BAB II KAJIAN PUTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Atribusi Teori atribusi menjelaskan tentang proses bagaimana kita menentukan penyebab perilaku seseorang. Teori ini mengacu pada bagaimana seseorang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau diri sendiri yang ditentukan dari internal atau eksternal dan pengaruhnya terhadap perilaku individu (Luthans, 2006 dalam Harini et al, 2010: 7). Teori atribusi yaitu bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu (Febrina, 2012: 6). Dalam hidupnya, setiap orang selalu membentuk ide tentang orang lain dan situasi sosial di sekitarnya melalui berbagai hal. Dalam teori atribusi Correspondent Inference, perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal, berarti dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut serta prediksi perilaku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu. Hubungan
yang
demikian
adalah
hubungan
(correspondent inference). (Febrina, 2012: 6).
1
yang
dapat
disimpulkan
Hubungan tersebut dapat diamati melalui hal berikut. 1) Melihat kewajaran perilaku. Orang yang bertindak wajar sesuai dengan keinginan masyarakat, sulit untuk dikatakan bahwa tindakannya merupakan cermin karakternya, bisa saja karena suatu keharusan. 2) Pengamatan terhadap perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan beberapa pilihan. 3) Memberikan peran berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan. Contohnya, seorang juru tulis diminta menjadi juru bayar. Dengan peran baru, tampak keaslian perilaku yang merupakan gambaran kepribadiannya. Model of Scientific Reasoner (Kelley dan Margheim :1967 dalam Febrina, 2012:32) mendeskripsikan 4 informasi penting untuk menyimpulkan atribusi seseorang, sebagai berikut. 1) Distinctiveness – perilaku dapat dibedakan dari perilaku orang lain saat menghadapi situasi yang sama. 2) Consensus – jika orang lain setuju bahwa perilaku diatur oleh beberapa karakteristik personal. 3) Consistency over time – apakah perilaku diulang. 4) Consistency over modality (cara dimana perilaku itu dilakukan) – apakah perilaku diulang pada situasi yang berbeda. Berdasarkan teori Konsensus Weiner (Febrina, 2012: 34), keberhasilan dan kegagalan memiliki penyebab internal atau eksternal. Ketika seseorang dengan need of achievement tinggi telah sukses, dia akan mengangggap keberhasilan itu berasal dari faktor internal (usaha dan kemampuan) serta
2
cenderung menganggap kegagalan sebagai tindakan yang kurang usaha bukan karena tidak mampu. Penelitian ini menggunakan teori atribusi karena peneliti melakukan studi empiris untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi auditor dalam menerima dysfunctional audit behavior, khususnya pada karakteristik personal auditor itu sendiri. Karakteristik personal menjadi penentu utama dalam penerimaan dysfunctional audit behavior karena merupakan faktor internal yang mendorong seorang individu untul melakukan suatu aktivitas (Febrina, 2012: 35).
2.1.2 Auditing 2.1.2.1 Definisi Auditing Auditing menurut Arens dan Beasley (2010:4) auditing adalah pengumpulan dan penelitian bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi tersebut dan kriteria yang ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Menurut Boynton dan Johnson (2006:6), definisi audit yang berasal dari The Report of the Committee on Basic Auditing Concepts of the American Accounting Association (Accounting Review, Vol 47) adalah sebagai berikut: auditing adalah suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan”. Menurut Agoes (2012:3) pemeriksaan (Auditing) adalah suatu
3
pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”. Berdasarkan definisi diatas, pengertian auditing adalah suatu proses sistematis dan kritis yang dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi (informasi) yang ditetapkan dengan tujuan untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi atau asersi-asersi dengan kriteria yang ditetapkan, serta menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan. Berikut ini beberapa definisi dan tujuan auditing dari beberapa ahli, antara lain: 1) Boynton dan Johnson (2006: 6) mengungkapkan bahwa auditing adalah suatu proses sistematik memperoleh dan mengevaluasi bukti mengenai asersi-asersi tentang aktivitas dan peristiwa ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian antara
asersi-asersi
tersebut
dengan
kriteria
yang
ditetapkan
dan
mengkomunikasikan hasilnya kepada para pihak berkepentingan. 2) Messier (2006: 13) mengungkapkan bahwa auditing adalah suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif sehubungan dengan asersi atas tindakan dan peristiwa ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dan menetapkan
4
kriteria serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 3) Rahayu dan Suhayati (2010: 1) mendefinisikan auditing sebagai suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif yang berhubungan dengan asersi-asersi tentang tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dan kriteria yang diterapkan serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pengguna informasi tersebut. 4) Arens et al. (2010: 4) mengungkapkan bahwa auditing adalah proses pengumpulan dan evaluasi bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi untuk menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang independen dan kompeten. 5) Islahuzzaman (2012: 47) mendefinisikan auditing sebagai pengumpulan dan pengevaluasian bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, beberapa kata kunci yang terkait dengan definisi auditing adalah sebagai berikut. 1) Proses yang sistematis (systematical process) Artinya proses audit menggambarkan serangkaian langkah atau prosedur yang logis, terstruktur dan diorganisasikan dengan baik. Selain itu, proses audit dilaksanakan dengan formal.
5
2) Asersi (assertion) dan kriteria yang ditetapkan (established criteria) Auditing dilakukan terhadap suatu asersi (pernyataan tertulis) yang menjadi tanggung jawab pihak tertentu. Asersi ini disebut juga sebagai informasi karena mengandung informasi tentang sesuatu yang akan dievaluasi. Selain asersi, proses auditing harus didukung dengan standar (kriteria) yang ditetapkan (established criteria) yang menunjukkan sesuatu (kondisi) yang seharusnya. 3) Pengumpulan dan evaluasi bukti (evidence) Bukti merupakan suatu informasi yang dikumpulkan auditor yang digunakan untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara asersi dengan kriteria yang ditetapkan, yang dapat berupa informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, verifikasi catatan-catatan dan dokumen perusahaan, hasil pengamatan fisik dan sebagainya. 4) Kompeten, independen dan objektif Auditing harus dilakukan oleh orang-orang yang kompeten, dalam arti mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar teknis profesi independen dalam arti mampu membebaskan diri dari berbagai kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan penugasan audit, sehingga akan menimbulkan perilaku yang objektif seorang auditor. Artinya, auditor tersebut tidak akan memihak dan tidak bias dalam mengemukakan pendapat dan tidak berprasangka.
6
5) Laporan kepada pihak yang berkepentingan (reporting) Pelaporan hasil auditing merupakan hasil akhir proses auditing. Inti laporan auditing adalah pernyataan pendapat atau kesimpulan mengenai tingkat kesesuaian antara asersi (informasi) dengan kriteria yang ditetapkan. Standar Profesional Akuntan Publik Per 31 Maret 2011 Seksi 110.1 menjelaskan secara umum tujuan audit atas laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia. Dalam pernyataan yang sama, Ikatan Akuntan Publik Indonesia juga menyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dalam Surat Keputusan Ketua Umum IAPI No.024/IAPI/VII/2008 menyebutkan bahwa ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh auditor dalam melakukan audit atas laporan keuangan. Tahapantahapan tersebut diantaranya. 1) Prosedur Audit Standar Profesional Akuntan Publik Per 31 Maret 2011 Seksi 150 menjelaskan bahwa prosedur auditing berbeda dengan standar auditing. Prosedur auditing merupakan tindakan-tindakan atau tahapan-tahapan yang harus dilakukan sedangkan standar auditing merupakan kriteria ukuran mutu kinerja tindakan tersebut dan berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan
7
prosedur tersebut. Boynton dan Johnson (2006: 241) mendefinisikan prosedur auditing sebagai suatu metode atau teknik yang digunakan oleh auditor untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti audit (audit evidence). Tujuan auditor melakukan prosedur auditing adalah sebagai berikut. (1) Untuk memperoleh pemahaman tentang entitas dan lingkungan termasuk pengendalian internal sehingga dapat menilai risiko salah saji material pada tingkat laporan keuangan dan pada tingkat pernyataan. (2) Untuk menguji efektivitas operasional pengendalian dalam mencegah dan mendeteksi salah saji material pada tingkat pernyataan. (3) Untuk mendukung pernyataan atau mendeteksi salah saji pada tingkat pernyataan. 2) Perencanaan Audit Adapun pada tahap ini, auditor harus melakukan langkah-langkah, antara lain pendahuluan perencanaan, pemahaman bisnis klien, pemahaman proses akuntansi, pemahaman struktur pengendalian internal, penetapan risiko pengendalian (control risk), melakukan analisis awal, menentukan tingkat materialitas, membuat program audit, risk assessment atas akun dan fraud discussion dengan management. 3) Pelaksanaan Audit Langkah-langkah yang harus dilakukan pada tahap ini antara lain pengujian pengendalian internal untuk memverifikasi efektivitas pengendalian intern entitas, pengujian substantif transaksi untuk menemukan kemungkinan moneter yang secara langsung mempengaruhi kewajaran penyajian laporan keuangan, prosedur
8
analitis untuk memahami bisnis klien serta menentukan bidang yang memerlukan audit lebih intensif, dan pengujian detail transaksi. 4) Pelaporan Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan pada tahap pelaporan, antara lain review kewajiban kontijensi, review atas kejadian setelah tanggal neraca, pengujian bukti final, evaluasi dan kesimpulan, komunikasi dengan klien, penerbitan laporan audit, dan capital commitment. Auditor harus melaksanakan sejumlah prosedur auditing dalam penugasan audit seperti yang disebutkan di atas. Prosedur tersebut dilakukan untuk memperoleh bukti audit yang cukup agar auditor dapat menemukan kesalahan dan kecurangan yang mungkin terjadi dalam sistem akuntansi klien. Secara umum, prosedur auditing terdiri atas tiga tahap, diantaranya perencanaan audit, pelaksanaan pengujian audit, dan pelaporan audit. Sebelum ketiga prosedur tersebut dilakukan, auditor biasanya melakukan pertimbangan apakah menerima atau menolak penugasan audit dari klien (Boynton dan Johnson, 2006: 241). Jika memutuskan untuk menerima penugasan audit tersebut, auditor harus membuat surat perikatan (engagement letter) sebelum memulai prosedur auditing. Boynton dan Johnson (2006: 241) menyebutkan serangkaian prosedur auditing untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti audit (audit evidence). Berikut prosedur auditing tersebut.
9
1) Inspeksi dokumen dan catatan (inspection of documents and records) Pada prosedur ini, auditor harus memeriksa catatan dan dokumen baik yang berasal dari internal entitas maupun dari eksternal entitas. Catatan dan dokumen tersebut dapat berbentuk kertas, elektronik ataupun media lain. Pada prosedur ini terdapat dua istilah penting, yaitu vouching dan tracing. Vouching adalah pemeriksaan dokumen yang mendukung suatu transaksi atau jumlah yang telah tercatat. Vouching dilakukan untuk menguji keberadaan dan keterjadian, dan mendeteksi overstatements dalam catatan akuntansi. Sedangkan
tracing
adalah mengikuti
dokumen sumber hingga
ke
pencatatannya dalam catatan akuntansi. Tracing dilakukan untuk menguji kelengkapan dan mendeteksi understatements dalam catatan akuntansi. 2) Inspeksi asset berwujud (inspection oftangible assets) Prosedur ini digunakan auditor untuk melakukan pemeriksaan fisik asset entitas. Prosedur ini menyediakan informasi dan pengetahuan langsung mengenai keberadaan dan kondisi fisik asset. 3) Observasi (observation) Prosedur ini digunakan auditor untuk menyaksikan aktivitas fisik entitas. Selain itu, auditor dapat memverifikasi beberapa kebijakan dan prosedur pengendalian intern entitas. 4) Penyelidikan (inquiry) Prosedur ini digunakan untuk mencari informasi mengenai pengetahuan seseorang baik pengetahuan keuangan maupun non keuangan di dalam dan di luar entitas.
10
5) Konfirmasi (confirmation) Prosedur ini digunakan auditor untuk memberikan bukti mengenai penilaian, alokasi, kelengkapan serta penyajian dan pengungkapan. 6) Perhitungan kembali (recalculation) Prosedur ini dilakukan auditor untuk memeriksa keakuratan matematis dari dokumen atau catatan dengan menghitung kembali saldo akun atau transaksi entitas (klien). 7) Pelaksanaan ulang (rekinerja auditor) Prosedur ini dilakukan auditor dengan mengulang aktivitas entitas dalam proses akuntansi dan membandingkannya dengan hasil entitas tersebut. Prosedur ini dapat digunakan untuk pengujian pengendalian dan pengujian substantif. 8) Prosedur analitis (analytical procedures) Prosedur ini dilakukan dengan mempelajari perbandingan dan hubungan antara data yang satu dengan data yang lain. Tujuannya adalah untuk membantu auditor dalam memahami bisnis klien dan dalam menentukan bidang yang memerlukan audit lebih intensif. 9) Teknik audit berbantuan komputer (computer-assisted audit techniques) Teknik ini menggunakan software audit untuk menyelesaikan berbagai prosedur auditing yang di atas ketika catatan akuntansi klien dimaintain menggunakan media elektronik, misalnya MYOB. Prosedur di atas merupakan prosedur auditing yang umumnya digunakan oleh auditor untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti. Prosedur tersebut
11
merupakan prosedur yang penting sehingga berisiko tinggi jika prosedur tersebut tidak dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Risiko kesalahan akan semakin tinggi jika semakin banyak prosedur auditing yang tidak dilaksanakan oleh auditor. Hal ini karena semakin sedikit prosedur yang dilakukan maka akan semakin sedikit bukti audit yang dapat diperoleh auditor. Dengan demikian, kemungkinan auditor gagal mendeteksi kecurangan dan kesalahan dalam sistem akuntan klien akan semakin besar.
2.1.3
Perilaku Menyimpang dalam Audit Donelly et al. (2003) menjelaskan bahwa di dalam sikap auditor yang
menerima perilaku menyimpang dalam audit merupakan indikator dari perilaku disfungsional aktual. Perilaku menyimpang dalam audit (dysfunctional audit behavior) merupakan reaksi terhadap lingkungan (Donnelly, et. al. 2003). Malone dan Robberts (1996), menjelaskan bahwa perilaku individu merupakan refleksi dari sisi personalitasnya sedangkan faktor situasional yang terjadi saat itu akan mendorong seseorang untuk membuat suatu keputusan. Perilaku menyimpang dalam audit disebut juga dengan perilaku pengurangan kualitas audit. Perilaku pengurangan kualitas audit dapat diartikan sebagai perilaku pengurangan mutu dalam pelaksanaan audit yang dilakukan secara sengaja oleh auditor (Coram, et al., 2004). Ada beberapa perilaku menyimpang dalam audit yang membahayakan kualitas
audit,
yaitu:
underreporting
of
time,
premature
sign-off,
altering/replacement of audit procedure. Hal ini berpengaruh secara langsung terhadap kualitas audit dan dapat mengubah hasil audit (Febrina, 2012).
12
Perilaku merupakan perwujudan atau manifestasi karakteristik seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Perilaku auditor merupakan segala tindakan yang dilakukan oleh auditor (Nengsih, 2004). Jansen dan Glinow (1985) dalam Malone dan Roberts (1996), menjelaskan bahwa perilaku individu merupakan refleksi dari sisi personalitasnya sedangkan faktor situasional yang terjadi saat itu akan mendorong seseorang untuk membuat suatu keputusan. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pernyimpangan perilaku dalam audit dapat disebabkan oleh faktor karakteristik personal dari auditor (faktor internal) serta faktor situasional saat melakukan audit (faktor eksternal). Penerimaan penyimpangan perilaku diukur dengan bagaimana seorang auditor menerima beragam bentuk penyimpangan perilaku yang meliputi: penyelesaian tugas audit tanpa melengkapi keseluruhan prosedur yang telah ditetapkan (Premature Sign-Off), menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan dengan waktu pribadi auditor (Under Reporting of Time), dan mengurangi efektivitas pengumpulan bukti selama pengujian (Audit Quality Reduction Behavior/AQRB) (Christina, 2003). Menurut
Dougall
dalam
Zulfahmi
(2005)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perilaku seseorang meliputi. 1) Faktor personal, yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yang meliputi. (1) Faktor biologis manusia meliputi: genetika, sistem saraf dan sistem hormonal. (2) Faktor sosiopsikologis meliputi: komponen afektif (emosional), kognitif (intelektual), konatif (kebiasaan dan kemauan).
13
(3) Motif sosiogenis atau motif sekunder, meliputi: motif berprestasi, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan berkuasa. 2) Faktor situasional, yaitu faktor yang berasal dari luar diri manusia sehingga dapat mengakibatkan seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan karakteristik kelompok atau organisasi di mana ia ikut di dalamnya. Faktor ini meliputi. (1) Aspek objektif lingkungan (misal: kondisi geografis, iklim, struktur kelompok). (2) Lingkungan psikososial yang dipersepsi oleh seseorang (misal: iklim organisasi dan kelompok, etos kerja, iklim institusional dan budaya). (3) Stimulasi yang mendorong dan memperteguh perilaku seseorang (misal: orang lain dan situasi pendorong perilaku). 3) Faktor stimulasi yang mendorong dan meneguhkan perilaku seseorang.
2.1.4 Locus of Control (LOC) Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan locus of control sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Individu dengan locus of control internal cenderung menganggap bahwa keterampilan (skill), kemampuan (ability), dan usaha (effort) lebih menentukan apa yang mereka peroleh dalam hidup mereka (Gustati, 2012). Locus of control adalah persepsi tentang kendali mereka atas nasib, kepercayaan diri dan kepercayaan mereka atas keberhasilan diri. LOC memainkan peranan penting
14
dalam berbagai kasus, seperti dysfunctional audit behavior, job satisfaction, kinerja, komitmen organisasi dan turnover intention (Harini et al, 2010:13). Teori LOC menggolongkan individu apakah termasuk dalam LOC internal atau eksternal. Internal control adalah tingkatan dimana seorang individu berharap bahwa reinforcement atau hasil dari perilaku mereka bergantung pada perilaku mereka sendiri atau karakteristik personal mereka. External control adalah tingkatan di mana seseorang berharap bahwa reinforcement atau hasil adalah fungsi dari kesempatan, keberuntungan atau takdir di bawah kendali yang lain atau tidak bisa diprediksi. Pandangan hidup menurut internal dan external LOC sangat berbeda. Seseorang yang mempunyai internal locus of control yakin dapat mengendalikan tujuan mereka sendiri, memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan di dalamnya. Individu dengan internal locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan juga lebih menyukai keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang menguntungkan. Pada individu yang mempunyai external locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran di dalamnya. External locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain, hidup mereka cenderung dikendalikan oleh kekuatan di luar diri mereka sendiri (seperti keberuntungan), serta lebih banyak mencari dan memilih kondisi yang menguntungkan. Menurut
15
Febrina (2012: 7) LOC dapat digunakan untuk memprediksi seseorang, LOC yang berbeda bisa mencerminkan motivasi dan kinerja yang berbeda. Internal akan cenderung lebih sukses dalam karir mereka daripada eksternal, mereka cenderung mempunyai level kerja yang lebih tinggi, promosi lebih cepat dan mendapatkan penghasilan lebih. Sebagai tambahan, internal LOC dilaporkan memiliki kepuasan yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dan terlihat lebih mampu menahan stres daripada LOC eksternal. Penelitian sebelumnya (Wilopo, 2006; Harini et al, 2010) menyatakan bahwa LOC eksternal berpengaruh negatif pada kinerja sehingga secara umum seseorang yang ber-LOC eksternal akan berkinerja lebih baik ketika suatu pengendalian dipaksakan atas mereka, atau sebaliknya ia akan melakukan perilaku disfungsional (tidak sesuai aturan) untuk memenuhi ataupun mengelabui pengendalian tersebut.
2.1.5 Komitmen Organisasi Komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan berkelanjutan sehingga anggota organisasi dapat mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2006;249). Komitmen organisasi menunjukkan kekuatan relatif untuk berpihak dan terlibat dalam organisasi, keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk organisasi, termasuk juga keinginan untuk bertahan dalam organisasi merupakan orientasi individu terhadap organisasi dalam hal loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Agustini (2005)
16
menyimpulkan bahwa komitmen dikarakteristikkan oleh : (1) kepercayaan dan penerimaan akan tujuan dan nilai-nilai organisasi, (2) kemauan untuk mengusahakan usaha individu kearah pencapaian tujuan, (3) keinginan yang kuat untuk mempertahankan anggota organisasi. Allen dan Meyer (1990) dalam Febrina (2012:8), telah memperkenalkan konstruk komitmen organisasional dalam tiga dimensi, yakni : 1) Affective Commitment yang merupakan keterikatan emosional terhadap organisasi di mana pegawai mengidentifikasikan diri dengan organisasi dan menikmati keanggotaan dalam organisasi. 2) Continuance commitment yang merupakan biaya yang dirasakan yaitu berkaitan dengan biaya-biaya yang terjadi jika meninggalkan organisasi. 3) Normative Commitment merupakan suatu tanggung jawab untuk tetap berada dalam organisasi. Affective commitment mempunyai hubungan signifikan dengan hasil suatu pekerjaan dibandingkan dengan tipe komitmen organisasional lain. Affective commitment dalam profesi akuntansi mempunyai hubungan yang lebih signifikan dengan turnover intention dan kepuasan kerja dibandingkan tipe organisasional lain. Komitmen individu ditunjukkan oleh kerja yang gigih (persistence) walaupun di bawah tekanan sekalipun. Individu yang mempunyai komitmen organisasi akan bekerja lebih baik daripada yang tidak berkomitmen. Komitmen organisasi adalah hasil kerja yang penting pada tingkat individu yang dihubungkan dengan hasil kerja lain seperti absensi pegawai, turnover, usaha kerja (effort), dan kinerja. Komitmen organisasi mempunyai implikasi pada
17
individu dan organisasi. Dari sudut pandang individu, komitmen seseorang terhadap organisasi membuat seseorang lebih dapat memilih dalam penerimaan reward ekstrinsik seperti bonus dan award dan juga reward intrinsik seperti kepuasan kerja dan hubungan lebih baik dengan rekan kerja. Dari perspektif organisasi, komitmen pegawai yang tinggi akan mengurangi keterlambatan, tingkat ketidakhadiran (abseinteism) dan turnover, serta meningkatkan usaha dan kualitas kinerja pegawai. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Turnover berkurang akibat menurunnya kecenderungan mereka untuk aktif mencari posisi lain karena mereka telah nyaman bekerja pada posisinya sekarang. Komitmen organisasi juga dipengaruhi kuat oleh faktor situasional di lingkungan kerja. Misalnya, individu yang lebih puas dengan supervisor mereka, dengan penghargaan kinerja yang adil (fairness), dan seseorang yang merasa bahwa organisasi mereka peduli tentang kesejahteraan mereka, akan mempunyai komitmen organisasi tinggi.
2.1.6 Kinerja auditor Kinerja auditor adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang auditor dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas, kualitas, dan ketepatan waktu (Rai, 2008: 41). Berhasil tidaknya auditor melaksanakan perannya sangat tergantung dari kinerjanya. Auditor yang melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination)
18
secara objektif atas laporan keuangan dengan tujuan untuk menentukan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh auditee. Auditee dapat mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan kepentingan para pemakai laporan keuangan. Demikian pula, kepentingan pemakai laporan keuangan yang satu mungkin berbeda dengan pemakai lainnya. Dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, auditor harus bersikap independen terhadap kepentingan auditee, pemakai laporan keuangan, maupun kepentingan auditor itu sendiri. Kinerja auditor melibatkan tingkatan dimana anggota organisasi menyelesaikan tugasnya yang berkontribusi pada tujuan organisasi, termasuk juga dimensi kualitas dan kuantitas. Kinerja auditor merupakan kesuksesan yang dicapai seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Ukuran kesuksesan tidak dapat disamakan pada semua orang, lebih merupakan hasil yang dicapai oleh seorang individu menurut ukuran yang berlaku sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Penilaian kinerja auditor sangat penting untuk dilakukan bila organisasi ingin melakukan reposisi atau promosi jabatan. Kinerja auditor dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja auditor individu dan organisasi. Kinerja auditor individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja auditor organisasi adalah gabungan antara kinerja auditor individu dan kelompok sehingga kinerja auditor organisasi sangat tergantung pada karyawannya. Febrina (2012:9). Berdasarkan job characteristic theory, orang akan dimotivasi oleh kepuasan diri yang diperoleh
19
dari pelaksanaan tugas mereka. Ketika mereka menemukan bahwa pekerjaan mereka berarti, orang akan menyukai pekerjaan mereka dan akan termotivasi untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik. Terdapat tiga sikap psikologi yaitu, perasaan bahwa pekerjaan yang dilakukan berarti, rasa tanggung jawab terhadap hasil kerja, dan pengetahuan akan hasil kerja akan meningkatkan motivasi, kinerja, dan kepuasan. Bila seseorang memiliki locus of control internal, kinerjanya cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan locus of control eksternal. Ini dibuktikan dengan penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa locus of control eksternal berhubungan negatif dengan kinerja auditor (Harini et al, 2010).
2.1.7 Turnover Intention Turnover intention adalah sikap yang dimiliki oleh anggota organisasi untuk mengundurkan diri dari organisasi atau dalam hal ini, dari Kantor Akuntan Publik sebagai auditor independen. Pengunduran diri karyawan (withdrawal) dalam bentuk turnover telah menjadi bahan penelitian yang menarik dalam berbagai masalah, seperti masalah personalia (SDM), keperilakuan, dan praktisi manajemen. Turnover intention juga dipengaruhi oleh skill dan ability, dimana kurangnya kemampuan auditor dapat mengurangi keinginan untuk meninggalkan organisasi sehingga tetap bertahan di KAP walaupun dia sangat ingin berpindah kerja. (Fitriany et al, 2010:13) Sebelum turnover terjadi, selalu ada perilaku yang mendahuluinya yaitu, adanya niat atau intensitas turnover. Ada dua pendorong intensitas yaitu, intensitas untuk mencari dan intensitas untuk keluar.
20
Prediktor utama dan terbaik dari turnover adalah intensitas untuk keluar. Intensitas dan perilaku untuk mencari secara umum didahului dengan intensitas untuk keluar (turnover). Faktor utama intensitas adalah kepuasan, ketertarikan yang diharapkan terhadap pekerjaan saat ini dan ketertarikan yang diharapkan dari atau pada alternatif pekerjaan atau peluang lain. (Fitriany et al, 2010:13) Job satisfaction dan kinerja auditor berhubungan terbalik dengan turnover intention. Berdasarkan penelitian (Fitriany et al, 2010:14) auditor yang dissatisfied (low satisfaction) dan dianggap memiliki prestasi yang rendah (poor performers) oleh atasannya, cenderung memiliki tingkat turnover yang tinggi. Tapi sebaliknya, karyawan yang memiliki high performer (baik yang satisfied maupun yang dissatisfied) tidak akan meninggalkan pekerjaannya karena mereka diberikan strong inducements untuk tidak keluar dari tempat bekerjanya misalnya, dengan diberi kenaikan gaji dan promosi. Inducement ini dapat menghilangkan dissatisfaction dan menurunkan keinginan berpindah kerja ke tempat lain. Hal ini dapat dilihat dari tingkat turnover yang berbeda antara high performer dan low performer.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Locus of Control pada Perilaku Menyimpang dalam Audit Individu yang memiliki locus of control internal cenderung tidak menerima perilaku disfungsional atas prosedur audit. Sebaliknya individu yang memiliki locus of control eksternal biasanya memiliki kedudukan dibawah individu yang memiliki locus of control internal (Hartati, 2012). Hal ini dikarenakan individu
21
dengan locus of control eksternal kurang percaya akan kemampuan dirinya sendiri dalam melakukan suatu pekerjaan dan tidak bisa menentukan nasib baiknya sendiri. Pada saat individu merasa bahwa kemampuannya tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan, maka individu tersebut cenderung melakukan perilaku disfungsional untuk mempertahankan kedudukannya (Hartati, 2012). Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Donnely et. al. (2003) yang menunjukan bahwa semakin tinggi locus of control eksternal seorang auditor, semakin besar kemungkinan terjadinya perilaku disfungsional auditor. Berdasarkan uraian tersebut maka formulasi hipotesis yang diajukan penulis adalah sebagai berikut. H1 : Locus of control berpengaruh positif pada perilaku menyimpang dalam audit. 2.2.2 Pengaruh Komitmen Organisasi pada Perilaku Menyimpang dalam Audit Komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan berkelanjutan sehingga anggota organisasi dapat mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2006;249). Komitmen organisasi menunjukkan kekuatan relatif untuk berpihak dan terlibat dalam organisasi, keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk organisasi, termasuk juga keinginan untuk bertahan dalam organisasi merupakan orientasi individu terhadap organisasi dalam hal loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Otley dan Pierce (2012) telah melakukan penelitian tentang hubungan komitmen organisasi dengan perilaku audit disfungsional di Amerika dan Irlandia
22
yang menunjukkan hubungan yang signifikan. Selain itu, penelitian Paino et. al. (2011) menjelaskan bahwa organisational commitment berpengaruh negatif terhadap dysfunctional Audit Behavior. Dijelaskan bahwa tingkat tinggi komitmen organisasi akan dikaitkan dengan penyimpangan perilaku dalam audit, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk tetap mempertahankan organisasi tempat mereka bekerja. Berdasarkan pernyataan tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut. H2 : Komitmen organisasi berpengaruh negatif pada perilaku menyimpang dalam audit.
2.2.3 Pengaruh Kinerja auditor pada Perilaku Menyimpang dalam Audit Kinerja auditor adalah tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu (Trisnaningsih, 2003). Auditor yang memiliki persepsi yang rendah terhadap tingkat kinerja mereka dianggap akan memperlihatkan penerimaan perilaku menyimpang dalam audit yang lebih tinggi (Irawati, 2005). Hal ini dikarenakan auditor dengan kinerja yang rendah akan merasa harus meningkatkan kinerja mereka dengan berbagai tindakan termasuk salah satunya perilaku menyimpang, seperti menghentikan satu atau beberapa prosedur audit tanpa menggantikan dengan langkah yang lain untuk mencapai waktu tugas yang ditetapkan oleh atasan. Penelitian Febrina (2012), Irawati (2005) dan Pujaningrum (2012) yang menyatakan bahwa kinerja memiliki pengaruh negatif pada penerimaan perilaku menyimpang dalam audit. Goodhue dan Thompson (1995) menyatakan bahwa
23
kinerja yang lebih tinggi secara tidak langsung akan memberikan kontribusi bagi efektivitas dan kualitas. Kinerja pekerjaan auditor berhubungan dengan kualitas audit, kinerja yang buruk akan menurunkan kredibilitas audit. Coram et al (2004) mengemukakan
bahwa
perilaku
penyimpangan
audit
merupakan
unsur
kesengajaan sebagai upaya pengurangan kualitas audit dikarena ketidakmampuan auditor. Berdasarkan pernyataan tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut. H3 : Kinerja auditor berpengaruh negatif pada perilaku menyimpang dalam audit.
2.2.4 Pengaruh Turnover intention pada Perilaku Menyimpang dalam Audit Turnover intention adalah berhenti atau keluar dari organisasi secara permanen baik sukarela seperti pensiun, atau tidak sukarela seperti pemecatan. Auditor yang memiliki keinginan berpindah kerja lebih dapat terlibat dalam perilaku disfungsional karena menurunnya tingkat ketakutan yang ada dalam dirinya terhadap sanksi yang didapat bila perilaku tersebut dideteksi. Individu yang berniat meninggalkan pekerjaan, tidak begitu peduli dengan dampak buruk dari penyimpangan perilaku terhadap penilaian kinerja dan promosi. Penelitian Maryanti (2005) dan Sitanggang (2007) membuktikan bahwa turnover intention memiliki pengaruh postitif pada perilaku menyimpang dalam audit. Malone dan Roberts (2003) yang terdapat dalam penelitian Pujaningrum (2012) menjelaskan bahwa auditor yang memiliki keinginan untuk berpindah kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku disfungsional, karena penurunan rasa
24
takut dari kondisi yang terjadi bila hal tersebut terdeteksi. Berdasarkan pernyataan tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut. H4 : Turnover intention berngaruh positif pada perilaku menyimpang dalam audit.
25
26