7
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Kemampuan Komunikasi Matematika Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa atau sanggup melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan (Depdikbud dalam Meylasari, 2012). Poerwadarminta (dalam Pauweni, 2012:8) berpendapat bahwa kemampuan bermakna kesanggupan atau kecakapan atau kekuatan, juga bermakna kekayaan. Kemampuan merupakan ketika seseorang sanggup atau bisa melakukan sesuatu dengan mengandalkan diri sendiri baik itu dari segi perbuatan fisik maupun pikiran. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Chaplin (dalam Ian, 2010) ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Ada pula pendapat lain menurut Akhmat Sudrajat (dalam Ian, 2010) menghubungkan kemampuan dengan kata kecakapan. Setiap orang memiliki kecakapan yang berbeda-beda dalam melakukan suatu perbuatan. Kecakapan ini mempengaruhi potensi yang ada dalam diri seseorang tersebut. Pada saat kegiatan belajar mengajar, proses pembelajarannya yang mengharuskan siswa mengoptimalkan segala kecakapan yang dimiliki. Kemudian kaitannya dengan kemampuan komunikasi matematika, menurut Arifin (dalam Pauweni, 2012:8) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan kata dari perkataan inggris “communication” yang bersumber dari bahasa latin communicatio yang artinya pemberitahuan, pemberian bagian (dalam
8
sesuatu), pertukaran dimana si pembaca mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya atau ikut mengambil bagian. Pauweni (2012:8) berpendapat bahwa komunikasi merupakan suatu upaya dari seseorang atau bersama orang lain untuk membangun kebersamaan dengan orang lain dengan membentuk hubungan dalam berbagi atau menggunakan informasi secara bersama. Sedangkan
Sardiman
(dalam
Abdullah,
2010:12)
mengemukakan
komunikasi (konseptual) yaitu memberitahukan (dan menyebarkan) berita, pengetahuan, pikiran-pikiran dan nilai-nilai dengan maksud untuk menggugah partisipasi agar hal-hal yang diberitahukan menjadi milik bersama. Komunikasi yang terjadi dalam proses pembelajaran merupakan proses berbagi informasi antara guru dan peserta didik untuk menncapai pengertian timbal balik. Secara umum komunikasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan saling menyampaikan informasi dari komunikator kepada komunikan dalam suatu komunitas. Collins, dkk (Abadi, 2011) mengatakan “salah satu tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai adalah memberikan kesempatan seluas-luasanya kepada para siswa untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi melalui modeling, speaking, writing, talking and drawing serta mempresentasikan apa yang dipelajari”. Menurut
NCTM
dalam
Abdullah
(2010:14)
bahwa
komunikasi
matematika merupakan bagian yang esensial dari pembelajaran matematika. Sedangkan menurut Peressini dan Bassett (dalam Weti, 2010) berpendapat bahwa
9
tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Dalam matematika, berkomunikasi mencakup ketrampilan/kemampuan untuk membaca, menulis, menelaah dan merespon suatu informasi. Dalam komunikasi matematika, siswa dilibatkan secara aktif untuk berbagi ide dengan siswa lain dalam mengerjakan soal-soal matematika. Hulukati (2005:15) mengemukakan bahwa komunikasi dalam matematika dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling berhubungan/dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari di kelas. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di lingkungan kelas adalah guru dan siswa. Sedangkan cara pengalihan pesan dapat dilakukan secara tertulis dan lisan. Komunikasi matematika merupakan suatu kegiatan menyampaikan pendapat atau informasi dari seseorang kepada orang lain tentang pemahaman seseorang terhadap matematika. Tanpa komunikasi juga, baik lisan maupun tulisan dalam matematika, seorang guru/pendidik akan mendapatkan sedikit keterangan, data dan informasi untuk mengukur pemahaman peserta didik tentang konsep, rumus atau materi yang telah diberikan. Dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi matematika dibutuhkan kecakapan atau kemampuan. Selanjutnya Helmaheri (dalam Abdullah, 2010:15) menerangkan kemampuan komunikasi matematika merupakan kompetensi hasil belajar matematika yang merupakan bagian dari kemampuan berpikir matematis
10
tingkat tinggi. Kemampuan komunikasi matematika yang dimaksud merupakan kemampuan untuk menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika baik secara lisan, tertulis dan mendemonstrasikan. Menurut Within (dalam Abdullah, 2010:16) bahwa komunikasi baik secara lisan maupun tertulis, demonstrasi maupun representasi dapat membawa peserta didik pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Menurut Sumarmo (dalam Andriani, 2008) kemampuan komunikasi matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk: (a) Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika, (b) Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik dan aljabar, (c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika, (d) Mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika, (e) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, (f) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi, (g) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari. Lebih lanjut Greenes dan Schulman (dalam Pauweni, 2012:10) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematika meliputi kecakapan dalam (1) Mengekspresikan ide-ide dengan berbicara, menulis, mendemonstrasikan dan melukiskannya secara visual dengan berbagai cara yang berbeda, (2) Memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide yang dikemukakannya dalam bentuk
tulisan
atau
bentuk
visual
lainnya,
(3)
Mengkonstruksikan,
menginterpretasikan dan menghubungkan berbagai representasi dari ide-ide dan
11
hubungan-hubungannya, (4) Mengamati, membuat konjektur, mengajukan pertanyaan, mengumpulkan dan mengevaluasi informasi, (5) Menghasilkan dan menghadirkan argumen yang jelas. Kemampuan komunikasi dalam matematika bukan hanya kemampuan siswa dalam hal menghitung serta menyelesaikan soal-soal yang menggunakan rumus, tetapi juga kemampuan siswa berpartisipasi dalam berdiskusi pada kelompok-kelompok kecil selama proses pembelajaran berlangsung. Menurut Bansu Irianto Ansari (dalam Andriani, 2008), kemampuan komunikasi matematika terdiri dari dua aspek yaitu komunikasi lisan (talking) dan komunikasi tulisan (writing). Komunikasi lisan diungkap melalui intensitas keterlibatan siswa dalam kelompok kecil selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sementara yang dimaksud dengan komunikasi tulisan adalah kemampuan dan keterampilan siswa menggunakan kosa kata (vocabulary), notasi dan struktur matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta memahaminya dalam memecahkan masalah. Hal senada juga dikatakan Sullivan & Mousley (dalam Andriani, 2008), komunikasi matematik bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan, bekerja sama (sharing), menulis, dan akhirnya melaporkan apa yang telah dipelajari. Kemudian kemampuan komunikasi matematika menurut Jacob (dalam Andri, 2008) yaitu meliputi: (1) Merepresentasi, (2) Mendengar, (3) Membaca, (4) Berdiskusi, dan (5) Menulis. Sedangkan kemampuan komunikasi model Cai, Lane
12
dan Jakabcin (dalam Pauweni, 2012:11) meliputi: (1) Menulis matematika, (2) Menggambar matematik, dan (3) Ekspresi matematik. 1) Menulis matematika. Pada kemampuan ini siswa dituntut dapat menuliskan penjelasan dari jawaban permasalahannya secara matematik, masuk akal, dan jelas serta tersusun secara logis dan sistematis; 2) Menggambar matematik. Pada kemampuan ini siswa mampu melukiskan gambar, diagram dan tabel secara lengkap dan benar; 3) Ekspresi matematik. Pada kemampuan ini siswa mampu memodelkan matematika dengan benar, kemudian melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara lengkap dan benar. Kemampuan komunikasi matematika dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui percakapan atau dialog yang terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus atau strategi penyelesaian suatu masalah. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas adalah guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun tertulis. Dari beberapa uraian tentang komunikasi matematika siswa di atas, khususnya kemampuan komunikasi matematika secara tertulis adalah bentuk kemampuan yang dimiliki siswa dalam menulis, menggambar, serta ekspresi matematika. Kemampuan komunikasi matematika siswa dapat dikembangkan jika siswa mampu menghubungkan benda nyata, gambar, diagram dan peristiwa kehidupan
sehari-hari
kedalam
ide
dan
simbol
matematika.
Dengan
13
berkembangnya kemampuan komunikasi matematika tersebut, siswa diharapkan dapat lebih menghargai dan memaknai matematika. Matematika tidak hanya dianggap sebagai pelajaran yang terkenal dengan kesukarannya dan juga sebagai bahasa simbol tanpa makna, melainkan dapat berguna untuk membantu memudahkan permasalahan yang dihadapi baik dalam dunia sekolah atau kehidupan sehari-hari siswa. Selanjutnya untuk melihat kemampuan komunikasi matematika siswa dalam
pembelajaran
kemampuan
matematika,
komunikasi
dalam
dapat
dilihat
matematika.
dari Banyak
indikator-indikator pendapat
yang
mengemukakan tentang indikator-indikator komunikasi matematika. Misalnya, indikator kemampuan komunikasi matematika yang diungkapkan oleh Sumarmo (dalam Weti, 2010) komunikasi matematika meliputi kemampuan siswa: (1) menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika; (2) menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar; (3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (5) membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis; (6) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; (7) menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari. Sedangkan indikator komunikasi matematis menurut NCTM (Herdian, 2010) antara lain: (a) kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
14
(b) kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan maupun dalam bentuk visual lainnya; (c) kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubunganhubungan dengan model-model situasi. Dalam indikator kemampuan komunikasi matematika ini, penulis mengacu pada kemampuan komunikasi matematika model Cai, Lane dan Jakabcin seperti yang telah disebutkan sebelumnya yakni meliputi: kemampuan (1) Menulis matematika; (2) Menggambar matematika; dan (3) Ekspresi matematika. Kaitan antara komunikasi dan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika menurut Scheidear dan Saunders (Hulukati, 2005:18) adalah komunikasi dalam pembelajaran matematika bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami soal cerita dan mengkomunikasikan hasilnya. Komunikasi matematika sangat berperan penting dalam pemecahan masalah. Sedangkan
menurut
Riedesel
(Hulukati,
2005:22-23)
komunikasi
matematika berkaitan erat dengan kemampuan pemecahan masalah, sebab dalam mengungkapkan suatu masalah dapat dilakukan dengan jawaban terbuka, masalah dinyatakan dengan cara lisan, menggunakan diagram, grafik dan gambar, mengangkat masalah yang tidak menggunakan analogi dan menggunakan perumusan masalah siswa. Sejalan dengan tujuan aktivitas pemecahan masalah sebagaimana pendapat Feinberg (Hulukati, 2005) yaitu bahwa guru dapat menggunakan aktivitas pemecahan masalah untuk tujuan ganda seperti
15
mengembangkan keterampilan berpikir kritis, keterampilan pengorganisasian data dan keterampilan komunikasi. Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis menggunakan metode pemecahan masalah sebagai aktivitas pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematika siswa.
2.1.2 Metode Pembelajaran Pemecahan Masalah a. Pengertian Metode pembelajaran pemecahan masalah atau belajar memecahkan masalah dijelaskan oleh Cooney et al (dalam Shadiq, 2009:4) bahwa pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu tindakan yang dilakukan guru agar para siswanya termotivasi untuk menerima tantangan yang ada pada pertanyaan (soal) dan mengarahkan para siswa dalam proses pemecahannya. Pemecahan masalah didefinisikan oleh Polya (dalam Herdian, 2010) sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Tim PPPG Matematika (dalam Hafizh, 2012) menegaskan pemecahan masalah adalah merupakan proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Karena itu pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang tinggi. Istilah pemecahan masalah sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula. Tetapi pemecahan masalah dalam matematika memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis besar Branca (dalam Machmud, 2010:34) menjelaskan bahwa terdapat tiga macam interpretasi
16
istilah pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika, yaitu: (1) Pemecahan masalah sebagai tujuan, (2) Pemecahan masalah sebagai proses dan, (3) Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar. 1. Pemecahan masalah sebagai tujuan. Para pendidik, khususnya dalam bidang matematika seringkali menetapkan pemecahan masalah sebagai salah satu tujuan pembelajaran matematika. Yang terpenting adalah belajar bagaimana menyelesaikan masalah merupakan alasan utama untuk belajar matematika. 2. Pemecahan masalah sebagai proses. Dalam aspek ini, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai proses mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi yang baru dan tidak biasa. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah metode, prosedur dan strategi yang digunakan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. 3. Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar. Terakhir, pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar. Ada beberapa keterampilan dasar dalam matematika, antara lain ketrampilan berhitung, ketrampilan aritmetika, ketrampilan logika, dan lainnya. Dari beberapa pandangan tentang pemecahan masalah di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemecahan masalah sebagai tujuan inti dan utama dalam kurikulum matematika berarti dalam pembelajaran matematika lebih mengutamakan proses siswa menyelesaikan masalah dari pada sekedar hasil, sehingga kemampuan pemecahan masalah dijadikan sebagai keterampilan dasar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika.
17
b. Karakteristik Pemecahan Masalah Menurut Taplin (dalam Sumardyono, 2011), karakteristik khusus dalam metode pemecahan masalah, yaitu (1) Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa, (2) Adanya dialog matematis antar siswa, (3) Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi penyelesaiannya, (4) Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi; (5) Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah; (6) Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri; dan (7) Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan pemecahan masalah dapat menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep, sebuah proses sentral dalam matematika. Konsep dasar dan karakteristik metode pemecahan masalah diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Menurut Sanjaya (2010:214215) terdapat tiga ciri utama dari metode pemecahan masalah yaitu: pertama, merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa, kedua aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah, yang menempatkan masalah sebagai kunci dari proses belajar, ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berfikir secara ilmiah.
18
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik pemecahan masalah yaitu adanya komunikasi matematis dan interaksi antar siswa dan antar guru
dan siswa
serta
aktivitas
pembelajaran
yang
diarahkan untuk
menyelesaikan masalah.
c. Metode Pemecahan Masalah Dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan atau masalah-masalah apabila diamati akan terdapat adanya perbedaan dalam langkah-langkah yang diambil dari individu satu dengan individu yang lain. Ada yang segera mengambil langkah begitu perintah telah dimengerti dan mencoba-coba hingga sampai pada cara yang benar, namun ada juga yang tidak mengambil tindakan tetapi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada berkaitan dengan pemecahan masalahnya sebelum mengambil tindakan secara kongkrit. Ketika sedang menyelesaikan/memecahkan masalah, ada cara atau metode yang sering digunakan. Cara atau metode inilah yang disebut dengan strategi pemecahan masalah. Kebenaran, ketepatan, keuletan dan kecepatan adalah suatu hal yang diperlukan dalam penyelesaian masalah. Keterampilan siswa dalam menyusun suatu strategi adalah suatu kemampuan yang harus dilihat oleh guru. Jawaban yang benar bukan standar ukur mutlak, namun proses yang lebih penting dari mana siswa dapat menyelesaikan jawaban tersebut (Machmud, 2010:36). Sanjaya (2010:215) mengemukakan metode pemecahan masalah dapat diterapkan manakala:
19
1) Guru mengharapkan agar siswa tidak hanya sekedar dapat mengingat materi pelajaran, tetapi menguasai dan memahami secara penuh. 2) Guru bermaksud untuk mengembangkan keterampilan berfikir rasional siswa, yaitu kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat pendapat secara objektif. 3) Guru menginginkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah serta membuat tantangan intelektual siswa. 4) Guru ingin mendorong siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajarnya. 5) Guru ingin agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan kenyataan). Menurut Hudojo (dalam Herdian, 2010), syarat suatu soal dapat dijadikan sarana pemecahan masalah bagi peserta didik antara lain: 1) Pertanyaan yang dihadapkan kepada peserta didik harus dapat dimengerti oleh peserta didik tersebut. 2) Merupakan tantangan baginya untuk menjawab. 3) Tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui si peserta didik, dengan kata lain peserta didik akan mampu menangkap pengetahuan baru untuk menyelesaikan masalah jika peserta didik itu benar-benar menghetahui prinsip-prinsip yang dipelajari sebelumnya, dan 4) Peserta didik mengorganisasi kembali pengalaman-pengalaman yang lalu untuk menyelesaikan masalah sehingga peserta didik mampu memilih pengalaman-pengalaman yang lalu yang relevan dengan masalah yang dihadapi itu. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses menyelesaikan masalah diperlukan cara atau strategi yakni berupa kebenaran, ketepatan, keuletan dan kecepatan. Untuk memperoleh kemampuan dalam
20
pemecahan masalah seseorang harus memiliki banyak pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah.
d. Indikator Pemecahan Masalah Menurut Suyitno (Herdian, 2010), indikator pemecahan masalah adalah: (1) Memahami masalah; (2) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan; (3) Menyajikan masalah secara matematis; (4) Memilih metode pemecahan masalah; (5) Mengembangkan strategi pemecahan masalah; (6) Menafsirkan model matematika dari suatu masalah; dan (7) Menyelesaikan masalah. Sedangkan menurut Sumarmo (dalam Dewi, 2010) indikator pemecahan masalah matematika antara lain: (1) Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan; (2) Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika; (3) Menetapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika; dan (4) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil permasalahan menggunakan matematika secara bermakna. Sedangkan indikator pemecahan masalah menurut Shadiq (2009:14) antara lain adalah: (a) Menunjukkan pemahaman masalah; (b) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah; (c) Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk; (d) Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat; (e) Mengembangkan strategi pemecahan masalah; (f) Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah; dan (g) Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
21
Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa indikator pemecahan masalah terdiri dari: (1) Memahami masalah, (2) Merumuskan masalah atau menyusun model matematika, (3) Menetapkan strategi untuk menyelesaikan masalah, (4) Menyelesaikan masalah, (5) Menyajikan masalah secara sistematis.
e. Langkah-langkah Adapun langkah-langkah dalam proses pemecahan masalah ini diantaranya menurut Shadiq (2004:11) menjelaskan ada empat langkah penting yang harus dilakukan, yaitu: (1) Memahami masalahnya; (2) Merencanakan cara penyelesaian; (3) Melaksanakan rencana; (4) Menafsirkan hasilnya. Sedangkan menurut Polya (Herdian, 2010) langkah dalam pemecahan masalah, yaitu sebagai berikut: 1) Memahami masalah, langkah-langkah ini meliputi: a. Apakah yang tidak diketahui, keterangan apa yang diberikan, atau bagaimana keterangan soal; b. Apakah keterangan yang diberikan cukup untuk mencari apa yang ditanyakan; c. Apakah keterangan tersebut tidak cukup, atau keterangan itu berlebihan; serta d. Membuat gambar atau tulisan notasi yang sesuai. 2) Merencanakan penyelesaian, langkah-langkah ini meliputi: a. Pernahkah anda menemukan soal seperti ini sebelumnya, pernahkah ada soal yang serupa dalam bentuk lain; b. Rumus mana yang akan digunakan dalam masalah ini;
22
c. Perhatikan apa yang ditanyakan; serta d. Dapatkah hasil dan metode yang lalu digunakan disini. 3) Melaksanakan perhitungan, langkah ini menekankan ada pelaksanaan rencana penyelesaian yaitu meliputi: a. Memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum; b. Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar; dan c. Melaksanakan perhitungan sesuai dengan rencana yang dibuat. 4) Memeriksa kembali proses dan hasil. Menurut Schoenfeld (Daud, 2009:29) penerapan metode pemecahan masalah di kelas meliputi dua cara, yaitu bentuk diskusi dan pendekatan kelompok kecil. Bentuk diskusi yang diterapkan guru pada kelas untuk mendorong peserta didik dengan cara guru melakonkan dirinya sebagai si pemberi pengaruh dalam kegiatan proses pemecahan masalah yang dilakukan peserta didiknya. Guru memberi arahan. Setelah diskusi kelas, dilakukanlah diskusi kelompok kecil, dimana peserta didik yang telah dibagi menjadi kelompokkelompok kecil diberikan soal untuk dikerjakan, kemudian guru berkeliling memberikan bantuan kepada kelompok tertentu bila diperlukan. Setelah kelompok-kelompok itu menganalisis atau bahkan telah memecahkannya, guru kembali menyuruh peserta didik untuk melakukan diskusi kelas yang dipimpin oleh guru seperti format kelas langkah pertama tadi. Sesuai dengan pendapat di atas, maka langkah-langkah metode pembelajaran pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Guru mengadakan diskusi kelas dengan cara mengajukan permasalahan dan peserta
23
didik diberi kesempatan untuk menanggapainya sebagai kegiatan proses pemecahan masalah; (2) Guru memberi arahan dan menjelaskan sedikit tentang materi pembelajaran; (3) Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok kecil dan diberikan soal/LKS untuk dikerjakan; (4) Guru memantau jalannya diskusi kelompok kecil dan memberikan bantuan kepada kelompok belajar bila diperlukan; (5) Setelah kelompok-kelompok menganalisis atau bahkan telah memecahkannya kemudian mempresentasikannya dan kembali melakukan diskusi kelas yang dipimpin oleh guru seperti langkah pertama.
2.1.3 Tinjauan Materi 1. Menemukan Teorema Phytagoras Sukino dan Simangunsong (2006:174) C
untuk membuktikan teorema Pythagoras adalah dengan menempatkan persegi di setiap sisi segitiga A
siku-siku. Seperti pada Gambar 2.1 di samping. Gambar di samping menunjukkan sebuah segitiga yang memiliki persegi pada setiap sisinya. Ukuran
B
Gambar 2.1 segitiga siku-siku dengan persegi di setiap sisinya.
segitiga tersebut adalah: • Panjang sisi miring = AC = 5 satuan. • Tinggi = BC = 3 satuan. • Panjang sisi alas = AB = 4 satuan. Gambar tersebut menunjukkan bahwa luas persegi pada sisi miring sama dengan luas persegi pada sisi alas ditambah luas persegi pada tinggi segitiga. Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut.
24
Luas persegi pada sisi miring = luas persegi pada sisi alas + luas persegi pada tinggi 25 = 16 + 9 (5)2 = (4)2 + (3)2 AC2 = AB2 + BC2 Jadi dapat disimpulkan bahwa kuadrat panjang sisi miring suatu segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah kuadrat panjang sisi-sisi yang lain. 2. Penggunaan Teorema Phytagoras Tripel Phytagoras Pada sebuah segitiga siku-siku, kadang-kadang kita dapat menemukan tiga bilangan asli yang tepat memenuhi Teorema Phytagoras untuk panjang sisi miring dan dua sisi lainnya. Ketiga bilangan asli yang memenuhi itu disebut Triple Phytagoras (Sukino dan Simangunsong, 2006:194). Berikut diberikan kelompok tiga bilangan. a.) 3, 5, 6
b.) 6, 8, 10
c.) 4, 5, 6
Misalkan bilangan-bilangan di atas merupakan panjang sisi-sisi suatu segitiga, apakah kita bisa menentukan manakah yang termasuk jenis segitiga siku-siku? a. 3, 5, 6 62 = 36 32 + 52 = 9 + 25 = 34 Karena 62 > 32 + 52, maka segitiga ini bukan termasuk segitiga siku-siku atau bukan termasuk triple phytagoras. b. 6, 8, 10 102 = 100 62 + 82 = 36 + 64 = 100 Karena 102 = 62 + 82, maka segitiga ini termasuk segitiga siku-siku atau disebut triple phytagoras.
25
c. 4, 5, 6 62 = 36 42 + 52 = 16 + 25 = 41 Karena 62 < 42 + 52, maka segitiga ini bukan termasuk segitiga siku-siku atau bukan triple phytagoras. Perbandingan sisi segitiga siku-siku dengan sudut istimewa 1. Sudut 30o dan 60o Segitiga ABC di samping adalah segitiga sama sisi
C
dengan AB = BC = AC = 2x cm dan A = B = C
30o 30o 2x cm
= 60o. Karena CD tegak lurus AB, maka CD merupakan garis tinggi sekaligus garis bagi
C,
sehingga ACD = BCD = 30o. Diketahui ADC =
60o A
D
B
Gambar 2.2
BDC = 90o. Titik D adalah titik tengah AB, di mana AB = 2x cm, sehingga panjang BD = x cm. Kita lihat ' CBD. Dengan menggunakan teorema Pythagoras diperoleh: CD2 = BC2 – BD2 –
CD
=
CD
=
CD
=
–
CD
=
=x
–
Dengan demikian dapat diperoleh perbandingan: BD : CD : BC = x : x : 2x =1: :2 (Sukino dan Simangunsong, 2006:181)
26
2. Sudut 45o Segitiga ABC pada gambar 2.3 adalah segitiga siku-siku
A
sama kaki. Sudut B siku-siku dengan panjang AB = BC
45
= x cm dan
C = 45o
A=
o
=
Dengan menggunakan teorema phytagoras diperoleh: 2
AC AC AC AC
2
2
= AB + BC = = = =x
o
45
B
x cm
C
Gambar 2.3
Dengan demikian diperoleh perbandingan: AB : BC : AC = x : x : x =1:1: (Sukino dan Simangunsong, 2006:184)
2.2 Hipotesis Tindakan Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah ”melalui metode pembelajaran pemecahan masalah pada materi Teorema Phytagoras, maka kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VIII MTs. Muh. Sidomulyo akan meningkat”.
2.3 Kriteria Keberhasilan Penelitian ini memilki kriteria keberhasilan yaitu: Apabila kemampuan komunikasi matematika siswa dalam proses pembelajaran matematika tentang phytagoras menggunakan metode pemecahan masalah mencapai persentase > 70% dengan kategori nilai 70 ke atas, maka proses pembelajaran dianggap berhasil.
27
Apabila aktivitas siswa selama proses pembelajaran matematika menggunakan metode pemecahan masalah yang mengacu pada deskriptor pengamatan aktivitas siswa telah mencapai persentase > 70% dalam kategori baik dan sangat baik, maka proses pembelajaran dianggap berhasil. Apabila
kegiatan
guru
selama
proses
pembelajaran
matematika
menggunakan metode pemecahan masalah yang mengacu pada deskriptor pengamatan kegiatan guru telah mencapai persentase > 70% dalam kategori baik dan sangat baik, maka proses pembelajaran dianggap berhasil.