BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Konsep Diri Konsep diri merupakan terjemahan dari kata self-concept. William D. Brooks (Rakhmat, 2005:99) mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have drived from experiences and our interaction with others”. Artinya,
konsep diri adalah
pandangan dan perasaaan individu tentang diri sendiri. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial, dan fisik. Contohnya adalah pertanyaan mengenai ”bagaimana watak saya, apa yang membuat saya bahagia atau sedih?”, jawaban pertanyaan ini menunjukkan persepsi psikologis tentang diri sendiri. Selanjutnya pertanyaan “bagaimana orang lain memandang saya, apakah mereka membenci atau menyukai saya?”, jawaban pertanyaan ini adalah persepsi sosial tentang diri sendiri. Sedangkan pertanyaan seperti “bagaimana pandangan saya tentang penampilan saya, apakah saya orang cantik atau jelek?”, jawaban dari pertanyaan ini merupakan persepsi fisik tentang diri sendiri. Anita Taylor et al dalam Rakhmat (2005:100) mendefinisikan konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself ”. Jadi, konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga menyangkut penilaian individu terhadap dirinya sendiri meliputi apa yang dipikirkan dan dirasakan. Menurut Hardy dan Hayes
6
7
(Saam dan Sri, 2012:85) konsep diri tersusun atas dua aspek, yaitu citra diri (selfimage) dan harga diri (self-esteem) dilukiskan secara sederhana, misalanya : saya seorangg mahasiswa, tinggi badan 160 cm ; sedangkan harga diri merupakan deskripsi diri secara lebih mendalam karena sudah terdapat penilaian terhadap diri sendiri. Misalnya : saya adalah mahasiswa yang berprestasi baik, ulet dan keluarga saya menghargai prestatsi yang saya capai. Harry Stack Sullivan (Rakhmat, 2005:101) berpendapat bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyayangi diri kita. Jadi, orang lain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri individu. Orang-orang tersebut adalah orang yang paling dekat dengan individu (significant others) yaitu orang tua, saudara-saudara, yang dapat mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan individu serta mengarahkan tindakan, membentuk pikiran, dan dapat menyentuh diri individu secara emosional adalah yang paling berpengaruh dalam pembentukan konsep diri. Menurut Gunawan (2010:64) konsep diri terdiri dari banyak sub konsep diri yang secara keseluruhan menentukan konsep diri total. Ada sub konsep diri di bidang akademik, olahraga, penampilan, finansial, relasi, dan masih banyak lagi. Menurut Shavelson (Saam dan Sri, 2012:88), struktur konsep diri secara hirarki terdiri dari empat peringkat yaitu :
8
a. Pada peringkat pertama disebut konsep diri umum yang merupakan cara individu dalam memahami dirinya secara keseluruhan. b. Pada peringkat kedua adalah konsep diri akademik dan non akademik. c. Pada perigkat ketiga adalah sub area dari konsep diri akademik dan non akademik d. Peringkat keempat dari struktur konsep diri adalah penilaian tingkah laku dalam situasi spesifik pada masing-masing sub area dari konsep diri. Gage dan Berlinger (Saam dan Sri, 2012:88) mengatakan bahwa secara hirarki konsep diri terdiri dari tiga peringkat, yaitu : a. Peringkat pertama adalah konsep diri general (global). Konsep diri global merupakan sikap dan keyakinan individu dalam memahami keseluruhan dirinya yang sudah melekat dalam dirinya dan sudah menjadi inti kepribadian bagi tiap individu. b. Peringkat kedua adalah konsep diri mayor, merupakan cara individu memahami aspek sosial, fisik, dan akademis dirinya. c. Peringkat ketiga adalah konsep diri spesifik. Konsep diri spesifik merupakan cara individu memahami dirinya terhadap setiap jenis kegiatan dalam ketiga aspek konsep diri mayor. Konsep diri mayaor dan konsep diri spesifik lebih mudah diubah, karena merupakan tanggapan individu terhdap dirinya sendiri dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Dari dua model struktur konsep diri yang dikemukakan di atas mempunyai persamaan yaitu pada bagian puncak. Kedua model tersebut memberi istilah konsep diri general (umum) yang terdiri dari beberapa peringkat. Perbedaannya
9
terletak pada aspek-aspek atau dimensi-dimensi yang terletak pada peringkat kedua dan ketiga. Meskipun kedua model tersebut mengusulkan dimensi-dimensi yang berbeda mengenai konsep diri, namun dapat diambil pengertian bahwa konsep diri bersifat multidimensional. Jadi dapat disimpulkan bahwa, konsep diri merupakan pandangan atau persepsi individu terhadap diri sendiri. Konsep diri diperoleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang berarti dalam kehidupan seseorang, seperti orang tua. Konsep diri bersegi banyak, terdiri dari aspek fisik, psikologis, sosial, dan akademik. Konsep diri yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai konsep diri akademik. 2.1.2 Konsep Diri Akademik Menurut Deaux (Machmud, 2009:18) konsep diri akademik adalah salah satu komponen konsep diri yang secara khusus berkaitan dengan masalah akademik. konsep diri akademik bukan merupakan sesuatu yang dibawa individu sejak lahir, namun konsep diri akademik terbentuk bersamaan dengan kematangan yang dicapai, baik dalam kognitif, emosi, maupun sosial. Skaalvik (Machmud, 2009:17) merumuskan bahwa konsep diri akademik merupakan perasaan umum individu dalam melakukan yang terbaik di sekolah dan kepuasan terhadap prestasi yang diperoleh. Selnjutnya menurut Bloom (Choerunnisa, 2010:21) konsep diri akademik adalah sebagai kumpulan persepsi siswa tentang prestasi belajarnya dibandingkan dengan
teman-teman
sekelasnya.
Kusmono
(Choerunnisa,
2010:21)
mendefinisikan konsep diri akademik sebagai gambaran diri yang dimiliki siswa
10
mencakup pikiran-pikiran dan perasaan mengenai penampilan diri, kepercayaan diri, kemandirian, keberartian diri, rasa bangga dan malu yang berkaitan dengan masalah akademik. Sutja (Choerunnisa, 2010:21) mendefiniskan konsep diri akademik sebagai kesan atau persepsi siswa tentang kemampuan belajar, motivasi belajar, orientasi tugas, pemecahan masalah belajar, dan keanggotaannya dalam kelompok kelas. Marsh dkk (Saam dan Sri, 2012:90) mengemukakan bahwa konsep diri akademik terdiri dari tiga dimensi yaitu konsep diri membaca, konsep diri matematika, dan konsep diri seluruh mata pelajaran. Konsep diri akademik yang positif akan membawa individu pada tantangan dan keinginan untuk selalu maju dan berprestasi. Berbeda dengan individu yang memiliki konsep diri akademik yang negatif akan cenderung berpikiran negatif terhadap segala sesuatu yang dihadapinya termasuk terhadap dirinya sendiri. Menurut Naurah (Machmud, 2009:22) konsep diri akademik yang positif akan membuat siswa mampu menggunakan segala potensi dan kemampuannya seoptimal mungkin dengan jalan mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Sebaliknya konsep diri akademik negatif tidak akan
membuat
siswa
menggunakan segala
potensi dan
kemampuannya dengan optimal karena mereka tidak memahami segala potensinya, sehingga menimbulkan sifat yang dapat menyebabkan proses pembelajaran terganggu. Berdasarkan uraian dari beberapa ahli di atas mengenai konsep diri akademik, dapat disimpulkan bahwa konsep diri akademik adalah seluruh gambaran yang dimiliki siswa mengenai kemampuannya dalam bidang akademik.
11
Konsep diri akademik tdak dibawa individu sejak lahir, namun terbentuk bersamaan dengan kematangan yang dicapai oleh individu. Konsep diri akademik juga turut mempengaruhi prestasi akademik. 2.1.3 Komponen Konsep Diri Akademik Konsep diri akademik terdiri dari beberapa komponen. Menurut Jersild (Choerunnisa, 2010:47) komponen konsep diri akademik mencakup tiga hal yang dapat dijelaskan sebagai beikut : a. Perseptual component Perseptual component, merupakan gambaran individu tentang penampilan serta konsep yang ia berikan kepada orang lain yang meliputi kemampuan tampil atau berbicara di depan kelas serta memperoleh perhatian dari temanteman atau guru sehubungan dengan penampilan dirinya. b. Conceptual component Conceptual component adalah gambaran yang dimiliki individu tentang karakteristik dirinya yang berbeda meliputi pandangan dirinya tentang kemampuan dan ketidakmampuan, kepercayaan diri dan kemandirian. c. Attitudinal component, adalah sikap-sikap yang dimiliki individu mengenai dirinya terhadap keberartian diri dan bagaimana ia memandang dirinya dengan rasa bangga dan malu terhadap prestasi akademiknya. Konsep diri akademik juga terdiri dari beberapa aspek, menurut Frey dan Carlock (Machmud, 2009:19) aspek-aspek konsep diri akademik tterdiri dari pengetahuan, harapan, serta penilaian individu. Aspek-apek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
12
a. Pengetahuan Pengetahuan yang dimaksud meliputi apa yang dipikirkan individu tentang diri sendiri. Dalam hal kemampuan akademik, individu dapat saja memiliki pikiran-pikiran mengenai kemampuannya tersebut, seperti pelajaran yang dikuasai, nilai dan sebagainya. Individu juga mengidentifikasi kemampuan dirinya dalam satu kelompok. Kelompok tersebut memberinya sejumlah informasi lain yang dimasukkannya ke dalam potret diri mentalnya b. Harapan Ketika individu memiliki satu set pandangan lain, yaitu tentang siapa dirinya, ia juga mempunyai satu set pandangan lain yaitu tentang kemungkinan ia akan menjadi apa di masa yang akan datang. c. Penilaian individu Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya setiap hari, misalnya saya lamban, tidak menarik, dan sebagainya, sehingga akan timbul perasaanperasaan dalam diri individu terhadap dirinya sendiri. 2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Menurut Saam dan Sri faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah sebagai berikut (2012 : 96 - 98) : a. Peranan keluarga Dalam pembentukan konsep diri peranan orang tua sangat penting. Cara orang tua mengasuh anaknya akan berpengaruh terhadap anak dalam menilai dirinya. Jika anak dapat pengalaman baik dalam keluarga, maka ia akan dapat mengembangkan dan menilai dirinya secara baik pula. Kehangatan dalam keluarga berperanan
13
penting bagi perkembangan konsep diri anak. Adanya rasa kehangatan dalam hubungan anak dengan orang tua maka anak akan mempunyai sikap sosial, koperatif, emosinya stabil menerima dirinya sendiri dan menghargai orang lain. Sedangkan anak yang tidak dapat merasakan kehangatan dengan orang tuanya akan merasa tidak aman, sulit menyesuaikan diri, merasa rendah diri dan kurang menghargai orang lain. Jadi pengalaman-pengalaman yang diterima anak dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan dan pembentukan konsep diri anak. b. Peranan kelompok teman sebaya Kelompok teman sebaya merupakan arena bagi anak untuk belajar menerima dan diterima teman-temannya. Anak yang ditolak cenderung untuk mengekspresikan perasaan yang kurang positif terhadap orang lain, hal ini merupakan salah satu tanda mentalnya tidak sehat. Respon anak terhadap teman-teman dalam kelompoknya bermacam-macam, sebagian besar tergantung pada pengalaman masa kecil yang diperoleh di rumah. Orang tua yang dapat menciptakan rasa kehangatan bersama anaknya memungkinkan anak mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang menyenangkan dan dapat meningkatkan interaksi yang berhasil dengan teman-temannya. c. Peranan harga diri Sifat-sifat tertentu yang dihasilkan oleh harga diri akan mempengaruhi konsep diri seseorang. Apabila seseorang memiliki taraf harga diri yang tinggi, maka ia akan dapat menyusun konsep diri yang positif yang berkaitan dengan aktualisasi diri. Jadi dapat dikatakan bahwa harga diri yang tinggi akan menimbulkan pertumbuhan konsep diri yang positif.
14
Selanjutnya menurut Marsh (Machmud, 2009:20) faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri akademik yaitu dari faktor internal dan faktor eksternal, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Faktor Internal, yaitu meliputi keyakinan, kompetensi personal, dan keberhasilan personal. b. Faktor ekstrenal, yaitu lingkungan keluarga ; ada kaitan yang positif antara keyakinan orang tua dengan keyakinan anak terhadap kemampuannya, iklim kelas ; konsep diri akademik yang positif lebih ditemukan pada siswa-siswa yang menekankan kerjasama dan saling tergantung diantara mereka dibandingkan dengan siswa-siswa dalam kelas yang lebih menekankan kompetesi, guru ; dorongan dari guru dan pemberian otonomi yang lebih besar terhadap siswa berhubungan dengan konsep diri akademik yang positif, teman sebaya, dan kurikulum. 2.1.5 Pola Asuh Orang Tua Anak merupakan bagian dari diri orang tua di masa ini maupun masa akan datang. Baik atau buruk kualitas anak tentunya berpengaruh secara langsung atau tidak langsung pada nama baik orang tua. Anak juga merupakan masa depan keluarga bahkan bangsa, oleh sebab itu perlu dipersiapkan agar kelak menjadi manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan berguna bagi dirinya, keluarga dan bangsanya. Pola asuh yang baik menjadikan anak berkepribadian kuat, tak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan hidup. Gunarsa (Munjidah 2009:12) mengungkapkan bahwa pola asuh adalah suatu gaya mendidik yang dilakukan
15
orang tua untuk membimbing dan mendidik anak-anaknya dalam proses interaksi yang bertujuan memperoleh suatu perilaku yang diinginkan. Pola asuh juga merupakan kegiatan kompleks yang meliputi banyak perilaku spesifik yang bekerja sendiri atau bersama yang memiliki dampak pada anak. Pola asuh yang normal bertujuan untuk menciptakan kontrol yang baik terhadap anak. Selanjutnya menurut Wahyuning, dkk (2003:162) pola asuh dapat di artikan sebagai seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan kepada anak. Pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh terhadap anak, yaitu berupa suatu proses interaksi antara orang tua (pengasuh) dan anak (yang diasuh). Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan, melindungi, maupun sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. Maurice (2000:83) juga berpendapat bahwa mengasuh anak bukan hanya merawat atau mengawasi anak, melainkan lebih dari itu yakni meliputi pendidikan, sopan santun, disiplin, tanggung jawab, pengetahuan dan pergaulan yang bersumber pada pengetahuan orang tua. Apa yang di alami anak dalam proses pengasuhan anak, akan menentukan sikap dari perilaku individu dalam masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua merupakan cara perlakuan orang tua yang diterapkan untuk membimbing dan mendidik anakanaknya dalam proses interaksi yang bertujuan memperoleh suatu perilaku yang diinginkan.
16
2.1.6 Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua Setiap orang tua memiliki sikap dan perilaku yang berbeda satu sama lain dalam menghadapi anak-anak mereka. Hal tersebut tergambar dari bentuk pola asuh yang mereka terapkan. Menurut Diana Baumrind (Desmita, 2008:144-145) terdapat tiga tipe pengasuhan orang tua pada anak yaitu pola asuh otoritatif atau demokratis, otoriter, dan permisif yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pola asuh otoritatif (authoritative parenting) Pola asuh otoritatif juga sering disebut pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati
pemikiran,
perasaan,
serta
mengikutsertakan
anak
dalam
pengambilan keputusan. Pengasuhan otoritatif juga diasosiasikan dengan dasar harga diri yang tinggi (high self-esteem), memiliki moral standar, kematangan psikososial, kemandirian, sukses dalam belajar, dan bertanggung jawab secara sosial. b. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) Pola asuh otoriter merupakan suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang otoriter menetapkan batasan-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengemukakan pendapat. Orang tua otoriter juga cenderung bersikap sewenang-wenang dan tidak demokratis dalam membuat keputusan-keputusan, memaksakan peran-peran atau pandangan-pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri, serta kurang
17
menghargai pemikiran dan perasaan mereka. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak-anak lain. c. Pola asuh permisif (permissive parenting) Gaya pengasuhan ini dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu : pertama, pengasuhan permissive-indulgent yaitu suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak, tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali atas mereka. Kedua, pengasuhan permissive-indifferent, yaitu suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anakanak yang dibesarkan oleh orang tua yang permissive-indifferent cenderung kurang percaya diri, pengendalian diri yang buruk, dan rasa harga diri yang rendah. Dari
sumber
lain
Diana
Baumrind
(Yusuf,
2008:51-52)
juga
mengemukakann hasil penelitian tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak sebagai berikut :
18
TABEL 1. Pengaruh “Parenting Style” terhadap perilaku anak PARENTING STYLES 1. Authoritarian
2. Permissive
3. Authoritative
SIKAP ATAU PERILAKU ORANG TUA 1. Sikap “acceptance” rendah, namun kontrolnya tinggi 2. Suka menghukum secara fisik 3. Bersikap mengomando (mengharuskan/memerinta h anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi 4. Bersikap kaku (keras) 5. Cenderung emosional dan bersikap menolak 1. Sikap “acceptance”nya tinggi namun kontrolnya rendah 2. Memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/ keinginannya
1. Sikap “acceptance” dan kontrolnya tinggi 2. Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak 3. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pernyataan 4. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk
PROFIL PERILAKU ANAK 1. Mudah tersinggung 2. Penakut 3. Pemurung, tidak bahagia 4. Mudah terpengaruh 5. Mudah stress 6. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas 7. Tidak bersahabat
1. Bersikap impulsif dan agresif 2. Suka meberontak 3. Kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri 4. Suka mendominasi 5. Tidak jelas arah hidupnya 6. Prestasinya rendah 1. Bersikap bersahabat 2. Memiliki rasa percaya diri 3. Mempu mengendalikan diri (self control) 4. Bersikap sopan 5. Mau bekerja sama 6. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi 7. Mempunyai arah hidup yang jelas 8. Berorientasi terhadap prestasi
19
Dari pola asuh – pola asuh orang tua tersebut di atas, tipe yang paling baik adalah tipe pola asuh otoritatif atau pola asuh demokratis. Sedangkan pola asuh otoriter dan permisif (pemanja dan penelantar) kebanyakan akan berdampak buruk pada anak salah satunya yaitu pembentukan konsep diri yang negatif. Akan tetapi tidak semua orang tua dapat bersikap demokratis terhadap anak walaupun tentu saja setiap orang tua menginginkan anaknya tumbuh bahagia, percaya diri, dan berkemampuan, namun tidak semua orang tua mengetahui dan memahami anaknya. Oleh sebab itu orang tua hendaknya menerapkan pola asuh yang baik sesuai dengan kebutuhan anak, sehingga dapat terbentuk pula konsep diri yang positif pada anak. 2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua Menurut Munjidah (2009:35-36) faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua adalah sebagai berikut : a. Faktor sosial ekonomi Orang tua yang berasal dari kelas ekonomi menengah cenderung lebih bersifat hangat dibanding orang tua yang berasal dari kelas sosial ekonomi bawah. Orang tua dari kelas ekonomi menengah lebih menekankan pada keingintahuan anak, kontrol dalam diri anak, bekerja untuk tujuan jangka panjang dan kepekaan anak dalam berhubungan dengan orang lain, serta lebih bersikap terbuka terhadap halhal yang baru. Sementara orang tua yang berasal dari kelas sosial ekonomi bawah cenderung menggunakan hukuman fisik dan menunjukkan kekuasaan mereka.
20
b. Faktor tingkat pendidikan Orang tua dengan latar belakang pendidikan yang tinggi dalam praktek pola asuhnya mengikuti kemajuan pengetahuan mengenai perkembangan anak, sehingga dalam mengasuh anaknya mereka lebih siap dan memiliki latar belakang pengetahuan yang luas. Sedangkan orang tua dengan memiliki latar pendidikan rendah
memiliki
pengetahuan dan pengertian
yang
terbatas
mengenai
perkembangan anak, kurang menunjukan pengertian dan cenderung mendominasi anak. c.
Jumlah anak
Jumlah anak juga mempengaruhi pola asuh orang tua. Orang tua yang hanya memiliki dua atau tiga orang anak, cenderung menggunakan pola asuh otoriter. Dengan menggunakan pola asuh otoriter ini, orang tua menganggap dapat tercipta ketertiban rumah. d. Nilai – nilai yang dianut orang tua Paham equalitarium menempatkan kedudukan anak sama dengan orang tua. Paham ini dianut banyak orang tua dengan latar belakang budaya barat. Sedangkan pada budaya timur orang tua masih menghargai kepatuhan anak. Gunarsa dan Yulia (2008:144) juga mengungkapkan faktor- faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu : a. Pengalaman masa lalu dengan pola asuh atau sikap orang tua mereka. Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung mengulangi pola asuh orang tua mereka dahulu apabila hal tersebut dirasakan manfaatnya.
21
Namun sebaliknya, orang tua cenderung pula tidak mengulangi sikap atau pola asuh orang tua mereka bila tidak dirasakan manfaatnya. b. Nilai-nilai yang dianut oleh orang tua. Contohnya, orang tua yang mengutamakan segi intelektual dalam kehidupan mereka atau segi rohani. Hal ini tentunya akan berpengaruh dalam usaha orang tua dalam mendidik anaknya. c. Tipe kepribadian orang tua. Contohnya, orang tua yang selalu cemas dapat mengakibatkan sikap yang terlalu melindungi terhadap anak. Berdasarkan urain di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua. Faktor-fakor tersebut dapat membentuk sistem pola asuh orang tua, baik itu pola assuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh demokratis. 2.1.8 Peran Bimbingan dan Konseling Untuk Meningkatkan Konsep Diri Akademik Siswa Bimbingan dapat diartikan sebagai upaya pemberian bantuan kepada peserta didik dalam rangka mencapai perkembangan yang optimal, sedangkan konseling merupakan layanan utama bimbingan dalam upaya membantu individu agar mampu mengembangkan dirinya dan mengatasi masalahnya, melalui hubungan face to face atau melalui media, baik secara perorangan maupun kelompok (Yusuf dan Juntika, 2009:82). Menurut Yusuf dan juntika (2009:10) ada empat jenis bimbingan dilihat dari masalah individu, yaitu :
22
a. Bimbingan akademik Bimbingan akademik merupakan bimbingan yang diarahkan untuk membantu para individu dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah akademik. bimbingan akademik dilakukan dengan cara mengembangkan suasan belajar-mengajar yang kondusif agar terhindar dari kesulitan-kesulitan belajar. Para pembimbing membantu individu mengatasi kesuulitan belajar, mengembangkan cara belajar yang efektif, membantu individu agar sukses dalam belajar dan mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan program pedidikan. b. Bimbingan sosial-pribadi Bimbingan sosial-pribadi merupakan bimbingan untk membantu para individu dalam memecahkan masalah-masalah sosial-pribadi. Bimbingan sosial-pribadi diberkan dengan cara menciptakan lingkungaan yang kondusif, interaksi pendidikan yang akrab, mengembangkan sistem pemahaman diri dan sikapsikap yang positif, serta keterampilan-keterampilan sosial-pribadi yang tepat. c. Bimbingan karir Bimbingan karir yaitu bimbingan untuk membantu individu dalam perencanaan, pengembang dan pemecahan masalah-masalah karir seperti : pemahaman terhadap jabatan dan tugas-tugas kerja, pemahaman kondisi dan kemampuan diri,
pemahaman kondisi
lingkungan,
perencanaan dan
pengembangan karir, penyesuaian pekerjaan, dan pemecahan masalahmasalah karir yang dihadapi.
23
d. Bimbingan keluarga Bimbingan keluarga merupakan upaya pemberian bantuan kepada para individu
sebagai
pemimpin/anggota
keluarga
agar
mereka
mampu
menciptakan keluarga yang utuh dan harmonis, memberdayakan diri secara produktif, dapat menciptakan dan menyesuaikan diri dengan norma keluarga, serta berperan aktif dalam mencapai kehidupan keluarga yang bahagia. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan bimbingan dan konseling sangat tepat untuk membantu pembentukan konsep diri akademik yang positif di dalam diri siswa, sebab melalui layanan bimbingan dan konseling siswa dapat dibantu dalam mengembangkan diri dan mengatasi masalahnya, baik dalam bidang akademik, sosial-pribadi, karir, maupun keluarga. 2.2 Kerangka Berpikir Alur kerangka berpikir secara praktis mengenai hubungan pola asuh orang tua dengan konsep diri akademik siswa kelas X di SMK Negeri 1 Limboto kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
24
Indikator : 1. Sulit mengeluarkan pendapat 2. Bolos pada jam pelajaran tertentu 3. Tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru 4. Tidak naik kelas
Permasalahan: Konsep Diri Akademik Negatif
Konsep Diri Akademik Positif
Pola Asuh Orang Tua
Konsep Diri Akademik
Konsep Diri Akademik Negatif
Penyebab : 1. Kurangnya kontrol dari orang tua 2. Orang tua yang terlalu memanjakan anaknya 3. Ada orang tua yang broken home
Gambar. 2 Kerangka Berpikir
2.2 Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan konsep diri akademik siswa kelas Gorontalo”.
X SMK Negeri 1
Limboto Kabupaten