BAB II KAJIAN PUTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1.
Kajian Pustaka Kajian pustaka dalam penelitian ini merupakan penjelasan dari variabel-
variabel yang akan diteliti. Variabel-variabel tersebut mengenai analisis perbandingan antara traditional costing dan activity based costing dalam perhitungan laba kotor.
2.1.1.
Biaya
2.1.1.1. Konsep Biaya dan Pengertian Biaya Konsep biaya telah berkembang sesuai dengan kebutuhan akuntan, ekonom, dan insinyur. Dalam akuntansi keuangan, biaya disebut juga pengeluaran atau pengorbanan pada tanggal akuisisi yang dicerminkan oleh penyusutan atas kas atau aset lain yang terjadi pada saat ini atau di masa yang akan datang. Pengertian biaya perlu diketahui terlebih dahulu mengingat tujuan akhir dari perusahaan adalah memaksimumkan laba dan akan sangat tergantung pada komponen-komponen biaya tersebut. Seringkali istilah biaya digunakan sebagai sinonim dari beban. Tetapi beban dapat didefinisikan sebagai aliran keluar terukur dari barang atau jasa, yang kemudian dibandingkan dengan pendapatan untuk menentukan laba. 11
12
Menurut Mulyadi (2005:48), dalam arti sempit biaya dapat diartikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva. Sedangkan dalam arti luas, biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Ada empat unsur pokok dalam definisi biaya tersebut diatas : 1.
Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi,
2.
diukur dalam satuan uang,
3.
yang telah terjadi atau yang secara potensial akan terjadi,
4.
pengorbanan tersebut untuk tujuan tertentu. Definisi biaya yang lain dikemukakan oleh Mursyidi (2008:12), yaitu : “Biaya dapat diartikan sebagai suatu pengorbanan yang dapat mengurangi kas atau harta lainnya untuk mencapai tujuan, baik yang dapat dibebankan pada saat ini maupun pada saat yang akan datang.” Charles T. Horngren, et al dalam P. A. Lestari (2006:31,37), menyatakan
bahwa terdapat beberapa istilah dalam biaya, yaitu : 1. 2.
3.
4.
5.
Biaya (cost) sebagai sumber daya yang dikorbankan (sacrificed) atau dilepaskan (forgone) untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya aktual (actual cost) adalah biaya yang terjadi (biaya historis atau masa lalu), yang dibedakan dari biaya yang dianggarkan (budgeted cost), yang merupakan biaya yang diprediksi atau diramalkan (biaya masa depan). Akumulasi biaya (cost accumulation) adalah kumpulan data biaya yang diorganisir dalam beberapa cara dengan menggunakan sarana berupa sistem akuntansi. Pembebanan biaya (cost assignment) adalah istilah umum meliputi, menelusuri akumulasi biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan objek biaya dan mengalokasikan akumulasi biaya yang mempunyai hubungan tidak langsung dengan objek biaya. Pemicu biaya (cost driver) adalah variabel, seperti tingkat aktivitas atau volume, yang menjadi dasar timbulnya biaya dalam rentang waktu tertentu. Artinya, terdapat hubungan sebab-akibat antara perubahan tingkat aktivitas atau volume dengan perubahan tingkat biaya total.
13
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa biaya merupakan suatu pengorbanan tertentu dalam bentuk satuan uang atau nominal yang dikorbankan untuk digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, baik yang telah terjadi atau yang akan terjadi di masa mendatang dalam suatu organisasi.
2.1.1.2. Klasifikasi Biaya Salah satu informasi yang banyak digunakan dalam pengambilan keputusan adalah informasi yang berkenaan dengan biaya. Bilamana seseorang menanyakan sesuatu hal berkaitan dengan biaya (cost), maka reaksi pertama adalah mencari tahu untuk apa informasi biaya tersebut hendak dipergunakan. Menurut William K. Carter dalam Krista (2009:40), klasifikasi biaya yang paling umum digunakan didasarkan pada hubungan antara biaya dengan berikut ini : 1. 2. 3. 4.
Produk Volume produksi Departemen produksi atau segmen lain Periode akuntansi
Berikut penjelasan dari klasifikasi biaya tersebut diatas : 1.
Produk Dalam lingkungan manufaktur, total biaya operasi terdiri atas dua elemen yaitu : a.
Biaya Manufaktur. Biaya manufaktur juga disebut biaya produksi atau biaya pabrik yang biasanya didefinisikan sebagai jumlah dari tiga elemen biaya, yaitu bahan baku langsung, tenaga kerja langsung, dan
14
overhead pabrik. Bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung, keduanya disebut biaya utama (prime cost). Tenaga kerja langsung dan overhead pabrik, keduanya disebut biaya konversi. b.
Beban Komersial. Beban komersial terdiri atas dua klasifikasi umum yaitu beban pemasaran dan beban administratif. Beban pemasaran mulai dari titik di mana biaya manufaktur berakhir, yaitu ketika proses manufaktur selesai dan produk ada dalam kondisi siap dijual. Beban pemasaran termasuk beban promosi, beban penjualan dan pengiriman. Beban administratif termasuk beban yang terjadi dalam mengarahkan dan mengendalikan organisasi.
2.
Volume Produksi Berdasarkan volume produksi, biaya terdiri atas sebagai berikut : a.
Biaya Variabel. Jumlah total biaya variabel berubah secara proporsional terhadap perubahan aktivitas dalam rentang yang relevan. Dengan kata lain, biaya variabel menunjukkan jumlah per unit yang relatif konstan dengan berubahnya aktivitas dalam rentang yang relevan.
Biaya
variabel biasanya memasukkan biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. Biaya overhead yang diklasifikasikan sebagai biaya variabel adalah perlengkapan, biaya penerimaan, peralatan kecil dan lain-lain. b.
Biaya Tetap. Biaya tetap bersifat konstan secara total dalam rentang yang relevan. Dengan kata lain, biaya tetap per unit semakin kecil seiring dengan meningkatnya aktivitas dalam rentang yang relevan.
15
Biaya overhead yang diklasifikasikan sebagai biaya tetap adalah gaji eksekutif produksi, depresiasi, pajak properti dan lain-lain. c.
Biaya Semivariabel. Beberapa jenis biaya memiliki elemen biaya tetap dan biaya variabel yang disebut dengan biaya semivariabel. Misalnya, biaya listrik biasanya adalah biaya semivariabel. Berikut ini adalah contoh-contoh lain dari biaya overhead semivariabel yaitu inspeksi, jasa departemen biaya, jasa departemen penggajian, jasa kantor pabrik, asuransi kompensasi dan pajak penghasilan.
3.
Departemen Produksi atau Segmen Lain Berdasarkan departemen produksi, biaya terdiri atas : a.
Biaya Departemen Produksi. Biaya yang terjadi di departemen produksi merupakan biaya langsung yang dapat ditelusuri ke suatu departemen dimana biaya tersebut berasal. Contohnya gaji dari supervisor departemen.
b.
Biaya Departemen Jasa. Biaya departemen jasa merupakan biaya tidak langsung untuk departemen lain yaitu biaya yang digunakan bersama oleh beberapa departemen yang memperoleh manfaat dari biaya tersebut. Contohnya sewa gedung dan biaya penyusutan gedung.
4.
Periode Akuntansi Berdasarkan hubungannya dengan periode akuntansi maka biaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a.
Pengeluaran
Modal
(Capital
Expenditure).
Pengeluaran
modal
dimaksudkan untuk memberikan manfaat pada periode-periode
16
mendatang dan dilaporkan sebagai aset. Contoh pengeluaran modal yaitu, pengeluaran untuk membeli aktiva tetap, untuk reparasi besar terhadap aktiva tetap, untuk promosi besar-besaran, serta pengeluaran untuk riset dan pengembangan suatu produk. b.
Pengeluaran
Pendapatan
(Revenue
Expenditure).
Pengeluaran
pendapatan adalah biaya yang hanya mempunyai manfaat dalam periode akuntansi terjadinya pengeluaran tersebut.
Pengeluaran
pendapatan memberikan manfaat untuk periode sekarang dan dilaporkan sebagai beban. 5.
Suatu Keputusan, Tindakan, atau Evaluasi Untuk tujuan pengambilan keputusan oleh manajemen data biaya dikelompokkan menjadi : a.
Biaya Relevan. Biaya relevan adalah biaya yang mempengaruhi pengambilan keputusan, oleh karena itu biaya tersebut harus diperhitungkan
didalam
pengambilan
keputusan.
Pengambilan
keputusan dapat berupa pilihan pemilihan dua alternatif atau pemilihan lebih dari dua alternatif. b.
Biaya Tidak Relevan. Biaya tidak relevan adalah biaya yang tidak mempengaruhi pengambilan keputusan, oleh karena itu biaya ini tidak perlu diperhitungkan atau dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
17
Menurut Mulyadi (2005:14), biaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Biaya menurut obyek pengeluaran Dalam cara ini, nama obyek pengeluaran merupakan dasar penggolongan biaya. Misalnya, nama obyek pengeluaran adalah bahan bakar, maka semua pengeluaran yang berhubungan dengan bahan bakar disebut biaya bahan bakar.
2.
Biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan Dalam perusahaan manufaktur ada tiga fungsi pokok, yaitu fungsi produksi, fungsi pemasaran, dan fungsi administrasi dan umum. Oleh karena itu dalam perusahaan manufaktur, biaya dapat dikelompokkan menjadi : a. Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual. b. Biaya pemasaran merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk melaksanakan kegiatan pemasaran produk. c. Biaya administrasi dan umum merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengkoordinasi kegiatan produksi dan pemasaran produk.
3.
Biaya menurut hubungan biaya dengan sesuatu yang dibiayai Dalam hubungannya dengan sesuatu yang dibiayai, biaya dapat dikelompokkan menjadi : a. Biaya langsung (direct cost), yaitu biaya yang terjadi, yang penyebab satu-satunya adalah karena adanya sesuatu yang dibiayai. b. Biaya tidak langsung (indirect cost), yaitu biaya yang terjadinya tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang dibiaya. Biaya tidak langsung dalam hubungannya dengan produk disebut dengan istilah biaya produksi tidak langsung atau biaya overhead pabrik.
4.
Biaya menurut perilakunya dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan Menurut cara penggolongan ini, biaya dapat digolongkan menjadi empat, diantaranya : a. Biaya variabel yaitu biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. b. Biaya semi variabel yaitu biaya yang berubah tidak sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Dalam biaya semi variabel mengandung unsur biaya tetap dan unsur biaya variabel.
18
c.
d.
5.
2.1.2.
Biaya semifixed yaitu biaya yang tetap untuk tingkat volume kegiatan tertentu dan berubah dengan jumlah yang konstan pada volume produksi tertentu. Biaya tetap yaitu biaya yang tetap jumlah totalnya dalam kisar volume kegiatan tertentu. Contohnya biaya gaji direktur produksi.
Biaya menurut jangka waktu manfaatnya Menurut jangka waktu manfaatnya, biaya dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Pengeluaran modal (capital expenditure), yaitu biaya yang mempunyai manfaat lebih dari satu periode akuntansi. b. Pengeluaran pendapatan, yaitu biaya yang hanya mempunyai manfaat dalam periode akuntansi terjadinya pengeluaran tersebut.
Metode Penentuan Harga Pokok Produksi Didalam menentukan harga pokok produksi, biaya yang konvensional
komponen-komponen harga pokok produk terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik, baik yang bersifat tetap maupun variabel. Berikut ini definisi harga pokok menurut Charles T. Horngren, et. al dalam P.A. Lestari (2006:45), yaitu : “Untuk menentukan harga pokok produk yang akan diproduksi oleh suatu perusahaan, tentu harus berdasarkan biaya langsung dari objek dan biaya tidak langsung dari objek. Harga pokok produksi (cost of goods manufactured) adalah biaya yang dibeli untuk proses sampai selesai, baik sebelum maupun selama periode akuntansi berjalan”. Metode penentuan harga pokok produksi adalah cara unsur-unsur biaya kedalam harga pokok produksi. Menurut Mulyadi (2009:19), dalam menentukan harga pokok produksi perusahaan dapat menggunakan dua metode yang biasa disebut metode traditional costing, yaitu :
19
1.
2.
Full Costing Full Costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi kedalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik, baik yang berperilaku variabel maupun tetap ditambah dengan biaya nonproduksi (biaya pemasaran dan biaya administrasi dan umum). Variabel Costing Variabel Costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel kedalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel ditambah dengan biaya nonproduksi variabel (biaya pemasaran variabel dan biaya administrasi dan umum variabel) dan biaya tetap (biaya overhead pabrik tetap, biaya pemasaran tetap dan biaya administrasi dan umum tetap). Menurut William K. Carter dalam Krista (2009:143,173), ada dua jenis
sistem akuntansi biaya yang digunakan untuk menentukan harga pokok, yaitu job order costing (perhitungan biaya berdasarkan pesanan) dan process costing (perhitungan biaya berdasarkan proses). 1.
2.
Job Order Costing Metode harga pokok pesanan adalah cara penentuan harga pokok produksi dimana biaya-biaya produksi dikumpulkan untuk sejumlah produk tertentu, atau suatu jasa yang dapat dipisahkan identitasnya dan yang perlu ditentukan harga pokoknya secara individual. Metode ini tepat digunakan bila produksi terdiri dari atau merupakan pesanan khusus serta waktu yang dikehendaki untuk memproduksi suatu unit produksi relatif panjang dimana harga jual banyak tergantung dari biaya produk. Process Costing Metode ini digunakan untuk barang-barang yang diproduksi melalui cara pengolahan yang berkesinambungan atau melalui proses produksi masal karena unit-unit bahan yang dikerjakan tidak dapat dibedakan satu sama lain selama satu proses pabrikasi atau lebih. Konsep harga pokok tersebut tidak selalu relevan dengan kebutuhan
perusahaan. Karena setiap perusahaan memiliki perbedaan dalam hal teknologi manufaktur, organisasi produksi dan bauran produk, maka konsep perhitungan harga pokok juga akan berbeda. Dalam hal ini, traditional costing dianggap sudah
20
tidak sesuai diterapkan dilingkungan pemanufakturan yang maju, sehingga muncul metode activity based costing sebagai pengganti metode traditional costing (Full/Absorption/Conventional Costing dan Variable/Marginal/Direct Costing).
2.1.3.
Traditional Costing System
2.1.3.1. Pengertian Traditional Costing System Supriyono (2007:263) menjelaskan bahwa : “sistem biaya tradisional adalah sistem biaya yang hanya membebankan biaya pada produk sebesar biaya produksinya.” Hal ini sangat berbeda dengan konsep value chain yang membebankan biaya pada produk sebesar biaya dalam pembentukan rangkaian nilai. Oleh karena itu menurutnya dalam sistem tradisional, biaya terdiri atas tiga elemen, yaitu biaya bahan baku (BBB), biaya tenaga kerja langsung (BTKL), dan biaya overhead pabrik (BOP). Perhitungan biaya produksi pada sistem biaya tradisional hanya membebankan biaya produksi pada produk. Biaya bahan baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung dapat di bebankan ke produk dengan menggunakan penelusuran langsung atau penelusuran penggerak yang sangat akurat. Biaya overhead sebaliknya, memiliki masalah yang berbeda. Hubungan input dan output yang dapat di observasi secara fisik antara tenaga kerja langsung, bahan baku langsung, dan produk tidak tersedia untuk biaya overhead. Oleh karena itu, pembebanan overhead harus tergantung pada penelusuran pergerakan dan lokasi.
21
Perhitungan biaya produk dalam sistem biaya tradisional menggunakan penggerak aktivitas tingkat unit (unit-activity cost drivers). Hansen dan Mowen dalam Dewi Fitriasari dan Deny Arnos Kwary (2006:142), menjelaskan bahwa : “Penggerak aktivitas tingkat unit adalah faktor yang menyebabkan perubahan dalam biaya seiring dengan perubahan jumlah unit yang diproduksi.” Contoh penggerak aktivitas tingkat unit yang pada umumnya digunakan untuk membebankan overhead meliputi: unit yang diproduksi, jam tenaga kerja langsung, biaya tenaga kerja langsung, jam mesin, dan biaya bahan baku langsung. Akibat pengalokasian biaya dalam sistem biaya tradisional mengalami distorsi, khususnya pada perusahaan yang menghasilkan multi produk. Setiap produk mengalami perbedaan dalam penanganan dan konsumsi sumber daya dan aktivitas.
2.1.3.2. Pengelompokkan Traditional Costing System Menurut Mulyadi (2000:381, 415), traditional costing (konventional costing) dapat dikelompokkan menjadi tiga sistem, yaitu : 1.
2.
Actual Cost System (Sistem Biaya Sesungguhnya) Yaitu sistem pembebanan harga pokok kepada produk atau pesanan yang dihasilkan sesuai dengan harga pokok yang sesungguhnya dinikmati. Pada sistem ini, harga pokok produksi baru dapat dihitung pada akhir periode setelah biaya sesungguhnya dikumpulkan. Standart Cost System (Sistem Biaya Standar) Yaitu sistem pembebanan harga pokok kepada produk atau pesanan yang dihasilkan sebesar harga pokok yang telah ditentukan/ditaksir sebelum suatu produk atau pesanan dikerjakan.
22
3.
Estimated Cost System (Sistem Biaya Taksiran) Yaitu sistem pembebanan biaya kepada produk yang menggunakan suatu bentuk biaya-biaya yang ditentukan dimuka dalam menghitung harga pokok produk yang diproduksi.
Selain itu, Mulyadi (2009:17, 122) juga menjelaskan bahwa dalam traditional costing terdapat dua metode pendekatan, yaitu full costing dan variabel costing. 1. Full costing atau sering disebut absorption atau conventional costing penentuan harga pokok produksi, yang membebankan seluruh biaya produksi, baik yang berperilaku tetap maupun variabel kepada produk. 2. Variabel costing merupakan metode penentuan kos (cost) produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam kos (cost) produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik variabel.
2.1.3.3. Keterbatasan Traditional Costing System Informasi yang diperlukan manajemen dalam era persaingan global sangatlah kompleks apabila didukung dengan digunakannya teknologi manufaktur maju dalam proses produksi. Penggunaan traditional costing system tidak dapat lagi memberikan informasi yang benar-benar dapat dipercaya dalam hal penerapannya. Sistem biaya tradisional semakin sulit untuk dapat diterima sebagai penyaji informasi yang benar. Jika sistem biaya tradisional tidak diubah maka akan terjadi kesenjangan antara informasi yang disediakan oleh sistem biaya tradisional dengan informasi yang diperlukan manajemen untuk menghadapi persaingan global dan perubahan lingkungan. Hal ini disebabkan karena sistem biaya tradisional memiliki kelemahan-kelemahan yang tidak dapat menunjang penggunaan teknologi pemaknufakturan maju.
23
Tarif pabrik menyeluruh dan tarif departemental telah digunakan beberapa dekade dan terus digunakan secara sukses. Namun pada beberapa situasi tarif tersebut menimbulkan distorsi yang dapat membuat stress perusahaan yang berproduksi dalam lingkungan produksi canggih (advanced manufacturing environnment). Beberapa kelemahan dari sistem biaya tradisional menurut Garrison dan Noreen dalam A. Totok Budisantoso (2000:319), diantaranya sebagai berikut : a.
b.
Sistem biaya produksi tradisional dapat mengakibatkan biaya pembuatan keputusan terdistorsi. Seluruh biaya produksi, meskipun tidak disebabkan oleh produk tertentu dialokasikan ke produk. Sistem biaya tradisional juga membebankan biaya kapasitas menganggur ke produk. Akibatnya, produk dibebani oleh sumber daya yang sebenarnya tidak digunakan. Dalam menghitung biaya produksi khususnya biaya overhead pabrik, metode ini menggunakan tarif tunggal. Jam tenaga kerja langsung merupakan salah satu dasar alokasi yang sering digunakan. Hal ini tidak akan bermasalah jika biaya upah langsung memiliki proporsi yang signifikan dari total biaya produksi. Yang menjadi masalah adalah jika meningkatnya otomatisasi dalam proses produksi sehingga biaya tenaga kerja tidak lagi signifikan dalam menghasilkan produk.
Supriyono
(2007:268)
menjelaskan
bahwa
dalam
lingkungan
pemanufakturan maju, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan sistem biaya tradisional tidak mampu membebankan biaya overhead pabrik secara teliti pada produk, yaitu : a. b. c.
Produk yang dihasilkan berapa jenis, biaya overhead pabrik berlevel non-unit jumlahnya relatif besar, diversitas produk-produk relatif tinggi.
Ketiga faktor tersebut mengharuskan manajemen untuk mengganti sistem biaya tradisional dengan sistem activity based costing.
24
2.1.3.4. Kalkulasi Biaya Produk Berdasarkan Traditional Costing System Berkaitan dengan masalah kalkulasi biaya produk, berdasarkan sistem biaya tradisional ini Supriyono (2007:263) menjelaskan bahwa : “sistem biaya tradisional hanya membebankan biaya pada produk sebesar biaya produksinya. Hal ini sangat berbeda dengan konsep valuechain yang membebankan biaya pada produk sebesar biaya dalam pembentukan rangkaian nilai.” Oleh karena itu menurutnya dalam sistem biaya tradisional, biaya produk terdiri atas tiga elemen, yaitu : a.
Biaya bahan baku (BBB),
b.
biaya tenaga kerja langsung (BTKL),
c.
biaya overhead pabrik (BOP). Kalkulasi biaya produk tradisional hanya membebankan biaya produksi
pada produk. Pembebanan biaya utama ke produk tidak memiliki kesulitan, karena dapat menggunakan penelusuran langsung atau penelusuran penggerak yang sangat akurat. Tetapi sebaliknya, biaya overhead memiliki masalah dalam pembebanan biaya ke produk, karena hubungan antara masukan dan keluaran tidak dapat diobservasi secara fisik. Dalam traditional costing system, untuk pembebanan biaya ke produk digunakan penggerak aktivitas tingkat unit (unit level drivers), karena ini merupakan faktor yang menyebabkan perubahan biaya sebagai akibat perubahan unit yang diproduksi. Contoh penggerak tingkat unit yang secara umum digunakan untuk membebankan biaya overhead pabrik meliputi :
25
a.
Unit yang diproduksi
b.
Jam tenaga kerja langsung
c.
Biaya tenaga kerja langsung
d.
Jam mesin Setelah
mengidentifikasi
penggerak
(driver)
tingkat
unit,
lalu
memprediksi tingkat keluaran aktivitas yang diukur oleh penggerak tersebut, yaitu apakah berdasarkan aktivitas aktual yang diharapkan (expected activity level) dan aktivitas normal (normal activity level). Expected activity level adalah output aktivitas yang diharapkan dicapai oleh perusahaan pada tahun yang akan datang, sedangkan normal activity level adalah output aktivitas rata-rata yang merupakan pengalaman perusahaan dalam jangka panjang. Aktivitas normal mempunyai keunggulan berupa penggunaan tingkat aktivitas yang sama dari tahun ke tahun, sehingga pembebanan overhead ke produk tidak begitu berfluktuasi.
2.1.4.
Activity Based Costing System
2.1.4.1. Pengertian Activity Based Costing Istilah Activity Based Costing (ABC) bukan merupakan istilah baru dan pengertian activity based costing ini sudah banyak dibahas dalam buku akuntansi khususnya akuntansi manajemen. Activity based costing system mengendalikan biaya melalui penyediaan informasi tentang aktivitas yang menjadi penyebab timbulnya biaya. Menurut Mulyadi (2003:52), dasar pikiran yang melandasi activity based costing system ini adalah :
26
1.
2.
Cost is caused Biaya ada penyebabnya dan penyebab biaya adalah aktivitas. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang aktivitas yang menjadi timbulnya biaya akan menempatkan personel perusahaan pada posisi yang dapat mempengaruhi biaya. The causes of cost can be managed Penyebab terjadinya biaya (yaitu aktivitas) dapat dikelola. Melalui pengelolaan terhadap aktivitas yang menjadi penyebab terjadinya biaya, personel perusahaan dapat mempengaruhi biaya.
Gambar mengenai dasar pikiran yang melandasi activity based costing ditunjukkan pada Gambar 2.1 dibawah ini :
Keyakinan Dasar ABC System : “Biaya Ada Penyebabnya” Titik Pusat ABC System
Sumber Daya
Aktivitas
Cost Object
“Dan penyebab biaya dapat dikelola” (Sumber : Mulyadi, 2003:52) Gambar 2.1 Keyakinan Dasar ABC System Dibawah ini beberapa pengertian activity based costing menurut para ahli seperti yang diuraikan berikut. Menurut Garrison dan Noreen dalam A. Totok Budisantoso (2000:321), activity based costing adalah :
27
“Metode costing yang mendasarkan pada aktivitas yang didesain untuk memberikan informasi biaya kepada para manajer untuk membuat keputusan stratejik dan keputusan lain yang mempengaruhi aktivitas dan biaya tetap”. Definisi lain yang dikemukakan oleh Mulyadi (2003:40), yaitu : “Activity based costing adalah sistem informasi yang berorientasi pada penyediaan informasi lengkap tentang aktivitas untuk memungkinkan personel perusahaan melakukan pengelolaan terhadap aktivitas. Sistem informasi ini menggunakan aktivitas sebagai basis serta pengurangan biaya dan penentuan secara akurat biaya produk atau jasa sebagai tujuan. Sistem informasi diterapkan dalam perusahaan manufaktur, jasa dan dagang”. William K. Carter dalam Krista (2009:528), berpendapat bahwa : “Activity based costing system adalah suatu sistem perhitungan biaya dimana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan menggunakan dasar yang mencakup satu atau lebih faktor yang tidak berkaitan dengan volume (non-volume-related factor).” Hansen dan Mowen dalam Dewi Fitriasari dan Deny Arnos Kwary (2006:153), menjelaskan bahwa : “fokus utama activity based costing adalah aktivitas. Mengidentifikasi biaya aktivitas dan kemudian ke produk merupakan langkah dalam menyusun activity based costing system.” Activity based costing mengakui hubungan sebab akibat atau hubungan langsung antara biaya sumber daya, penggerak biaya, aktivitas, dan objek biaya dalam membebankan biaya pada aktivitas dan kemudian pada objek biaya. Berikut hubungan langsung atau hubungan sebab akibat dalam activity based costing ditunjukkan pada Gambar 2.2 dibawah ini :
28
Biaya Sumber Daya Pembebanan Biaya Aktivitas Pembebanan Biaya Produk (Sumber : Hansen dan Mowen, 2006:154) Gambar 2.2 Hubungan Sebab Akibat dalam Activity Based Costing Selain itu, Supriyono (2007:269) juga menjelaskan pengertian dari activity based costing system dan berusaha membedakan antara activity based costing dengan sistem tradisional ini. Dalam hal ini dijelaskan bahwa : “Sistem ABC adalah sistem yang terdiri dari dua tahap yaitu pertama melacak biaya pada berbagai aktivitas dan kemudian ke berbagai produk...baik pada sistem tradisional maupun activity based costing system, tahap kedua meliputi pelacakan biaya ke berbagai produk. Perbedaan prinsip perhitungan diantara kedua metode tersebut adalah jumlah cost driver yang digunakan. Sistem ABC menggunakan cost driver dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan sistem tradisional yang hanya menggunakan satu atau dua cost driver berdasarkan unit”. Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa activity based costing system merupakan suatu konsep akuntansi biaya yang berdasarkan atas pemikiran bahwa produk mengkonsumsi aktivitas dan aktivitas menimbulkan biaya. Activity based costing system ini dirancang sedemikian rupa sehingga setiap biaya yang tidak dapat dialokasikan secara langsung kepada produk, dibebankan kepada produk berdasarkan aktivitas dan biaya dari setiap aktivitas
29
kemudian dibebankan kepada produk berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas tersebut.
2.1.4.2. Karakteristik Activity Based Costing Activity based costing system merupakan suatu sistem pencatatan akuntansi yang menekankan pada pembebanan biaya produk berdasarkan aktivitas yang dilakukan untuk memproduksi produk tersebut. Sebelum membahas mengenai karakteristik dari activity based costing system, perlu dipahami terlebih dahulu beberapa istilah yang berhubungan dengan sistem tersebut. Adapun beberapa istilah tersebut, antara lain : a.
Aktivitas, yaitu peristiwa, tugas atau satuan pekerjaan dengan tujuan tertentu (Mulyadi, 2003:9).
b.
Sumber daya, yaitu unsur ekonomis yang dibebankan atau digunakan dalam pelaksanaan aktivitas.
c.
Objek biaya, yaitu sesuatu yang menjadi tujuan pengukuran dan pembebanan biaya (Mulyadi, 2003:42).
d.
Cost driver, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan perubahan biaya aktivitas dan merupakan faktor yang dapat diukur, yang digunakan untuk membebankan biaya ke aktivitas dan dari aktivitas yang satu ke aktivitas yang lainnya. Mulyadi (2003:50) menjelaskan bahwa activity based costing system
yang didesain untuk diolah dengan teknologi informasi, memiliki karakteristik sebagai berikut :
30
a.
b. c. d.
Data biaya dan operasi dalam akun multidimensi. Paling tidak ada empat dimensi yang dicakup dalam catatan : pusat pertanggungjawaban, aktivitas, jenis biaya, dan produk. Data biaya dan data operasi disediakan dalam shared database yang dapat diakses oleh karyawan dan manajer. Informasi yang dihasilkan tidak terbatas pada informasi keuangan, tetapi mencakup pula informasi operasional. Informasi yang dihasilkan bersifat multidimensional.
2.1.4.3. Manfaat Activity Based Costing Menurut Hartanto dan Zulkifli (2003:45), penentuan harga pokok produksi dengan menggunakan activity based costing memberikan beberapa kelebihan, diantaranya sebagai berikut : a.
b.
c.
Menyajikan cost produk yang lebih akurat dan informatif, yang mengarahkan kepada pengukuran profitabilitas produk yang lebih akurat dan kepada keputusan stratejik yang lebih baik tentang penentuan harga jual, lini produk dan pengeluaran modal. Menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang dipicu oleh adanya aktivitas, hal ini dapat membantu manajemen untuk meningkatkan nilai produk dan nilai proses dengan membuat keputusan yang lebih baik tentang desain produk dan pengendalian cost secara lebih baik. Memudahkan manajer memberikan informasi tentang cost relevan untuk pembuatan keputusan.
Blocher, et. al yang dialihbahasakan oleh Tim Penerjemah Penerbit Salemba (2007:232), menjelaskan manfaat dari activity based costing system, yaitu : 1.
2.
Pengukuran profitabilitas yang lebih baik Activity based costing menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informatif, mengarahkan pada pengukuran profitabilitas produk yang lebih akurat dan keputusan strategi yang di informasikan dengan lebih baik tentang penetapan harga jual, lini produk, dan segmen pasar. Keputusan dan kendali yang lebih baik Activity based costing menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang timbul karena dipicu oleh aktivits, membantu
31
3.
manajemen untuk meningkatkan nilai produk dan nilai proses dengan membuat keputusan lebih baik tentang desain produk, mengendalikan biaya secara lebih baik dan membantu perkembangan proyek-proyek yang meningkatkan nilai. Informasi yang lebih baik untuk mengendalikan biaya kapasitas Activity based costing membantu manajer mengidentifikasi dan mengendalikan biaya kapasitas yang tidak terpakai.
Sandra Cohen, et. al (2005:983) dalam Tim Salemba Empat mencatat bahwa
perusahaan-perusahaan
yang
telah
mengadopsi
sistem
ABC
mengungkapkan salah satu manfaat yang dirasakan utama untuk menerapkan ABC adalah informasi biaya yang lebih akurat untuk perhitungan biaya produk. Alasan lainnya yang membenarkan adopsi ABC ditingkatkan pengendalian biaya, pengurangan biaya, lebih akurat alokasi biaya tidak langsung, wawasan ditingkatkan menjadi penyebab biaya, identifikasi biaya kegiatan dan peningkatan efisiensi operasional. Selain alasan diatas, keputusan untuk melaksanakan ABC sering didorong oleh perlunya meningkatkan analisis profitabilitas, untuk mendapatkan informasi biaya yang lebih akurat untuk harga atau untuk menyiapkan anggaran yang relevan. Dari berbagai sumber diatas, dapat dikatakan bahwa activity based costing system ini memiliki berbagai macam manfaat. Selain digunakan untuk memberikan perhitungan secara akurat, activity based costing juga memberikan kemudahan untuk menghitung biaya berdasarkan aktivitasnya. Activity based costing ini merupakan suatu cara untuk memperbaiki sistem biaya tradisional yang dalam pelaksanaannya masih terjadi kesalahan dan kurang akurat. Sehingga activity based costing bertujuan memberikan keakuratan dalam perhitunganperhitungan biaya, terutama dalam menghitung harga pokok produksi.
32
2.1.4.4. Keunggulan Activity Based Costing Beberapa keunggulan dari activity based costing seperti yang dirangkum oleh Raja Untung (05 Desember 2011) dalam tulisannya yang berjudul Keunggulan Activity Based Costing dalam penentuan biaya produksi, adalah sebagai berikut : a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Biaya produk yang lebih realistik, khususnya pada industri manufaktur berteknologi tinggi dimana biaya overhead pabrik merupakan proporsi yang signifikan dari total biaya. Semakin banyak biaya overhead pabrik yang dapat ditelusuri ke produk. Dalam pabrik yang modern, terdapat sejumlah aktivitas non lantai pabrik yang berkembang. Analisis activity based costing system itu sendiri memberi perhatian pada semua aktivitas sehingga biaya aktivitas yang non lantai pabrik dapat ditelusuri. Activity based costing system mengakui bahwa aktivitaslah yang menyebabkan biaya (activities cause cost), bukan produk, dan produklah yang mengkonsumsi aktivitas. Activity based costing system memfokuskan perhatian pada sifat riil dari perilaku biaya dan membantu dalam mengurangi biaya dan mengidenfikasi aktivitas yang tidak menambah nilai terhadap produk. Activity based costing system mengakui kompleksitas dari diversitas produksi yang modern dengan menggunakan banyak pemicu biaya (multiple cost driver). Banyak dari pemicu biaya tersebut adalah berbasis transaksi (transaction-based) dari pada berbasis volume produk. Activity based costing system memberikan suatu indikasi yang dapat diandalkan dari biaya produk variabel jangka panjang (long run variable product cost) yang relevan terhadap pengambilan keputusan yang stratejik. Activity based costing system cukup fleksibel untuk menelusuri biaya ke proses, pelanggan, area tanggung jawab manajerial, dan juga biaya produk.
33
2.1.4.5. Keterbatasan Activity Based Costing Meskipun
activity
based costing system
menawarkan alternatif
penelusuran biaya ke satuan produk secara lebih baik, sistem ini juga memiliki beberapa keterbatasan yang harus diperhitungkan oleh manajer sebelum mengimplementasikannya untuk menghitung biaya produk seperti dikemukakan Blocher et. al dalam A. Susty Ambarriani (2000:128), yaitu : a.
b.
c.
Alokasi. Bahkan jika data aktivitas tersedia, beberapa biaya mungkin membutuhkan alokasi ke departemen atau produk berdasarkan ukuran volume yang arbiter sebab secara praktis tidak dapat ditemukan aktivitas yang dapat menyebabkan biaya tersebut. Contohnya beberapa biaya untuk mempertahankan aktivitas, seperti aktivitas membersihkan pabrik dan pengelolaan proses produksi. Mengabaikan biaya. Keterbatasan lain dari activity based costig system adalah beberapa biaya yang diidentifikasikan pada produk tertentu diabaikan dari. analisis Aktivitas yang biayanya sering diabaikan adalah pemasaran, advertensi, riset dan pengembangan, rekayasa produk, dan klaim garansi. Tambahan biaya secara sederhana ditambahkan ke biaya produksi untuk menentukan biaya produk total. Secara tradisional, biaya produk karena persyaratan pelaporan keuangan yang dikeluarkan oleh GAAP mengharuskan memasukkannya ke dalam biaya periode. Pengeluaran dan waktu yang dikonsumsi. Activity based costing system sangat mahal untuk dikembangkan dan diimplementasikan. Disamping itu juga membutuhkan waktu yang banyak. Seperti sebagian besar sistem akuntansi dan manajemen yang inovatif, biasanya diperlukan waktu lebih dari satu tahun untuk mengembangkan dan mengimplementasikan activity based costing system dengan sukses.
2.1.4.6. Prosedur Dalam Penerapan Activity Based Costing System Berikut ini merupakan prosedur-prosedur yang perlu dilakukan dalam penerapan activity based costing system menurut Simamora (2002:297, 306), yaitu :
34
a.
Prosedur tahap pertama Pada tahap pertama penentuan harga pokok berdasarkan aktivitas meliputi empat langkah sebagai berikut : 1. Penggolongan berbagai aktivitas, 2. menghubungkan biaya dengan aktivitas, 3. penentuan kelompok-kelompok biaya (cost pool) yang homogen, 4. penentuan tarif kelompok (pool rate).
b.
Prosedur Tahap Kedua Didalam tahap yang kedua, biaya-biaya dari setiap overhead pool ditelusuri kembali ke hasil produksi. Ini dilakukan dengan menggunakan pool rates yang dihitung dalam tahap pertama dan dengan mengukur jumlah sumber-sumber yang digunakan oleh setiap hasil produksi. Pengukuran ini hanyalah jumlah dari activity driver yang digunakan oleh setiap hasil produksi. Dapat dihitung sebagai berikut : Overhead yang dibebankan = Tarif kelompok x unit cost driver yang digunakan Berikut adalah penjelasan prosedur tahap pertama dalam penerapan
activity based costing system, yaitu : Langkah pertama dalam prosedur tahap pertama ABC adalah penggolongan berbagai aktivitas. Berbagai aktivitas diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yang mempunyai suatu interpretasi fisik yang mudah dan jelas serta cocok dengan segmen-segmen proses produksi yang dapat dikelola. Setelah menggolongkan berbagai aktivitas, maka langkah kedua adalah menghubungkan berbagai biaya dengan setiap aktivitas. Setelah itu, langkah ketiga adalah penentuan kelompok-kelompok biaya yang homogen yang ditentukan. Kelompok biaya homogen, (homogenous cost pool) adalah sekumpulan biaya overhead yang terhubungkan secara logis dengan tugastugas yang dilaksanakan dan berbagai macam biaya tersebut dapat diterangkan oleh cost driver tunggal. Dengan kata lain suatu kelompok biaya dapat dikatakan homogen apabila aktivitas-aktivitas overhead dapat dihubungkan secara logis dan
35
mempunyai rasio konsumsi yang sama untuk semua produk. Rasio konsumsi yang sama menunjukkan eksistensi dari sebuah cost driver. Jika kelompok-kelompok biaya yang homogen telah ditentukan, maka langkah terakhir adalah penentuan tarif kelompok. Tarif kelompok (pool rates) adalah tarif biaya overhead per unit cost driver yang dihitung untuk suatu kelompok aktivitas.
Selain itu, Mursyidi (2008:286) juga menjelaskan bahwa : “tahapan dalam activity based costing system dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama penelusuran biaya overhead pabrik ke aktivitas-aktivitas, bukan ke unit organisasi. Tahap ini dilakukan setelah teridentifikasi pemicu-pemicu (drivers) sumber daya. Tahap kedua, membebankan biaya aktivitas pada produk”. Tahapan activity based costing system dapat dilihat pada Gambar 2.3 dibawah ini : Tahap Satu
Resources Drivers
Sumber Daya
Jenis Biaya Sumber Daya
AktivitasAktivitas
Tahap Dua
Pool Aktivitas
Direct Tracing Biaya Aktivitas
(Sumber : Mursyidi, 2008:286) Gambar 2.3 Tahapan Dalam Activity Based Costing System
Produk
Pemicu Aktivitas
36
Prosedur tahap satu, sumber daya dikumpulkan dan diidentifikasi biayanya kemudian dikelompokkan dalam beberapa kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama. Biaya tersebut ditelusuri berdasarkan aktivitasnya dan diklasifikasikan berdasarkan jenis kegiatan atau pekerjaan. Untuk tujuan perhitungan tarif biaya overhead pabrik, setiap aktivitas harus didefinisikan secara jelas, dengan cara penelusuran langsung ke pemicu sumber dayanya (sources drivers). Agar tarif overhead tidak terlalu banyak, maka harus dilakukan pengelompokkan berdasarkan karakteristik yang sama. Hasil pengelompokkan ini disebut cost pool, dan tarif biaya overhead dinamakan tarif pool (pool rate). Penentuan jumlah pool biaya disesuaikan dengan kondisi dan kebijakan perusahaan (manajemen). Prosedur tahap dua merupakan tahap pembebanan biaya overhead pabrik ke harga pokok produk, dengan formula tarif pool dikalikan dengan unit driver yang dikonsumsi oleh produk yang dihasilkan. Menurut Blocher et. al dalam Tim Penerjemah Penerbit Salemba (2007:227-232), langkah-langkah dalam merancang perhitungan activity based costing terdapat tiga tahapan, yaitu sebagai berikut : 1.
Mengidentifikasi biaya sumber daya dan aktivitas Langkah pertama dalam merancang sistem activity based costing adalah melakukan analisis untuk mengindentifikasi biaya sumber daya dan aktivitas perusahaan. Melalui analisis aktivitas, perusahaan mengidentifikasi pekerjaan yang dilakukan untuk menjalankan operasi perusahaan. Analisis aktivitas meliputi pengumpulan data dari dokumen dan catatan yang ada serta pengumpulan data tambahan dengan menggunakan daftar daftar pertanyaan, observasi, dan wawancara.
37
2.
Membebankan biaya sumber daya pada aktivitas Activity based costing menggunakan penggerak biaya konsumsi sumber daya untuk membebankan biaya sumber daya ke aktivitas. Karena aktivitas memicu timbulnya biaya dari sumber daya yang digunakan dalam operasi, suatu perusahaan harus memilih penggerak biaya konsumsi sumber daya berdasarkan hubungan sebab-akibat. Biaya sumber daya dapat dibebankan ke aktivitas dengan cara menelusuri secara langsung dan mengestimasi. Penelusuran langsung membutuhkan pengukuran pemakaian sumber daya aktual oleh aktivitas. Jika pengukuran secara langsung tidak dapat dilakukan, manajer atau departemen supervisor harus mengestimasi jumlah persentase.
3.
Membebankan biaya aktivitas pada objek biaya Langkah terakhir adalah membebankan biaya aktivitas atau tempat penampungan biaya aktivitas pada output berdasarkan penggerak biaya konsumsi aktivitas yang tepat. Output disini adalah objek biaya dari aktivitas yang dilakukan perusahaan atau organisasi. Penggerak biaya aktivitas bisa berupa jumlah pesanan pembelian, jam kerja langsung, jam mesin, jam set-up, dan waktu siklus.
2.1.4.7. Hirarki Biaya Pada Activity Based Costing System Untuk melakukan kalkulasi biaya, sistem ABC mengenal apa yang disebut dengan hirarki biaya, yaitu pengelompokkan biaya menjadi cost pool yang berbeda atas dasar jenis pemicu biaya yang berbeda pula dan didasarkan pada alasan kesulitan penetapan hubungan sebab-akibat antara sumber daya dengan aktivitas dan produk. Menurut Mursyidi (2008:288), hirarki biaya dalam sistem ABC terbagi dalam empat tingkatan, yaitu : “biaya tingkat unit output (output unit-level cost), biaya tingkat batch (batch-level cost), biaya pendukung produk (product-sustaining cost), dan biaya pendukung fasilitas (facility-sustaining cost)”.
38
Berikut adalah penjelasan dari empat tingkatan hirarki biaya dalam sistem activity based costing, yaitu : a.
Biaya Tingkat Unit Output (Output Unit-level cost) Biaya tingkat unit merupakan biaya aktivitas yang dilaksanakan atas setiap unit produk atau jasa individual atau sumber daya yang berhubungan langsung dengan satuan unit produk atau jasa. Jika produk meningkat maka penggunaan sumber daya ini meningkat, misalnya biaya manufaktur yang berkaitan dengan energi, depresiasi mesin, pemeliharaan dan perbaikan mesin adalah sumber daya yang terkait langsung dengan aktivitas pembuatan setiap jenis produk. Biaya ini akan meningkat penggunaannya seiring dengan peningkatan produk atau jasa yang dihasilkan.
b.
Biaya Tingkat Batch (Batch-level cost) Biaya tingkat batch adalah aktivitas yang dikerjakan setiap kali suatu batch produk diproduksi, besar kecilnya aktivitas ini dipengaruhi oleh jumlah batch produk yang diproduksi. Perhitungan tarif dalam satu batch-level cost dapat lebih dari satu sesuai dengan hasil analisis korelasi antara sumber daya/aktivitas dengan yang dibiayai, misalnya biaya set-up dibebankan atas dasar jam mesin, sedangkan biaya penanganan bahan dibebankan atas dasar order pembelian.
c.
Biaya Pendukung Produk (Product (or services)-sustaining cost) Biaya pendukung produk adalah sumber daya yang terkait dengan aktivitas untuk mendukung pembuatan satuan produk atau jasa secara individual, misalnya aktivitas perancangan (desain) suatu produk harus dilakukan untuk
39
setiap jenis produk secara sendiri-sendiri. Ini memerlukan biaya tersendiri pula, terutama untuk setiap produk pesanan. Biaya ini dibebankan ke harga pokok produk dengan tarif yang sesuai dengan aktivitas desain, dapat berupa luas lantai (jika bangunan). d.
Biaya Pendukung Fasilitas (Facility-sustaining cost) Biaya pendukung fasilitas, merupakan sumber daya yang terkait dengan aktivitas yang tidak dapat ditelusuri langsung (untraceable) ke satuan produk atau jasa secara individual, bahkan aktivitas yang mendukung satuan organisasi secara keseluruhan, misalnya biaya administrasi umum (termasuk sewa dan keamanan gedung). Jadi, facility-sustaining cost adalah aktivitas yang memungkinkan atau memberikan tempat dan waktu untuk terjadinya proses produksi dan penyerahan barang atau jasa. Biaya dari aktivitas ini bebas dan tidak dipengaruhi oleh volume produksi dan komposisi produk yang diproduksi.
2.1.5.
Perbandingan Metode Traditional Costing dan Activity Based Costing William K. Carter dalam Krista (2009:532), menjelaskan perbandingan
antara metode Activity Based Costing dengan metode Traditional Costing, diantaranya sebagai berikut : a.
b.
Sistem ABC mengharuskan penggunaan tempat penampungan overhead lebih dari satu, tetapi tidak setiap sistem dengan tempat penampungan biaya dari satu adalah sistem ABC. Jumlah tempat penampungan biaya overhead dan dasar alokasi cenderung lebih banyak di sistem ABC, tetapi hal ini sebagian besar disebabkan karena banyak sistem tradisional menggunakan satu tempat penampungan biaya atau satu dasar alokasi untuk semua tempat penampungan biaya. Perbedaan tersebut tidaklah bersifat
40
c.
d.
universal. Suatu sistem dapat menggunakan banyak tempat penampungan overhead dan dasar alokasi, tetapi jika semua dasar alokasinya adalah tingkat unit, maka sistem tersebut adalah sistem tradisional dan bukan ABC. Perbedaan umum antara sistem ABC dan sistem tradisional adalah homogenitas dari biaya dalam satu tempat penampungan biaya. ABC mengharuskan perhitungan tempat penampungan biaya suatu aktivitas, maupun identifikasi suatu pemicu aktivitas untuk setiap aktivitas yang signifikan dan mahal. Akibatnya, orang lebih berhatihati dalam membentuk beberapa tempat penampungan biaya dalam sistem ABC dibandingkan dalam perhitungan biaya tradisional. Hasil yang biasa ditemukan adalah bahwa semua biaya dalam satu tempat penampungan biaya aktivitas sangat serupa dalam hal hubungan logis antara biaya-biaya tersebut dengan pemicu aktivitas, sementara hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk kebanyakan sistem tradisional. Perbedaan lain antara sistem ABC dan sistem tradisional adalah bahwa semua sistem ABC merupakan sistem perhitungan biaya dua tahap, sementara sistem tradisional bisa merupakan sistem perhitungan satu atau dua tahap. Ditahap pertama sistem ABC, tempat penampungan biaya aktivitas dibentuk ketika biaya sumber daya dialokasikan ke aktivitas berdasarkan pemicu sumber daya. Ditahap kedua, biaya aktivitas dialokasikan dari tempat penampungan biaya aktivitas ke produk atau objek biaya final lainnya. Sedangkan, dalam sistem biaya tradisional menggunakan dua tahap hanya apabila jika departemen atau pusat biaya lain dibuat. Biaya sumber daya dialokasikan ke pusat biaya ditahap pertama, dan kemudian biaya dialokasikan dari pusat biaya kr produk ditahap kedua. Beberapa sistem tradisional hanya terdiri dari satu tahap karena sistem tersebut tidak menggunakan pusat biaya yang terpisah, tetapi tidak ada sistem ABC yang hanya terdiri dari satu tahap.
Perbedaan yang paling mendasar pada kedua sistem atau metode ini yaitu terletak pada proses identifikasi setiap aktivitas atau transaksi sebelum dibebankan kepada suatu produk.
41
2.1.6.
Laba Kotor
2.1.6.1. Pengertian Laba Salah satu tujuan pokok kegiatan perusahaan adalah untuk memperoleh laba yang optimal. Laba yang diperoleh perusahaan merupakan tolok ukur yang dipakai oleh pihak manajemen, pemodal dan kreditor untuk mengevaluasi prospek perusahaan di masa yang akan datang. Pengertian laba secara umum merupakan selisih dari pendapatan di atas biaya-biayanya dalam jangka waktu (perioda) tertentu. Menurut Soemarso (2004:245), laba adalah selisih lebih pendapatan atas beban sehubungan dengan usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut selama periode tertentu. Harahap (2007:299), mendefinisikan laba sebagai : “perbedaan antara realisasi penghasilan yang berasal dari transaksi perusahaan pada periode tertentu dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan itu”. Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan laba adalah selisih lebih pendapatan atas biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendapatkan penghasilan selama periode tertentu. Dalam perusahaan manufaktur laba diperoleh dari selisih antara penjualan bersih dan harga pokok penjualan dikurangi dengan biaya-biaya lainnya. Laba atau rugi perusahaan sering dimanfaatkan sebagai ukuran untuk menilai prestasi perusahaan atau sebagai dasar ukuran penilaian yang lain, seperti laba per lembar saham. Unsur-unsur yang menjadi bagian pembentuk laba adalah
42
pendapatan dan biaya. Dengan mengelompokkan unsur-unsur pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran laba yang berbeda antara lain: laba kotor, laba operasional, laba sebelum pajak, dan laba bersih. Konsep laba pada ekonomi berbeda dengan konsep laba pada akuntansi. Laba pada ekonomi memiliki pengertian bahwa laba diperoleh dengan membandingkan laba periode sebelumnya dengan laba periode sekarang. Dengan kata lain, laba menurut ekonomi menganut suatu konsep perbandingan antara jumlah kekayaan bersih pada akhir periode dengan jumlah kekayaan bersih pada awal periode. Sedangkan laba pada akuntansi memiliki pengertian perbandingan antara pendapatan dan biaya dalam satu periode akuntansi. Menurut Soemarso (2004:234), ada empat jenis laba yang biasa digunakan dalam akuntansi, yaitu : 1. 2. 3.
4.
Laba kotor (gross profit) adalah penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan. Laba operasi (income from operation) adalah laba yang diperoleh semata-mata dari kegiatan utama perusahaan. Laba bersih (net income) adalah selisih lebih semua pendapatan dan keuntungan terhadap semua beban dan kerugian. Jumlah ini merupakan kenaikan bersih terhadap modal. Laba ditahan (retained earning) merupakan jumlah akumulasi laba bersih dari sebuah perseroan terbatas dikurangi distribusi laba (income distribution) yang dilakukan.
Sigit Winarno dan Sujana Ismaya (2007:359), menjelaskan bahwa laba dibagi ke dalam lima jenis, yaitu : 1.
2.
Laba bersih adalah selisih antara jumlah keseluruhan pendapatan dan jumlah keseluruhan biaya dalam periode tertentu setelah dikurangi biaya produksi. Laba kotor adalah hasil penjualan bersih dikurangi biaya produksi atau selisih lebih antara hasil penjualan bersih dan biaya pokok.
43
3.
4. 5.
Laba ditahan adalah bagian laba bersih yang tidak dibayarkan kepada pemilik dan tidak digunakan untuk memperbesar modal dasar. Laba istimewa adalah keuntungan luar biasa yang diperoleh dari hasil spekulasi efek atau komoditi. Laba operasional adalah laba dari kegiatan usaha pokok dalam periode teetentu.
Dari beberapa jenis laba diatas, laba yang akan diteliti adalah laba kotor (gross profit) atau laba bruto. Laba kotor merupakan selisih antara penjualan dan harga pokok produksi. Laba kotor mengindikasikan seberapa jauh perusahaan dapat menutup biaya produksinya.
2.1.6.2. Pengertian Laba Kotor Laba kotor merupakan selisih dari hasil penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Soemarso (2000:234) bahwa, laba kotor (gross profit) adalah penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan. Menurut John J.Wild dalam Yanivi S. Bachtiar dan S. Nurwahyu Harahap (2005:222), pengertian laba kotor adalah : “Laba kotor (gross profit) atau margin kotor (gross margin) adalah pendapatan yang dikurangi dengan harga pokok penjualan”. Munawir (2007:216), menjelaskan bahwa perubahan laba kotor dapat diakibatkan oleh salah satu atau kombinasi dari hal-hal berikut : 1. 2.
Perubahan harga jual produk Perubahan volume penjualan a. Perubahan jumlah unit penjualan b. Perubahan jenis produk yang dijual (bauran produk dan bauran penjualan)
44
c.
Perubahan unsur biaya, yaitu biaya bahan, pekerja langsung dan overhead pabrik
Untuk mendapatkan laba kotor yang maksimal, berarti komponen pembentuk laba kotor seperti biaya produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik harus dapat dikendalikan dengan baik sehingga harga pokok penjualan dapat ditekan, dan akhirnya dapat meningkatkan laba kotor.
2.2.
Kerangka Pemikiran Struktur biaya produksi yang semakin berkembang, mengakibatkan
berubahnya orientasi dalam pengalokasian biaya produksi dalam suatu perusahaan. Dahulu proses produksi masih dominan dilakukan dengan tenaga manusia, sehingga selain bahan baku, tenaga kerja langsung mendapat persentase yang cukup besar dari keseluruhan biaya produksi. Untuk dapat menjadi perusahaan yang cost effective, aspek pembebanan biaya produksi yang akurat sangat penting untuk diperhatikan oleh perusahaan. Melalui pembebanan biaya produksi yang akurat, akan menghasilkan harga pokok produk yang akurat pula. Hal ini akan berpengaruh terhadap besarnya laba yang ingin dicapai perusahaan sehingga produk dapat bersaing di pasaran. Sejalan
dengan
berkembangnya
pemanufakturan maju (advance
proses
produksi
manufakturing technology),
menuju maka
era akan
menyebabkan perubahan pula pada kondisi bisnis yang awalnya dari pemakaian tenaga kerja yang besar menjadi penggunaan teknologi yang canggih sehingga menggunakan tenaga kerja dalam jumlah yang lebih kecil. Hal ini menyebabkan
45
jumlah biaya overhead pabrik dalam elemen harga pokok produk mengalami peningkatan yang lebih besar sehingga diperlukan kalkulasi dan pembebanannya kepada harga pokok produk sesuai dengan aktivitas yang dikonsumsi. Dalam menentukan harga pokok produk, terkadang sebagian perusahaan masih menggunakan akuntansi biaya tradisional. Dimana sistem ini tidak sesuai diterapkan pada perusahaan yang menghasilkan berbagai macam produk dengan proporsi yang berbeda dan disertai dengan lingkungan pemanufakturan yang maju. Oleh karena itu diperlukan metode perhitungan biaya produksi yang tepat untuk menentukan harga pokok produk yang lebih akurat demi tercapainya laba seperti yang diharapkan. Perhitungan biaya produk dalam sistem biaya tradisional menggunakan penggerak aktivitas tingkat unit (unit activity cost drivers). Hansen dan Mowen dalam Dewi Fitriasari dan Deny Arnos Kwary (2006:142), menjelaskan bahwa : “Penggerak aktivitas tingkat unit adalah faktor yang menyebabkan perubahan dalam biaya seiring dengan perubahan jumlah unit yang diproduksi.” Contoh penggerak aktivitas tingkat unit yang pada umumnya digunakan untuk membebankan overhead meliputi: unit yang diproduksi, jam tenaga kerja langsung, biaya tenaga kerja langsung, jam mesin, dan biaya bahan baku langsung.
46
Bambang Hariadi (2002:78), menjelaskan bahwa : “Pendekatan tradisional cenderung akan membebankan biaya overhead yang lebih tinggi terhadap produk yang volume produksinya lebih banyak dibanding produk lain yang diproduksi lebih sedikit.” Akibat pengalokasian biaya dalam sistem biaya tradisional mengalami distorsi, khususnya pada perusahaan yang menghasilkan multi produk. Setiap produk mengalami perbedaan dalam penanganan dan konsumsi sumber daya dan aktivitas. Hal ini akan menyebabkan perhitungan biaya produksi menjadi tidak akurat dan akan mempengaruhi tingkat laba yang ingin dicapai pula. Supriyono
(2007:268)
menjelaskan
bahwa
dalam
lingkungan
pemanufakturan maju, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan sistem biaya tradisional tidak mampu membebankan biaya overhead pabrik secara teliti pada produk, yaitu : a.
Produk yang dihasilkan berapa jenis,
b.
biaya overhead pabrik berlevel non-unit jumlahnya relatif besar,
c.
diversitas produk-produk relatif tinggi.
Ketiga faktor tersebut mengharuskan manajemen untuk mengganti sistem biaya tradisional dengan activity based costing system. Sistem activity based costing muncul sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah-masalah yang dihadapi perusahaan modern yang masih menggunakan sistem akuntansi biaya tradisional (traditional costing). Pada sistem ini pemahaman terhadap aktivitas-aktivitas proses produksi merupakan dasar dalam pengalokasian biaya overhead. Activity based costing menggunakan dasar
47
alokasi yang lebih menekankan pada aktivitas yang mengkonsumsi sumber daya, bukan produknya. Menurut William K. Carter dalam Krista (2009:528), pengertian activity based costing system adalah : “suatu sistem perhitungan biaya dimana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan menggunakan dasar yang mencakup satu atau lebih faktor yang tidak berkaitan dengan volume (non-volume-related factor)”. Hansen dan Mowen dalam Dewi Fitriasari dan Deny Arnos Kwary (2006:153), menjelaskan bahwa : “Fokus utama activity based costing adalah aktivitas. Mengidentifikasi biaya aktivitas dan kemudian ke produk merupakan langkah dalam menyusun activity based costing system.” Activity based costing mengakui hubungan sebab akibat atau hubungan langsung antara biaya sumber daya, penggerak biaya, aktivitas, dan objek biaya dalam membebankan biaya pada aktivitas dan kemudian pada objek biaya. Metode activity based costing merupakan salah satu alternatif lain yang digunakan untuk menentukan atau menghitung harga pokok produksi suatu produk. Metode ini memiliki kelebihan atau manfaat bagi perusahaan salah satunya dikemukakan oleh Blocher, et. al dalam Tim Penerjemah Penerbit Salemba (2007:232), yaitu : “keputusan dan kendali yang lebih baik dimana activity based costing menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang timbul karena dipicu oleh aktivitas, membantu manajemen untuk meningkatkan nilai produk dan nilai proses dengan membuat keputusan lebih baik tentang desain produk, mengendalikan biaya secara lebih baik dan membantu perkembangan proyek-proyek yang meningkatkan nilai.”
48
Activity based costing system juga memudahkan dalam menganalisis profitabilitas perusahaan seperti dijelaskan oleh Mulyadi (2003:95), yaitu : “....ABC system menyediakan informasi biaya multidimensi, sehingga memungkinkan
personel
melakukan
analisis
profitabilitas
produk/jasa....”. Tujuan utama dari manajemen adalah mengerahkan dan menggunakan sumber-sumber daya yang ada dalam perusahaan yaitu seperti bahan baku, tenaga kerja,
dan
kapasitas
pabrik
sedemikian
rupa,
sehingga
modal
dalam
perusahaannya dapat dipergunakan secara menguntungkan. Ukuran profitabilitas dari suatu produk dapat ditentukan dari ratio keuntungan kotor (gross profit margin). Dalam penelitian ini akan digunakan analisis profitabilitas dengan ukuran laba kotor (gross profit) karena pada penelitian yang diukur adalah biaya produksi. Dalam pengertian secara umum, laba kotor dikatakan sebagai kelebihan penjualan bersih terhadap harga pokok penjualan. John J.Wild dalam Yanivi S. Bachtiar dan S. Nurwahyu Harahap (2005:222), menjelaskan bahwa : “laba kotor (gross profit) atau margin kotor (gross margin) adalah pendapatan yang dikurangi dengan harga pokok penjualan.” Definisi lain yang dikemukakan oleh Henry Simamora (2000:267), yaitu: “Laba kotor dihitung sebagai perbedaan antara penjualan bersih dan biaya pokok penjualan, sedangkan biaya pokok penjualan diukur dengan mengurangkan persediaan akhir dari biaya pokok barang yang tersedia untuk dijual. Karena hubungan-hubungan inilah, maka semakin tinggi biaya pokok persediaan akhir, akan semakin rendah biaya pokok penjualan dan akan semakin tinggi laba kotornya. Sebaliknya, semakin rendah nilai yang dibebankan kepada persediaan akhir, maka semakin tinggi biaya pokok penjualan dan semakin rendah laba kotornya”.
49
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metode penentuan biaya produksi menjadi sangatlah penting guna menghasilkan informasi harga pokok produk yang akurat. Informasi biaya inilah yang akan digunakan untuk melakukan analisis profitabilitas perusahaan dengan ukuran laba kotor (gross profit). Adanya hubungan dalam penentuan biaya produksi dalam perhitungan laba kotor memberikan pengertian bahwa perubahan pada harga pokok produk juga mengakibatkan perubahan pada laba kotornya, karena harga pokok produk mengurangi pendapatan perusahaan. Oleh karena itu, perbandingan dalam penentuan biaya produksi antara metode traditional costing dan activity based costing akan mengakibatkan perubahan pada harga pokok produk yang secara langsung akan berpengaruh pula terhadap laba kotor yang dihasilkan. Penelitian ini difokuskan kepada perbedaan yang terdapat pada penerapan kedua metode ini dalam perhitungan laba kotor melalui penentuan harga pokok yang menggunakan traditional costing system dan activity based costing. Oleh karena itu, penulis ingin melihat hasil perbandingan antara traditional costing dan activity based costing dalam perhitungan laba kotor.
50
Bagan Kerangka Pemikiran
HPP
HPP
Metode Penentuan Harga Pokok Produksi
Activity Based Costing System
Gambar 2.4 Bagan Kerangka Pemikiran
Dibandingkan
Laba Kotor Traditional Costing
Traditional Costing System
Laba Kotor ABC Costing