hanya bisa diterapkan jika investor memiliki pengaruh yang signifikan dalam perusahaan investee. Investor hanya menganggap investee sebagai kekayaan jika perusahaan tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dalam
37
perusahaan investee, jika tidak, investee tidak layak disebut harta kekayaan investor.
L. Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Transfer Pricing. Penelitian tersebut antara lain : 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Yuniasih, Ni Ketut Rasmini, dan Made Gede Wirakusuma (2012) yang berjudul Pengaruh Pajak dan Tunneling Incentive terhadap Keputusan Transfer Pricing menunjukkan bahwa Pajak dan Tunneling Incentive berpengaruh pada keputusan Transfer Pricing, yang menyimpulkan bahwa perusahaan Multinasional memperoleh keuntungan karena pergeseran pendapatan dari negara-negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah.pergeseran pendapatan tersebut dilakukan dengan mengatur biaya-biaya transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak terafiliasi.
2.
Dalam penelitian yang dilakukan Ratna Candra Sari (2012) dengan judul penelitian Tunneling dan Model Prediksi pada Transaksi Pihak Berelasi, menyimpulkan bahwa perusahaan yang dialihkan sumber dayanya (di Tunnel) akan mengalami penurunan kinerja keuangan dan kinerja pasar. Hal tersebut terkait dengan tindakan eksproriasi berupa manipulasi dalam Transfer Pricing pada transaksi yang dilakukan dengan pihak berelasi.
38
3.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mutaminah (2009) dengan judul Tunneling atau Value Added dalam strategi Merger dan Akuisisi di Indonesia, menyimpulkan bahwa strategi merger dan akuisisi tidak memberikan nilai tambah (Value Added) bagi pemegang saham mayoritas dan minoritas baik pada struktur kepemilikan terkonsentrasi tinggi maupun rendah. Strategi merger dan akuisisi justru digunakan sebagai tunneling terhadap pemegang saham minoritas oleh pemegang saham mayoritas. Tunneling lebih besar terjadi pada struktur kepemilikan terkonsentrasi tinggi dibanding pada struktur kepemilikan terkonsentrasi rendah. Dari penelitian ini, dalam strategi merger dan akuisisi perusahaan melakukan Tunneling dan pada akhirnya bisa melakukan transaksi Transfer Pricing, guna memaksimalkan laba yang diperoleh dari transaksi perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.
4.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryatiningsih dan Siregar (2008) dengan judul Pengaruh Kompensasi Bonus terhadap Praktik Manajemen Laba menyimpulkan adanya pengaruh antara kompensasi eksekutif yang dihitung berdasarkan skema bonus berpengaruh terhadap manajemen laba, dari penelitian ini jika dikaitkan dengan transaksi Transfer Pricing perusahaan bisa memanajemen laba melalui transaksi Transfer Pricing, dan jika laba yang diperoleh perusahaan besar, akan berdampak pada kompensasi bonus yang
39
diberikan jika dihitung berdasarkan laba yang diperoleh. Dengan tujuan memaksimalkan penerimaan bonus yang diterima.
5.
Dalam penelitian yang dilakukan Ning Rahayu (2008) yang berjudul Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) pada Foreign Direct Investment yang berbentuk Subsidiary Company (PT. PMA) di Indonesia (Suatu Kajian tentang Kebijakan Anti Tax Avoidance) menyimpulkan bahwa Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) yang pada umumnya dilakukan oleh Foreign Direct Investment yang berbentuk Subsidiary Company (PT. PMA) di Indonesia dilakukan melalui skema Transfer Pricing, Thin Capitalization, CFC, Treaty Shopping. Praktik-praktik tersebut dilakukan dengan memanfaatkan peluang-peluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan pada penelitian terdahulu yang telah dipaparkan, maka dapat diringkas melalui table sebagai berikut :
40
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Judul Penelitian
Variabel yang Digunakan
Model yang Digunakan
Hasil Penelitian
1
Ni Wayan Yuniasih, Ni Ketut Rasmini, dan Made Gede Wirakusuma (2012)
Pengaruh Pajak dan Tunneling Incentive terhadap Keputusan Transfer Pricing
Variabel Independen : Pajak, Tunneling Incentive
Model statistik regresi logistik
bahwa Pajak dan Tunneling Incentive berpengaruh pada keputusan Transfer Pricing, yang menyimpulkan bahwa perusahaan Multinasional memperoleh keuntungan karenapergeseran pendapatan dari negaranegara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah.
Ratna Candra Sari (2012)
Tunneling dan Model Prediksi pada Transaksi Pihak Berelasi
variabel independen : Tunneling,Ke pemilikan
Model Discrimina nt Analysis (MDA)
Perusahaan yang banyak melakukan transaksi berelasi yang terindikasi tunneling adalah perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi dan mempunyai tingkat free cash flow tinggi.
Model Regresi Berganda
Hasil penelitian ini adalah Terbukti bahwa strategi merger dan akuisisi tidak meningkatkan value added, tetapi juga menimbulkan adanya
2
3
Mutaminah (2009)
Tunneling atau Value Added dalam strategi Merger dan Akuisisi di
Variabel dependen : Transfer Pricing
variabel dependen : transaksi perdagangan pihak berelasi,
Variabel indenpenden : investasi Variabel dependen : reaksi pasar
41
Indonesia
dan profitabilitas perusahaan.
tunneling. Tunneling melalui strategi merger dan akuisisi pada struktur kepemilikan terkonsentrasi tinggi lebih besar dari struktur kepemilikan terkonsentrasi rendah dan perbedaannya signifikan. Hasil
Variabel Kontrol : Ukuran Perusahaan
4
5
Suryatiningsih dan Siregar (2008)
Ning Rahayu (2008)
Pengaruh Kompensasi Bonus terhadap Praktik Manajemen Laba
Variabel Independen : Kompensasi Bonus
Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) pada Foreign Direct Investment yang berbentuk Subsidiary Company (PT. PMA) di
Variabel Independen : Praktek Penghindaran Pajak
Model Regresi Linier Berganda
Hasil penelitian adalah adanya pengaruh antara kompensasi eksekutif yang dihitung berdasarkan skema bonus berpengaruh terhadap manajemen laba, dari penelitian ini jika dikaitkan dengan transaksi Transfer Pricing perusahaan bisa memanajemen laba melalui transaksi Transfer Pricing, dan jika laba yang diperoleh perusahaan besar, akan berdampak pada kompensasi bonus yang diberikan jika dihitung berdasarkan laba yang diperoleh.
Model Penelitian menggunak an Mixed Approach (Kualitatif dan Kuantitatif
menyimpulkan bahwa Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) yang pada umumnya dilakukan oleh Foreign Direct Investment yang berbentuk Subsidiary Company (PT. PMA) di Indonesia dilakukan melalui skema Transfer Pricing, Thin Capitalization, CFC, Treaty Shopping.
Variabel Dependen : Manajemen Laba
Variabel Dependen : Penanam Modal Asing
42
Indonesia
Praktik-praktik tersebut dilakukan dengan memanfaatkan peluangpeluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku.
Sumber : Dari berbagai Jurnal, Skripsi, dan Disertasi
M. Kerangka Pemikiran Dan Perumusan Hipotesis Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Pajak, Tunneling Incentive, dan Kompensasi Bonus. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah Transfer Pricing.
1. Pengaruh Pajak terhadap Transfer Pricing Perencanaan
pajak
yang
sering
digunakan
oleh
perusahaan
multinasional, yaitu Transfer Pricing, Thin Capitalization, Capital Repatriation, Foreign-Exhange Control, International Double Taxation dan Foreign Tax Credit, Tax Treaty Protection/Facilities, Establishment of Representative, Branch or Subsidiary (Santoso, 2007, p. 39). Menurut Shapiro sebagaimana dikutip Rahayu bahwa dari aspek manajemen keuangan, Transfer Pricing dapat merupakan instrument perencanaan dan pengendalian mekanisme arus sumber daya entitas ekonomi bagi perusahaan secara keseluruhan (Rahayu, 2007, p. 64). Klassen et al., 1993, dalam Yuniasih, dkk 2012) menemukan bahwa terjadi pergeseran
43
pendapatan oleh perusahaan multinasional sebagai respon terhadap tingkat perubahan pajak di Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat. Perusahaan multinasional menggeser pendapatan dari Kanada ke AS, sedangkan penurunan tarif pajak di Eropa menggeser pendapatan dari AS ke Eropa. Jacob 1996, dalam Yuniasih, dkk, 2012 menemukan bahwa transfer antar perusahaan besar dapat mengakibatkan pembayaran pajak lebih rendah secara global pada umumnya. Penelitian tersebut menemukan bahwa perusahaan multinasional memperoleh keuntungan karena pergeseran pendapatan dari negara-negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah. Namun, mitigasi pajak juga ada peluang untuk penjualan domestik antara perusahaan terkait karena perbedaan tingkat pajak. Pajak bisa berpengaruh pada Transfer Pricing, karena prinsip harga wajar (Arms Lengh) tidak digunakan, tetapi perusahaan cenderung menggunakan Transfer Pricing guna memaksimalkan laba yang diperoleh. Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Pajak berpengaruh pada keputusan Transfer Pricing.
2. Pengaruh Tunneling Incentive terhadap Transfer Pricing Dalan Agency Conflict sering kali timbul permasalahan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas, terkait dengan pembagian deviden. Karena pemegang saham mayoritas, lebih memiliki kendali terhadap perusahaan, dibandingkan dengan pemegang saham minoritas yang hanya mendapatkan sesuai dengan persentase kepemilikannya.Struktur
44
Kepemilikan mencerminkan jenis konflik keagenan yang terjadi. Ada 2 macam struktur kepemilikan, yaitu struktur kemilikan tersebar dan struktur kepemilikan terkonsentrasi (Mutamimah, 2008). Struktur kepemilikan tersebar mempunyai ciri bahwa manajemen perusahaan dikontrol oleh manajer (La Porta et al., 2000, dalam Yuniasih, dkk, 2012). Manajer lebih mengutamakan kepentingannya dibanding kepentingan pemegang saham. Dalam struktur kepemilikan ini, pemegang saham secara umum tidak bersedia melakukan monitoring, karena mereka harus menanggung seluruh biaya monitoring dan hanya menikmati keuntungan sesuai dengan proporsi kepemilikan saham mereka. Jika semua pemegang saham berperilaku sama, maka tidak akan terjadi pengawasan terhadap manajemen (Zhuang et al., 2000, dalam Yuniasih, dkk, 2012) Kebanyakan perusahaan di Asia memiliki struktur kepemilikan yang terkosentrasi dibandingkan dengan perusahaan di Amerika dan Eropa yang lebih tersebar struktur kepemilikannya. Claessen et al., (1999) dan Arifin (2003) dalam Dyanty et al., (2012) menemukan lebih dari 50% perusahaan di Indonesia dikontrol oleh keluarga. Kepemilikan yang terkosentrasi sebagi pemegang saham pengendali memiliki hak kontrol dan hak arus kas di pihak tertentu (keluarga, pemerintah, istitusi keuangan yang dimiliki secara luas, atau lain-lain). Struktur kepemilikan yang terkosentrasi dapat menimbulkan potensi pada pemegang saham pengendali untuk terlibat lebih jauh dalam mengelola perusahaan serta memperoleh kekuasaan dan insentif untuk dapat
45
bernegosiasi dan mendorong kontrak perusahaan dengan Stakeholders (Dyanty et al., 2012). Menurut Johnson
et al.,
(2000) dalam Guing dan Aria (2011)
Tunneling dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu: 16 1. Pemegang saham pengendali memindahkan sumber daya perusahaan untuk kepentingan sendiri melalui transaksi pihak hubungan istimewa yang dapat diatur sedemikian rupa. Transaksi tersebut dapat dalam bentuk penjualan aset maupun kontrak penjualan seperti menguntungkan
Transfer Pricing yang hanya
pemegang
saham
pengendali
dan
mengeksploitasi peluang-peluang yang ada pada perusahaan. 2. Pemegang saham pengendali dapat meningkatkan sahamnya tanpa memberi kontribusi perusahaan dengan cara
aset
porsi
apapun bagi
isu-isu saham dilutif, pembatasan
terhadap pemegang saham non-pengendali, atau transaksi lainya yang dapat merugikan pemegang saham non-pengendali. Tunneling dapat juga dilakukan dengan cara menjual produk perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer
dengan
harga
yang
lebih
rendah
dibandingkan
mempertahankan posisi/jabatan pekerjaannya meskipun mereka sudah tidak kompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya atau menjual aset perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer (Dwinanto, 2010). (Lo et al., 2010 dalam Yuniasih,
46
dkk, 2012 ) menemukan bahwa konsentrasi kepemilikan oleh pemerintah berpengaruh pada keputusan Transfer Pricing . Penelitian Johnson et al., (2000) dan Cheung (2006) terbukti bahwa di negara berkembang,
pemilik saham mayoritas terlibat
dalam
praktek
ekspropriasi atau tunneling yang dilakukan terhadap pemegang saham minoritas. Oleh karena itu, penelitian ini menduga bahwa : H2 : Tunneling Incentive berpengaruh pada keputusan Transfer Pricing. 3. Kompensasi Bonus dan Transfer Pricing Kompensasi Bonus mempengaruhi keputusan perusahaan dalam melakukan Transfer Pricing, dengan tujuan untuk memaksimalkan laba yang diterima, tetapi mengurangi harga pokok barang. Biasanya manajemen cenderung menghitung kompensasi bonus berdasarkan pada laba yang mereka terima, karena dengan perusahaan melakukan Transfer Pricing laba yang diperoleh akan besar dan nantinya berdampak pada bonus yang diterima oleh manajemen besar. Insentif merupakan faktor yang mendukung kesuksesan sistem Transfer Pricing. Grabski (1985) menyimpulkan bahwa dalam proses Negotiated Transfer Pricing akan lebih baik kalau menggunakan insentif yang didasarkan pada laba korporasi (Corporate Profits) dari pada laba divisi (Division Profits). Temuan Spicer (1988) menunjukkan bahwa semakin besar penghasilan (Reward) yang diterima manajer divisi yang dihubungkan
47
dengan laba korporasi, maka akan semakin besar pula dukungan manajer divisi untuk korporasi. Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H3 : Kompensasi Bonus berpengaruh pada keputusan Transfer Pricing. N. Model Penelitian