BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori 1.
Agency Theory Agency Theory adalah teori yang menjelaskan hubungan principal dan agen berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori principal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Principal membuat suatu kontrak dengan agen, dengan harapan agen akan bertindak melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh principal (Halim dan Abdullah, 2006). Agency Theory, dapat digunakan untuk menunjukkan bagaimana pemilik dari suatu perusahaan berada dalam posisi rentan terhadap (manipulasi) manajer. Lebih jauh, Agency Theory mengklaim bahwa agen, sejauh mereka rasional, selalu bertindak opportunis. Agency Theory memberikan karakterisasi yang sangat baik terhadap masalah yang muncul terkait dengan manfaat dana pensiun (Heath, 2009) Agency Theory, awalnya dikonsep oleh Jensen dan Meckling (1976) untuk menganalisa hubungan yang terjadi ketika seorang individu (principal) mengakui otoritas lain (agen) untuk bertindak atas nama principal, sehingga menghasilkan keuntungan pada kekayaan yang dikelola dengan keputusan yang diadopsi oleh agen. Menurut teori, memisahkan kepemilikan dari kontrol dapat mengakibatkan biaya untuk principal, yang dikenal sebagai
18
biaya
agensi,
sehingga
membutuhkan
mekanisme
mahal
untuk
mengendalikan biaya-biaya tersebut. Biaya agensi muncul karena agen melakukan sesuatu untuk mengejar keuntungan yang belum tentu bertepatan dengan kepentingan principal (Cuevas-Rodríguez, Gomez-Mejia dan Wiseman, 2012). Seringkali pengusaha menghindari risiko mencari pendanaan dengan menjual sebagian dari kepemilikan saham untuk investor luar, karena khawatir dengan moral hazard (Bitler, Moskowitz, dan VissingJørgensen, 2005). Teori keagenan menyebutkan bahwa tata kelola perusahaan yang baik adalah dengan adanya pengawasan dan mengakomodir apa yang menjadi kepentingan agen. Dalam teori keagenan klasik, oleh Fama, Jensen, Meckling, dan Mizruchi, menyebutkan bahwa peran utama dewan direksi (komisaris) adalah untuk memonitor manajer untuk memastikan bahwa mereka tidak menyimpang secara substansial dari kepentingan principal dan bahwa mereka mengambil tindakan memaksimalkan return (Lan dan Heracleous, 2010) Investor eksternal yang menyediakan modal saham yang akan mendapatkan berbagai hak seperti pendapatan, suara, dan hak kontrol, telah menjadikan pemegang saham sebagai "Principal" dan manajer sebagai mereka "Agen" (Buchanan, Chai dan Deakin, 2014). Hubungan principalagen harus mencerminkan efisiensi informasi organisasi dan biaya yang terkait risiko, sehingga dilakukan dengan membuat kontrak antara principalagen dan memberikan remunerasi kepada agen atas prestasinya (Reikli,
19
2013). Kepentingan agen dan principal menurut teori agency dapat menyimpang, atau bahwa agen dapat mengejar kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan kepentingan perusahaan. Masalah keagenan adalah memang nyata dan universal, bahwa ada seseorang (principal) yang meminta orang lain (agen) untuk mengelola investasi atau aset mereka, dengan imbalan kompensasi, di mana ada perbedaan kepentingan dan ada asimetri informasi antara mereka (Heracleous dan Lan, 2012). Di dalam perusahaan keluarga sekalipun, juga terjadi konflik kepentingan antara keluarga sebagai pemilik dan yang menjalankan perusahaan yang menimbulkan biaya agency (Zellweger dan Kammerlander, 2015). Biaya agensi yang terkait dengan pengendalian, pemantauan dan mengkoordinasikan kegiatan agen dalam hierarki perusahaan akan menyebabkan biaya transaksi pasar yang timbul akibat oportunisme di pasar dan keterbatasan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah dan pengolahan informasi yang kompleks (Zhang, 2009) Teori keagenan mengasumsikan bahwa ada hubungan kontraktual antara beberapa pihak dan oleh karena itu kedua pihak yang melakukan kontrak, salah satu ada pelaksana yang disebut sebagai principal, dan kemudian di sisi lain ada pengawas disebut agen. Principal akan mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agen dan berharap bahwa agen akan melakukan tindakan tertentu untuk mendapatkan bonus. Principal dan agen dianggap sebagai orang rasional yang dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri, yang mungkin berbeda tergantung pada preferensi,
20
keyakinan dan informasi yang dimiliki. Principal
diharapkan dapat
memberikan modal dan menanggung risiko, sementara agen diharapkan untuk melakukan tugas, membuat keputusan mendukung principal dan ikut menanggung risiko (Boučková, 2015) Teori agensi menyatakan bahwa eksekutif akan menggunakan informasi lebih yang mereka miliki untuk mengeksploitasi pemilik kecuali ada pengawasan yang efektif atau insentif agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Teori keagenan menyebutkan bahwa informasi asimetris yang ada antara agen dan pemilik memberikan dasar untuk tindakan mengekspolitasi pemilik ini (Miller dan Sardais, 2011). Asumsi dari teori keagenan adalah bahwa agen yang dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri, adalah aktor rasional dan menghindari risiko (Stroh, Brett, Baumann and Reilly, 1996). Untuk menghindari tindakan mementingkan diri sendiri dari agen ini, investor biasanya melakukan kontrak dengan agen dan mengamankan asetnya dengan jaminan (Kingston dan Haijie, 2014). Teori keagenan menunjukkan bahwa, selama tujuan dari principal dan agen diselaraskan, agen akan membuat keputusan yang memaksimalkan tujuan pokok. Namun, ketika tujuan dari principal dan agen menyimpang dan agen memiliki kesempatan untuk bertindak untuk kepentingvan dirinya, teori keagenan memprediksi bahwa agen akan membuat keputusan yang memaksimalkan
kepentingannya
(Agoglia,Hatfield dan Lambert, 2015)
di
atas
kepentingan
principal
21
Manager
(agen)
dan
pemegang
saham
(principal)
memiliki
kepentingan relatif berbeda yang sulit untuk diukur. Alasannya sederhana: manajer memiliki insentif yang kuat untuk menyembunyikan perilaku, dan fitur insentif dari mandat kontrak kerja managerial yang menginduksi perilaku tersebut tidak didistribusikan secara acak di seluruh perusahaan (Nikolov dan Whited, 2014). CEO dengan tenor panjang memiliki lebih banyak waktu untuk membangun koalisi dan mengakumulasi kekuasaan. Akibatnya, mereka cenderung memiliki kontrol lebih besar atas dewan direksi dan mekanisme pengawasan internal lainnya dan lebih kemungkinan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan pemegang saham (Chen et al., 2012). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung
oleh
rakyat
untuk
merencanakan,
melaksanakan
dan
mempertanggungjawabkan program pemerintah (RI, 2004b). Berdasarkan hal ini, terjadi hubungan principal dan agen menurut agency teori, dimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai representasi pemerintah (eksekutif) adalah agen dan rakyat serta DPRD adalah principal (Martani dan Fitriasari, 2014). Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountabily) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representaliveness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif. Di sisi lain, eksekutlf sebagai agen
22
cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selection dan moral hazard sekaligus) (Halim dan Abdullah, 2006). Pemerintah dapat membuat kebijakan yang hanya menguntungkan bagi pemerintah dan otoritas dan mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat (Martani dan Fitriasari, 2014), karena adanya hubungan agen dan principal ini yang akan menimbulkan masalah keagenan. Menurut Eisenhardt (1989) dalam (Kang dan Yanadori, 2011), hal ini terjadi karena principal dan agen memiliki tujuan dan sikap yang berbeda terhadap risiko dan bahwa mereka semua mencoba untuk memaksimalkan kepentingan mereka sendiri (Kang dan Yanadori, 2011). Salah satu masalah keagenan di pemerintahan adalah penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk memenuhi keinginan pribadi (moral hazard). 2.
Kerugian daerah Peraturan
perundang-undangan di Indonesia menyebutkan bahwa
korupsi adalah tindakan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (RI, 1999b). Jadi adanya kerugian negara bahkan potensi kerugian negara sudah termasuk dalam definisi korupsi. Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi, maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam arti yang
23
luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri,dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak (Wikipedia). Korupsi umum tidak hanya berisi tindak pidana seperti suap, penggelapan dan sumber tak tertulis properti besar, tetapi juga mencakup beberapa kecenderungan yang tidak sehat seperti konsumsi uang rakyat dan pemborosan (Zengyu dan Qiongzhi, 2014). Korupsi
juga didefinisikan
sebagai penggunaan fasiltas umum
(kantor) untuk kepentingan pribadi. Korupsi meliputi manfaat moneter dan non-moneter.
Bentuk
umum
korupsi
adalah
suap,
pemerasan,
menyalahgunakan kekuasaan, nepotisme, penipuan, dan oportunisme (Pathak, Singh, Belwal, Naz dan Smith, 2008). Korupsi tidak hanya mempengaruhi tingkat pertumbuhan pendapatan tetapi juga mempengaruhi ketimpangan pendapatan (Dincer dan Gunalp, 2012). Korupsi merupakan kegiatan yang cenderung melemahkan suatu sistem budaya (Hooker, 2009). Korupsi sangat merusak, tidak hanya karena dampaknya pada integritas komersial dan pemerintahan yang baik, tetapi karena telah merusak salah satu nilai manusia yang paling penting, yaitu kepercayaan. Korupsi adalah alat untuk mencapai tujuan kekayaan, kekuasaan, pengaruh, kesenangan atau kontrol. Korupsi adalah mencakup
24
segala kejahatan karena menjadi alat umum mendukung semua kegiatan kejahatan (McFarlane, 2001) Korupsi adalah suatu kegiatan, di luar proses konstitusi pemerintah, yang melibatkan penjualan barang dan jasa publik yang dilakukan oleh pegawai pemerintah dalam bentuk suap untuk menguntungkan aktivitas ekonomi pihak swasta (Goorha, 2000). Korupsi dapat dilihat sebagai salah satu
dari
banyak
bentuk
mencari
keuntungan
untuk
kepentingan
sendiri/mencari rente (rent-seeking) (Bhattacharyya dan Hodler, 2010). Korupsi dipandang sebagai aktivitas rent-seeking oleh banyak peneliti, seperti Lambsdorff, Rose-Ackerman, Guo, Hu dan Fan. Dalam rent-seeking, koruptor mengejar kepentingan diri dengan mengorbankan kepentingan masyarakat, untuk mendapatkan perlakuan istimewa, atau mempengaruhi kebijakan supply-demand di pasar untuk keuntungan mereka (Zhang, 2009) Korupsi dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi (Nguyen dan Van Dijk, 2012). Ban Ki-moon dalam Nguyen danVan Dijk (2012) mengatakan : Korupsi adalah ancaman bagi pembangunan, demokrasi dan stabilitas, mendistorsi pasar, mengekang pertumbuhan ekonomi dan menghambat investasi asing. Korupsi adalah alasan utama mengapa negaranegara yang kaya sumber daya mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi (Kolstad dan Søreide, 2009). Korupsi adalah salah satu hambatan paling serius untuk pengembangan ekonomi (Lessmann dan Markwardt, 2010). Korupsi adalah faktor yang berpotensi dapat meningkatkan biaya transaksi pasar dan mempengaruhi pilihan Sistem Tata Kelola Perusahaan
25
dalam transaksi (Zhang, 2009). Korupsi dalam bentuk suap yang diterima oleh pemeriksa pajak memainkan peran penting dalam mengurangi pengumpulan pajak (Mokhtari dan Grafova, 2007) Korupsi harus dikontrol oleh pemerintah untuk mencegah masalah yang mungkin masih terjadi dalam pelayanan publik. Pelaksanaan Inisiatif Anti-Korupsi adalah cara terbaik untuk mengekang korupsi dalam rangka reformasi praktik pengadaan publik (Ishak dan Said, 2015) dan meningkatkan akuntabilitas politik memainkan peran penting dalam menghambat perilaku korup politisi (Ferraz dan Finan, 2011). 3.
Transparansi dan e-government Organisasi pemerintah di banyak negara dalam beberapa tahun terakhir ini sedang menyaksikan transformasi besar, di mana praktik bisnis direstrukturisasi dan proses bisnis yang kembali direkayasa untuk mencapai transparansi dan untuk meningkatkan kinerja. Pemerintah mentransformasi diri untuk menjadi satu entitas yang memenuhi syarat sebagai perusahaan yang akan menawarkan entry point tunggal untuk semua warga negara (Chourabi, Mellouli dan Bouslama, 2009). Manajemen, utamanya manajemen publik dituntut
transparan,
sebagai bentuk keterbukaan informasi, sehingga arus informasi keluar dan masuk menjadi berimbang. Kurangnya transparansi diidentifikasi sebagai masalah yang mempengaruhi daya saing bangsa, karena kurangnya transparansi mencerminkan korupsi
baik itu
organisasi publik ataupun
organisasi swasta (Arredondo Trapero et al., 2014). Peningkatan transparansi
26
dapat mengurangi semua jenis korupsi birokrasi yang dapat dicapai dengan menggunakan media elektronik modern. Transparansi menjadi prinsip utama pada pengelolaan kinerja ekonomi, dimana warga negara memiliki hak untuk mengetahui bagaimana pemerintah
mengelola sumber daya publik, akan
meningkatkan tanggung jawab pemerintah dan mengurangi korupsi (Cimpoeru dan Cimpoeru, 2015). Internet pada umumnya meminimalkan peluang bagi pejabat publik untuk memonopoli akses ke informasi yang relevan dan pemberian suap dari klien mereka (Pathak et al., 2008). Di era sekarang, teknologi informasi dan komunikasi semakin digunakan oleh semua bangsa di seluruh dunia di hampir setiap daerah. Demikian pula, hampir semua infrastruktur kerja profesional memulai merencanakan pemanfaatan sistem informasi. Dengan penggunaan luas dari internet, sistem informasi berbasis web yang diadopsi menyediakan pengguna dengan akses ke informasi yang diinginkan. Saat ini, Internet telah menjadi bagian penting dari teknologi. Karena dengan bantuan layanan web, semua jenis komunikasi menjadi mungkin untuk diberikan (ÇOruhlu dan DemİR, 2015). Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah diterima secara luas akan menawarkan peluang untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan memainkan peran penting dalam perubahan ekonomi yang pesat, perbaikan kapasitas produktif dan peningkatan daya saing internasional untuk negaranegara berkembang. TIK diyakini sebagai alat yang memungkinkan untuk mengatasi beberapa hambatan dan tantangan utama untuk memasuki ekonomi
27
global dan potensi pertumbuhan di masa depan. Hal ini dapat mengubah tantangan dan menciptakan kemungkinan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seperti yang telah dilakukan untuk bisnis di dunia industri (Ndou, 2004). E-governance dalam perapannya akan menghasilkan pemerintah yang lebih transparan dan terbuka
(D’Agostino,Schwester, Carrizales dan
Melitski, 2011), dan diharapkan akan mengurangi korupsi. E-government juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemerintah dalam memberikan pelayanan ke warganya (Mahbob, Nordin, Salman, wan Sulaiman
dan
Abdullah, 2011). E-government merujuk ke berbagai aspek digunakannya TIK di sektor publik yang dirancang untuk meningkatkan kinerja dan efektivitas administrasi dan layanan publik. E-government memungkinkan pemerintah untuk berinteraksi dengan warga dan perusahaan dalam rangka memberikan pelayanan publik secara elektronik (Barbosa, Pozzebon dan Diniz, 2013). E-government didefinisikan secara luas sebagai penggunaan saluran online untuk meningkatkan akses dan pengiriman setiap aspek dari pelayanan dan operasi pemerintah untuk kepentingan warga, bisnis, dan pemangku kepentingan lainnya (Srivastava dan Teo, 2010). Dalam pembangunan sosial ekonomi nasional, e-government diharapkan dapat memainkan peran yang berarti (Jin-Wan dan Hasan, 2015, HodoŞ, 2014).
28
Pelayanan publik melalui e-government dirancang untuk menjadi responsif, inklusif secara sosial dan berpusat pada warga. E-government mengintegrasikan penerapan informasi dan teknologi komunikasi (TIK) dalam administrasi publik dalam alur kerja dan proses, memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik, mengelola data dan informasi dengan cara yang lebih efektif, serta memperluas saluran komunikasi yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat membawa
perubahan
(Jin-Wan dan Hasan, 2015). E-government
teknologi
dan
memberikan
kepuasan
kepada
stakeholder,meskipun karakteristik budaya dan bermacam dimensi budaya, dalam hal ini administrasi publik dan kesiapan pengguna cenderung mempengaruhi tingkat layanan online untuk berjalan dan diterima di masyarakat (NeamŢU dan Nichifor, 2013, Zhao, 2013). E-government adalah aplikasi teknologi informasi dan komunikasi pemerintah modern dan dikelola melalui layanan teknologi jaringan terintegrasi, untuk mengoptimalkan struktur dan proses kerja pemerintah, tanpa dibatasi waktu dan ruang dan antar departemen, untuk memberikan layanan yang berkualitas dan komprehensif bagi masyarakat, standar dan transparan, sesuai dengan standar manajemen dan jasa internasional. Sistem E-government tidak hanya dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi departemen pemerintah, tapi juga dapat digunakan untuk mengumpulkan data dalam jumlah besar, yang menyediakan dasar ilmiah untuk pengambilan keputusan di semua tingkat pemerintahan (Tao dan Jiao Liang, 2014)
29
Program e-government yang efektif dapat memajukan praktik tata kelola yang baik dengan meningkatkan jangkauan dan efisiensi layanan pemerintah (Jin-Wan dan Hasan, 2015), diyakini akan meningkatan akses informasi dan peningkatan transparansi,efisiensi dan efektivitas untuk mengurangi beban administrasi (Chiriac dan SzabÓ, 2014) dan sebagai modernisasi administrasi publik (Ardielli dan Halásková, 2015). Dengan tren penghematan biaya di sektor publik, e-government adalah salah satu pilihan yang mungkin diterapkan untuk beroperasi secara lebih efisien, efektif dan transparan, dalam memberikan layanan yang lebih baik, yang lebih murah dan lebih cepat dan data terbuka untuk umum
dan untuk memfasilitasi
partisipasi warga dan bisnis di pemerintahan (Lněnička, 2015). Bank Dunia dalam Zhao (2013) menyebutkan bahwa manfaat teknologi e-government dapat menyebabkan layanan yang lebih baik dari pemerintah untuk warga, meningkatkan interaksi dengan bisnis dan industri, pemberdayaan warga melalui akses ke informasi manajemen pemerintah dan lebih efisien dan transparan (Zhao, 2013). Pelaksanaan e-government juga dapat digunakan untuk mencapai kinerja pelayanan yang lebih baik bagi warganya, bisnis dan entitas pemerintah lainnya bahkan di negara berkembang (Bakar et al., 2014). Layanan inovatif yang digunakan melalui e-government akan menghemat banyak waktu, tenaga dan biaya baik dari pengguna maupun pemerintah. Waktu dapat dihemat ketika proses aplikasi dapat mempersingkat layanan dari beberapa hari sampai beberapa jam. Pengehematan tenaga juga terjadi,
30
karena transaksi dapat dilakukan pada waktu yang sama dan tempat yang sama. Biaya personil dapat dikurangi ketika staf yang bertanggung jawab dapat dialihkan ke tugas yang lebih berguna. Konsumen, di sisi lain, dapat menghemat
biaya bensin, tol dan biaya lainnya untuk pergi ke counter
pemerintah (Mahbob et al., 2011). Pada masyarakat modern, internet menjadi kebutuhan untuk mendapatkan informasi yang terkait catatan publik (Cuillier dan Piotrowski, 2009). Penggunaan Internet untuk memberikan informasi keuangan, menunjukkan
peran pers yang kuat untuk memastikan akuntabilitas
keuangan dan transparansi (Laswad et al., 2005). Selanjutnya, hak media yang rendah dalam membuat berita, penggunaan internet dan telepon seluler yang rendah, durasi pendek dari pemerintahan, dan budaya politik yang lemah adalah indikator yang signifikan untuk korupsi (Relly, 2012). Pelaksanaan e-government yang merupakan kombinasi kebijakan dari komponen politik, sosial dan teknologi (Cordella dan Iannacci, 2010), berhubungan positif dengan peningkatan hubungan pemerintah-warga dan pengurangan korupsi (Pathak et al., 2008). Penerapan e-government juga dianggap sebagai cara yang
efisien dan efektif untuk meningkatkan
transparansi publik dan mengurangi korupsi (Lupu dan Lazăr, 2015), menghilangkan faktor temporal, spasial dan keterbatasan waktu; membuat pelayanan publik lebih efektif dan efisien (Sebetci dan Aksu, 2014), memberikan pelayanan yang lebih baik dan merespon tuntutan transparansi dan akuntabilitas (Jin-Wan dan Hasan, 2015).
31
E-government dalam pelaksanaannya juga akan memberikan cara kepada pemerintah di seluruh dunia untuk memberikan akses mudah ke layanan pemerintah dan peluang kolaborasi serta partisipasi politik warga, bisnis dan pemerintah lainnya melalui internet dan teknologi komunikasi wireless (Kaliannan dan Awang, 2010). E-government sebagai
pengukuran
transparansi,
responsif
dan
sering digunakan
keterlibatan
warga
masyarakat dalam penyusunan anggaran dan keuangan negara (Melitski dan Manoharan, 2014) Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa informasi publik yang terbuka dalam hal ini oleh pers dan lembaga peradilan memiliki peran yang saling melengkapi dalam memberikan kesadaran korupsi (Costas-Pérez et al., 2012). Negara-negara dengan pengawasan (pers) yang efektif, menjadikan desentralisasi tidak
menjadi ladang korupsi (Lessmann dan Markwardt,
2010). Persepsi korupsi yang lebih besar membuat permintaan yang lebih besar untuk transparansi fiskal yang diwujudkan dengan e-government (Justice dan McNutt, 2013). Korupsi dapat dikurangi melalui inisiatif yang memungkinkan transparansi dan akuntabilitas yang terwujud dalam egovernment untuk membongkar faktor-faktor yang mendorong korupsi (Mistry, 2012). Penggunaan teknologi informasi memiliki potensi untuk memotong korupsi dan meningkatkan akuntabilitas (Miyata, 2011). Namun egovernment dan akuntabilitas adalah bersyarat, di mana perubahan dalam
32
tingkat akuntabilitas tergantung pada konteks dan karakteristik organisasi publik (Wong dan Welch, 2004). Pemerintah Daerah diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan terkait dengan keuangan dan kinerja mereka kepada publik melalui media yang mudah diakses, dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. E-government juga diharapkan untuk mengurangi konflik keganenan di pemerintahan, maka principal (rakyat) memerlukan alat memonitor kegiatan yang dilakukan oleh agen (pemerintah). Pengungkapan pernyataan dan penjelasan kinerja keuangan pemerintah daerah secara langsung kepada publik melalui internet dapat digunakan sebagai alat untuk mengurangi biaya agency (Martani dan Fitriasari, 2014). Penerapan e-government akan membantu mengatasi permasalahan di Indonesia yang wilayahnya luas dan menyebar,dimana menurut (Goel dan Nelson, 2010) wilayah yang menyebar mungkin menghadapi korupsi yang lebih besar karena ketidakmampuannya untuk memantau pejabat pemerintah secara efektif. E-government di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003. Penerapan e-government pada Pemerintah Daerah dinilai oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan melihat 5 (lima) dimensi, yaitu kebijakan,kelembagaan,infrastruktur, aplikasi dan perencanaan. Hasil penilaian berupa pemeringkatan dengan memberikan rating sangat baik (nilai 3,60-4,00), baik (nilai 2,6-3,59), kurang (nilai 1,60-2,59) dan sangat kurang (nilai 1,00-1,59). Penerapan e-government ini ada 5 (lima) tahap yaitu :
33
a. Emergence, tahap dimana website hanya digunakan sebagai sarana publikasi visi,misi dan aktivitas organisasi. b. Enchange, tahap sistem e-government sudah terhubung dengan informasi-informasi tertentu seperti formulir perijinan, dokumen dan laporan. c. Interaksi, website pemerintah sudah disertai fasilitas komunikasi secara elektronik (e-mail) sehingga ada komunikasi dua arah. d. Transaksi,layanan
sudah
melayanai
kebutuhan
lain
seperti
pembuatan,perpanjangan atau pembaruan perijinan selama 24 jam. e. Transformasi/terintegrasi,
semua
lembaga
pemerintah
sudah
terintegrasi dalam satu website (Hardjaloka, 2014). 4.
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah,
Auditor Internal dan Tindak
Lanjut Hasil Audit Pengendalian internal adalah
aturan yang ditetapkan untuk
melindungi aset organisasi baik aset keuangan maupun aset non keuangan. Mekanisme pengendalian yang efektif akan melindungi aset dari kehilangan atau pengalihan. Pengendalian internal merupakan proses yang dirancang untuk memastikan terpenuhinya tujuan perusahaan, baik dalam efisiensi maupun efektivitas operasional dan keyakinan yang memadai dalam catatan akuntansi dan pelaporan keuangan yang disampaikan oleh entitas terhadap kesesuaiannya dengan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku (Vieira, 2007).
34
Pengendalian internal merupakan cara penting bagi regulator untuk mengontrol manajemen dan keterbukaan informasi. Perusahaan-perusahaan dapat menemukan masalah di pengendalian internal dengan melakukan evaluasi pengendalian internal, kita harus memperhatikan efek dari evaluasi pengendalian internal perusahaan dan model implementasinya (Lin, 2014). Pengendalian internal adalah proses yang memberikan jaminan manajemen dalam mencapai yang
kepada
tujuan operasi dan kegiatan yang
ditargetkan (Danescu, Prozan dan Prozan, 2015). Sistem pengendalian internal memainkan peran penting dalam memastikan efisiensi operasi sehari-hari dan keandalan serta relevansi informasi keuangan. Efektivitasnya tidak hanya mencerminkan kualitas dari laporan keuangan perusahaan tetapi juga menampilkan kemampuan perusahaan untuk menghindari risiko dan penipuan (Sun, Yi dan Lin, 2012). Sistem pengendalian internal perusahaan yang kuat akan memaksa manajer untuk jujur melaporkan laba. Sistem pengendalian perusahaan yang lemah memperbolehkan manajer untuk memanipulasi laporan untuk menginduksi harga saham setinggi mungkin dari harga pasar (Marinovic, 2013). Sistem pengendalian intern yang efektif akan membutuhkan kemampuan Teknologi Informasi (TI) yang kuat untuk mendukung keberadaan dan fungsi masing-masing komponen pengendalian intern. Standard auditing telah lama mengakui pentingnya TI untuk pengendalian internal dan proses audit, karena kemampuannya mengurangi biaya audit dan audit delay, terkait kemampuan TI mengurangi kelemahan dalam
35
pengendalian, yang pada gilirannya secara signifikan bisa mengurangi kenaikan baik biaya audit dan audit delay.Kemampuan IT secara langsung mempengaruhi
kemampuan
manajemen
untuk
mengembangkan
dan
memelihara sistem pengendalian internal (Yunhao, Smith, Cao dan Xia, 2014). Pengendalian internal atas pelaporan keuangan dalam perusahaan publik dan peningkatan kepercayaan investor dan pemangku kepentingan dalam laporan keuangan yang dipublikasikan,
membutuhkan penilaian
tahunan oleh manajemen eksekutif perusahaan dan oleh auditor kontrol internal yang disebut sebagai kontrol internal atas pelaporan keuangan untuk memperkuatnya (Li, Peters, Richardson dan Watson, 2012). Manajemen bertanggung jawab untuk
meningkatkan kontrol internal yang efektif,
sehingga meningkatkan peran fungsi audit internal untuk menilai efektivitas pengendalian internal. Banyak perusahaan telah memilih untuk meningkatkan kemampuan audit internal mereka sendiri untuk mengurangi tingkat outsourcing (Abdolmohammadi, 2012). COSO (1992) dalam Krishnan danWei (2012) menyebutkan bahwa manfaat dari memiliki pengendalian internal yang efektif adalah operasi yang efektif dan efisien, meningkatkan keandalan pelaporan keuangan dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Meningkatnya kualitas sistem pengendalian internal perusahaan akan meningkatkan informatifnya laporan audit tentang jenis perusahaan: sedangkan ketika kualitas sistem pengendalian internal yang relatif rendah akan memberikan
36
pengaruh tambahan untuk lebih meningkatkan upaya audit (Suil dan SeungWeon, 2001). Perusahaan dengan kelemahan material dalam pengendalian internal memiliki operasi kompleks, akuntansi berisiko tinggi, tekanan masalah keuangan, dan kualitas akrual yang buruk (Munsif, Raghunandan, Rama dan Meghna Singhvi, 2011). Kelemahan pengendalian intern berpengaruh negatif pada kualitas akrual sehingga meningkatkan monitoring eksternal/audit (Lu, Richardson and Salterio, 2011). Kelemahan dalam pengendalian internal menyebabkan penurunan efektifitas manajemen untuk mewujudkan
tujuan lembaga,
sehingga diperlukan audit atas efektivitas ini yang didukung oleh karyawan dengan kualifikasi individu yang relevan dalam melakukan audit internal (Salehi, Arianpoor dan Salehi, 2013). Pengendalian internal yang efektif sangat penting untuk memastikan kualitas pelaporan keuangan, mencegah risiko bisnis dan keberlanjutan bisnis. Perusahaan dengan profitabilitas yang baik memiliki kapasitas yang kuat untuk membangun pengendalian internal yang baik (Xiaowen, 2012). Sistem pengendalian internal yang kuat akan meyakinkan pengguna atas keandalan informasi dalam laporan keuangan organisasi (Lehmann, 2010), termasuk meningkatkan partisipasi investor di pasar modal, yang kemungkinan akan meningkatkan efisiensi alokasi modal (He dan Thornton, 2013). Lingkungan (pengendalian) internal dapat memberikan informasi yang cukup kepada direksi untuk memberikan saran dan memantau manajer, sehingga dapat mengurangi masalah agensi. Pengendalian internal juga
37
efektif untuk mencegah penipuan oleh karyawan manajerial (Ann Barra, 2010). Pengendalian Internal tidak efektif jika lingkungan pengendalian yang tidak kondusif,karena adanya konflik kepentingan,baik politik maupun sosial, pada pejabat yang menjalankan pemerintahan (Muskanan, 2014). Pengendalian intern menjadi masalah yang sangat penting, sehingga audit atas pengendalian internal diperlukan, karena akan membantu mengurangi masalah keagenan (Cao et al., 2015). Audit internal juga diperlukan untuk efisiensi bisnis, mengurangi biaya sambil memaksimalkan keuntungan, dan mencapai tujuan menengah dan jangka panjang. Audit internal dapat berperan dalam mendeteksi kemungkinan penipuan (Petraşcua dan Tieanu, 2014), beroperasi sebagai anggota tim manajemen dan bukan sebagai anggota tim monitoring dan pengawasan (Roussy, 2013). Adanya sistem audit internal yang kuat dalam sebuah organisasi dapat secara dini mendeteksi dan mencegah kesalahan dan penipuan. Sistem audit internal yang efektif membantu untuk mencapai
kinerja dan profitabilitas dan
mencegah hilangnya pendapatan (Vijayakumar dan Nagaraja, 2012). Audit atas pengendalian internal meningkatkan akurasi pengungkapan pengendalian internal yang dibuat manajer. Investor bereaksi seolah-olah kewajiban manajer
adalah mengembangkan pengendalian intern pada
laporan keuangan dan audit atas pengendalian intern merupakan barang pengganti. Secara khusus, penelitian menunjukkan bahwa adanya sistem pengendalian intern yang dikembangkan manajer
dan adanya auditatas
38
sistem pengendalian tersebut akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap laba yang dilaporkan (Wu dan Tuttle, 2014). Audit internal berfungsi sebagai penjaga dan pemelihara kualitas pengendalian internal, merupakan bagian integral dari struktur keuangan dari organisasi publik. Auditor internal didefinisikan sebagai sebuah profesi untuk memenuhi kebutuhan perubahan dari entitas yang terus-menerus, pergeseran ruang lingkup dari analisis akuntansi dan keuangan dan pengendalian internal mereka (Daniela dan Attila, 2013). Auditor Internal adalah pekerjaan profesional yang memerlukan keterampilan dan satu auditor internal mungkin tidak cocok untuk semua jenis organisasi (Agarwal dan Medury, 2014). Audit internal didefinisikan sebagai kegiatan atau fungsi assurance dan konseling, yang bertujuan mengevaluasi proses atau sistem, dan melalui pendapat dan rekomendasi bisa memastikan kepada manajemen bahwa operasi dan kegiatan secara memadai dikendalikan. Audit internal juga mengambil tindakan untuk mempromosikan sebuah struktur organisasi yang memadai, seperti untuk perbaikan terus-menerus dari efisiensi dan efektivitas sistem berdasarkan manajemen risiko, pengendalian internal dan proses tata kelola. Audit internal berkontribusi terhadap pelaksanaan tujuan yang ditargetkan oleh entitas. Auditor internal bisa memastikan keamanan fungsi pengendalian internal dan untuk perbaikan terus menerus dan pengendalian risiko yang memadai (Danescu et al., 2015). Auditor internal membantu meninjau sistem dan kontrol organisasi. Mereka melakukan penilaian risiko dan memvalidasi kebijakan dan prosedur
39
yang diterapkan apakah berfungsi sebagaimana mestinya. Pekerjaan Auditor internal cenderung terus menerus dan berdasarkan sistem pengendalian internal organisasi. Mereka bertanggung jawab untuk melakukan audit keuangan dan non-keuangan dalam berbagai bidang berdasarkan hasil penilaian risiko. Auditor internal melihat risiko utama yang dihadapi organisasi dan bagaimana manajemen mengurangi risiko yang teridentifikasi tersebut. Auditor internal memberikan pandangan yang tidak memihak dan objektif. Mereka independen dari operasi yang dievaluasi. Independensi adalah kebebasan dari kondisi yang mengancam kemampuan aktivitas audit internal untuk melaksanakan tanggung jawab audit internalnya. Objektivitas adalah sikap tidak memihak yang memungkinkan intern auditor untuk dipercaya dengan makalah dan hasil pekerjaan mereka dan tidak ada kompromi (O'Donnell, 2015). Audit internal berperan dalam membantu memitigasi risiko-risiko utama yang mengancam organisasi, menangani semua
risiko utama dari
organisasi, keterlibatan dilakukan lebih efektif dan efisien, dengan memastikan bahwa sumber daya audit internal digunakan secara optimal. Adalah penting untuk profesi auditor internal mengadopsi pola pikir baru jika ingin mempertahankan peran kunci di masa depan. Manajemen risiko dan audit internal memiliki koneksi, dimana peran audit internal adalah menilai keseluruhan strategi manajemen risiko organisasi; dengan rekomendasi mulai dari memberikan jaminan atas tingkat kesehatan strategi dan tanggung jawab untuk pelaksanaannya (Coetzee dan Lubbe, 2014).
40
Organisasi yang memiliki fungsi audit internal diakui sebagai alat untuk memastikan efektifnya kerja dari sistem pengendalian internal, oleh karena itu, pelatihan dan pendidikan berkelanjutan diperlukan bagi karyawan yang melanjalankan fungsi audit internal ini (Salehi et al., 2013). Audit internal tidak hanya berfungsi sebagai alat monitoring, tetapi juga memberikan informasi yang bernilai tambah untuk membantu manajemen lebih efektif dalam menjalankan organisasi (Steinbart, Raschke, Gal dan Dilla, 2013). Identifikasi dan penilaian auditor internal yang tepat atas lingkungan bisnis dan organisasi yang diaudit akan menjadi keunggulan dalam mendeteksi dan mencegah penipuan akuntansi perusahaan (Agarwal dan Medury, 2014) Fungsi audit internal dalam entitas ekonomi sangat penting karena membantu perusahaan dalam mencapai tujuan dan memberikan nilai tambah dan transparansi, pada saat yang sama membantu manajer, untuk lebih baik dalam mengelola kegiatan mereka (Botez, 2012). Tujuan keseluruhan dari audit internal adalah untuk menyarankan perbaikan dalam fungsi dari organisasi dan untuk memperkuat mekanisme tata kelola keseluruhan organisasi, termasuk sistem pengendalian internal dan manajemen risiko strategis (Agarwal dan Medury, 2014) Auditior Internal sebagai persyaratan dari manajemen bisnis yang sehat, lebih terfokus pada layanan langsung kepada manajemen dalam merencanakan, memimpin, dan mengendalikan operasi sehari-hari nya. Sebagai konsekuensi dari manajemen audit dalam audit internal, standar
41
keseluruhan untuk auditor internal harus dirancang dengan : mengadopsi framework dan klasifikasi standar yang dipakai oleh akuntan publik dan dilengkapi dengan persyaratan pengetahuan yang lebih luas, pelatihan, dan pengalaman dalam pemeriksaan, evaluasi, dan melaporkan berbagai sistem manajemen dan kontrol yang digunakan dalam menjalankan perusahaan modern (Campfield, 1960). Memiliki fungsi audit internal yang berkualitas tinggi adalah komponen penting dalam tata kelola perusahaan yang berkualitas tinggi (Burton, Starliper, Summers dan Wood, 2015). Pekerjaan audit internal yang dikembangkan dalam suatu organisasi merupakan kegiatan independen. Ruang lingkup audit internal
adalah
mempelajari dan mengevaluasi efisiensi dan efektivitas sistem pengendalian intern serta kualitas kinerja dibandingkan dengan rencana, tujuan, sasaran dan kebijakan yang ditetapkan (Vieira, 2007). Literatur menjelaskan bahwa penugasan audit intern berbasis risiko harus terdiri dari lima langkah, yaitu: pengaturan tujuan perikatan audit; mengidentifikasi peristiwa operasional atau strategis dalam lingkup perikatan audit (termasuk risiko yang mengancam pencapaian tujuan); melakukan penilaian risiko (kemungkinan bahwa peristiwa tertentu akan terjadi) dan dampak (hasil atau efek dari suatu peristiwa); manajemen
risiko (manajemen mengembangkan serangkaian
tindakan untuk menyelaraskan risiko organisasi) dan kegiatan pengendalian yang harus menjadi bagian dari respon risiko (Coetzee dan Lubbe, 2014). Audit internal juga memberikan ulasan independen tentang efektivitas keamanan informasi. Hasil dari proses monitoring harus digunakan untuk
42
meningkatkan desain dan efektivitas operasi keamanan informasi. Dengan demikian, keamanan informasi dan fungsi audit internal sama-sama memiliki tujuan umum untuk memaksimalkan efektivitas organisasi untuk melindungi sumber daya informasinya (Steinbart et al., 2013). Auditor internal biasanya juga melakukan audit operasional yang menghasilkan ulasan tentang pengendalian internal dan evaluasi dari efisiensi operasional (Lehmann, 2010). Laporan Keuangan yang sudah diaudit meningkatkan kepercayaan investor biasa yang mengandalkan informasi publik (Chen et al., 2014). Efektivitas audit internal tergantung pada faktor-faktor berikut: 1. Internal auditor yang ditunjuk harus memiliki keterampilan untuk pekerjaan di organisasi tempat dia ditugaskan. 2. Internal auditor harus mempelajari lingkungan organisasi, yaitu, sistem,prosedur, sistem pengendalian intern, manajemen, dan karyawan. 3. Menyusun program audit, yang harus berubah sesuai dengan situasi yang berubah. 4. Komunikasi Dua arah secara berkala dengan manajemen. 5. Konsekuensi terkait Penipuan harus dibicarakan dengan karyawan dan seluruh manajemen. 6. Independensi auditor internal harus dipastikan melalui proses pengangkatannya. Independensi auditor internal memainkan peran penting
dalam
efektivitas
pelaksanaan
tugas-tugasnya
dan
mendeteksi dan mencegah penipuan (Agarwal dan Medury, 2014)
43
Audit internal telah terbukti efektif dan penting dalam meningkatkan tata kelola perusahaan. Jika auditor internal berkualitas tinggi, maka dapat berfungsi sebagai landasan efektif tata kelola perusahaan yang berkualitas tinggi (Burton et al., 2015). Secara tradisional, auditor bertanggung jawab untuk menilai standar manajemen dan kinerja keuangan di badan-badan publik, yang membantu negara untuk mendisiplinkan lembaga dan mencapai tujuan politik. Rekomendasi audit adalah refleksi dari penilaian independen dari apa yang salah dan bagaimana untuk memperbaikinya (Eckersley, Ferry dan Zakaria, 2014).Ketika auditor internal memberikan keyakinan dalam Laporan Auditnya atau ketika mereka melaporkan terutama untuk komite audit bahwa risiko pengendalian kurang memadai, penilaian risiko fraud yang lebih tinggi (lebih konservatif) dan penilaian risiko pengendalian yang lebih tinggi akan dilakukan oleh auditor eksternal (Boyle, DeZoort, dan Hermanson, 2015). Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) di Indonesia dilaksanakan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP. Dalam pelaksanaan SPIP di pemerintahan, APIP ditugaskan untuk menjadi pembina dalam pelaksanaan SPIP tersebut, sehingga APIP harus memiliki kapabilitas (kualitas) yang memadai untuk melaksanakan tugas tersebut. Pengetahuan auditor adalah salah satu
atribut
auditor yang
berpotensi dapat mempengaruhi penilaian risiko. Auditor yang tidak memiliki pengetahuan untuk mengenali risiko dan mungkin terlalu percaya diri dengan kemampuan mereka untuk menilai risiko pada sistem yang berbeda akan
44
menyebabkan kesalahan dalam menilai risiko. Sehingga peningkatan struktur pengetahuan menyebabkan peningkatan kinerja dalam review pengendalian internal (Asare, Fitzgerald, Graham, Joe, Negangard dan Wolfe, 2013). Pengetahuan auditor tentang penipuan akan meningkatkan perilaku skeptis profesional mereka. Auditor yang skeptis memiliki kecenderungan untuk tidak menerima pernyataan klien mereka tanpa bukti pendukung yang memadai. Oleh karena itu, auditor dengan sikap skeptis ini akan selalu menuntut klien mereka untuk membuktikan laporan keuangan mereka. Dan sikap skeptis profesional harus
dimiliki
auditor ketika mereka sedang
melakukan audit. Perilaku skeptis terutama diperlukan bila ada indikasi penipuan dalam entitas yang diaudit. Tanpa skeptisisme, penipuan cenderung diabaikan, karena penipuan biasanya tersembunyi oleh pelaku (Noviyanti dan Winata, 2015) Pengawasan yang dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), yang di dalam sektor bisnis dikenal dengan Auditor Internal berperan : 1. Memberikan keyakinan yang memadai atas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah 2. Memberikan
peringatan
dini
dan
meningkatkan
efektivitas
manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. 3. Memelihara
dan
meningkatkan
kualitas
tata
kelola
penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah (RI, 2008a).
45
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai pembina APIP melakukan penilaian kapabilitas, untuk menjamin kualitas APIP, dengan menggunakan model Internal Audit Capability Model (IACM), yang hasilnya berupa pemeringkatan APIP ke dalam 5 level, yaitu: 1. Level 1, yang berarti APIP belum dapat memberikan jaminan atas proses tata kelola sesuai peraturan dan belum dapat mencegah korupsi 2. Level 2, yang berrati APIP mampu menjamin proses tata kelola sesuai dengan peraturan dan mampu mendeteksi terjadinya korupsi 3. Level 3, yang berarti APIP mampu menilai efisiensi, efektivitas, ekonomis suatu kegiatan dan mampu memberikan konsultasi pada tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern 4. Level 4, APIP mampu memberikan assurance secara keseluruhan atas tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern 5. Level 5, APIP menjadi agen perubahan (BPKP, 2011).
Salah satu tantangan penting dari New Public Management adalah untuk menyeimbangkan antara meningkatkan efisiensi sektor publik dengan melindungi kepentingan publik. Hingga kini, peran ini sebagian besar telah dimainkan oleh auditor sektor publik (Eckersley et al., 2014). Pada sektor bisnis, ketika pemegang saham tidak bisa mempercayai laporan manajer, pemegang saham mungkin ingin memperoleh informasi dari auditor. Auditor memiliki teknologi mahal yang membantu untuk menentukan bagaimana
46
tindak lanjut yang akan
mempengaruhi nilai perusahaan, dan mereka
menggunakannya untuk menghasilkan laporan audit. Kualitas audit bervariasi, tergantung pada prosedur yang diterapkan oleh auditor, misalnya konfirmasi data akuntansi dari sumber eksternal (Pagano dan Immordino, 2012). Fokus audit sektor publik telah beralih menuju tanggung jawab auditor untuk menyelidiki apakah peraturan telah ditaati dalam penggunaan sumber daya publik dan untuk meningkatkan kemampuan keuangan organisasi pelayanan publik. Audit berfokus terutama pada langkah-langkah penghematan biaya yang timbul dari perubahan pola dan praktek kerja (Alwardat, Benamraoui dan Rieple, 2015).Audit atas pengendalian internal juga
memotivasi
manajer
untuk
meningkatkan
pengeluaran
pada
pengendalian internal untuk mengurangi kemungkinan bahwa auditor akan mengeluarkan pendapat bahwa pengendalian internalnya lemah (Wu dan Tuttle, 2014) Flesher dan Zarzeski (2002) dalam Alwardat et al. (2015) berpendapat bahwa lingkup audit sektor publik harus melangkah lebih jauh dari standar dan prosedur yang berlaku untuk audit laporan keuangan dan melibatkan peran lainnya. Peran tersebut harus meliputi: (1) mengomentari kepatutan, kewajaran dan kepatuhan operasi keuangan dengan hukum dan peraturan; (2) menentukan apakah organisasi mengelola sumber daya mereka secara ekonomi dan efisien; dan (3) menentukan apakah hasil yang diinginkan telah dicapai, tujuan telah dipenuhi dan apakah organisasi publik memiliki
47
alternatif biaya minimum, yang mungkin menghasilkan hasil yang diinginkan (Alwardat et al., 2015). Audit dan pemantauan berperan :
(a) berkomitmen menentukan
efektivitas program organisasi dan (b) merupakan mekanisme yang efektif yang dapat membantu dalam membuat keputusan. Audit dan pemantauan dapat mengidentifikasi aktivitas yang mungkin mewakili ketidakpatuhan, juga dapat mengidentifikasi kegiatan organisasi yang berpegang dengan hukum dan peraturan tercermin dalam programnya. Audit dan pemantauan berlaku untuk organisasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kebijakan organisasi yang mewakili kepatuhan atau ketidakpatuhan terhadap hukum dan peraturan (Ruelas, 2014). Peraturan pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, mewajibkan Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan pemantauan Sistem Pengendalian Intern, yang salah satunya adalah melaksanakan tindak lanjut rekomendasi hasil audit (RI, 2008a). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia mewajibkan
Pimpinan Satuan Kerja
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dan desa untuk melaksanakan tindak lanjut hasil pengawasan (RI, 2005).
Peraturan Menteri Dalam Negeri juga menegaskan bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tidak menindak lanjuti rekomendasi pejabat pengawas pemerintah dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Mendagri, 2007). Selanjutnya dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia juga mewajibkan auditi melakukan tindak lanjut atas hasil pemeriksaan setelah
48
hasil pemeriksaan diterima selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari, jika tidak menindaklanjuti rekomendasi tanpa adanya alasan yang sah, BPK dapat melaporkan kepada instansi yang berwenang (BPK, 2010). Adanya beberapa aturan ini akan mendorong auditi untuk melakukan tindak lanjut dan akan menurunkan kerugian daerah. 5.
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Isu tentang kinerja pemerintah daerah yang baik dewasa ini menjadi tuntutan rakyat sebagai perwujudan konsep otonomi daerah, yang ditunjukkan dengan kemampuannya dalam mengelola pemerintahan sehingga dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya secara keseluruhan (Auditya et al., 2013). Pengukuran kinerja dapat dianggap sebagai salah satu alat utama yang membantu untuk menilai situasi sekarang dan untuk membuat keputusan, yang membantu untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan. Pengukuran kinerja adalah alat yang menggambarkan peningkatan organisasi karena tidak mungkin
setiap organisasi dapat
bertindak secara efektif tanpa mengukur kinerjanya.Hal ini berarti bahwa sistem pengukuran kinerja memiliki dua fungsi utama, yaitu untuk memberikan informasi yang akan meningkatkan kinerja organisasi di sektor publik dan untuk menjelaskan dana yang digunakan
(Balabonienė dan
Večerskienė, 2015) Efisiensi dan ekonomisnya operasi perusahaan melakukan evaluasi kinerja. Hasil evaluasi akan
diketahui dengan
memberikan informasi
untuk pengambilan keputusan perusahaan. Secara tradisional, menghitung
49
rasio keuangan dari data akuntansi digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja dan masih digunakan saat ini. Digunakannya rasio keuangan sebagai alat evaluasi disebabkan
sistem akuntansi yang mungkin berbeda dan
indikator keuangan dianggap yang paling sesuai untuk evaluasi dan perbandingan kinerja perusahaan (Fenyves, Tarnóczi dan
Zsidó, 2015).
Kinerja keuangan memainkan peran penting sebagai mediasi dalam hubungan antara tanggung jawab sosial dan investor institusi (Wahba dan Elsayed, 2015) Kinerja keuangan Pemerintah Daerah merupakan gambaran keberhasilan Pemerintah Daerah berdasarkan ukuran dalam satuan nilai uang. Kinerja keuangan pemerintah daerah dapat diukur dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Analisis rasio keuangan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dilakukan untuk menciptakan transparansi, kejujuran, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, dalam pengelolaan keuangan daerah (Mardiasmo, 2009). Courtis (1978) dalam Al-Kassar danSoileau (2014) menyebutkan bahwa kinerja keuangan total dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu, profitabilitas, kinerja manajerial dan likuiditas (atau solvabilitas); Dalam studi tahun 2005, Taffler dan Agarwal menunjukkan bahwa empat dimensi kunci dari ukuran keuangan perusahaan: profitabilitas, posisi modal, risiko keuangan, dan likuiditas (Al-Kassar dan Soileau, 2014)
50
Kondisi dan kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dievaluasi dengan melakukan analisis atas laporan keuangan menggunakan beberapa rasio, seperti rasio aktivitas dan rasio pendapatan (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2014). Heriningsih dan Marita (2013) mengukur kinerja keuangan dengan rasio kemandirian,rasio aktivitas dan rasio pertumbuhan. Rasio kemandirian daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaaan
Pendapatan
Asli
Daerah
dibagi
dengan
jumlah
pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan propinsi serta pinjaman daerah. Rasio aktivitas membandingkan total belanja rutin terhadap total APBD. Rasio pertumbuhan membandingkan capaian PAD tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. Korupsi dan ekonomi merupakan bagian integral dari pengukuran governability, yang mengacu pada kemampuan yang efektif, responsif, dan manajemen pemerintah yang akuntabel. Karena arti-penting yang lebih besar atau pentingnya masalah ekonomi, kinerja ekonomi menjadi gambaran dari keseluruhan kinerja pemerintah. Evaluasi korupsi dipengaruhi oleh evaluasi kinerja ekonomi. Oleh karena itu, ketika ekonomi berada dalam kondisi yang baik, korupsi cenderung menjadi masalah kecil (Eunjung dan Jongseok, 2010). Korupsi dan ketimpangan pendapatan menimbulkan risiko yang signifikan
dalam
proses
pertumbuhan
untuk
sejumlah
negara
Persemakmuran. Ketika pemerintah memperkenalkan kebijakan langkahlangkah untuk memperbaiki ketimpangan pendapatan, seperti pajak penghasilan dan pengeluaran progresif yang lebih besar, kebijakan ini
51
menciptakan ruang untuk korupsi dan rent-seeking (Batabyal dan Chowdhury, 2015) Masyarakat dengan modal sosial, yang diinterpretasikan dengan kepercayaan interpersonal dan rasa kesetaraan politik tingkat tinggi, juga memiliki pemerintah yang berkualitas tinggi, dimana kualitas pemerintah diukur dengan indikator berbasis efektivitas kinerja dan responsif pemerintah. Pemerintahan yang berkualitas berkorelasi negatif dengan korupsi atau dengan kata lain, pemerintahan dengan kinerja yang baik akan menurunkan korupsi (Ledet, 2011) Korupsi
menghambat
pertumbuhan
ekonomi
dan
menambah
kesenjangan pendapatan. Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa korupsi memperburuk ketimpangan pendapatan karena rumah tangga berpenghasilan lebih rendah membayar proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka untuk melakukan suap (Batabyal dan Chowdhury, 2015) 6.
Ukuran Pemerintah Daerah Perusahaan yang lebih besar dan lebih menguntungkan cenderung melihat korupsi sebagai hal yang menguntungkan dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil atau yang kurang menguntungkan. Artinya semakin besar perusahaan semakin besar peluang korupsinya (Sahakyan and Stiegert, 2012 ; Blagojević dan Damijan, 2013). Ukuran perusahaan diwakili oleh total aset perusahaan (Wahba dan Elsayed, 2015). Efek signifikan dihasilkan oleh Ratio Assets Turnover dan Ukuran perusahaan dari Brasil, Chile, dan Meksiko, dan Rasio Utang terhadap harga saham di perusahaan
52
Kolombia. Ukuran Perusahaan menggunakan Total Aset yang dimiliki perusahaan (Vedd dan Yassinski, 2015) Penelitian di Indonesia oleh (Setyaningrum, 2012) menemukan bahwa ukuran pemerintah daerah terbukti berpengaruh negatif terhadap total jumlah temuan kasus oleh BPK-RI. Artinya semakin besar ukuran Pemerintah Daerah yang ditunjukkan dengan jumlah aset, semakin sedikit temuannya, karena Pemerintah Daerah cenderung lebih meningkatkan Pengendalian Internalnya. Ukuran pemerintah daerah juga berpengaruh positif pada pengungkapan pada website Pemerintah Daerah (Puspita dan Martani). Semakin besar ukuran daerah maka semakin tinggi skor kinerja yang dimiliki oleh daerah tersebut (Mustikarini dan Fitriasari), dimana kinerja ini juga dinilai dari nilai temuan yang dihasilkan dari audit atas Laporan Keuangan,semakin sedikit temuan,semakin baik kinerjanya. Ukuran pemerintah daerah memiliki pengaruh negatif terhadap kelemahan pengendalian intern (Martani dan Zaelani, 2011), artinya semakin besar ukuran pemerintah daerah yang ditunjukkan oleh jumlah aset, semakin baik sistem pengendalian internnya. Belanja Daerah juga berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah. Semakin besar belanja daerah ternyata menyebabkan semakin kecil nilai skor kinerja Pemda tersebut (Mustikarini dan Fitriasari), yang artinya semakin besar belanja daerah semakin besar peluang kerugian negara yang terjadi. Tingkat pengungkapan di laporan tahunan berhubungan positif dengan ukuran aset perusahaan dan tidak dipengaruhi oleh status listing, dimana bahwa ukuran aset adalah salah satu
53
pengganti untuk
ukuran perusahaan (Buzby, 1975). Pengungkapan
merupakan salah satu tuntutan dari akuntabilitas laporan keuangan. Ukuran pemerintah yang besar, yang diukur dengan total aset, akan memberikan kemudahan kegiatan operasionaluntuk memudahkan memberi pelayanan kepada masyarakat,
dalam
memberi kelancaran dalam
memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sebagai bukti peningkatan
kinerja. Namun ukuran daerah yang besar, menambah kewajiban pemerintah untuk meningkatkan akuntabilitas,karena besarnya ukuran daerah beresiko terhadap penyalahgunaan (Kusumawardani, 2012) Berdasarkan hal ini, penelitian ini menggunakan variabel Ukuran Pemerintah Daerah dan Belanja Daerah sebagai variabel kontrol.
B. Hipotesis 1.
E-Government dan Kerugian Daerah Penyelenggaraan pemerintahan, didalamnya juga dituntut dilakukan secara transparan
agar dapat dipantau oleh warga negara. Dengan
dilakukannya hal ini maka terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam penyelenggaraan negara dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Agency Theory juga mempromosikan transparansi yang tinggi dalam informasi untuk mengurangi biaya agensi (Johansson dan Malmstrom, 2013). Transparansi
dan
integritas
adalah
unsur
penting
dalam
pengembangan strategi untuk mengekang masalah yang berkaitan dengan korupsi (Ishak dan Said, 2015). Pemerintah Republik Indonesia menanggapi
54
tuntutan transparansi ini dengan menerapkan e-government di Indonesia sebagai salah satu cara untuk mengatasi luasnya wilayah Indonesia. Peningkatan keterbukaan pemerintah maka dapat menyebabkan peningkatan akuntabilitas dan mengurangi korupsi pemerintah. E-government memiliki kemampuan untuk meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas layanan dan membangun kepercayaan masyarakat dengan mempromosikan pemerintahan yang terbuka dan akuntabel dan mencegah korupsi (Vasudevan, 2007). Penggunaan e-government di Seoul, Korea Selatan terbukti menurunkan korupsi di pemerintah (D'Agostino et al., 2011). Penggunaan egovernment terbukti mengurangi korupsi di negara anggota Uni Eropa dan non-Uni Eropa (Lupu dan Lazăr, 2015). E-government mewujudkan transparansi fiskal untuk membuat persepsi korupsi yang lebih baik (Justice dan McNutt, 2013). Sistem informasi dapat memastikan bahwa benda-benda (aset) digunakan dengan cara yang paling efektif dan cara yang efisien (ÇOruhlu dan DemİR, 2015). Korupsi bisa terjadi karena kurangnya transparansi, baik itu organisasi publik ataupun organisasi swasta (Arredondo Trapero et al., 2014). E-government akan mewujudkan transparansi dan akuntabilitas yang dapat digunakan untuk
membongkar faktor-faktor yang mendorong korupsi
(Mistry, 2012). Penggunaan teknologi informasi akan meningkatkan akuntabilitas sehingga berpotensi untuk memotong korupsi (Miyata, 2011), dan internet menjanjikan untuk menjadi alat yang berguna dalam memerangi korupsi (Goel et al., 2012). E-Governance berpengaruh positif pada
55
meningkatnya hubungan-warga pemerintah dan pengurangan korupsi (Pathak et al., 2008) Atas dasar paparan diatas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: H1 : e-Government berpengaruh negatif pada kerugian daerah pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia. 2.
Kapabilitas APIP dan kerugian daerah. Sistem pengendalian internal yang kuat akan meyakinkan pengguna atas keandalan informasi dalam laporan keuangan organisasi (Lehmann, 2010). Efektivitas pengendalian intern pemerintahan akan mempengaruhi kualitas pelaporan keuangan, yang nantinya akan berpengaruh pada akuntabilitas kinerja (Indriasih dan Koeswayo, 2014). Teori keagenan menyebutkan bahwa pengendalian internal diperlukan
principal untuk
mengawasi tindakan agen (Gomez-Mejia dan Balkin, 1992). Audit internal dapat memainkan peran penting dalam mendeteksi dan mencegah penipuan (Agarwal dan Medury, 2014). Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) mewajibkan semua instansi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menerapkan SPIP, agar tercapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Auditor internal dapat membantu manajemen mempertahankan kontrol internal yang kuat dan membantu auditor eksternal ketika melakukan audit laporan keuangan. Hasil penelitian menunjukkan audit delay menurun ketika auditor internal berkualitas (Pizzini et al., 2015).
56
Seorang profesional tidak berkewajiban untuk menawarkan jasanya kepada orang lain kecuali dia memiliki alasan untuk percaya bahwa pendidikan, pelatihan, pengalaman, dan karakteristik pribadinya cukup baik untuk memberikan layanan. Sebagi profesional, auditor internal harus dilengkapi dengan aturan atau standar profesional yang dirancang untuk meningkatkan tingkat dan kualitas layanan yang diberikan (Campfield, 1960). Auditor eksternal bersedia untuk lebih mengandalkan audit internal di lingkungan audit yang modern (otomatisasi), dan efek ini semakin besar ketika laporan audit tahun sebelumnya terhadap efektivitas pengendalian internal menunjukkan bahwa pengendalian bekerja dengan baik (Malaescu dan Sutton, 2015). Ketergantungan auditor eksternal pada kerja auditor internal dapat meningkatkan kualitas audit. Artinya, ketika auditor internal mengidentifikasi kelemahan pengendalian dan tidak mentolerirnya, sementara auditor
eksternal
bergantung
dengan
auditor
internal,
maka
ini
ketergantungan bisa berdampak positif pada kualitas evaluasi pengendalian (Stefaniak dan Cornell, 2011) Mekanisme pengawasan internal lainnya dalam sebuah organisasi bisa dikontrol oleh CEO atau Pimpinan (Chen et al., 2012), sehingga auditor yang berkualitas sangat diperlukan untuk menghindari hal ini. Auditor internal harus meningkatkan pengetahuan mereka dengan berinvestasi dalam pelatihan tambahan untuk meningkatkan pengetahuan (Steinbart et al., 2013), karena peningkatan struktur pengetahuan menyebabkan peningkatan kinerja auditor dalam melaksanakan tugasnya (Asare et al., 2013). Hasil penelitian
57
menyebutkan bahwa seorang individu yang menjaga karakteristik pribadinya seperti integritas, akuntabilitas, tanggung jawab, komitmen, ketekunan dan kompetensi akan menghasilkan ekonomi yang sehat. Perusahaan-perusahaan akuntan publik telah berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, keterampilan dan pengetahuan profesi (Flint, 2005). Keterampilan dasar harus dimiliki seorang auditor internal untuk meninjau proses, operasi, dan tujuan sebuah organisasi. Gelar sarjana yang biasanya disukai adalah akuntansi, keuangan, administrasi bisnis atau sistem informasi komputer. Mereka sering dilatih pada pekerjaannya oleh auditor yang berpengalaman dalam struktur audit, pengumpulan informasi, penilaian pengendalian dan penulisan laporan dan
auditor bersertifikat biasanya
mendapat gaji yang lebih tinggi (O'Donnell, 2015). Auditor yang memiliki motivasi yang cukup tinggi pada pengawasan mungkin menyesuaikan Sikap mereka dan dengan demikian berperilaku lebih skeptis. Pengetahuan penipuan diperoleh melalui pelatihan dapat meningkatkan perilaku skeptis profesional auditor (Noviyanti dan Winata, 2015). Hal ini menyiratkan,bahwa fungsi audit internal sangat penting. Dan untuk menjalankan fungsinya, auditor internal harus memiliki kapabilitas (kualitas) yang memadai, karena semakin berkualitas auditor internalnya akan semakin dipercaya untuk mengurangi penyimpangan yang terjadi. Dari hasil pemeringkatan yang dilakukan BPKP, terlihat bahwa semakin tinggi level APIP, semakin baik kualitasnya. Atas dasar paparan diatas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:
58
H2 :
Kapabilitas APIP berpengaruh negatif pada kerugian daerah pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia.
3.
Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Audit dan Kerugian Daerah Penipuan dan mekanisme pencegahan, dideteksi dengan melakukan audit operasional, peningkatan peran komite audit, review dan perbaikan pengendalian internal, ulasan kas, kebijakan pelaporan penipuan, dan kebijakan rotasi staf adalah mekanisme yang efektif untuk dilaksanakan oleh auditor internal dan akuntan di sektor publik. Ini menunjukkan bahwa auditor internal dan akuntan sektor publik memainkan peran penting dalam deteksi dan pencegahan penipuan (Othman, Abdul Aris, Mardziyah, Zainan dan Amin, 2015), karena audit adalah kegiatan formal, sistemik tematik, dan pendekatan disiplin yang dirancang untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses dan kontrol terkait. Audit diatur dengan standar profesional, dilaksanakan oleh individu yang independen dan biasanya dilakukan oleh individu yang memiliki sertifikasi (Weatherford dan Ruppert, 2016). Audit merupakan bagian dari akuntabilitas karena memberi kontribusi untuk kesehatan keuangan pemerintah dan pengelolaan uang rakyat. Walaupun auditing penting untuk akuntabilitas, audit dengan sendirinya tidak berarti cukup untuk menghasilkan
akuntabilitas. Audit memiliki peran
penting untuk bermain di akuntabilitas pemerintahan karena dapat memaksa instansi pemerintah terus bertanggung jawab secara finansial. Sebuah sistem audit yang kurang baik dapat menyebabkan
perilaku ilegal dan dapat
membuat pejabat rentan terhadap korupsi (Gong, 2009).
59
Audit dan akuntabilitas dapat berkontribusi sebagai kontrol korupsi. Audit tidak hanya menyediakan jaminan terhadap penggunaan sumber daya publik yang efektif, tapi juga membatasi penyalahgunaan otoritas publik. Audit berfungsi efektif sebagai pendukung akuntabilitas tidak hanya karena proses pencarian, tapi juga karena merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan rasa kewajiban.Dalam pandangan yang lebih luas, peran audit meliputi monitoring dan kontrol untuk berkontribusi dalam semua aspek akuntabilitas pemerintah. Pendekatan audit tidak efektif mencerminkan akuntabilitas, jika tindakan setelah audit tidak dilaksanakan (Gong, 2009). Audit, khususnya audit kinerja memberikan jaminan efisiensi dan efektivitas auditi. Ketika auditor melakukanaudit kinerja, auditor juga dapat menunjukkan daerah untuk perbaikan dan memberikan saran bagaimana tindakan klien untuk memperbaikinya; memberikan manajemen senior bukti eksplisit tentang kinerja seluruh organisasi.Audit kinerja dalam beberapa organisasi, khususnya di pemerintah daerah di mana pemilu biasanya diadakan setiap tahun, adalah umum
bahwa pihak berwenang memiliki
tujuan jangka pendek yang cenderung bermotif politik. Auditor dapat membantu mereka untuk menyadari pentingnya memiliki
tujuan jangka
menengah dan panjang (Alwardat et al., 2015) Tindak Lanjut Hasil Audit adalah langkah yang dilakukan oleh auditi untuk menyelesaikan temuan hasil audit yang dikelurkan auditor. Kegiatan tindak lanjut diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi perbaikan pelaksanaan kegitan auditi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
60
Tahun 2004, memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan, sehingga bila diduga terjadi penyimpangan dapat ditindaklanjuti oleh auditi. Dengan segera melakukan tindak lanjut atas temuan audit, akan mengurangi pelimpahan hasil temuan, yang berupa dugaan penyimpangan, kepada aparat penegak hukum. Penelitian di China menunjukkan bahwa lembaga audit lokal dapat mendeteksi perilaku dan pelanggaran pendapatan dan pengeluaran keuangan publik dan membuat keputusan yang sesuai untuk memperbaiki masalah ini dan upaya perbaikan setelah audit (tindak lanjut) lebih penting daripada proses deteksi penipuan itu sendiri (Liu dan Lin, 2012). Penyelesaian tindak lanjut setelah audit memberikan kontribusi pada menurunnya tingkat korupsi. Semakin tinggi penyelesaian tindak lanjut, semakin kecil tingkat korupsinya. Atas dasar paparan diatas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: H3 :
Prosentase Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Audit BPK RI berpengaruh negatif pada kerugian daerah pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia.
4.
Kinerja Keuangan (Rasio Belanja Pegawai dan Rasio Pertumbuhan) dan Kerugian Daerah Pengkuran prestasi perusahaan di sektor bisnis dilakukan dengan mengukur kinerja keuangannya. Dengan mengukur kinerja keuangannya, akan diketahui efektivitas dan efisiensi
perusahaan dalam mengunakan
61
modalnya untuk mencapai tujuan perusahaan. Pada sektor publik atau pemerintahan, pengukuran kinerja keuangan juga dilakukan,meskipun berbeda tujuan dengan pengukuran kinerja keuangan pada sektor bisnis. Jika pada sektor bisnis, pengukuran kinerja keuangan dilakukan untuk keputusan investasi, maka di sektor publik dilakukan untuk menilai akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Penilaian kinerja keuangan dilakukan dengan membuat rasio-rasio, yang merupakan perbandingan antara angka-angka tertentu dalam laporan keuangan dikalikan 100%. Jensen and Meckling dalam (Bitler et al., 2005) menyebutkan bahwa konflik keagenan dapat diselesaikan dengan memberikan orang (agen) atas kepemilikan perusahaan, sehingga mereka akan ikut menanggung seluruh biaya yang timbul dari
tindakan mereka dalam perusahaan. Sarin dan
Majahan (2001) menyatakan bahwa penghargaan dan hukuman adalah ekstensi logis dari proses kontrol, disamping informasi, monitoring dan umpan balik. imbalan penting untuk mengontrol sistem karena orang yang menerima konsekuensi positif dari tindakan yang dilakukan, akan mengulangi tindakan-tindakan tersebut, dan menghindari tindakan apapun yang mengarah ke konsekuensi negatif (Carbonell dan Rodríguez-Escudero, 2016) Pada perusahaan, untuk mencegah motif dasar dari manajer untuk melakukan penyimpangan diberikan paket kompensasi, yang terdiri dari saham ekuitas dan bonus uang tunai yang berhubungan dengan keuntungan saat ini (Nikolov dan Whited, 2014). Organisasi dengan risiko tinggi
62
memberikan kompensasi untuk manajer dalam bentuk variabel gaji, seperti teori organisasi klasik, dengan harapan akan membangun hubungan positif jangka panjang antara organisasi dan manajer (Stroh et al., 1996) Pemberian remunerasi melalui bonus terkait dengan kinerja, untuk mengeksploitasi peluang yang sah untuk keuntungan yang luar biasa diberikan untuk menghindari tindakan kecurangan yang dilakukan agen atas principal (Buchanan et al., 2014). Karena biaya yang dihadapi oleh principal dalam mengatasi masalah asimetri informasi, teori keagenan positif berusaha untuk mengurangi biaya agensi tersebut melalui desain kontrak antara principal dan agen (Cuevas-Rodríguez et al., 2012). Imbalan kompensasi akan diberikan kepada agen oleh principal, sebagai konsekuensi agar tidak terjadi asimetri informasi antara principal dan agen (Heracleous dan Lan, 2012). Asimetri informasi yang terjadi dalam hubungan antar manajemenorganisasi perusahaan dapat dihilangkan dengan memberikan insentif yang memotivasi dan mendidik untuk tidak berperilaku oportunis (Boučková, 2015). Untuk mengurangi moral hazard yang melekat dalam diri agen, maka principal mengembangkan mekanisme, (1) mengawasi tindakan agen dan (2) memberi reward kepada agen ketika mereka bertindak sesuai dengan tujuan principal (Gomez-Mejia dan Balkin, 1992). Reward adalah salah satu elemen kunci penting untuk memotivasi karyawan untuk memiliki kinerja yang lebih baik dan fleksibel.
63
Sebagai topik manajemen baru dan populer; manajemen reward terdiri dari menganalisis dan mengendalikan manfaat termasuk remunerasi dan pengembangan bagi karyawan. Tujuan dari manajemen reward adalah untuk menciptakan struktur reward yang efisien, menghargai karyawan yang cukup dan memotivasi karyawan untuk bekerja dalam mencapai tujuan organisasi (Aksakal
dan
Dağdeviren,
2014).
Organisasi
kontemporer
sering
menggunakan praktik reward untuk mendorong kegiatan kreatif antara karyawan sebagian besar manajer memanfaatkan imbalan ekstrinsik untuk menarik perhatian karyawan ke arah kreativitas (Hye Jung, Sun Young dan Jin Nam, 2015) Teori ekonomi menyebutkan bahwa individu yang berhak menerima hadiah uang tunai mungkin akan memilih tujuan lebih sulit dan bersedia untuk mengerahkan upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Presslee, Vance dan Webb, 2013). Kompensasi manajemen puncak diakui sebagai mekanisme penting dalam hubungannya dengan perilaku manajerial untuk hasil organisasi, terutama
untuk hasil yang diinginkan oleh para
pemangku kepentingan perusahaan. Agency Theori mengatur penggunaan kompensasi berdasarkan kinerja agen (Roth dan O'Donnell, 1996). Imbalan Keuangan memiliki efek positif pada kinerja karyawan. Seorang pekerja yang melihat produktivitas tinggi sebagai jalan untuk menuju pencapaian satu atau lebih dari tujuan pribadi, ia akan cenderung menjadi produser tinggi. Karyawan akan termotivasi untuk mengeluarkan sejumlah besar usaha dalam
64
karyanya jika ia merasa upaya sebelumnya telah dihargai (Aksakal dan Dağdeviren, 2014). Kompensasi
telah lama digunakan dalam total reward
yang
direncanakan untuk CEO yang diambil dari keuntungan perusahaan.Paket kompensasi CEO memungkinkan Dewan komisaris (direksi) untuk menghargai kinerja CEO (Stringham, 2014). Pekerjaan berbasis imbalan memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja. Dengan sistem prosesreward
anggota tim akan merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka
(Carbonell dan Rodríguez-Escudero, 2016). Penghargaan kas akan membuat kinerja yang lebih baik di mana mampu mempengaruhi karyawan menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuan kinerja mereka (Presslee et al., 2013). Korupsi lebih rendah ketika gaji pegawai negeri dibayar lebih tinggi (Dzhumashev, 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh langsung yang signifikan dari imbalan intrinsik pada kreativitas karyawan. Dengan demikian, imbalan intrinsik akan meningkatkan kinerja karyawan dengan meningkatkan komitmen mereka untuk kreativitas. Selain itu, penghargaan intrinsik adalah prediktor yang signifikan atas kinerja kreatif karyawan (Hye Jung et al., 2015). Atas dasar paparan diatas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: H4 : Belanja Pegawai berpengaruh negatif pada kerugian daerah pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia.
65
Korupsi pada hakekatnya berhubungan dengan pendapatan. Semakin tinggi pendapatan,semakin rendah tingkat korupsinya (de Mendonça dan da Fonseca, 2012). Di bawah sistem pembagian pajak, semakin besar keterlibatan pemerintah daerah mempertahankan penerimaan pajak marginal, akan menurunkan insentif mereka untuk mengambil suap (Fan et al., 2009) Korupsi menyebabkan penggelapan pajak, yang pada gilirannya menyebabkan menurunkan pendapatan pajak (Dincer dan Gunalp, 2012). Korupsi menurunkan pendapatan dari pajak dan biaya: Korupsi dapat menyebabkan penggelapan pajak, administrasi perpajakan yang buruk, mendukung kelompok orang kaya dan mengurangi progresivitas sistem pajak, sehingga meningkatkan ketimpangan pendapatan (Batabyal dan Chowdhury, 2015). Korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi secara langsung dan tidak langsung melalui menurunnya investasi. Korupsi tidak hanya meningkatkan biaya produksi tetapi juga ketidakpastian, terutama pada kasus korupsi yang terdesentralisasi,
sehingga
menurunkan
investasi.Peningkatan
korupsi
mengurangi tingkat pertumbuhan PDB dan pendapatan per kapita (GyimahBrempong, 2002). Dihilangkannya korupsi dalam proses redistribusi fiskal secara efektif menahan ketimpangan pendapatan dan mempromosikan harmoni sosial (Zengyu dan Qiongzhi, 2014) Hindricks et al. (1999) dalam Zengyu danQiongzhi (2014) menyebutkan bahwa penggelapan pajak dan korupsi serius mendistorsi distribusi pendapatan. Korupsi adalah gejala lemahnya kualitas kelembagaan
66
dan berpotensi memberikan efek merugikan pada pertumbuhan ekonomi. Hubungan korupsi dengan pertumbuhan menunjukkan bahwa tingkat korupsi yang lebih tinggi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan PDB per kapita (Ugur, 2014). Korupsi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Mengurangi tingkat korupsi kemungkinan akan meningkatkan pendapatan (Cole, 2007). Mengurangi korupsi tidak hanya meningkatkan tingkat pertumbuhan pendapatan, tapi juga
meningkatkan distribusi pendapatan. Penelitian
menunjukkan bahwa daerah yang berbeda di dunia harus menempatkan penekanan yang berbeda pada kebijakan untuk mengurangi korupsi sebagai cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan distribusi pendapatan (Gyimah-Brempong dan De Camacho, 2006). Atas dasar paparan diatas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: H5 :
Pertumbuhan PAD berpengaruh negatif pada kerugian daerah pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia.
5.
E-Government memoderasi Kapabilitas APIP, Penyelesaian Tindak Lanjut dan Kinerja Keuangan Pemerintah daerah dalam menurunkan Kerugian Daerah Dengan perkembangan teknologi informasi dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah Internet mendapat perhatian khusus, karena pertumbuhan yang luar biasa dalam penggunaan peralatan komputer, menjadi tantangan bagi auditor untuk mempersiapkan rencana kerja untuk evaluasi pengendalian
internal
dengan
sistem
komputerisasi
(Vieira,
2007).
67
Pembangunan e-government dan pembangunan e-bisnis berpengaruh positif dengan kinerja ekonomi nasional (Srivastava dan Teo, 2010). Studi ekonometrik memiliki bukti bahwa ada hubungan positif yang kuat antara investasi TIK dan pertumbuhan PDB. Hal ini menggambarkan pentingnya TIK untuk pembangunan, baik di sektor komersial maupun publik sektor (Ndou, 2004). Tingkat sumber daya dan ukuran suatu negara tampaknya dikaitkan dengan sejauh mana hal itu disampaikan melalui layanan web, yang berarti lebih besar negara itu dalam hal pendapatan dan populasi, semakin besar keterlibatannya dalam e-government (Lněnička, 2015) Pelaporan kinerja dalam laporan anggaran secara online berfungsi sebagai mekanisme untuk membangun kepercayaan publik. Secara internal, itu berfungsi sebagai mekanisme kontrol untuk manajer yang bertanggung jawab dan meningkatkan efektivitas pelayanan publik. Dengan penerapan egovernment, ada harapan baru di kalangan warga negara sebagai pengguna untuk mendapatkan informasi kinerja yang relevan dan tepat dari instansi pemerintah (Melitski dan Manoharan, 2014) Pemerintah dituntut menjadi organisasi berkinerja tinggi, sehingga membutuhkan revitalisasi pemerintah dan penciptaan kembali (modernisasi) manajemen publik, dimana e-government dianggap sebagai modernisasi administrasi publik (Barbosa et al., 2013).Sebagai konstruksi praktek sosial, audit publik dengan teknologi menawarkan potensial lebih dalam mengatur kehidupan ekonomi dan sosial terkait dengan fungsinya (Eckersley et al., 2014).
68
Proses transparansi anggaran menghasilkan biaya lebih rendah untuk kenaikan pajak. Kenaikan pajak ini diterima oleh masyarakat ketika mereka tahu bagaimana sumber daya publik dihabiskan. Hasil dari studi empiris telah menunjukkan bahwa transparansi adalah alat yang efektif dalam mendukung pengelolaan yang berkelanjutan (Cimpoeru dan Cimpoeru, 2015) Atas dasar paparan diatas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: H6 :
e-government memoderasi Kapabilitas APIP, Penyelesaian Tindak Lanjut dan Kinerja Keuangan Pemerintah daerah dalam menurunkan Kerugian Daerah.
C. Kerangka Penelitian Dalam penelitian ini yang diuji adalah pengaruh faktor pelaksanaan egovernment, kapabilitas APIP, prosentase penyelesaian tindak lanjut hasil audit BPK RI dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah terhadap kerugian daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia. Kerangka penelitiannya digambarkan pada gambar 2.1 berikut :
69
E-Gov (-) IACM
TL
(-) (-)
Kerugian Daerah
SistemPengendalian Intern (-) AKT
(-)
Growth Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Size
Expt Variabel Kontrol Gambar 2.1 Kerangka Penelitian (Model I) Penelitian ini juga menguji adalah faktor e-government sebagai variabel moderating pada kapabilitas APIP, prosentase penyelesaian tindak lanjut hasil audit BPK RI dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah terhadap penurunan
70
kerugian daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia. Kerangka penelitiannya digambarkan pada gambar 2.2 berikut :
IACM
TL
(-) (-)
Kerugian Daerah
SistemPengendalian Intern (-) AKT
(-)
Growth E-Gov Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Variabel Moderator
Gambar 2.2 Kerangka Penelitian (Model II, III, IV dan V)