9
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
1.1
Kajian Teoretis
2.1.1 Pengertian Bullying Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena school bullying mulai mendapat perhatian peneliti, pendidik, organisasi perlindungan, dan tokoh masyarakat. Pelopornya adalah Profesor Dan Olweus dari Unversitas of Bergen yang sejak 1970-an di Skandinavia mulai memikirkan secara serius tentang fenomena Bullying di sekolah, yang kemudian disebut dengan istilah school bullying. Kata bullying beasal dari kata bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan tindakan destruktif. Dalam bahasa indonesia, secara etimologi kata Bully berarti penggerak, orang yang mengganggu orang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyekat (berasal dari kata sekat) dan pelakunya (bully) disebut penyekat. Menyekat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain. Lebih lanjut Olweus (dalam Wiyani 2012: 13) mendefinisikan perilaku bullying mengandung tiga unsur mendasar sebagai berikut: 1. Bersifat menyerang (agresif) dan negatif. 2. Dilakukan secara berulang-ulang. 3. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Menurut Sanders dsn Phye (2004:12) bullying adalah masalah umum dan sering terjadi dalam masyarakat terutama di sekolah. Bullying didentifikasi sebagai
10
sebuah perilaku yang tak dapat diterima dan jika gagal menangani maka bullying dapat menjadi tindakan agresi yang lebih parah. Riauskina, Djuwita dan Soesetio (2005:1) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Ariefa (2009:1) mengungkapkan bahwa “ bullying adalah suatu sikap yang dilakukan oleh seseorang dengan cara tertentu kepada oran lain dengan tujuan mendapatkan kekuatan atau kekuasaan. Di Indonesia, penelitian tentang fenomena bullyng masih baru. Hasil studi oleh ahli intervensi bullying, Dr. Amy Huneck (dalam Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008: 18) mengungkapkan bahwa 10-60% siswa di Indonesia melaporkan mendapat ejekkan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan, ataupun dorongan, sedikitnya sekali dalam seminggu. Secara umum, kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaaan tidak nyaman ini dapat berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman dapat berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Pendeknya menurut Heddy Shri Ahimsa Putra (dalam Wiyani, 2012:19), kekerasan merupakan hal-hal yang dianggap menyakitkan atau tidak enak. Tindakan kekerasan diartikan sebagai setiap perilaku seseorang yang dapat menyebabkan perasaan atau tubuh (fisik) orang lain menjadi tidak nyaman. 1.1.2
Aspek-aspek Bullying Menurut Jamil Salmi (dalam
Efianingrum 2009:1) mengemukakan ada
beberapa aspek yang pokok, yaitu: 1) Bullying langsung (direct violence), 2) Bullying
11
tidak langsung (indirect violence), 3) Bullying represif (repressive violence), dan 4) Kekerasan alienatif (alienating violence). Bullying mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali saling bertentangan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka maupun tertutup, baik yang bersifat menyerang ataupun bertahan, yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Galtung (dalam Efianingrum 2009:3) menguraikan enam dimensi penting dari bullying, yaitu: 1. Bullying Fisik dan Psikhologis Dalam bullying fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmaniah. Sedangkan kekerasan psikhologis adalah tekanan yang dimaksudkan untuk meredusir kemampuan mental atau otak. 2. Pengaruh Positif dan Negatif Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian, tidak bebes, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria. 3. Ada atau tidaknya Objek Dalam tindakan tertentu, tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikhologis, meskipun tidak memakan korban, tetapi membatasi tindakan manusia.
4. Ada atau Tidaknya Subjek Bullying disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan jika tidak ada pelakunya disebut kekerasan struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung
12
sudah menjadi bagian struktur itu dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. 5. Disengaja atau tidak Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja, tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi bullying struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan. 6. Yang tampak dan tersembunyi Bullying yang tampak, nyata (manifest) baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meskipun tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Sejiwa (2008: 2-5) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek bullying antara lain : 1. Bullying fisik, adalah aspek bullying yang kasal mata. Siapapun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contoh bullying fisik antara lain : menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari keliling lapangan, menghukum dengan cara push up, menjewer. 2. Bullying secara verbal juga bias terdeteksi karena bias tertangkap indera pendengaran. Contoh-contoh bullying verbal : memaki, membentak, meledek, menjuluki, memfinah. 3. Bullying mental/psikologis, adalah bullying yang sangat berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga. Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan diluar
13
pemantauan kita. Contoh : memandang sinis, mendiami, mengucilkan, mneror lewat via SMS. Kekerasan (bullying) dalam konteks sekolah kiranya juga bersumber dari adanya penyalahgunaan kekuatan (power) yang dimiliki oleh pihak yang melakukan kekerasan. Kekerasan (bullying) di sekolah, disebabkan oleh adanya hubungan yang timpang dan tidak setara antara pelaku dengan pihak yang dikenai kekerasan. Menurut Iqrak Shulin (dalam http:/kriminologi 1.wordpress.com) “ Bullying memiliki tiga aspek yang terkait. Pertama, adanya perbedaan kekuasaan antara mereka yang melakukan dengan mereka yang menjadi penderita. Kedua, bullying adalah perilaku menyakitkan yang selalu diulang-ulang. Ketiga bullying bersifat disengaja”. Beberapa bentuk bullying yang dimaksud batasan ini adalah memukul, menendang, mendorong dengan kuat, memaksa seseorang melakukan sesuatu yang tidak ingin ia lakukan. Selain dalam bentuk tindakan fisik, bullying juga berbentuk verbal, seperti memanggil seseorang dengan istilah yang tidak menyenangkan, atau membicarakan sesuatu yang buruk dibelakang seseorang. Lebih jauh lagi, bullying juga menyentuh aspek psikis, ketika tindakan tersebut membuat seseorang merasa dirinya tidak penting. Dari batasan ini dapat dilihat bahwa bullying adalah tindakan yang menyentuh tiga aspek sekaligus, yaitu fisik, verbal, dan sosial psikologis, dan ketiga aspek inilah yang dijadikan indikator dalam penelitian ini yakni bullying fisik, bullying verbal, bullying mental/psikologis. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai aspek-aspek bullying mempunyai perbedaan pandangan, akan tetapi dalam hal isi dari pandangan para ahli mengenai aspek-aspek bullying memiliki kesamaan isi, sehingga penulis lebih sependapat dengan Sejiwa yang lebih jelas merangkum semua aspek-aspek bullying
14
yang meliputi
aspek
bullying
fisik,
bullying
verbal,
dan
aspek
bullying
mental/psikologis dan dapat ditemukan pada siswa SMA.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying Kekerasan (bullying) dapat berlangsung di mana saja. Bullying dapat terjadi karena terjadi kesalahpahaman (prasangka/prejudice) antar pihak yang berinteraksi. Bullying bukanlah merupakan suatu tindakan yang kebetulan terjadi, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa lebih kuat, lebih berkuasa atau bahkan merasa lebih terhormat untuk menindas pihak lain untuk memperoleh keuntungan tertentu. Menurut Santrock (Suwarjo, 2009) korban bully memiliki karakteristik individual tertentu, seperti: sulit bergaul/canggung, kurang percaya diri, siswa pandai/kurang pandai, cantik/ganteng atau sebaliknya, siswa yang pelit atau tidak mau memberi contekan, siswa yang berpenampilan lain (kuper/tidak gaul), mempunyai logat bicara tertentu/gagap, siswa dengan ekonomi yang baik/kurang baik. Jika dikaitkan dengan perlakuan orang tua, anak-anak korban bullying adalah anak-anak dari orang tua yang cenderung terlalu melindungi (over prorective) dan selalu mengkhawatirkan atau terlalu mencemaskan anak. Mengapa anak-anak menjadi pelaku bullying? Masa anak-anak umumnya merupakan suatu masa di mana proses modelling (meniru) memegang porsi cukup dominan. Anak-anak biasa mengikuti perilaku orang dewasa di sekitarnya seperti orangtua dan guru. Cara mendidik anak yang cenderung menggunakan kekerasan di rumah dan di sekolah tanpa disadari telah mengajarkan anak-anak untuk melakukan hal yang serupa kepada teman-temannya. Menghukum anak dengan cara-cara yang
15
negatif dan tidak edukatif, akan mengajarkan anak untuk berkuasa terhadap anak lain serta membenarkan tindakan kekerasan kepada anak lain yang lebih lemah. Pelaku bullying biasanya adalah anak-anak dari orang tua yang cenderung otoriter, berperilaku kasar, menolak kehadiran anak, atau terlalu permisif terhadap perilaku agresi anak. Anak-anak pelaku bullying (sangat agresif) berpotensi dan cenderung akan menjadi pelaku kenakalan remaja, dan pelaku tindakan kekerasan serta terjebak dalam tindakan kriminal. Menurut Andri Priyatna (2010 : 5) bahwa tidak ada faktor tunggal dari bullying. Banyak faktor yang terlibat dalam hal ini, baik faktor dari anak itu sendiri, keluarga, lingkungan, bahkan sekolah- semua turut mengambil peran. Semua faktor tersebut, baik yang bersifat individu maupun kolktif, memberi kontribusi kepada anak sehingga akhirnya ia melakukan perilku bullying. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiawati (dalam http://www.kabarindonesia.com) “Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya bullying”. Faktor-faktor penyebabnya antara lain: a. Faktor keluarga: Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying sering akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu meyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam.
16
b. Faktor sekolah: Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah. c. Faktor kelompok sebaya: Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut. Sutton (dalam Sanders dan Phye 2004:9) bullying dapat terjadi dikarenakan oleh adanya pengaruh fenomena sosial atau dan lingkungan. Hal ini dapat kita jumpai pada anak-anak yang tinggal dalam lingkungan yang tidak kondusif, sebab pengaruh lingkungan sekitar dapat merangsang pribadi seseorang dalam berpikir dan bertindak. McKeough,
Yates,
&
Marini
(dalam
Sanders
dan
Phye
2004:10)
mengungkapkan bahwa anak menjadi pelaku bullying tidak lain dilatarbelakangi oleh pengalaman hidup yang kurang menyenangkan seperti anak yang kurang kasih sayang, anak jalanan, dan anak-anak yang hidup dalam lingkungan yang keras. Pendapat Pepler dan Craig (dalam Argiati 2010 : 56) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan terkena bullying adalah: a. Faktor Internal
17
Secara internal, anak-anak yang rentan menjadi korban
bullying biasanya
memiliki temperamen pencemas, cenderung tidak menyukai situasi sosial, atau memiliki karakteristik fisik khusus pada dirinya yang tidak terdapat pada anak-anak lain, seperti warna rambut atau kulit yang berbeda atau kelainan fisik lainnya. b. Faktor Eksternal Secara eksternal, anak yang pada umumnya berasal dari keluarga yang overprotektif, sedang mengalami masalah keluarga yang berat, dan berasal dari strata ekonomi/kelompok sosial yang terpinggirkan atau dipandang negatif oleh lingkungan. Ma (dalam Sanders dan Phye 2004:4) bullying disebabkan tidak lain dikarenakan situasi dan kondisi sekolah yang tidak menyenangkan. Astuti (2008:53) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying antara lain : 1. Pengaruh keluarga pada bullying anak. Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidak hadiran ayah, ibu menderita depresi, kurangya kemunikasi antara orang tua dan anak, perceraian atau ketidakharmonisan orang tua, dan ketidakmampuan anak sosial ekonomi, merupakan faktor penyebab tindakan agresi yang signifikan. 2. Karakter anak sebagai pelaku. Anak sebagai pelaku umumnya adalah anak yang selalu berperilaku : a. Agresif, baik secara fisikal maupun verbal. Anak yang ingin populer, anak yang tiba-tiba membuat onar atau selalu mencari kesalahan orang lain dengan memusuhi umumnya termasuk dalan kategori ini. b. Pendendam atau iri hati. Anak pendendam atau iri hati sulit diidentifikasi perilakunya, karena dia belum tentu berperilaku agresif. Perilakunya juga tidak terlihat secara fisikal ataupun secara mental.
18
c. Adanya tradisi siswa secara “turun temurun” di banyak SMA di Jakarta. Tradisi ini termasuk senioritas. d. Dibeberapa SMA negeri dan swasta di Jakarta bullying terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten. Menurut Riauskina dkk. (2005:7) korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena : tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), iri hati (menurut korban perempuan). 2.1.4 Sistem Pendidikan SMA Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) merupakan lembaga tingkat atas
secara formal yang merupakan lanjutan dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan merupakan jenjang pendidikan yang harus diselesaikan oleh peserta didik dalam rangka persiapan melanjutkan kejenjang perguruan tinggi. Pendidikan di SMA Negeri 1 Gorontalo dapat ditempuh selama tiga tahun, dimana sistem pendidikannya menggunakan sistem kelas yaitu kelas X, kelas XI dan kelas XII. Tiap-tiap kelas ditempuh selama satu tahun. Program pendidikan SMA Negeri 1 Gorontalo terdiri dua macam program yaitu : Program pengajaran umum, yakni merupakan program pengajaran yang wajib diikuti oleh semua siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social budaya dan alam sekitarnya serta meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan minat siswa sebagai dasar untuk memilih program
19
pengajaran khusus yang sesuai apabila berada dalam jenjang selanjutnya (kelas XI). Adapun program pengajaran umum meliputi Pendidikan Agama, PPKN, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Umum, Bahasa Asing, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Mulok dan Pendidikan Seni. Program pendidikan khusus yaitu suatu program pengajaran yang diselenggarakan khusus untuk kelas XI berupa penjurusan dan dipilih oleh siswa sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Program
pendidikan
khusus
yaitu
suau
program
pengajaran
yang
dielenggarakan khusus untuk kelas XI berupa penjurusan dan dipilih oleh siswa sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Program ini dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan pada akademik serta persiapan pemilihan karir kedepan. 2.1.5 Faktor-faktor
Perilaku
Bullying
Antar
Siswa
SMA
NEGERI
1
GORONTALO Ditinjau dari pendapat Prayitna bahwa faktor-faktor perilaku bullying siswa SMA NEGERI 1 GORONTALO
ialah faktor dari anak itu sendiri, keluarga,
lingkungan bahkan sekolah. 2.2 Kajian Penelitian yang Relevan Banyak penelitianpenelitian yang telah dilakukan untuk mengungkapkan perilaku bullying, antara lain sebagai berikut : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini pada 2008 tentang kekerasan bullying di tiga kota terbesar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 66,1% di tingkat Sekolah Lanjutan Pertama
20
(SMP). Kekerasan yang dilakukan sesama siswa tercatat sebesar 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa pengucilan. Peringkat kedua ditempati kekerasan verbal (mengejek) dan terakhir kekerasan fisik ( memukul). Gambaran kekerasan di SMP di tiga Kota besar, yaitu Yogya: 77,5% (mengakui ada kekerasan) dan 22,,5% (mengakui tidak ada kekerasan); Surabaya: 59,8% (ada kekerasan); Jakarta: 61,1% (ada kekerasan). 2. Penelitian yang dilakukan oleh Siswati Costrie Ganes Widayanti (2009) dengan judul “Fenomena Bullying di sekolah Dasar Negeri Semarang, penelitian ini menggunakan metode skala/angket wawancara dengan cara persampelan gugus. Total sampel dari ppenelitian ini adalah 78 murid dari kelas 3 sampai kelas 6. Hasil penelitian menunjukan bahwa 37,55% murid menjadi korban dari bullying. 42,5% murid menderita karena disebabkan oleh bullying mental/psikologis. 3. Penelitian yang dilakukan oleh BAPPEDA Kota Yogyakarta (2010) dengan judul “Studi Kasus Perilaku Bullying Pada Siswa SMA di Kota Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk bullying yang pernah dialami pelajar di sekolah, factor-faktor apakah yang menyebabkan pelaku melakukan bullying, akibat yang ditimbulkan, reaksi atas tindakan bullying yang diterimanya, siapa saja pelaku bullying dan dimana anak meengalami bullying. Subjek penelitian 113 pelajar SMA di kota Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa perilaku bullying yang pernah dialami pelajar antara lain: bullying
fisik;
ditendang/didorong,
dihukum
push
up/berlari,
dipukul,
dijegal/diinjak kaki, dijambak dan ditampar, dilempardengan barang, diludahi dan ditolak, dipalak. Bullying psikis: kurang percaya diri, siswa pandai/kurang pandai.
21
Cantik/tampan atau sebaliknya, siswa yang itdak mau memberikan jawaban. Sulit bergaul/canggung, siswa yang berpenampilan lain, menyebalkan/menetang bully. Mempunyai logat tertentu/gagap, siswa ekonomi yang baik/tidak. Penyebab mendapat perlakuan bullying; Kurang percaya diri, siswa pandai/kurang pandai. Cantik/tampan atau sebaliknya, siswa yang itdak mau memberikan jawaban. Sulit bergaul/canggung, siswa yang berpenampilan lain, menyebalkan/menetang bully. Mempunyai logat tertentu/gagap, siswa ekonomi yang baik/tidak. Akibat bullying: Konsentrasi berkurang, kehilangan percaya diri, stress dan sakt hati, menangis. Gugup tegang, trauma berkepanjangan, membalas, kasar dan dendam, berbohong, pusing, sulit tidur, mimpi buruk, mual, minta pindah sekolah. Reaksi korban bullying; membalas, memaklumi tindaakan pelaku, diam tak berdaya, melarikan diri/menghindar dan menuruti keinginan pelaku. Bullying terjadi; di sekolah, tempat bermain, di rumah, di jalan menuju sekolah. Pelaku bullying; Teman sekolah, orang yang tak dikenal, tetangga, guru, orangtua dari saudara. Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian di atas dapt peneliti kemukakan bahwa ada perbedaan judul penelitian yang penulis lakukan. Adapun judul penelitian yang akan penulis teliti adalah : Analisis Perilaku Bullying Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Gorontalo. 2.3 Hipotesis Berdasarkan kajian teoritis maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perilaku bullying antar siswa kelas XI IPA SMA 1 Gorontalo.