BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Konsep Dasar Kecerdasan Emosinal Di bawah ini akan dijelaskan konsep dasar kecerdasan emosional menurut para ahli sebagai berikut. Menurut Thoha (2008:53) bahwa “kecerdasan emosi merupakan salah satu kompetensi
perilaku.”
Hal
ini
diperjelas
Goleman
(2006:56)
yang
mengelompokkan kompetensi sesuai dengan wilayah kecerdasan emosi. Kompetensi, yang merupakan kecerdasan emosi, dibagi dalam dua golongan besar yaitu: (1) kompetensi personal (personal competence) dan (2) kompetensi sosial (sosial competence). Kompetensi personal dimaksud dimana seseorang yang memiliki kecerdasan emosional adalah seseorang yang mampu mengendalikan dirinya. Selanjutnya, kompetensi sosial dimaksud dimana seseorang yang memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang mampu berinteraksi dengan orang lain. Emosi merupakan perasaan yang diakibatkan oleh respon terhadap rangsangan dari luar. Seseorang dikatakan mengalami situasi emosi jika dia merespon stimulus atau rangsangan dari orang lain. Hal ini diperjelas oleh Wade dan Tavris sebagai berikut. Wade dan Tavris (2007:105) menjelaskan bahwa “emosi adalah situasi stimulasi yang melibatkan perubahan pada tubuh wajah, aktivasi pada otak, penilaian kognitif, perasaan subjektif, dan kecenderungan melakukan suatu
tindakan, yang dibentuk seluruhnya oleh peraturan-peraturan yang terdapat di suatu kebudayaan. Lebih lanjut juga emosi adalah jantung dan jiwa pengalaman manusia.” Sedangkan menurut Goleman (dalam Ali dan Asrori 2011:62) “emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Goleman juga mengatakan bahwa emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.” Menurut Crow dan Crow (dalam Sunarto dan Hartono 2008:150) “emosi adalah pengalaman afektif
yang disertai penyesuaian diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkahlaku yang tampak.” Disamping itu, emosi juga dapat mempengaruhi perubahan-perubahan fisik pada seseorang. Salah satu contoh disaat kita marah maka tensi darah kita akan meningkat. Hal dibenarkan oleh Sunartono dan Hartono sebagai berikut. Menurut Sunartono dan Hartono (2008:105) emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-perubahan pada fisik, antara lain berupa: (1) reaksi elektris pada kulit (meningkat bila terpesona), (2) peredaran darah (bertambah cepat bila marah), (3) denyut jantung (bertambah cepat bila terkejut), (4) pernapasan: bernapas panjang bila kecewa, (5) pupil mata (membesar bila marah), (6) liur (mengering kalau takut atau tegang), (7) bulu roma (berdiri kalau takut), (8) pencernaan (mencret-mencret kalau tegang), (9) otot (ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar), (10) komposisi darah (komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif). Selain itu, Poerbakawatja juga menjelaskan tentang pengertian emosi yang ditandai dengan perubahan psikologis yaitu sebagai berikut.
Poerbakawatja (dalam Ali dan asrori 2011:62) menyatakan bahwa “emosi adalah suatu respon terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan psikologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus.” Dari beberapa penjelasan para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan pengertian emosi adalah situlasi yang melibatkan perubahan pada fisik, psikis dan psikologis seseorang. Selanjutnya akan dibahas tentang pengertian kecerdasan emosional menurut para ahli sebagai berikut. Menurut Goleman (dalam Fatimah 2010:114), “kecerdasan emosioanal adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.” Dengan kecerdasan emosional seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengendalikan respon terhadap rangsangan tertentu. Artinya dapat mengendalikan diri dalam merealisasikan emosi. Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Cooper dan Sawaf (dalam Fatimah 2010:114), “kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.” Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan, pada diri dan
orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan emosi adalah seseorang yang mampu mengendalikan emosinya seperti; marah, sedih, bahagia, kecewa, dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat pada seorang penyabar dan juga orang yang mudah bergaul dengan orang lain. Howes dan Herald (dalam Fatimah 2010:114), juga berpendapat bahwa pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Dari beberapa pendapat para ahli tentang emosi dan kecerdasan emosi, dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari – hari. Unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan); dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
2.1.2 Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional Berdasarkan pengertian emosi dan kecerdasan emosinal maka di bawah ini akan dijelaskan ciri-ciri dari kecerdasan emosional menurut para ahli sebagai berikut. Menurut Biehler (dalam Sunarto dan Hartono 2008:156) ciri-ciri emosi remaja usia 15 – 18 tahun adalah sebagai berikut: a. Pemberontakan remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dan perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa. b. Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpati dan nasihat orang tua atau guru. c. Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan ketiga ciri tersebut yaitu: (a) bentuk emosi yang menyatakan tidak setuju di tunjukan oleh seseorang pada saat ia ada pada masa remaja yakni dengan melakukan pemberontakan; (b) remaja yang mulai memiliki kebebasan memilih terkadang apa yang menjadi pilihannya tidak sejalan dengan pilihan orang tua atau orang disekitarnya dan akhirnya berujung konflik; (c) banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsir kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
Goleman (dalam Ali dan Asrori 2011:63) mengidentifikasikan sejumlah kelompok emosi, yaitu sebagai berikut. a. Amarah, di dalamnya meliputi brutal, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, dan kebencian patologis. b. Kesedihan, di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi. c. Rasa takut, di dalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, panik, dan fobia. d. Kenikmatan, di dalamnya meliputi bahagia, gembira, ringan puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, puas, rasa terpenuhi, girang, senang sekali, dan mania. e. Cinta, di dalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang. f. Terkejut, di dalamnya meliputi terkesiap, takjub, dan terpana. g. Jengkel, di dalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dan mau muntah. h. Malu, di dalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, hina, aib, dan hati hancur lebur. Beberapa ciri-ciri emosi tersebut sudah mewakili berbagai emosi yang ada pada diri individu. Selanjutnya akan dibahas tentang ciri-ciri kecerdasan emosional menurut para ahli sebagai berikut.
Menurut Setiabudhi (2002:52) ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai berikut: “(1) kemampuan mengenal emosi diri, (2) kemampuan mengelola emosi, (3) kemampuan memotivasi diri, (4) kemampuan mengenal emosi orang lain, (5) kemampuan membina hubungan dengan orang lain”. Kelima ciri tersebut saling berkaitan dimana seseorang yang memiliki kecerdasan emosi maka pertama-tama individu itu mampu untuk mengenali emosi dirinya seperti marah, sedih, kecewa, bahagia, cinta, dan sebagainya, sehingga individu itu mampu menempatkan emosinya tersebut. Kedua, individu yang sudah mampu mengenal emosinya maka dengan mudah ia mampu untuk mengelola emosinya. Ketiga, setelah individu mengenal dan mengelola emosinya dengan baik maka individu itu akan memperolah
cara untuk memotivasi dirinya.
Keempat, setelah individu mampu mengenal, mengelola serta memotivasi dirinya maka secara otomatis individu tersebut mampu untuk mengenali emosi orang lain. Dan terakhir, setelah individu mampu untuk mengenal emosi orang lain maka hal itu dapat mengantarkan individu untuk lebih mudah membina hubungan dengan orang lain. Dalam mendefinisikan emosi, para psikolog berfokus pada tiga komponen utama perubahan fisiologis pada wajah, otak dan tubuh; proses kognitif seperti interpretase suatu peristiwa; serta pengaruh budaya yang membentuk pengalaman dan ekspresi emosi (Wade dan Tavris, 2007:106). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosional ialah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dalam bentuk apapun baik itu marah, sedih, bahagia, jengkel, dan sebagainya.
2.1.3 Pentingnya Kecerdasan Emosional Sebagai seorang siswa yang dituntut agar dapat berinteraksi dengan baik di lingkungan sosial khususnya lingkungan sekolah, maka siswa tersebut harus memiliki kecerdasan emosinal sehingga dalam pergaulannya dia dapat berinteraksi dengan baik sehingga dapat meminimalisir perselisihan antara siswa tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suparno, dkk (tt:61) bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional akan mampu menghadapi masalah yang terjadi dalam kehidupan karena biasanya yang mempunyai kecerdasan emosional mempunyai kesadaran akan emosinya, mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya karena selalu tergerak melakukan aktivitas dengan baik dan ingin mencapai tujuan yang diinginkannya, dapat mengungkapkan perasaan secara baik, dan kontrol dirinya sangat kuat. Orang yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi bukan berarti bahwa dia tidak pernah marah tetapi biasanya mereka marah pada saat yang tepat dengan disertai tujuan yang jelas. Orang-orang yang mempunyai kecerdasan emosional akan mandiri, berusaha keras dalam setiap aktivitas hidupnya, optimis, tidak pendedam dan tekun. Seperti apa yang dikatakan oleh Goleman (2006:57) bahwa dengan memiliki kecerdasan emosional maka seseorang dapat meraih sukses dalam kehidupannya.
Karena menurutnya dengan kecerdasan emosi yang baik,
seseorang akan memiliki kompetensi pripadi ataupun kompetensi sosial yang baik pula. Goleman juga menambahkan bahwa seseorang yang cerdas emosinya adalah orang yang mampu mengenali emosi diri dan orang lain, mampu mengelola emosi, mampu memotivasi diri sendiri, serta mampu membina hubungan dengan siapapun. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka kecerdasan emosional sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu. Karena dengan kecerdasan
emosional, individu mempu mengendalikan diri sehingga individu tersebut dapat meraih kesuksesan dalam kehidupannya. 2.1.4 Faktor-Faktor Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Berikut ini akan dijelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional menurut para ahli yaitu. Menurut Tridhonanto (2009:16) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosinal antara lain: (a) faktor pengaruh lingkungan; (b) faktor pengasuhan; (c) faktor pendidikan baik di sekolah maupun di rumah. Selain itu, Agustian (dalam winarti, 2012) juga mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosinal yaitu : a.
Faktor Psikologis Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini
akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkondisikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Jadi ketika seseorang yakin bahwa dia mampu menempatkan emosinya dengan tepat maka akan terealisasi pada perilaku baik. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang tidak yakin bahwa dia mampu menempatkan emosinya dengan tepat, maka akan terealisasi pada perilaku yang tidak baik.
b. Faktor Pelatihan Emosi Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Dengan demikian ketika seseorang pada proses pelatihan emosi misalnya di lingkungan keluarga, seorang anak
mendapatkan pengalaman-pengalaman
yang baik dari ayah ibunya pada saat situasi marah, sedih, ataupun bahagia maka secara otomatis akan membentuk perilaku baik si anak yaitu dapat mengendalikan diri pada situasi-situasi tersebut. Begitu juga sebaliknya, ketika seorang anak mendapatkan pengalaman-pengalaman yang buruk dari ayah dan ibuya pada situasi marah, sedih, ataupun bahagia maka secara otomatis akan membentuk perilaku buruk pula bagi si anak yakni tidak dapat mengendalikan diri pada situasi-situasi tersebut. c.
Faktor pendidikan Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai di kenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya dalam melalui pendidikan. Dengan demikian jika individu memiliki pengetahuan tentang berbagai macam bentuk emosi, maka jelaslah dia dapat merealisasikan apa yang dia tahu pada kehidupan sehari-hari. Sehingga individu mampu untuk menempatkan emosinya pada porsi yang tepat.
2.1.5 Pengertian Atmosfir Sekolah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian atmosfir adalah suasana perasaan yang bersifat imajinatif. Di samping itu, menurut Notoseputro (2008:173) bahwa atmosfir adalah suasana dan kondisi. Sedangkan pengertian sekolah, menurut Yusuf
(dalam Susilowati
2005:44) merupakan “lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar
mampu mengembangkan potensinya,
baik yang
menyangkut aspek moral, spritual, intelektual, emosional, maupun sosial.” Sekolah adalah lembaga pendidikan secara resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja dan terarah yang dilakukan oleh pendidik yang professional dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang tertentu, mulai dari tingkat anak-anak sampai perhuruan tinggi. Disamping itu, Sumitro, dkk (dalam Devamelodika, 2012:23) “Sekolah adalah lingkungan pendidikan yang mengembangkan & meneruskan pendidikan anak menjadi warga Negara yang cerdas, terampil & bertingkah laku baik”. Sekolah sebagai tempat belajar bagi seorang siswa dan teman-temannya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dimana pelaksanaan kegiatan belajar dilaksanakan secara formal. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa atmosfir sekolah adalah kondisi atau suasana semua benda hidup dan mati yang ada di
dalam lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program pendidikan dan membantu siswa mengembangkan potensinya.
2.1.6 Ruang Lingkup Atmosfir Sekolah Selain pengertian atmosfir sekolah maka di bawah ini akan dijelaskan tentang ruang lingkup atmosfir sekolah menurut para ahli sebagai berikut. Tagiuri (dalam Mugiarsih, 2010) mengungkapkan tentang taksonomi atmosfir sekolah yang mencakup empat dimensi, yaitu: a. Ekologi; meliputi
aspek-aspek
fisik-materil, seperti bangunan
sekolah, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK dan sejenisnya. b. Milieu; karakteristik individu disekolah pada umumnya, seperti moral kerja guru, latar belakang siswa, stabilitas staf dan sebagainya. c. Sistem sosial; struktur formal maupun informal atau berbagai peraturan untuk mengendalikan interaksi individu dan kelompok di sekolah, mencakup komunikasi kepala sekolah-guru, partisipasi staf dalam pengambilan keputusan, keterlibatan siswa dalam pengambilan keputusan, kolegialitas, hubungan guiru-siswa. d. Budaya; sistem nilai dan keyakinan, seperti norma pergaulan siswa, ekspektasi keberhasilan, disiplin sekolah. Adapun menurut Abu Ahmadi (dalam Susilowati 2005:45) ruang lingkup atmosfir sekolah itu mempunyai beberapa unsur penting, yaitu:
a. Letak lingkungan dan prasarana fisik sekolah (gedung sekolah, meubelier, dan perlengkapan lain). b. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta yang menjadi keseluruhan program pendidikan. c. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa, guru, non teaching specialist dan tenaga administrasi. d. Nilai-nilai norma, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah. Dari kedua pendapat para ahli tersebut, peneliti akan menggunakan ruang lingkup atmosfir sekolah menurut Taguiri sebagai indikator penelitian, karena penjelasannya sudah mencakup seluruh aspek dalam atmosfir sekolah antara lain: ekologi yang meliputi aspek-aspek fisik; milieu, meiputi karakteristik individu yang ada disekolah; sistem sosial, meliputi interaksi individu dan kelompok di sekolah; dan budaya, meliputi sistem nilai dan keyakinan.
2.1.7 Hubungan antara Atmosfir Sekolah dengan Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosi memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan dalam berkomunikasi di lingkungan sekolah. Sehingga dalam proses komunikasi tersebut dapat melatih emosi pada diri siswa. Menurut Goleman (2006:273) bahwa keberhasilan seorang anak di sekolah tidak hanya dilihat dari kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan juga dilihat pada aspek emosionalnya. Emosi salah satu aspek yang ada pada individu untuk mencapai suatu kesuksesan. Sepeti apa yang dikatakan oleh Goleman (2006:57) bahwa dengan
memiliki kecerdasan emosional maka seseorang dapat meraih sukses dalam kehidupannya. Hal ini dapat memperkuat bahwa seseorang yang ingin memperoleh kesuksesan maka ia harus bisa memahami, mengendalikan serta mengelola emosinya. Emosi itu bisa dibentuk dengan baik, dan lingkungan yang paling tepat untuk mengkondisikannya tidak lain adalah lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah dimaksud dapat diartikan dengan atmosfir sekolah. Hal ini dikarenakan bahwa individu di sekolah sebagian besar waktunya di gunakan untuk melakukan aktivitas pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran itulah para guru dan seluruh pihak perlu bekerja keras untuk membentuk kecerdasan emosi siswa. Sehingga siswa akan mampu untuk mengenal, mengendalikan emosinya. Sebagaimana dikatakan oleh Sumitro, dkk (dalam Devamelodika, 2012:23) bahwa sekolah adalah lingkungan pendidikan yang mengembangkan & meneruskan pendidikan anak menjadi warga Negara yang cerdas, terampil & bertingkah laku baik. Lebih lanjut Setiabudhy (2002:53) mengemukakan bahwa “lingkungan sekolah dalam mengembangkan kecerdasan emosional memiliki pengaruh yang sangat besar.” Hal ini dapat dilihat karena lingkungan sekolah memfasilitasi siswa untuk melakukan interaksi sosial dimana siswa dihadapkan pada karakteristik individu ataupun kelompok yang berbeda-beda. Seperti perbedaan karakteristik teman sebaya, guru, kurikulum dan fasilitas sekolah. Thoha (2008:50) juga berpendapat bahwa “kecerdasan dipengaruhi oleh faktor
lingkungan
sehingga
kecerdasan
emosional
dapat
berubah
dan
dikembangkan.” Dengan demikian kecerdasan seseorang dapat berubah ataupun
dikembangkan jika lingkungan sekolah memberikan suasana yang kondusif bagi siswa. Dengan demikian disimpulkan dari pendapat para ahli bahwa ada hubungan antara atmosfir sekolah dengan kecerdasan emosional, dimana siswa di sekolah secara tidak langsung dihadapkan pada situasi emosi yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik situasi di lingkungannya. Dari situlah siswa mendapatkan pembelajaran untuk mengubah, melatih dan mengembangkan kecerdasan emosinya. Jika siswa sudah memiliki kecerdasan emosional maka siswa tersebut mampu untuk mengenal emosi diri, mengenal emosi orang lain, mampu mengendalikan emosi, mampu mengelola emosi, serta mampu membina hubungan baik dengan orang lain.
2.2 Kerangka Berfikir
KECERDASAN EMOSIONAL
Indikator: 1. Kemampuan mengenal emosi.
2. Kemampuan mengelola emosi. 3. Kemampuan memotivasi diri. 4. Kemampuan mengenal emosi orang lain. 5. Kemampuan membina hubungan dengan orang lain.
ATMOSFIR SEKOLAH
Kecerdasan Emosi Tinggi
Indikator: 1. Ekologi 2. Miliu
BAIK
3. Sistem Sosial 4. Budaya BURUK
Kecerdasan Emosi Rendah
2.3 Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian korelasional ini berbunyi: Terdapat hubungan antara atmosfir sekolah dengan kecerdasan emosinal siswa kelas X di SMKN 3 Gorontalo.