8
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Teoritis
2.1.1 Pemahaman Pembukuan 2.1.1.1 Pengertian Pembukuan Menurut UU KUP No 28 tahun 2007 pasal 1 angka 29, pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban, atau hutang, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut. Undang-undang pajak menggunakan istilah pembukuan, tetapi dalam akuntansi komersial seperti dalam SAK tidak menggunakan istilah pembukuan. Beberapa buku teks akuntansi mendefinisikan pembukuan adalah kegiatan mengumpulkan, mencatat dan menganalisis data transaksi keuangan ke dalam buku atau catatan yang telah disiapkan, serta pengendalian proses akuntansi melalui prinsip pengendalian internal, pengukuran nilai transaksi ke dalam nilai moneter berdasarkan standar akuntansi yang berlaku, dan penyajian hasil transaksi keuangan menjadi informasi keuangan itulah yang disebut dengan laporan keuangan (Waluyo, 2008:4). 8
9
Apabila
dibandingkan
dengan
pengertian
akuntansi,
maka
pengertian pembukuan lebih sempit tetapi bermakna sama, yaitu menghasilkan laporan keuangan dan lebih mengacu pada kebutuhan informasi keuangan sebagai pertanggungjawaban Wajib Pajak yang dituangkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Laporan keuangan yang dihasilkan dari pembukuan harus mampu mendukung atau membuktikan kebenaran angka-angka yang dilaporkan dalam SPT pada saat dilakukan pemeriksaan atau penyidikan yang sering disebut sebagai akuntabilitas pajak (Waluyo, 2008:5).
2.1.1.2
Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan
Wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan dan wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan diantaranya sebagai berikut (Purwono, 2010: 56) : 1. Yang wajib menyelenggarakan pembukuan: a. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas b. Wajib pajak badan di Indonesia. 2. Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarkan pembukuan a. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto.
10
Sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, wajib pajak orang pribadi yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto adalah yang mempunyai peredaran bruto usaha dalam satu tahun kurang dari Rp 4.800.000.000. Wajib pajak tersebut diwajibkan untuk memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Jika tidak, maka dianggap melakukan pembukuan. b. Wajib pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
2.1.1.3
Syarat-Syarat Pembukuan
Syarat-syarat
dalam
menyelenggarakan
pembukuan
adalah
sebagai berikut (Purwono, 56: 2010) : 1. Pembukuan
harus
diselenggarakan
dengan
itikad
baik
dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. 2. Pembukuan
harus
diselenggarakan
di
Indonesia
dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam Bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. 3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan menggunakan stelsel akrual atau stelsel kas.
11
Prinsip taat asas adalah penggunaan prinsip yang sama dalam metode pembukuan dengan tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam pembukuan misalnya dalam penerapan: a. Stelsel pengakuan penghasilan b. Tahun buku c. Metode penilaian persediaan d. Metode penyusutan dan amortisasi Sedangkan yang dimaksud dengan stelsel adalah pengakuan penghasilan dan/atau biaya yang terjadi dlam suatu periode pembukuan yang terdiri dari : (1) Stelsel akrual adalah suatu metode pengakuan penghasilan dan biaya yang
didasarkan
penghasilan
pada
serta
waktu
waktu
diperolehnya
terutangnya
atau
suatu
diterimanya
biaya
tanpa
memperhatikan arus kas masuk atau keluar. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diperoleh atau diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai. Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode presentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya digunakan dalam bidang konstruksi dalam metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti built operate and transfer (BOT) dan real estate.
12
(2) Stelsel kas adalah suatu metode pengakuan penghasilan dan biaya yang perhitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel kas penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu, sementara biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu peiode tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang
waktu
antara
penyerahan jasa
dan
penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar. Pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut: (1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam
13
menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembeiian dan persediaan. (2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. (3) Pemakaian
stelsel
kas
harus
dilakukan
secara
taat
asas
(konsisten). Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran. 4. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/ atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak Wajib pajak tidak diperbolehkan mengubah tahun buku/tahun pajak sesuka hati mereka, karena dikhawatirkan terjadi penggeseran laba/rugi
perusahaan
sedemikian
rupa
sehingga
merugikan
penerimaan pajak. Namun demikian, dalam keadaan tertentu wajib pajak terpaksa harus mengubah periode pembukuannya sehingga tidak konsisten dengan periode pembukuan tahun sebelumnya. Untuk maksud tersebut wajib pajak harus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang dalam hal ini kepada Kepala KPP
karena
wewenang pemberian keputusan
persetujuan/penolakan perubahan tahun buku/tahun pajak tersebut telah dilimpahkan kepada Kepala KPP.
14
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. 6. Pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan,
kecuali
peraturan
perundang-undang
perpajakan
menentukan lain. 7. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
2.1.1.4
Proses Akuntansi Perpajakan
Proses akuntansi perpajakan tidak jauh beda dengan proses akuntansi seperti biasanya. Akuntansi selalu dimulai dengan transaksi yang akan dicatat. Transaksi ini kaitannya dengan informasi keuangan yang dapat dinilai dengan uang, bukan informasi non-keuangan. Lalu transaksi ini akan dicatat pada suatu Jurnal, kemudian diposting, lalu dimasukkan ke dalam neraca lajur dan diakhiri dengan pembuatan laporan keuangan. Laporan keuangan ini dapat dibuat secara bulanan atau tahunan.
15
Proses akuntansi secara detail dan juga ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini mengenai siklus akuntansi (Suprianto, 2012: 5). Transaksi
Jurnal (1)
Posting (2)
Neraca Lajur (4)
Buku Pembantu (3)
Laporan Keuangan Komersial (5)
Rekonsiliasi Fiskal (6)
Laporan Keuangan Fiskal (7)
Gambar 1: Siklus Akuntansi Perpajakan 2.1.1.5
Pengertian Pencatatan
Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang perdaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final (Mardiasmo, 2009: 55). Pencatatan bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto menurut Pasal UU PPh meliputi (Tuli, 2012:31):
16
a. Peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto yang diterima dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenakan pajak yang bersifat final. b. Penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenakan pajak yang bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan
untuk
mendapatkan,
menagih
dan
memelihara
penghasilan tersebut. c. Penghasilan bukan objek pajak dan/atau penghasilan pengenaan pajaknya bersifat final baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
2.1.1.6
Norma Penghitungan Penghasilan Netto
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terlebih dahulu, apabila Wajib Pajak yang wajib melaksanakan pembukuan tidak melaksanakan kewajiban pembukuan sebagaimana mestinya sehingga besarnya pajak penghasilan yang terutang tidak dapat diketahui atau terhadap wajib pajak orang pribadi tertentu yang diperkenankan dan memenuhi prosedur untuk menyelenggarakan pencatatan maka untuk menghitung besarnya PPh terutang akan dikenakan norma penghitungan penghasilan netto atau cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Pasal 14 UU PPh (Tuli, 2012: 32).
17
2.1.1.7
Sanksi Pembukuan/Pencatatan
Sanksi pembukuan/pencatatan terdiri dari sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai berikut (Tuli, 2012: 33): 1. Sanksi Administratif Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan secara memadai akan mempersulit penghitungan pajak yang terutang ketika Wajib Pajak tersebut mengisi SPT maupun ketika mempertanggungjawabkan pengisian SPT-nya dihadapan pemeriksa atau peneliti SPT. Sanksi-sanksi
administratif
yang
menyangkut
pembukuan/pencatatan yang akan dikenakan kepada Wajib Pajak pada saat pemeriksaan selesai atau pada saat pengajuan keberatan adalah: 1. Pasal 13 ayat (1) huruf (d) UU KUP memberi sanksi administratif kepada Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 UU KUP, sehingga Pemeriksa sulit mendapatkan kebenaran atas pengisian SPT Wajib Pajak dimaksud, maka pemeriksa berwewenang menetapkan pajak secara jabatan untuk Wajib Pajak tersebut dengan hanya menggunakan data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.
18
2. Pasal 26A ayat (4) UU KUP menyatakan bahwa Wajib Pajak yang mengungkapkan
pembukuan,
catatan,
data,
informasi,
atau
keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan
belum
diperoleh
wajib
Pajak
dari
pihak
ketiga,
pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaiannya keberatannya. 2. Sanksi Pidana a) Pasal 39 ayat (1) huruf (h) UU KUP menyatakan bahwa Wajib Pajak dan PKP yang dengan sengaja tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (11) UU KUP, b) Pasal 39 ayat (1) huruf (g) UU KUP menyatakan bahwa wajib pajak dan PKP yang dengan sengaja tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, atau tidak memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain. c) Pasal 39 ayat (1) huruf (f) UU KUP menyatakan bahwa Wajib Pajak dan PKP yang dengan sengaja tidak memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
19
negara, diancam dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Ancaman pidana akan dilipatduakan apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Dengan kekuatan undang-undang Direktur Jenderal Pajak berhak melakukan penyidikan dan mengajukan permohonan kepada Jaksa untuk menuntut Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak
yang
dengan
sengaja
melakukan
pelanggaran
pidana
perpajakan, khususnya yang menyangkut kewajiban pembukuan atau pencatatan. Menurut Wahono (2012: 54), bagi wajib pajak
yang tidak
menyelenggarakan pembukuan sehingga tidak diketahui besarnya pajak yang terutang, akan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan dengan rincian sebagai berikut (Pasal 13 ayat (3) UU KUP No. 28 Tahun 2007): a. 50% (lima puluh persen) dari pajak penghasilan yang tidak ada atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak. b. 100% (seratus persen) dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan. c. 100% (seratus persen) dari pajak pertambahan nilai barang dan jasa atas penjualan atas barang mewah yang tidak atau kurang dibayar.
20
2.1.2 Kepatuhan Wajib Pajak 2.1.2.1
Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dalam
Rahayu
(2010:138), istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan.Kepatuhan wajib pajak mencakup kepatuhan mencatat atau membukukan transaksi usaha, kepatuhan melaporkan kegiatan usaha sesuai peraturan yang berlaku, serta kepatuhan terhadap semua aturan perpajakan lainnya (www.pajak.go.id). Menurut Nurmantu dalam Rahayu (2010:138), “kepatuhan perpajakan adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hal perpajakannya”. Menurut Nashuca dalam Rahayu (2010:139), bahwa: “kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari: 1. 2. 3. 4.
kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT) kepatuhan dalam menghitung dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan”.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah suatu sikap dari wajib pajak untuk melaksanakan semua kewajiban perpajakannya sesuai dengan
aturan-aturan
perpajakan.
yang
berlaku
berdasarkan
undang-undang
21
2.1.2.2
Jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Ada dua jenis kepatuhan wajib pajak yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material (Muhtasun, 2011: 20) : a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang perpajakan. b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
2.1.3 Pengaruh Pemahaman Pembukuan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Sjafridal (2006) menyatakan bahwa: “akuntansi merupakan suatu ilmu yang luas maknanya, khususnya akuntansi komersial yang menjadi panutan akuntansi lainnya termasuk akuntansi pajak. Perpajakan dan akuntansi komersial mempunyai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme artinya satu sama lainnya memiliki pengaruh yang saling mendukung dan sangat erat kaitannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Akuntansi komersial merupakan alat pembuktian jika administrasi perpajakan melakukan pemeriksaan pajak (tax audit) untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Penghasilan yang dihitung menurut pembukuan wajib pajak yang didasarkan pada Standar Akuntansi
22
Keuangan (SAK) dapat berbeda dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dihitung berdasarkan ketentuan pajak”. Berdasarkan Pernyataan di atas penulis berpendapat bahwa akuntansi pembukuan
adalah yang
sumber benar
dasar akan
pembukuan,
mempermudah
sehingga untuk
dengan
mengetahui
perkembangan usaha, selain itu juga sebagai dasar penetapan pajak. Jadi jika pembukuan salah maka akan salah dalam penentuan pajak dan ini termasuk kategori tidak patuh, karena tidak benar dalam penetapan nilai pajak, apalagi bagi para pengusaha yang tidak memakai pembukuan.
23
2.1.4 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3: Penelitian Terdahulu Peneliti
Judul
Variabel
Ade Saepudin (2012)
Pengaruh pemahaman akuntansi dan ketentuan perpajakan serta transparansi dalam pajak terhadap kepatuhan wajib pajak badan. Pengaruh pemahaman ketentuan dan akuntansi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak badan.
Variabel independen: Pemahaman akuntansi dan ketentuan perpajakan variabel dependen: kepatuhan wajib pajak badan. Variabel independen: pemahaman ketentuan dan akuntansi perpajakan Variabel dependen: Kepatuhan wajib pajak
Metode deskriptif dengan pendekatan survey
Kajian terhadap kapbilitas pembukuan usaha kecil dan menengah (UKM) dalam mendukung perilaku kepatuhan wajib pajak.
Variabel independen: Variabel kepatuhan ,resiko pemeriksaan pajak, dan kapabilitas pembukuan Variabel dependen: Perilaku kepatuhan pajak
Metode analisis kuantitatif dengan teknik analisa regresi berganda.
Kharina Utami (2012)
H. Abdul Rohman, Zulaikha, Shiddiq Nur Rahardjo, Puji Harto. (2011)
Sumber: Olahan, 2013
Metode
Metode deskriptif dengan pendekatan survey dengan menggunakan teknik kuesioner
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemahaman akuntansi, pemahaman ketentuan perpajakan, transparansi dalam pajak dan kepatuhan wajib pajak badan di Kota Tasikmalaya sudah baik, (2) pemahaman akuntansi dan ketentuan perpajakan serta transparansi dalam pajak secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Pemahaman ketentuan dan akuntansi perpajakan serta kepatuhan wajib pajak badan di Kota Tasikmalaya pada umumnya sudah baik atau tinggi, (2) Pemahaman ketentuan perpajakan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak badan di Kota Taasikmalaya, (3) Pemahaman akuntansi perpajakan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak badan di Kota Tasikmalaya, (4)Pemahaman ketentuan dan akuntansi perpajakan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak badan di Kota Tasikmalaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa hipotesis 1 mengenai hubungan antara kapabilitas pembukuan dan perilaku kepatuhan wajib pajak menunjukkan hasil yang signifikan dan positif. Hal ini menunjukkan bahwa pembukuan perusahaan memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Sedangkan hipotesis 2 dan hipotesis 3 tidak diterima, tetapi secara umum menunjukkan koefisien yang sejalan dengan arah hubungan variabel independen dan variabel dependen.
24
2.1.5 Kerangka Berfikir Kerangka teoritis merupakan fondasi di mana seluruh proyek penelitian didasarkan. Kerangka teoritis adalah jaringan asosiasi yang disusun, dijelaskan, dan dielaborasi secara logis antar variabel yang dianggap relevan pada situasi masalah dan diidentifikasikan melalui proses seperti wawancara, pengamatan dan survey literatur (Sekaran, 2011: 128). Guna untuk mendapatkan laporan keuangan yang benar maka ilmu akuntansi yang patut kita gunakan. Memahami seluruh proses akuntasi maka akan menghasilkan laporan keuangan yang benar dan akurat. Laporan keuangan tersebut selain untuk mengetahui perkembangan usaha juga sebagai dasar penghitungan pajak. Akuntansi adalah suatu proses mencatat, mengklasifikasi, meringkas, mengolah dan menyajikan data, transaksi serta kejadian yang berhubungan dengan keuangan sehingga dapat digunakan oleh orang yang menggunakannya dengan mudah dimengerti untuk pengambilan suatu keputusan serta tujuan lainnya. Untuk membuat laporan keuangan yang benar maka harus paham benar akan proses akuntansi. Karena laporan keuangan merupakan sebagai acuan untuk penentuan tarif pajak, jika salah dalam membuat laporan keuangan maka nilai pajak yang dihasilkanpun salah. Pembukuan dalam usaha sangat diperlukan dan sangat menunjang dalam kepatuhan wajib pajak.
25
Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran teoritis dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.
Teori:
Penelitian Terdahulu:
Menurut Sjafridal, Akuntansi merupakan suatu ilmu yang luas maknanya, khususnya akuntansi komersial yang menjadi panutan akuntansi lainnya termasuk akuntansi pajak. Perpajakan dan akuntansi komersial mempunyai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme artinya satu sama lainnya memiliki hubungan yang saling mendukung dan sangat erat kaitannya sesuai dengan peraturan yang berlaku akuntansi komersial merupakan alat pembuktian jika administrasi perpajakan melakukan pemeriksaan pajak (tax audit) untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.Penghasilan yang dihitung menurut pembukuan wajib pajak yang didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dapat berbeda dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dihitung berdasarkan ketentuan pajak.
1. Saepudin (2012) yang meneliti pengaruh pemahaman akuntansi dan ketentuan perpajakan serta transparansi dalam pajak terhadap kepatuhan wajib pajak badan. 2. Utami (2012) yang meneliti Pengaruh pemahaman ketentuan dan akuntansi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak badan. 3. Rohman, Zulaikha, Shiddiq Nur Rahardjo, Puji Harto. (2011) yang meneliti Kajian terhadap kapbilitas pembukuan usaha kecil dan menengah (UKM) dalam mendukung perilaku kepatuhan wajib pajak.
Pengaruh Pemahaman Pembukuan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Gorontalo)
Pemahaman Pembukuan (X)
Gambar 2: Kerangka Berfikir
Kepatuhan Wajib Pajak (Y)
26
2.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji (Sekaran, 2011:135). Berdasarkan permasalahan yang diangkat, tujuan penelitian dan landasan teori maka hipotesis yang akan diajukan yaitu: “Pemahaman pembukuan berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Gorontalo”.