BAB II KAJIAN TEORI
A. Brand dan Branding Brand atau merek menjadi topik yang cukup seksi di dunia bisnis akhir-akhir ini. Para pelaku bisnis mulai menyadari betapa pentingnya memperhatikan kesehatan brand mereka untuk mendukung kelanggengan usaha. Kata brand diturunkan dari bahasa Inggris yang berarti tongkat panas. Pertama kali diketahui di Mesir Kuno tahun 2700 SM, digunakan oleh orang-orang saat itu untuk menandai binatang peliharaan mereka. Menurut beberapa literasi, ‘binatang peliharaan’ yang dimaksud mayoritas adalah sapi. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk menjaga sapisapi mereka agar tidak tertukar dengan milik orang lain juga untuk mencegah pencurian ternak. Penandaan tersebut kemudian memberikan ide kepada para pelaku usaha kala itu untuk menamai atau memberikan tanda pada produk/jasa yang mereka jual. Budaya ini diketahui mulai berkembang di abad ke 10, mereka menandai produk mereka dengan desain-desain yang sederhana (Babu, 2006). Saat ini, seiring berkembangnya kesadaran akan kegunaannya, brand memiliki definisi yang lebih spesifik. American Marketing Association dalam buku Manajemen Pemasaran 2 oleh Kotler mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, symbol, rancangan, atau kombinasi dari halhal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Secara lebih sederhana, David Aaker dalam bukunya 11
12 ‘Aaker on Branding’ mendefinisikan bahwa brand sebenarnya lebih dari sekedar nama dan logo, brand merupakan janji suatu organisasi kepada pelanggan untuk memberikan apa yang menjadi prinsip brand itu. Tidak hanya dalam hal manfaat fungsional tetapi juga manfaat emosional, ekspresi diri, dan sosial (Aaker, 2014). Mulai sekitar akhir tahun 1980-an, merek mulai mendapatkan perhatian khusus setelah para pelaku usaha menilai bahwa brand memiliki peran penting dalam penjualan produk mereka (Aaker, 2014: 3). Mulai titik ini, menurut Aaker, mulai disadari bahwa brand adalah aset, memiliki ekuitas, dan menggerakkan strategi serta performa bisnis. Kesadaran ini menimbulkan arus perubahan yang cukup dramatis dan berpengaruh besar; mengubah persepsi pemasaran serta manajemen brand. Pengelolaan dan manajemen brand yang tadinya diserahkan begitu saja oleh perusahaan kepada pihak luar, kini menjadi isu yang penting untuk dibahas terkait strategi perusahaan dalam menjaga kesetiaan konsumennya. Selaras dengan hal itu maka begitu pun dengan branding (Aaker, 2014: 4-14). Crainer mendefinisikan branding sebagai sebuah pernyataan legal (secara hukum) atas kepemilikan. Sedangkan Broadbent dan Cooper dalam jurnal yang sama disebutkan bahwa branding adalah sebagai sebuah tanda yang menunjukkan kepemilikan resmi. Sedangkan Gobe, dalam bukunya “Emotional
Branding”,
mendefiniskan
branding
sebagai
sebuah
penciptaan merek. Secara sederhana, bisa disimpulkan bahwa branding merupakan suatu tindakan untuk memberikan identitas kepemilikan (Chernatony dan Dall’Olmo Riley, 1998).
13 Dalam merawat brand, perlu diperhatikan tentang ‘kesehatan’ brand. Relevansinya terhadap perkembangan minat konsumen saat ini pun perlu menjadi pertimbangan untuk memutuskan strategi yang akan dipakai. ‘Keusangan’ brand akan menjadi ancaman serius apabila dibiarkan tanpa penanangan segera. Mengacu pada kasus Rajawali Motor, hal inilah yang perlu menjadi catatan kekhawatiran. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan rejuvenasi brand menjadi satu keputusan yang cukup relevan saat ini.
B. Brand Rejuvenation Brand Rejuvenation atau peremajaan merek dengan beberapa alasan diperlukan demi menjaga kelanggengan merek atau brand longevity. Selain itu juga menjadi pertimbangan serius untuk menjaga relevansi terhadap minat konsumen saat ini. Markplus on Marketing memberikan bab tersendiri untuk membahas masalah ini. Disebutkan, “Brand rejuvenation harus dilakukan untuk menjaga momentum merek sebelum ia mengalami penurunan ekuitas di pasar” (Yuswohadi, et.al. 2007 : 236). Tanpa ditangani dengan manajemen yang baik, sebuah brand akan secara alami mengikuti siklus ‘hidup’nya yang lebih dikenal dengan istilah product life cycle, yaitu introduction, growth, maturity, dan decline. Siklus ini dikemukakan oleh beberapa pakar. Venktesh Babu dalam paper-nya yang berjudul ‘Issues in Brand Rejuvenation Strategies’ menyebutkan bahwa apabila sebuah brand tidak ditangani oleh manajemen yang kompeten maka secara alami akan mengikuti pola umum product life
14 cycle, yakni bergerak dari sebuah perkenalan (introduction), tumbuh (growth), dewasa (maturity), kemudian menurun (decline) (Babu, 2006). Hal senada diungkapkan juga oleh Grieves, “Every single product or brand has a unique life cycle. This cycle consist of five stages; product development, introduction, growth, maturity, and decline.” (Setiap produk atau merek memiliki siklus hidup yang unik. Siklus ini terdiri dari 5 tahap; pengembangan produk, pengenalan, pertumbuhan, kedewasaan, dan penurunan)(Nasimi et.al., 2015). Fandi Tjiptono (2014) dalam bukunya “Branding dan Brand Longevity di Indonesia” mengatakan bahwa kelanggengan bisnis atau perusahaan berkaitan dengan kelanggengan produk. Dalam teorinya mangamini berbagai literatur tentang siklus hidup produk (product life cycle). Diungkapkan bahwa usia produk ditentukan oleh dua faktor, yaitu penjualan dan waktu. Ketika produk telah mencapai titik penurunan maka perlu segera adanya penanganan khusus karena yang akan terjadi selanjutnya hanya akan memberikan dua pilihan; diselamatkan atau dibiarkan mati (Tjiptono, 2014: 23 – 25). Menurut Kapferer (2008), yang terjadi pada brand-brand besar yang hingga kini mampu bertahan adalah karena mereka menyangkal teori product life cycle. Secara alami, memang benar bahwa suatu produk akan mengikuti siklus hidup tersebut namun hal itu tidak akan terjadi apabila brand ditangani dengan benar. Ide bahwa brand adalah aset yang mulai popular di akhir tahun 1980-an telah mengubah mindset para pelaku bisnis. Melalui pemikiran tersebut, pemilik brand akan merawat dan mempertahankan brand-nya melalui berbagai strategi (Aaker, 2014: 3 – 20).
15 Pemahaman brand sebagai aset akan memberikan peluang yang sangat besar bagi brand untuk tetap bertahan saat menghadapi penurunan ekuitas. Sebuah brand yang terbangun dengan baik akan memiliki ikatan emosi tersendiri dengan para konsumennya. Brand, meskipun sudah tua atau usang namun seringkali memiliki reputasi yang lebih melekat dalam benak konsumen namun tidak dimiliki oleh brand baru. Membawa kembali brand lama yang telah dikenal oleh konsumen akan lebih hemat daripada harus membangun brand baru (Babu, 2016 : 12; Ayozie, 2014). Penghematan tersebut khususnya dalam aspek pengembangan, marketing, dan advertising. Lagipula konsumen memiliki kecenderungan untuk lebih tertarik pada brand lama daripada harus mencoba yang benar-benar baru (Ayozie, 2014). Mempertahankan brand lama ini memerlukan penerapan strategi yang baik. Hal ini dapat menjadi solusi yang tepat untuk menjaga relevansi brand terhadap konsumen karena penurunan siklus hidup produk harus ditangani dengan tepat untuk mencegah penurunan dari stage ‘decline’ menuju ‘die’ (Nasimi dkk., 2015). Lehu mengatakan bahwa meskipun brand memiliki siklus hidup namun eksistensinya ditentukan pada tingkat efisiensi
manajemen
di
dalamnya.
Salah
satu
solusi
yang
direkomendasikan adalah merejuvenasi brand karena suatu brand pada saatnya akan mengalami keusangan atau kehilangan minat konsumen. Pada titik inilah kemudian dibutuhkan manajemen brand yang cerdas, salah satunya melalui peremajaan (brand rejuvenation) dengan cara me-
16 refresh (desain) produk, pembaharuan produk, atau mungkin dalam hal pelayanan (Nasimi et. al.,2015). Brand rejuvenation is a major overhaul of a brand, starting with its positioning and proceeding through creative regeneration of the brand identity. (suatu perbaikan besar dari sebuah brand, dimulai dengan positioning-nya dan tindakan melalui regenerasi yang kreatif dari identitas brand) (Babu, 2006). Chan mengatakan bahwa strategi yang kredibel dari rejuvenasi brand adalah kepribadian, pengembangan, citra, kesadaran, dan hubungan brand Nasimi (2015). Apabila aspek keceriaan dan pengingat pada sebuah brand dirasa sangat dibutuhkan untuk saat ini sedangkan gaung positioning dasarnya masih relevan maka merejuvenasi brand merupakan solusi yang tepat. Disamping itu, apabila untuk menjaga relevansi tersebut dibutuhkan target audiens yang baru maka sebaiknya brand perlu untuk direposisi. Reposisi brand adalah ketika kita butuh untuk me-reset nilai dan atribut brand dan kemudian me-launch strategi pesan brand (Babu, 2006:14). Sebaik apapun suatu merek diposisikan dalam pasar, perusahaan mungkin harus menentukan kembali posisinya nanti bila menghadapi pesaing baru atau bila terjadi perubahan preferensi pelanggan (Kotler, 2002:475). Rejuvenasi brand memiliki perspektif yang lebih luas daripada reposisi. Merejuvenasi brand akan menciptakan ruang yang lebih lebar dalam kaitannya dengan komunikasi pasar yang di dalamnya termasuk pengiklanan yang lebih serius dan/atau reposisi. Dalam kesimpulan yang sederhana, rejuvenasi brand adalah suatu tindakan untuk membawa brand yang sudah tidak sanggup menghasilkan uang menjadi penghasil uang
17 melalui positioning atau strategi komunikasi yang baru. Hal ini penting untuk menjaga relevansi brand terhadap pasar (Babu, 2006). DeGraide dalam artikelnya menulis ada empat poin yang perlu dipertimbangkan untuk menjaga relevansi brand, yaitu (www.forbes.com diakses pada 13 Maret 2016). 1. Stay up with the times (membangun kesadaran akan waktu) Selalu mereview penjualan setiap beberapa bulan tertentu untuk kemudian dilakukan evaluasi, apakah strategi pemasaran yang sedang diterapkan masih relevan? Update pengetahuan tentang strategi pemasaran yang sedang efektif saat ini kemudian coba untuk diadobsi dan diterapkan dalam bisnis. 2. Be better (menjadi lebih baik) Tinjau kembali kompetitor, apa inovasi yang mereka lakukan, bagaimana strategi pemasaran mereka. Coba untuk menjadi lebih baik. 3. Be Social (lebih aktif di sosial) Saat ini tren penggunaan media sosial tengah seksi di antara masyarakat. Coba lakukan pendekatan melalui sektor ini. Raih pasar di media sosial. Aktifkan media sosial khusus untuk marketing. Selalu update dan jangan ditinggalkan terlalu lama karena ketiadaan update akan memberikan perspektif bahwa brand sedang dalam keadaan yang tidak beres. 4. Appeal to the masses (menjadi daya tarik masa) Melalui media sosial, selalu update topik-topik yang akan menjadi perbincangan dan menarik perhatian masa.
18 Selain menjaga relevansi, proses merejuvenasi brand itu sendiri secara sederhana bisa dideskripsikan menjadi tiga langkah (Babu, 2006: 25). 1. Brand Discovery (Mengenali Brand) Pertama, yang perlu dilakukan oleh sebuah brand untuk kemudian direjuvenasi adalah menemukan atau mengenali brand. Hal ini diperlukan untuk mengetahui alasan brand itu ada dan apa sebenarnya tujuan awalnya. 2. Brand Practices (Menjalankan Brand) Brand akan mengalami serangkaian proses tertentu saat dilakukan rejuvenasi di berbagai aspek. Langkah ini harus dijalani brand dengan mantap meskipun tentu diperlukan adaptasi atas perubahan yang terjadi. 3. Brand Maintenance (Pemeliharaan Brand) Proses keseluruhan dalam rejuvenasi adalah brand akan di-refresh, direjuvenasi, diseimbangkan, dan dibekali dengan pengetahuan serta teknik yang baru. Untuk melalui semua ini maka brand harus dipelihara dengan sebenar-benarnya. Sengupta dalam Babu (2006) merumuskan langkah-langkah rejuvenasi brand menjadi 6 langkah, sebagai berikut: 1. Langkah pertama adalah mengaudit secara keseluruhan perusahaan dan level-level manajemennya. Hal ini dilakukan untuk mengerti apa tujuan awal perusahaan didirikan dan apa kompetensi utamanya. Dari titik ini akan ditinjau marketplace-nya, distribusi, dan lain-lain, serta bagaimana aspek-aspek tersebut bekerja dalam konteksnya.
19 2. Membuat sebuah badan riset in house Perceived and Potential (P&P). Pemetaan persepsi konsumen dalam hubungannya dengan kompetisi lintas Negara harus diperhatikan. 3. Selanjutnya, eksekusi ide-ide terbaik dalam kaitannya dengan orientasi strategis tentang alasan utama untuk apa perusahaan berdiri. Mendapatkan feedback dari konsumen akan sangat membantu, juga mendapatkan wawasan akan nilai-nilai baik di masa lalu. 4. Dari nilai-nilai tersebut, perusahaan akan terfokus pada pemikiranpemikiran yang potensial yang biasanya akan sangat hipotesis. Perusahaan
akan
mencoba
untuk
mengerti
persepsi
yang
dibutuhkannya. Kemudian, saat perusahaan mencoba untuk meraih nilai yang lebih potensial, mereka akan menggunakan ide-ide terbaik untuk menentukan nilainya dengan jelas. 5. Kemudian perusahaan akan menemukan ritmenya sendiri untuk kemudian bisa melangkah ke tahap selanjutnya. 6. Langkah keenam mengaplikasikan orientasi strategi-strategi yang telah dirancang
sebelumnya
tentang
bagaimana
brand
seharusnya
dikomunikasikan. Keseluruhan iklan, strategi komunikasi, apapun yang sedang terjadi di pasar, semuanya harus masuk dan terkomunikasikan oleh produk. Dalam tahap ini, perusahaan harus terintegrasi dengan tim pemasaran yang terhubung langsung dengan klien
untuk
di-training
dan
diberikan
pengetahuan
mengimplementasikan strategi yang telah dirancang.
untuk
20 Lebih dari 80% brand diluncurkan untuk kemudian mati begitu saja, tidak lebih dari 8% di antaranya yang menyatakan pensiun mencoba untuk merejuvenasi brand-nya. Saat ini permintaan untuk merejuvenasi brand sangat tinggi seiring dengan kesadaran bahwa untuk membuat brand baru membutuhkan biaya sepuluh kali lebih besar daripada merejuvenasi brand yang sudah ada (Babu, 2006). Dalam konteks Rajawali Motor, perlu adanya perhatian pada target market sehingga pemasaran menjadi lebih fokus dan efektif. Selain itu, perbaikan mendasar lebih diutamakan pada sektor pelayanan menjadi mengacu pada target market melalui pelayangan one stop shopping.
C. One Stop Shopping Saat ini tengah populer sistem one stop shopping di dunia pemasaran. Sektor bisnis yang banyak menerapkan sistem ini bisa dilihat di swalayan/supermarket. Efektivitas penerapan sistem one stop shopping ini dalam meraih perhatian konsumen rupanya cukup menggoda pelaku bisnis di sektor lain untuk mengadopsinya. Sistem one stop shopping memudahkan konsumen untuk mendapatkan banyak barang hanya dengan mengunjungi satu tempat saja. Kebutuhan berbelanja konsumen terpuaskan dengan kepraktisan dan kemudahan. Karena sebenarnya, seperti yang dikemukakan oleh Tauper, jika dipandang secara holistik, berbelanja, membeli, dan menggunakan (jasa) adalah tiga hal yang mendasari perilaku (Tiwari, 2010). Dalam jurnal yang sama dikemukakan pendapat Assael (1987) yang mengatakan bahwa
21 perilaku berbelanja konsumen merupakan suatu perilaku yang unik yang seringkali mereka pamerkan dengan bangga. Dalam hal ini cukup bisa dipahami bahwa sangat penting mempertimbangkan diferensiasi dalam hal pelayanan untuk memuaskan kebutuhan konsumen akan berbelanja (Tiwari, 2010). Diferensiasi diperlukan selain untuk meraih kembali perhatian konsumen juga untuk memberikan penyegaran terhadap brand serta meningkatkan ekuitas brand itu sendiri. Secara definitive, diferensiasi adalah tindakan merancang serangkaian perbedaan yang berarti untuk membedakan tawaran perusahaan dengan tawaran pesaing. Kotler mengkategorikan diferensiasi menjadi lima dimensi, yakni produk, pelayanan, personalia, saluran, citra (Kotler, 2002: 326-338). Ketika produk fisik tidak mudah didiferensiasi, kunci keberhasilan dalam persaingan sering terletak pada penambahan pelayanan yang menambah nilai serta meningkatkan mutu produk fisik tersebut (Kotler 2002:333).
Dalam
sektor
pelayanan,
salah
satu
yang
paling
direkomendasikan adalah sistem pelayanan one stop shopping. Selain karena saat ini sedang popular, pelayanan ini juga efektif karena akan memudahkan konsumennya untuk berbelanja keperluan mereka dengan hanya mengunjungi satu tempat (Kartajaya, 2005: 297). One stop shopping is a self-contained office or outlet that provides (almost) everything needed to satisfy a customer order or request, complete a process (such as borrowing), or fulfill a requirement (such as information). (One Stop Shopping adalah kantor atau outlet yang serba lengkap yang menyediakan (hampir) semua barang yang diperlukan untuk memuaskan permintaan atau pesanan konsumen, memenuhi proses (seperti peminjaman), atau memenuhi kebutuhan
22 (seperti informasi))(www.businessdictionary, diakses pada 22 Maret 2016). Senada dengan business dictionary, Investopedia dalam webnya mendefinisikan one stop shopping sebagai, a company or a location that offers a multitude of service to a client or a customer. The idea is to provide convenient and efficient service and also to create the opportunity for the company to sell more products to clients and customers. (sebuah perusahaan atau lokasi yang menawarkan pelayanan dalam jumlah besar kepada klien atau konsumen. Gagasannya adalah untuk menyediakan kemudahan dan layanan yang efisien, juga untuk menciptakan kesempatan untuk perusahaan dalam menjual produk lebih banyak kepada klien atau konsumen) (www.investopedia.com, diakses pada 22 Maret 2016). Contoh kasus ada pada Lippo yang menggunakan e-commerce sebagai sarana dalam memberikan pelayanan one stop shopping. Penerapan sistem pelayanan ini memungkinkannya melakukan strategi economies of scope — membangun stickness dengan menyediakan seluruh kebutuhan pelanggannya. Dengan konsep ini, dua hasil akan dicapai Lippo (Kartajaya, et.al., 2005: 297). Pertama, membangun komunitas dan loyalitas pelanggan. Kedua, Lippo akan mampu memperbesar bisnisnya, antara lain melalui cross selling. Cross selling yaitu konsep penjualan yang menggunakan produk utama sebagai trigger untuk penjualan selanjutnya(Rikasasi, 2012). Model Lippo ini juga dipakai oleh Metrodata, BII, Internet Banking, dan Indosat (Kartajaya, et.al., 2005: 297). Tujuan utama dari menerapkan pelayanan one stop shopping adalah memberikan kenyamanan konsumen untuk dapat berbelanja banyak barang dalam satu tempat saja. Pada dasarnya, manusia memiliki enam kebutuhan sosial dasar. Menurut Yuswohady, keenam kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut (Yuswohady, 2008: 155-157),
23 1. Expressing personal identity (Mengekspresikan identitas personal) adalah
kebutuhan
untuk
mengekspresikan
diri,
bisa
berupa
penampilan, pemikiran, suasana hati, hingga detail kehidupan seharihari. 2. Status and self-esteem merupakan kebutuhan untuk mendapatkan otonomi personal, pengakuan diri, dan pencapaiannya diapresiasi orang lain. 3. Giving and getting help adalah kebutuhan untuk mendapatkan dan memberi bantuan kepada sesama. Di tengah masyarakat yang semakin egois menonjolkan kepentingan pribadi masing-masing individu, kehidupan yang saling berbagi dan memberi bantuan antarsesama menjadi kian penting untuk menemukan hidup yang lebih bermakna. 4. Affiliation and belonging merupakan kebutuhan untuk menemukan dan menjalin hubungan dengan orang lain yang memiliki minat yang sama, orientasi yang sama, dan tujuan yang sama. Hal ini bisa terlihat dalam sebuah komunitas yang menjadikan kesamaan tujuan dan minat ini menciptakan rasa sense of belonging terhadap kebersamaan mereka. 5. Sense of community. Dari kesadaran akan sense of belonging atau keinginan untuk berafiliasi dengan orang lain secara otomatis akan menimbulkan sense of community. Dalam berkomunitas ini mencakup kebutuhan untuk berhubungan dan memangun komitmen jangka panjang. 6. Reassurance of value and self worth merupakan kebutuhan akan keyakinan dan pengakuan bahwa apa yang telah dilakukan berharga
24 dan memiliki makna di mata orang lain. Jadi kebutuhan ini menyangkut permintaan konfirmasi kembali dari orang-orang sekitar bahwa apa yang telah kita lakukan bermanfaat bagi orang banyak. Melalui teori enam kebutuhan sosial dasar manusia tersebut, bisa dipahami
apa yang menjadi keinginan
konsumen dalam setiap
produk/brand yang mereka beli/pakai. Saat brand mampu memberikan pelayanannya sesuai dengan kebutuhan sosial dasar tersebut maka brand akan mendapatkan ikatan sosial yang lebih dalam terhadap konsumennya. Hal ini penting untuk membangun loyalitas pelanggan. Dari merekalah brand akan menjadi lebih hidup (Babu, 2006). Menurut Yuswohady, ada tiga golongan konsumen dilihat dari tingkat kesetiaannya ketika harus memberikan skor (skala 1-10) untuk brand yang mereka pakai (Yuswohady, 2008: 84 – 87). 1. Promoters Dikatakan promoters apabila pelanggan memberikan skor 9-10. Promoters ini merupakan golongan konsumen yang akan setia pada brand. Memiliki kecenderungan tinggi sebesar 80% untuk melakukan pembelian kembali dan merekomendasikan kepada orang-orang terdekat mereka. 2. Passives atau Passives Satisfied Merupakan kelompok konsumen dengan kesetiaan di bawah promoters. Passives akan memberikan skor 7-8 kepada brand. Mereka diperkirakan tidak akan pindah (menyebrang) ke brand lain namun apabila mereka menemukan produk yang lebih baik, mereka akan
25 berpindah tanpa berpikir lebih jauh. Karena, pembelian yang dilakukan kelompok ini lebih berdasar pada inersia bukan dari pertimbangan loyalitas atau antusiasme. 3. Detractors Kelompok konsumen dengan skor 0-6. Kurang lebih 80% dari mereka adalah yang penyumbang komentar negatif dalam suatu brand. Komentar dan kritik negatif ini bisa merusak reputasi sebuah brand, menghalangi pelanggan baru masuk, dan mendemotivasi karyawan dalam. Pertimbangan menggunakan hasil riset kepuasan konsumen saat ini tidak lagi relevan karena konsumen yang puas tidak menjamin mereka akan setia. Menurut riset dari Brain & Co, Between 60% and 80% of defectors (disloyal customers) pronounce themselves ‘satisfied’ or ‘very satisfied’ just before they defect. (Antara 60% dan 80% dari penyebrang (konsumen yang tidak setia) mendeskripsikan diri mereka ‘puas’ atau ‘sangat puas’ tepat sebelum mereka berpindah merek) (Yuswohady, 2008: 87). Loyalitas pelanggan menjadi acuan yang sangat penting untuk diperhatikan karena dari merekalah brand akan semakin hidup dan disebarkan atau direkomendasikan secara militant (Yuswohady, 2008). Nielsen Online Global Consumer Strategy mengatakan dalam risetnya, “91% consumers likely to buy on recommendation.” (91% konsumen lebih suka membeli berdasarkan rekomendasi). Hal ini menjadi penting diperhatikan dengan didukung teori dari Reichheld yang mengatakan bahwa untuk meraih konsumen baru membutuhkan biaya lima kali lebih
26 besar daripada mempertahankan kesetiaan konsumen yang sudah ada (Yuswohady, 2008: 66-69). Yuswohady (2008) memiliki rumus tersendiri untuk menyatukan keterkaitan antara rekomendasi dan loyalitas konsumen. Dalam bukunya “Crowd” disebutkan, rumus dasar tersebut adalah E = wMC2 E adalah energi pemasaran yang sangat dahsyat, wM didefinisikan sebagai word of mouth (rekomendasi dari mulut ke mulut), kemudian C2 adalah consumer community baik online maupun offline (Yuswohady, 2008). Dari teori tersebut maka dipahami bahwa untuk menghidupkan brand sekaligus meningkatkan penjualan secara signifikan dibutuhkan adanya loyalitas konsumen yang akan dengan senang hati merekomendasikan dari mulut ke mulut kepada calon-calon konsumen baru. Loyalitas konsumen yang oleh Yuswohady dideskripsikan berbentuk komunitas pelanggan akan diadaptasi oleh Rajawali Motor yang akan menyasar para motorcycle enthusiast sebagai target utama dari rejuvenasi brand yang akan dilakukan.
D. Tinjauan tentang Target Audience Konsumen, bagaimanapun, adalah manusia juga. Mereka memiliki hasrat,
keinginan,
kebiasaan,
dan
aspek
psikologis
lainnya.
Memperlakukan konsumen sebagai member, menemukan identitas kolektif mereka, tujuan, dan passion-nya akan membuat konsumen merasa
27 diperhatikan secara personal. Pendekatan ini akan memungkinkan konsumen untuk setia terhadap brand. Meskipun, ketika konsumen diperlakukan sebagai member maka pendekatan serta segmentasinya juga akan berbeda. Namun, hal ini sangat penting untuk memaksimalkan loyalitas konsumen (Yuswohady, 2008:129). Yuswohady memberikan cara untuk meraih hati komunitas melalui tiga langkah. Pertama, Anda harus membangun komunitas konsumen atau memanfaatkan konsumen yang telah ada. Kedua, menemukan identitas kolektif, kesamaan minat, kesamaan aspirasi, dan kesamaan tujuan dari member yang membentuk komunitas tersebut. Lalu yang ketiga, berbekal pengetahuan mengenai identitas, tujuan, dan aspirasi member tersebut maka fasilitasi mereka dengan baik (Yuswohady, 2008: 168 – 170). Dalam konteks Rajawali Motor, komunitas yang akan disasar adalah mereka para pecinta motor atau motorcycle enthusiast. Definisi untuk motorcycle enthusiast sendiri menurut Urban Dictionary adalah a person who enjoys almost all motorcycles regardless of country of origin, branding, or styling. (seseorang yang menikmati hampir semua motor tanpa memperhatikan negara asal, branding, atau gaya) (www.urbandictionary.com, diakses tanggal 22 Maret 2016). Saat ini komunitas-komunitas penyuka motor dengan ketertarikan yang sama mulai menjamur; komunitas Yamaha Mio, Honda Tiger, dan lain sebagainya. Tren para pehobi itu tak lepas dari keinginan untuk berbagi dan mengekspresikan diri. Salah satu contoh komunitas brand yang pelan tapi pasti berhasil mengubah diri dari zero to hero adalah Djarum Black. Sejak program komunitas Black ini muncul tahun 2004,
28 saat ini setidaknya Black memiliki dua komunitas, yakni Black Car Community dan Black Motor Community (Yuswohady, 2008: 198). Fungsi utama Djarum Black dalam memfasilitasi komunitas-komunitas tersebut adalah memberi wadah bagi mereka untuk tampil dan mengekspresikan hobinya memodifikasi kendaraan. Berbagai pendekatan dilakukan oleh Black dalam meraih loyalitas komunitas yang telah dibangun, diantaranya event, lomba modifikasi, hingga pemilihan Miss Autoblackthrough (Yuswohady, 2008: 197 – 201). Komunitas yang “dilayani” dan difasilitasi sesuai dengan passion mereka akan memberikan loyalitas terhadap brand yang memfasilitasi. Meskipun benar bahwa akan ada energi pemasaran yang lebih untuk memberi perhatian ini namun feedback yang akan didapatkan pun jauh lebih besar. Levine mengatakan bahwa pasar sesungguhnya terdiri dari manusia-manusia hidup bukan hanya sebatas terkotakkan melalui sektorsektor demografis (Yuswohady, 2008). Konsumen yang terfasilitasi akan merasa ‘dimanusiakan’ sehingga probabilitas kesetiaan mereka akan lebih tinggi. Disamping itu, membentuk atau melayani komunitas pelanggan juga sejalan dengan enam kebutuhan sosial dasar manusia yang telah disebutkan di poin sebelumnya. Lebih spesifik ada di bagian ‘Afiliation and Belonging’ dan ‘Sense of Community’. Disebutkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk berafiliasi dan membentuk komunitas serta adanya perasaan saling memiliki.