BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Teoretis
2.1.1 Pengertian Prestasi Belajar Prestasi belajar adalah serangkaian kalimat yang terdiri dari dua kata, yaitu prestasi dan belajar, dimana kedua kata tersebut saling berkaitan dan mempunyai pengertian yang berbeda. Oleh sebab itu, sebelum mengulas lebih dalam tentang prestasi belajar, terlebih dahulu kita telusuri kata tersebut satu persatu untuk mengetahui apa pengertian prestasi belajar itu. Djamarah (2011 : 12-13) mengartikan “Belajar sebagai suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi para siswa atau mahasiswa kata “belajar” merupakan kata yang tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu dilembaga pendidikan formal dan non formal. Kegiatan belajar biasanya mereka lakukan sesuai dengan keinginan mereka, entah malam hari, siang hari, sore hari, atau pagi hari. Namun, dari semua itu tidak semua orang mengetahui apa itu belajar. Masalah pengertian belajar ini, para ahli psikologi dan pendidikan mengemukakan rumusan yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Tentu saja mereka mempunyai alasan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
James O. Whittaker (dalam Djamarah 2011 : 12), merumuskan belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan pendapat Cronbach (dalam Djamarah 2011 : 13), adalah learning is shown by change in behavior
as a result of experience. Belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Lebih Lanjut Howard L . Kingskey (dalam Djamarah 2011 : 13), mengatakan bahwa learning is the proses by which behavior (in the boarder sense) I originated or change through practice or training. Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan. Slameto (dalam Djamarah 2011 : 12), juga merumuskan pengertian tetang belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman siswa itu sendiri dalam interaksi dengan lingkunganya. Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan tingkah laku. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman siswa dalam interaksi dengan lingkunganya.
Istilah prestasi berasal dari bahasa Belanda “prestatie”, dalam bahasa indonesia menjadi prestasi, yang berarti hasil dari usaha. Menurut Syah,(2010:141) prestasi adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dalam sebuah program. Sedangkan prestasi belajar adalah “tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program”, Syah (2010: 144-145), (http ://eprints.uny.ac.id/8883/3/BAB 2084024244022.pdf).
Poerwanto (2004:2) memberikan pengertian “prestasi belajar, yaitu hasil yang dicapai oleh siswa dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport. Dijelaskan pula bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan siswa dalam melakukan kegiatan sesuai bobot yang dicapainya”. Adapun menurut Nasution (2006:17) prestasi belajar adalah “kesempurnaan yang dicapai siswa dalam berpikir, merasa, dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila siswa memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif, dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi belajar kurang memuaskan jika siswa belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut”. Uraian tersebut menunjukan bahwa prestasi belajar merupakan ukuran keberhasilan siswa yang diberikan oleh guru kepada siswa sesuai perubahan yang ditunjukan oleh siswa (perubahan intelektual dan sikap). Prestasi belajar siswa biasanya dinyatakan dalam bentuk nilai pada raport setelah mengalami proses pembelajaran.
2.1.2 Faktor Mempengaruhi Prestasi Belajar Prestasi belajar yang memuaskan dapat diraih oleh setiap siswa jika mereka dapat belajar secara wajar, terhindar dari berbagai ancaman, hambatan, dan gangguan. Namun sayangnya ancaman, hambatan, dan gangguan dialami oleh siswa tertentu. Sehingga siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Pada tingkat tertentu memang ada siswa yang dapat mengatasi kesulitan belajarnya tanpa harus melibatkan orang lain. Tapi ada masalah tertentu yang membutuhkan bantuan guru atau orang lain . Disetiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki siswa yang
berkesulitan belajar. Masalah yang satu ini tidak hanya dirasakan oleh sekolah modern di perkotaan, tapi juga dirasakan oleh sekolah tradisional di pedesaaan. Para ahli yang mengemukakan faktor - faktor penyebab kesulitan belajar siswa dengan sudut pandang mereka masing-masing. Ada yang meninjaunya dari sudut internal siswa, dan eksternal siswa. Namun Syah (dalam Djamarah 2011: 235-246) melihatnya dari kedua aspek tersebut. “Menurutnya faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa yaitu sebagai berikut. a. Faktor internal siswa 1) Bersifat
kognitif
(ranah
cipta),
antara
lain
seperti
rendahnya
kapasitas
intelektual/intelegensi siswa. 2) Bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap siswa.
3) Bersifat psikomotor (ranah karsa) antara lain seperti terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga). Untuk lebih jelasnya, faktor-faktor internal yang menjadi penyebab siswa mengalami kesulitan belajar ialah sebagai berikut : 1) Intelegensi (IQ) siswa yang kurang baik. 2) Bakat yang kurang atau tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang dipelajari atau yang diberikan oleh guru. 3) Faktor emosional yang kurang stabil. Misalnya mudah tersinggung, pemurung, pemarah, selalu bingung dalam menghadapi masalah, dan selalu sedih tanpa alasan yang jelas. 4) Aktivitas belajar yang kurang. Lebih banyak malas dari pada melakukan kegiatan belajar. 5) Kebiasaan belajar yang kurang baik. Belajar dengan penguasaan ilmu pengetahuan pada
tingkat hafalan, tidak dengan pengertian (insight), sehingga sukar ditransfer kesituasi yang lain. 6) Penyesuaian sosial yang sulit. Cepatnya penyerapan bahan pelajaran oleh siswa tertentu menyebabkan siswa sulit menyesuaikan diri untuk mengimbanginya dalam belajar. 7) Latar belakang pengalaman yang pahit. Misalnya siswa sekolah sambil bekerja. Kemiskinan ekonomi orang tua memaksa siswa harus bekerja demi membiayai sendiri uang sekolah. Waktu yang seharusnya dipakai untuk belajar dengan sangat terpaksa digunakan untuk bekerja. 8) Cita-cita yang tidak relevan (tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang dipelajari). 9) Latar belakang pendidikan yang dimasuki dengan sistem sosial dan kegiatan belajar mengajar di kelas yang kurang baik. 10) Ketahanan belajar (lama belajar tidak sesuai dengan tuntutan waktu belajarnya. Ketidakmampuan guru mengakomodasikan jadwal kegiatan pembelajaran dengan ketahanan belajar siswa, sehingga kesulitan belajar dirasakan oleh siswa. 11) Keadaan fisik yang kurang menunjang. Misalnya, cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, dan gangguan psikomotor. Cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, hilang tangan dan kaki. 12) Kesehatan yang kurang baik. Misalnya, sakit kepala, sakit perut, sakit mata, sakit gigi, sakit flu, atau mudah capek dan mengantuk karena kurang gizi. 13) Seks atau pernikahan yang tak terkendali. Misalnya terlalu intim dengan lawan jenis, dan berpacaran. 14) Pegetahuan dan keterampilan dasar kurang memadai (kurang mendukung) atas bahan yang dipelajari. Kemiskinan penguasaan atas bahan dasar dari pengetahuan dan
keterampilan yang pernah dipelajari akan menjadi kendala menerima dan mengerti sekaligus menyerap materi pelajaran yang baru. 15) Tidak ada motivasi dalam belajar. Materi pelajaran sukar diterima dan diserap bila siswa tidak memiliki motivasi untuk belajar. b. Faktor eksternal 1) Lingkungan keluarga, contohnya; ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga. 2) Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area) dan teman-teman sepermainan (peer group). 3) Lingkugan sekolah, contohnya; kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah. Untuk lebih jelasnya, faktor-faktor eksternal yang menjadi penyebab siswa mengalami kesulitan belajar ialah sebagai berikut. a. Faktor Sekolah 1) Pribadi guru yang kurang baik 2) Guru tidak berkualitas, baik dalam pengambilan metode yang digunakan ataupun dalam penguasaan mata pelajaran yang dipegangnya. Hal ini bisa terjadi karena keahlian yang dipegangya kurang sesuai, sehingga kurang menguasai, atau kurang persiapan, dan cara menerangkan kurang jelas, sukar dimengerti oleh setiap siswa. 3) Hubungan guru dengan siswa kurang harmonis. Hal ini bermula pada sifat dan sikap yang tidak disenangi oleh siswa. Misalnya guru bersifat kasar, suka marah, suka mengejek, tak pernah senyum, tak suka membantu siswa dan suka membentak. 4) Guru-guru menuntut standar pelajaran di atas kemampuan siswa. Hal ini biasanya terjadi
pada guru yang masih muda yang belum berpengalaman, sehingga belum dapat mengukur kemampuan siswa. Karena hanya sebagian kecil siswa dapat berhasil dengan baik dalam belajar. 5) Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha mendiagnosis kesulitan belajar siswa. 6) Cara mengajar guru yang kurang baik. 7) Alat/media yang kurang memadai. Alat pelajaran yang kurang lengkap membuat penyajian pelajaran yang tidak baik. Terutama pelajaran yang bersifat praktikum. Kurangnya alat laboratorium akan banyak menimbulkan kesulitan dalam belajar. 8) Perpustakaan sekolah kurang memadai dan kurang
merangsang siswa untuk
menggunakanya. Misalnya buku-bukunya kurang lengkap, pelayananya kurang memuaskan, ruanganya panas, dan tidak ada ruang baca. 9) Fasilitas fisik sekolah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan tidak terpelihara dengan baik. Misalnya dinding sekolah kotor, lapangan sekolah becek dan penuh rumput, ruang kelas yang tidak berjendela, udara yang masuk tidak cukup, dan pantulan sinar matahari tidak dapat menerangi ruang kelas. 10) Suasana sekolah yang kurang menyenangkan. Misalnya suasana bising, karena letak sekolah berdekatan dengan jalan raya, tempat lalu lintas hilir mudik, berdekatan dengan dengan rumah penduduk, dekat pasar, bengkel, pabrik, sehingga siswa sukar berkonsentrasi dalam belajar. 11) Bimbingan dan penyuluhan tidak berfungsi. 12) Kepemimpinan dan administrasi. Dalam hal ini berhubungan dengan sikap guru yang egois, kepala sekolah yang otoriter, pembuatan jadwal pelajaran yang tidak mempertimbangkan kompetensi siswa, sehingga menyebabkan kurang menunjang proses
belajar siswa. 13) Waktu sekolah dan disiplin yang kurang. Apabila sekolah masuk sore atau siang hari, maka kondisi siswa tidak lagi dalam keadaan optimal untuk menerima pelajaran sebab energi sudah berkurang. Selain itu udara relatif panas diwaktu siang dapat mempercepat proses kelelahan. Tetapi faktor yang tak kalah pentingnya juga adalah faktor disiplin. Disiplin yang kurang juga kurang menguntungkan dalam belajar. Gejala ketidak disiplinan itu misalnya, tugas yang tidak dikerjakan siswa, lonceng tanda masuk kelas berbunyi tetapi siswa masih berkeliaran. b. Faktor keluarga 1) Kurangnya kelengkapan alat-alat belajar bagi siswa di rumah, sehingga kebutuhan belajar yang diperlukan itu tidak ada, maka kegiatan belajar siswa pun terhenti untuk beberapa waktu. 2) Kurangnya biaya pendidikan yang disediakan orang tua, sehingga siswa harus ikut memikirkan bagaimana mencari uang, untuk biaya sekolah hingga tamat. 3) Siswa tidak memiliki ruang belajar yang khusus di rumah. Karena tidak mempunyai ruang belajar, maka siswa belajar kemana-mana; bisa di ruang dapur, di ruang tamu, atau belajar di tempat tidur. Siswa yang tidak punya tempat belajar berupa meja dan kursi terpaksa memanfaatkan meja dan kursi tamu untuk belajar dan bila ada tamu yang datang dia menjauhkan diri entah kemana, mungkin keruang dapur karena tidak ada pilihan lain. 4) Ekonomi keluarga yang terlalu lemah atau tinggi membuat siswa berlebih-lebihan. 5) Kesehatan keluarga yang kurang baik. Orang tua yang sakit-sakitan, misalnya membuat siswa harus ikut memikirkanya dan merasa prihatin. Apalagi bila penyakit yang diderita orang tuanya adalah penyakit serius dan kronis.
6) Perhatian orang tua yang tidak memadai. siswa merasa kecewa dan mungkin frustasi melihat orang tuanya yang tidak pernah memperhatikanya. Siswa merasa seolah-olah tidak memiliki orang tua sebagai tempat menggantukan harapan, sebagai tempat bertanya bila ada pelajaran yang tidak dimengerti. Kerawanan hubungan orang tua dengan siswa ini menyebabkan masalah psikologis dalam belajar siswa sekolah. 7) Kebiasaan dalam keluarga yang tidak menunjang. Karena kebiasaan dalam keluarga, dimana kebiasaan belajar yang dicontohkan tidak terjadwal dan sesuka hati atau dekat waktu ulangan baru belajar habis-habisan, maka kebiasaan itulah yang ditiru oleh siswa, walaupun sebenarnya hal itu kebiasaan belajar salah. 8) Kedudukan siswa dalam keluarga yang menyedihkan. Orang tua pilih kasih dalam mengayomi anak. Seolah-olah ada anak kandung dan anak tiri. Anak yang berprestasi disanjung dan anak yang tidak berprestasi dicemooh atau dimaki-maki, sikap dan prilaku orang tua seperti ini membuat anak frustasi dan malas belajar. 9) Siswa terlalu banyak membantu orang tua. Untuk keluarga tertentu sering ditemukan siswa terlibat langsung dalam pekerjaan orang tuanya seperti mencuci pakaian, memasak nasi di dapur, ikut berjualan kepasar, dan ikut mengasuh adiknya. Kegiatan-kegiatan seperti ini akan menyita waktu belajar siswa. c. Faktor Masyarakat sekitar 1) Pergaulan siswa. Misalnya siswa yang tergabung dalam kelompok gangster biasanya melakukan pertengkaran, perampokan, pembunuhan, dan perjudian. 2) Media cetak. Misalnya media cetak majalah yang tak tanggung – tanggung mengekspos bacaan yang berbau seks/pornografi. 3) Media elektronik. Misalnya siaran televisi yang mengebelakangkan aspek moral, susila
demi kepentingan bisnis seperti tayangan yang mengandung porno. Hal ini bisa menjadi motivasi siswa untuk melakukan/mempraktekan hubungan seks bebas. 4) Keadaan lingkungan. Misalnya kotor/jorok, kebisingan, keributan. Sehingga membuat siswa sulit/tidak bisa berkonsentrasi untuk belajar.” Dari berbagai faktor-faktor penyebab yang telah dikemukakan, terdapat hambatan dan gangguan yang berasal dari dalam diri siswa (internal ) dan dari luar diri siswa (eksternal). Namun penilitian ini lebih mengarah pada faktor internal siswa (aspek afektif) sebagai faktor penyebab siswa mendapat prestasi belajar yang rendah. 2.1.3
Ciri-ciri Siswa yang Mengalami Kesulitan Belajar Siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah siswa yang tidak dapat belajar dengan
wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan, ataupun gangguan dalam belajar sehingga menampakan gejala-gejala yang dapat diamati oleh orang lain, guru, ataupun orang tua. Menurut Djamarah (2011:246-247). “ciri-ciri siswa yang mengalami kesulitan belajar siswa dapat dilihat dari petunjuk sebagai berikut. a. Siswa menunjukan prestasi belajar yang rendah, di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompok siswa di kelas. b. Hasil belajar yang diperoleh siswa tidak seimbang dengan usaha-usaha yang dilakukan siswa. Padahal siswa sudah berusaha belajar dengan keras, tetapi nilainya selalu rendah. c. Siswa lambat dalam mengerjakan tugas-tugas belajar. Misalnya menyelesaikan soal-soal dalam waktu lama. d. Siswa menunjukan sikap kurang wajar, seperti acuh tak acuh, berpura-pura, berdusta, dan mudah tersinggung. e. Siswa menunjukan tingkah laku yang tidak seperti biasanya ditunjukan kepada orang lain.
Dalam hal ini misalnya siswa menjadi pemurung, pemarah, selalu bingung, selalu sedih,dan kurang gembira atau mengasingkan diri dari kawan-kawan sepermainan.
2.1.4. Pengertian Kematangan Emosi Kehidupan seseorang pada umumnya penuh dorongan untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Menurut Sunarto dan Hartono (148-149) bahwa “Munculnya berbagai kebutuhan dan prilaku seseorang disebabkan oleh berbagai dorongan dan minat. Seberapa banyak dorongandorongan dan minat seseorang itu terpenuhi merupakan dasar dari pengalaman emosionalnya. Perjalanan kehidupan tiap-tiap orang tidak selalu sama. Kehidupan mereka masing-masing berjalan menurut polanya sendiri-sendiri. Seseorang yang pola hidupnya berlangsung mulus, biasanya dorongan-dorongan dan keinginan- keinginan atau minatnya dapat terpenuhi atau dapat dicapai, mereka cenderung memiliki perkembangan emosi yang stabil dan dengan demikian dapat menikmati hidupnya. Tetapi sebaliknya, jika dorongan dan keinginanya tidak berhasil terpenuhi, baik hal itu disebabkan kurangnya kemampuan untuk memenuhinya atau karena kondisi lingkungan yang kurang menunjang, sangat dimungkinkan perkembangan emosionalnya mengalami gangguan. Seorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan- pertimbangan objektif. Akan tetapi pada saat-saat tertentu didalam kehidupanya, dorongan emosional banyak campur tangan dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Oleh karena itu, untuk memahami remaja, memang perlu mengetahui apa yang ia lakukan dan pikirkan. Disamping itu hal yang lebih penting untuk diketahui adalah apa yang mereka rasakan. Makin banyak kita dapat memahami dunia remaja seperti apa yang mereka
alami, makin perlu kita melihat kedalam kehidupan emosionalnya dan memahami perasaanya, baik perasaan tentang dirinya sendiri maupun tentang orang lain. Menurut Sarwono (2010:125)
secara etimologi emosi berasal dari kata perancis
émouvoir, ‘excite’ yang berdasarkan kata latin emovere, yang terdiri dari kata-kata e-(variant atau ex-), artinya „keluar‟dan movere, artinya „bergerak‟ (istilah “motivasi” juga berasal dari emovere). Dengan demikian, secara etimologi emosi berarti “bergerak keluar”. Dalam kamus bahasa Indonesia Hoetomo (2005:148), mengatakan bahwa emosi merupakan “perasaan batin yang meluap timbul dari hati”. Emosi menurut English and English (dalam Yusuf Syamsu 2008 : 114-115)
adalah “A complex feeling state accompanied by
characteristic motor and glandular activities” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Sedangkan Sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan “setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun tingkat yang luas (mendalam).” Sementara itu, Chaplin (dalam Ali dan Asrori, 2012: 62) mendefinisikan “emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku”. Lebih lanjut, Goleman, seorang pakar kecerdasan emosional (2004:411-412), istilah emosi yang tepatnya masih membingungkan baik para ahli psikologi maupun ahli filsafat selama lebih dari satu abad. Karena sedemikian membingungkan maka Goleman mendefinisikan emosi merujuk kepada makna yang lebih harfiah diambil dari Oxford English Dictionary yang memaknai emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Goleman menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologi, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Goleman juga
mengelompokkan emosi kedalam golongan-golongan besar, golongan-golongan tersebut ialah sebagai berikut. a.
Amarah, di dalamnya meliputi brutal, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, dan kebencian patologis.
b.
Kesedihan, di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.
c.
Rasa takut, di dalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, panik, dan fobia.
d.
Kenikmatan, di dalamnya meliputi bahagia, gembira, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, puas, rasa terpenuhi, girang, senang sekali.
e.
Cinta, di dalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang.
f.
Terkejut, di dalamnya meliputi terkisap, takjub, dan terpana.
g.
Jengkel, di dalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dan muntah.
h.
Malu, di dalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, hina, aib, dan hati hancur lebur. Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan, maka disimpulkan bahwa emosi
merupakan suatu kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu yang meluap-luap timbul dari
hati sehingga menyebabkan kecenderungan bagi individu untuk bertindak terhadap stimulus dengan bentuk amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu Kematangan emosi menurut Sukadji (dalam Ratnawati, 2005) bahwa “kematangan emosi sebagai suatu kemampuan untuk mengarahkan emosi dasar yang kuat kepenyaluran mencapai tujuan, dan tujuan ini memuaskan diri sendiri dan dapat diterima di lingkungan. Sejalan dengan bertambah kematangan emosi seseorang maka akan berkuranglah emosi negatif. Bentuk-bentuk emosi positif seperti rasa sayang, suka, dan cinta akan berkembang jadi lebih baik. Bentuk emosi yang positif tersebut memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan menerima dan membagikan kasih sayang untuk diri sendiri maupun orang lain. (http:// kampiunpsikologi. wordpress. com/2008 /11/19 / pengertian-kematangan-emosi/). Menurut MC Kennedy (dalam Sukadji, 1986) “seseorang yang emosinya matang ialah sanggup menunjukkan kontrol terhadap emosi dan lingkungannya, serta dapat mengembangkan pandangan hidup secara independent dapat diterima secara sosial, (http://kampiunpsikologi. Wordpress. com/2008/11/19/ pengertian-kematangan-emosi/). Anderson (dalam Mappiare, 1982), mengatakan bahwa seseorang yang matang secara emosional sanggup mengendalikan perasaan dan tidak dapat dikuasai perasaan dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan
perasaan
orang
lain.
http://kampiunpsikologi.wordpress.com/2008/11/19/pengertian-kematangan-emosi/. Menurut Cole (1983), seseorang yang emosinya matang memiliki sejumlah kemampuan utama yang harus dipenuhi yaitu : “kemampuan untuk mengungkapkan dan menerima emosi, menunjukan kesetiaan, menghargai orang lain secara realitas, menilai harapan dan inspirasi, menunjukkan rasa empati terhadap orang lain, mengurangi pertimbangan-pertimbangan yang
bersifat emosional, serta toleransi dan menghormati orang lain. (http://kampiunpsikologi. wordpress. com/2008/11/19/ pengertian-kematangan-emosi/). Asmiyati,2001(http://kampiunpsikologi.wordpress.com/2008/11/19/pengertian-kematanganemosi/.) “mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah suatu kondisi mencapai tingkat
kedewasaan dari perkembangan emosi pada diri individu. Individu yang telah mencapai kematangan emosi ditandai oleh adanya kemampuan dalam mengontrol emosi, berfikir realistik, memahami diri sendiri dan menampakkan emosi disaat dan tempat yang tepat. Reaksi yang diberikan individu terhadap setiap emosi dapat memuaskan dirinya sendiri dan dapat diterima oleh lingkungannya.” Selain itu, Chaplin (2000:165) mendefinisikan kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional yang pantas bagi anak-anak. Walgito (2002:42) menyatakan bahwa seseorang telah mencapai kematangan emosi bisa dapat mengendalikan emosinya dan diharapkan individu berpikir secara matang, melihat persoalan subyektif. 2.1.5. Karakteristik Perkembangan Emosi Remaja Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak kemasa dewasa. Menurut Ali dan Asrori (2012: 67) “Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosional, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu anak duduk dibangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkunganya. Pada masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa, status remaja agak kabur, bagi dirinya maupun bagi lingkunganya. Conny Semiawan (1989) (dalam Ali dan Asrori 2012: 67) mengibaratkan : “terlalu besar untuk serbet, terlalu kecil untuk taplak meja” karena
sudah bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum dewasa. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman tidak tenang, dan khawatir kesepian. Secara garis besar, Ali dan Asrori (2012:68) membagi masa remaja ke dalam empat periode, yaitu periode praremaja, remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. Adapun karakteristik untuk setiap periode adalah berikut ini. a. Periode Praremaja. Selam periode ini terjadi gejala-gejala yang hampir sama antara remaja pria maupun remaja wanita. Perubahan fisik belum tampak jelas, tetapi pada remaja putri biasanya memperlihatkan penambahan berat badan yang cepat sehingga mereka merasa gemuk. Gerakangerakan meraka mulai mejadi kaku. Perubahan ini disertai sifat kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan respon mereka biasanya berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak. b. Periode Remaja awal Selama periode ini perkembangan fisiknya yang semakin tampak adalah perubahan fungsi alat kelamin. Karena perubahan alat kelamin semakin nyata, remaja seringkali mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu. Akibatnya, tidak jarang mereka cenderung menyendiri sehingga merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang memperdulikanya. Kontrol terhadap dirinya bertambah sulit dan meraka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk menyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini sesungguhnya terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi yang kadang-kadang tidak wajar. c. Periode Remaja tengah
Tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja, yaitu mampu memikul sendiri juga menjadi masalah tersendiri bagi meraka. Tuntutan peningkatan tanggung jawab tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya tetapi juga dari dari masyarakat sekitarnya. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi ramaja. Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali menunjukan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, dan pantas untuk dikembangkan dikalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa disekitarnya memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka. d. Periode Remaja akhir Selam periode ini remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa. Oleh sebab itu, orang tua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan yang selayaknya kepada mereka. Interaksi dengan orang tua juga menjadi lebih bagus dan lancar karena mereka sudah memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil. Pilihan arah hidup sudah semakin jelas dan mampu mengambil pilihan dan keputusan tentang arah hidupnya secara lebih bijaksana meskipun belum bisa secara penuh. Mereka juga mulai memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap dirinya sendiri, orang tua, dan masyarakat”. Selain itu, Sunarto dan Hartono mengemukakan (2008: 150-156) bahwa “secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi terutama karena anak (laki-laki dan perempuan) berada dibawah tekanan sosial dan mereka menghadapi
kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan, namun benar juga bila sebagian besar ramaja mengalami ketidakstabilan dari waktu-kewaktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru. Pola emosi remaja sama dengan pola emosi masa anak-anak. Jenis emosi secara normal yang dialami adalah: cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, dan sedih. Perbedaanya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang membangkitkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Remaja sendiri menyadari bahwa aspek-aspek emosional dalam kehidupan adalah penting. Jarsild, 1957(dalam Sunarto dan Hartono 2008:151-154) untuk itu selanjutnya dibahas beberapa kondisi emosional seperti: cinta/kasih sayang, gembira, kemarahan dan permusuhan, ketakutan dan kecemasan. a.
Cinta/Kasih Sayang Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain
dan kebutuhanya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan menerima cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya. Walaupun remaja bergerak ke dunia pergaulan yang lebih luas, dalam dirinya masih terdapat sifat anak-anak. Remaja membutuhkan kasih sayang dirumah sama banyaknya dengan apa yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya. Karena alasan inilah maka sikap menentang mereka, menyalahkan mereka secara langsung, mengolok-olok mereka pada waktu pertama kali mengolok-olok mereka karena mencukur kumisnya, adanya perhatian terhadap lawan jenisnya, merupakan tindakan yang kurang bijaksana.
Tampaknya tidak ada manusia, termasuk remaja, yang dapat bahagia dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja berontak secara terang-terangan, nakal, dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinanya disebabkan oleh kurangya rasa cinta. b.
Gembira Pada umumya individu dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan yang dialami selama remaja. Jika kita menghitung hal-hal yang menyenangkan tersebut kita agaknya mempunyai cerita yang panjang dan lengkap tentang apa yang terjadi dalam perkembangan emosional remaja. Perasaan gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mnedapatkan perhatian dari petugas peneliti dari pada perasaan marah dan takut atau tingkah laku problema lain yang memantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu mendapatkan sambutan (diterima) oleh yang dicintainya. c.
Kemarahan dan Permusuhan Sejak masa anak-anak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja untuk mencapai
dan memiliki kebebasan sebagai seorang pribadi yang mandiri. Rasa marah merupakan gejala penting diantara emosi-emsoi yang memainkan peranan dalam perkembangan kepribadian. Rasa marah penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya seseorang mempertajam tuntutanya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah melalui bayak fase dalam perkembangan emosional, antara lain dalam kaitanya dengan perbuatan marah dan cara menyatakan kemarahan itu. Rasa marah tersebut akan terus berlanjut permunculan apabila minat-minatnya, rencanarencananya, dan tindakan-tindakanya dirintangi. d. Ketakutan dan Kecemasan Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan dengan rasa takutanya. Beberapa rasa takut yang terdahulu telah teratasi, tetapi banyak yang masih tetap ada. Banyak ketakutanketakutan baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri. Semua remaja banyak takut terhadap waktu. Beberapa diantara mereka merasa takut pada kejadian-kejadian bila mereka dalam bahaya. Beberapa orang mengalami rasa takut secara berulang-ulang dengan kejadian dalam kehidupan sehari-hari, atau karena mimpi-mimpi, atau karena pikiran-pikiran mereka sendiri. Beberapa orang dapat mengalami rasa takut sampai berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Remaja seperti halnya anak-anak dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi ketakutan-ketakutan yang timbul dari persoalanpersoalan kehidupan, dan tidak ada seorang pun dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. 2.1.6 Ciri – Ciri Kematangan Emosi Menurut yusuf (2008:116) bahwa emosi sebagai suatu peristiwa psikologis yang mengandung ciri – ciri sebagai berikut : a. Lebih bersifat subyektif dari pada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir. b. Bersifat fluktuatif ( tidak tetap )
c. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera Mengenai ciri – ciri emosi ini, Yusuf (2008:116) membedakan antara emosi anak dan emosi pada orang dewasa sebagai berikut : Tabel 1.1 Karakteristik emosi anak dan dewasa Emosi Anak 1. Berlangsung
Emosi Orang Dewasa singkat
dan 1. Berlangsung lebih lama dan berakhir
berakhir tiba – tiba
dengan lambat
2. Terlihat lebih hebat dan kuat
2. Tidak terlihat hebat / kuat
3. Bersifat sementara / dangkal
3. Lebih
4. Lebih sering terjadi
4. Jarang terjadi
5. Dapat diketahui dengan jelas 5. Sulit diketahui karena lebih pandai dari tingkah lakunya
menyembunyikannya
Biehler, 1972 (dalam Sunarto dan Hartono 2008: 155-156) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentan usia, yaitu 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun. a.
Ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun:
1)
Pada usia ini seorang anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. Sebagian kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam hubunganya dengan kematangan seksual dan sebagian karena kebingunganya dalam menghadapi apakah ia masih sebagai anak-anak atau sebagai seorang dewasa.
2)
Anak bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3)
Ledakan-ledakan kemarahan biasa terjadi. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis, dan kelelahan karena bekerja terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
4)
Anak cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangya rasa percaya diri. Mereka mempunyai pendapat bahwa ada jawaban-jawaban absolute dan bahwa mereka mengetahuinya.
5)
Siswa-siswa di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif dan menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (maha tahu).
b.
Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun :
1)
“Pemberontakan” remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perbuatan yang universal dari masa kanak-kanak kedewasa.
2)
Bertambahnya kebebasan mereka, banyak anak yang mengalami konflik dengan orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpati dan nasihat orang tua atau guru.
3)
Anak pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak diantara mereka terlalu tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.” Sedangkan Menurut pendapat Walgito (2002:45) ada beberapa ciri kematangan emosi
yaitu sebagai berikut : a. Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan karena seseorang yang lebih matang emosinya dapat berpikir secara lebih baik, dan berpikir secara obyektif.
b. Tidak bersifat implusif, akan merespon stimulus dengan cara berpikir baik, dapat mengatur pikiranya untuk memberikan tangggapan terhadapa stimulus yang mengenainya. c. Dapat mengontrol emosi dan mengekspresikan emosinya dengan baik. d. Bersifat sabar, penuh pengertian, dan pada umumnya mempunyai toleransi yang baik. e. Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Selain itu, adapun kriteria seseorang yang memiliki kematangan emosi menurut Goleman (2002:51-53), adalah sebagai berikut : a.
Kemampuan untuk beradaptasi dengan realitas Kemampuan berorientasi pada diri individu tanpa membentuk mekanisme diri ketika konflikkonflik yang muncul mulai dirasakan mengganggu perilakunya. Orang yang matang secara emosional melihat suatu akar permaasalahan berdasarkan fakta dan kenyataan di lapangan, tidak menyalahkan orang lain atau hal-hal yang bersangkutan sebagai salah faktor penghambat. Ia dapat beradaptasi dengan lingkunganya dan selalu dapat berpikir positif masalah yang dihadapinya.
b.
Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan Perubahan mendadak kadang membuat seseorang menjadi menutup diri, menjaga jarak atau bahkan menghindari hal-hal yang berkisar lingkungan barunya.
Kematangan emosi
menandakan bahwa seseorang dapat begitu cepat dengan hal-hal baru tanpa menjadikanya sebagai sebagai tekanan atau stressor. Kemampuan ini dapat tumbuh sebagai bentuk adapatasinya dengan lingkungan baru yang sengaja diciptakan untuk mengurangi stress yang dapat berkembang dalam dirinya.
c.
Mampu mengontrol gejala emosi yang mengarah pada kemunculan kecemasan. Munculnya kepanikan berawal dari terpukulnya simpton-simpton yang memberikan radar akan adanya bahaya dari luar. Penumpukan kadar rasa cemas berlebihan dapat memunculkan kepanikan yang luar biasa. Orang yang mempunyai kematangan emosi dapat mengontrol gejala-gejala tersebut sebelum muncul kecemasan pada dirinya.
d.
Kemampuan untuk menemukan kedamaian jiwa dari memberi dibandingkan dengan menerima. Semakin sehat tingkat kematangan emosi seseorang, individu tersebut dapat menangkap suatu keindahan dari memberi, ketulusan dalam membantu orang, membantu fakir miskin, keterlibatan dalam masalah sosial, keinginan untuk membantu orang lain
e.
Konsisten terhadap prinsip, janji dan keinginan untuk menolong orang yang mengalami kesulitan. Orang yang matang secara emosi adalah orang-orang yang lebih menemukan suatu prinsip yang kuat dalam hidupnya. Ia menghargai prinsip orang lain dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. Ia selalu menepati janjinya dan selalu bertanggung jawab dengan apa yang telah diucapkannya. Ia juga mempunyai keinginan untuk menolong orang lain yang mengalami kesulitan.
f.
Dapat meredam instink negatif menjadi energi kreatif dan konstruktif. Kematangan emosi yang dimiliki oleh individu akan dapat mengontrol prilaku-prilaku implusif yang dapat merusak energi yang dimiliki tubuh, individu dapat melakukan hal-hal yang bersifat positif dibandingkan memenuhi nafsu yang dapat merusak dan bersifar merusak. Ia mempunyai waktu yang lebih banyak untuk melakukan hal-hal yang lebih berguna untuk dirinya dan orang lain.
g.
Kemampuan untuk mencintai
Cinta merupakan energi seseorang untuk bertahan dan menjadikanya lebih bergairah dalam menjalani hidup. Tidak hanya cinta antara sesama manusia, panggilan spiritual, mencintai tuhan pun merupakan keindahan bagi mereka yang merasakan kedekatan dengan sang ilahi. 2.1.7 Faktor-Faktor Mempengaruhi Emosi Remaja Perkembangan emosi seseorang pada umumnya tampak pada tingkah lakunya. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam tingkah laku itu sangat tergantung pada tingkat fluktuasi emosi yang ada pada diri individu tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita lihat beberapa tingkah laku emosional, misalnya, agresif, rasa takut yang berlebihan, sikap apatis, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri, seperti melukai diri sendiri dan memukul-mukul kepala sendiri. Menurut Ali dan Asrori (2012:69-72). Sejumlah faktor yang mempengaruhi emosi remaja adalah sebagai berikut. a. Perubahan jasmani Perubahan jasmani yang ditunjukan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tak terduga pada perkembangan emosi remaja. Tidak setiap remaja menerima perubahan kondisi tubuh seperti itu, lebih-lebih jika perubahan tersebut menyangkut perubahan kulit yang menjadi kasar dan penuh jerawat. Hormon-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh remaja dan sering kali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya. b. Perubahan pola interaksi dengan orang tua
Pola asuh orang tua terhadap anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja (orang tua) sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh ak acuh, tetapi ada juga yang dengan penuh cinta kasih. Perbedaan pola asuh
orang tua seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan
perkembangan emosi remaja. Cara memberikan hukuman misalnya, kalau dulu anak dipukul karena nakal, pada masa remaja cara macam itu justru dapat menimbulkan ketegangan yang lebih berat antara ramaja dengan orang tuanya. Dalam konterks ini Gardner,1992 (dalam Ali dan Asrori 2012: 69-72) mengibaratkan dengan kalimat Too Big to Spank yang maknanya bahwa remaja itu sudah terlalu besar untuk dipukul. Pemberontakan terhadap orang tua menunjukan bahwa mereka berada dalam konflik dan ingin melepaskan diri dari pengawasan orang tua. Mereka tidak merasa puas kalau tidak pernah sama sekali menunjukan perlawanan terhadap orang tua karena ingin menunjukan seberapa jauh dirinya telah berhasil menjadi orang yang lebih dewasa. Jika mereka berhasil dalam perlawanan terhadap orang tua sehingga menjadi marah, mereka pun belum merasa puas karena orang tua tidak menunjukkan perhatian yang mereka inginkan. Keadaan macam ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja.
c.
Perubahan interaksi dengan teman sebaya Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebayanya secara khas dengan
cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Interaksi antara anggota dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intens serta memiliki kohesivitas dan solidaritas yang sangat tinggi. Pembentukan kelompok dalam bentuk geng seperti ini sebaiknya diusahakan terjadi pada masa remaja awal saja karena biasanya bertujuan positif, yaitu untuk
memenuhi minat mereka bersama. Usahakan dapat menghindarkan pembentukan kelompok secara geng itu ketika sudah memasuki masa remaja tengah atau remaja akhir. Pada masa ini para anggota biasanya membutuhkan teman-teman untuk melawan otoritas atau melakukan perbuatan yang tidak baik atau bahkan kejahatan bersama-sama. Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis. Pada masa remaja tengah, biasanya remaja benar-benar mulai jatuh cinta dengan teman lawan jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja, tetapi tidak jarang juga menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada remaja jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua. Oleh sebab itu, tidak jarang orang tua justru merasa gembira atau bahkan cemas ketika anak remajanya jatuh cinta. Gangguan emosional yang mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau karena pemutusan hubungan dari satu pihak sehingga dapat menimbulkan kecemasan bagi orang tua dan bagi remaja itu sendiri.
d. Perubahan pandangan dari luar Faktor penting yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi remaja selain perubahanperubahan yang terjadi dalam diri remaja itu sendiri adalah pandangan dari dunia luar dirinya. Ada sejumlah perubahan pandangan luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri remaja yaitu sebagai berikut. 1)
Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten. Kadang-kadang mereka dianggap sudah dewasa, tetapi mereka tidak mendapat kebebasan penuh atau peran yang wajar sebagaimana orang dewasa. Seringkali mereka masih dianggap anak kecil sehingga menimbulkan kejengkelan pada diri remaja. Kejengkelan yang mendalam dapat berubah menjadi tingkah laku emosional.
2)
Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan. Kalau remaja laki-laki memiliki banyak teman perempuan, mereka mendapatkan predikat popular dan mendatangkan kebanggaan. Sebaliknya, apabila remaja putri mempunyai banyak teman laki-laki sering dianggap tidak baik atau bahkan mendapat predikat yang kurang baik. Penerapan nilai yang berbeda ini jika tidak disertai dengan pemberian pengertian secara bijaksana dapat menyebabkan remaja bertingkah laku emosional.
3)
Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab, yaitu dengan cara melibatkan remaja tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar nilai-nilai moral. Misalnya, penyalahgunaan obat terlarang, minim -minuman keras, serta tindak kriminal dan kekerasan.
e. Perubahan interaksi dengan sekolah Pada masa anak-anak, sebelum menginjak masa remaja, sekolah merupakan tempat pendidikan yang di idealkan oleh siswa. Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan mereka karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para siswa. Oleh karena itu, tidak jarang siswa lebih percaya, lebih patuh, bahkan ada yang takut kepada gurunya dari pada orang tuanya. Posisi guru semacam ini sangat strategis apabila digunakan untuk perkembangan emosi siswa melalui penyampaian materi-materi yang positif dan konstruktif. Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa figur sebagai tokoh tersebut, guru memberikan ancaman-ancaman tertentu kepada para siswa. Peristiwa semacam ini sering tidak disadari oleh para guru bahwa ancaman-ancaman itu sebanarnya dapat menambah permusuhan saja dari siswa. Cara-cara seperti ini akan memberikan stimulus negatif bagi emosi siswa.
Dalam pembaruan, para remaja sering terbentur pada nilai-nilai yang tidak dapat mereka terima atau sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai yang dapat menarik bagi mereka. Pada saat itu, timbulah idealisme untuk mengubah lingkunganya. Idealisme seperti ini tentunya tidak boleh diremehkan dengan anggapan bahwa semuaya akan muncul jika mereka sudah dewasa. Sebab, idealisme yang dapat berkembang menjadi tingkah laku emosional yang destruktif. Sebaliknya, kalau remaja berhasil diberikan penyaluran yang positif untuk mengembangkan idealismenya akan sangat bermanfaat bagi perkembangan mereka sampai memasuki dewasa. 2.2
Hipotesis Berdasarkan kajian teori maka hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan
antara kematangan emosi dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP NEGERI IX Kota Gorontalo.