BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A.
Pecking Order Theory Menurut Kaaro (dalam Prabansari dan Kusuma, 2005) Pecking Order Theory ini dikenalkan pertama kali oleh Donaldson pada tahun 1961. Secara singkat teori ini menyatakan bahwa : 1.
Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan berwujud laba ditahan).
2.
Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dulu, yaitu dimulai dengan penerbitkan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan. Hanafi (dalam Tarigan dan Siregar, 2010) menyimpulkan bahwa
berdasarkan Pecking Order Theory kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Perusahaan akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dana berdasarkan investasi yang diperlukan, dengan pemenuhan dana yang berasal dari internal perusahaan . Kaaro (2003) dalam Elim dan Yusfarita (2010) urutan penggunaan sumber pendanaan dengan mengacu pada Pecking Order Theory adalah internal fund (dana internal), debt (utang), dan equity (modal sendiri).
12
13
Pecking order theory yaitu teori yang mengatakan bahwa perusahaan lebih menyukai dana internal karena dana internal memungkinan untuk tidak membukakan diri kepada pihak luar (Firnanti, 2011). Hal ini disebabkan adanya transaction cost di dalam mendapatkan dana dari pihak eksternal (Emery et al. 2004). Pecking order theory juga menjelaskan alasan perusahaan yang mempunyai kinerja bagus mempunyai hutang yang lebih sedikit. Berdasarkan teori ini perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal, yakni dana yang berasal dari aliran kas dan laba ditahan. Menurut Indrawati dan Suhendro (2006) Perusahaan yang mengacu pada pecking order theory mempunyai urutan pendanaan yaitu dari pendanaan internal yang berupa kas dan laba ditahan, kemudian untuk pendanaan eksternal dimulai dari yang paling aman dahulu yaitu obligasi, obligasi konversi, dan pada akhirnya jika masih memerlukan dana, perusahaan akan menerbitkan saham (common stock). Untuk pendanaan eksternal
perusahaan
juga
lebih
memilih
dalam
bentuk
obligasi
dibandingkan dalam bentuk saham, karena dalam penerbitan saham perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan penerbitan obligasi. Pecking order theory mempunyai arti penting yaitu bahwa perusahaan
pada
umumnya
lebih
memfokuskan
kepada
sumber
pendanaannya dibandingkan pada optimalisasi struktur modal perusahaan itu sendiri. Pecking order theory ini juga menjelaskan bahwa perusahaan
14
yang profitable meminjam dana yang lebih sedikit. Hal ini dikarenakan perusahaan yang profitable mempunyai dana internal lebih baik dibandingkan perusahaan yang kurang profitable, sehingga perusahaan profitable lebih mempunyai hutang yang lebih sedikit. Menurut Amalina (2013) perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut disebabkan karena mereka memerlukan external financing yang sedikit. Perusahaan– perusahaan yang kurang profitable cenderung mempunyai utang yang lebih besar karena alasan dana internal yang tidak mencukupi kebutuhan dan karena utang merupakan sumber eksternal yang disukai. Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk utang daripada modal sendiri karena pertimbangan biaya emisi utang jangka panjang yang lebih murah dibanding dengan biaya emisi saham. Teori pecking order bisa menjelaskan alasan perusahaan mencapai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat utang yang lebih kecil. Tingkat utang yang kecil tersebut tidak dikarenakan perusahaan yang menargetkan tingkat utang yang kecil, tetapi karena
mereka
tidak begitu membutuhkan dana
eksternal.Tingkat
keuntungan yang tinggi menjadikan dana internal mereka cukup untuk mendanai kebutuhan investasi perusahaan.
15
B.
Trade-Off Theory Menurut Arifin (2005 : 80) teori yang sering disingkat dengan Trade-off Theory, berasumsi bahwa struktur modal suatu perusahaan ditentukan dengan mempertimbangkan manfaat pengurangan pajak ketika hutang meningkat di satu sisi dan meningkatnya agency cost ketika hutang meningkat pada sisi yang lain. Ketika manfaat pengurangan pajak masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan agency cost maka perusahaan masih bisa meningkatkan hutangnya dan peningkatan hutang harus dihentikan ketika pengurangan pajak atas tambahan hutang tersebut sudah lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan agency cost. Menurut Parasian (2012) model trade-off merupakan model yang sangat konsisten dengan upaya mencari struktur modal optimal agar nilai perusahaan
dapat
dimaksimumkan.
Model
trade-off
juga
banyak
penganutnya sehingga masih dianggap sebagai mainstream teori struktur modal. Namun demikian model ini tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan temuan penting dari pola struktur modal di perusahaan, yaitu, dalam setiap industri ditemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang paling tinggi profitabilitasnya adalah perusahaan yang paling rendah debt rationya. Temuan ini bertentangan dengan prediksi trade-off model. Trade-off model memprediksi perusahaan akan memilih utang sebagai sumber dana asal manfaat dari tambahan utang masih lebih besar dibandingkan dengan kerugiannya.
Dengan
demikian
perusahaan
yang
paling
tinggi
16
profitabilitasnya semestinya adalah perusahaan yang sudah mengoptimalkan porsi utangnya, bukan justru yang meminimalkan porsi utangnya. Teori trade-off memprediksi hubungan positif antara struktur modal dengan nilai perusahaan dengan asumsi keuntungan pajak masih lebih besar dari biaya kepailitan dan biaya keagenen. Pada intinya teori trade-off menunjukkan bahwa nilai perusahaan dengan utang akan semakin meningkat dengan meningkatnya pula tingkat utang. Penggunaan utang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya pada sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut,penggunaan utang justru menurunkan nilai perusahaan.
C.
Likuiditas Likuiditas merupakan suatu keadaan dimana perusahaan dapat memenuhi kewajiban finansialnya dengan aktiva lancar yang dimilikinya. Menurut Pecking order theory, perusahaan yang mempunyai likuiditas yang tinggi akan cenderung mempunyai tingkat utang yang rendah dalam struktur modal (Setiawan, 2006). Hal ini disebabkan perusahaan yang mempunyai tingkat likuiditas tinggi mempunyai dana internal yang tinggi, sehingga perusahaan cenderung menggunakan dana internal tersebut dalam melakukan pembiayaan dalam kegiatan operasionalnya. Menurut Gitman dan Zutter (2012), rasio likuiditas dapat menunjukan tanda-tanda awal mengenai masalah arus kas dan masalah gagalnya suatu perusahaan pada masa yang akan datang. Pentingnya analisa likuiditas tidak hanya diperuntukan bagi manajemen perusahaan saja,
17
namun juga mencakup investor. Dalam proses pengambilan keputusan tentang alokasi penanaman modal, investor perlu mengetahui likuiditas perusahaan agar dapat mengetahui pengembalian yang sesuai dengan risiko gagal bayar yang serendah mungkin (Gitman dan Zutter, 2012). Ketentuan investasi yang demikian dapat diperoleh dengan menganalisa likuditas suatu perusahaan. Likuiditas merupakan gambaran kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara lancar dan tepat waktu sehingga likuiditas sering disebut dengan short term liquidity (Irham, 2011:59). Menurut Toto (2010:171) likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka pendek atau utang lancar yang akan dilunasi dalam waktu satu tahun. Sedangkan menurut Subramanyam dan Wild (2010:241) likuiditas mengacu pada ketersediaan sumber daya perusahaan untuk memenuhi kebutuhan kas jangka pendek yang secara konvensional dianggap periode hingga satu tahun meskipun jangka waktu ini dikaitkan dengan siklus operasi normal suatu perusahaan (periode waktu yang mencakup siklus pembelian-produksi-penjualan-penagihan). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua kewajiban jangka pendeknya dalam waktu satu tahun.
18
Pentingnya likuiditas dapat dilihat dengan mempertimbangkan dampak yang berasal dari ketidakmampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Kurangnya likuiditas menghalangi perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari diskon atau kesempatan mendapatkan keuntungan. Ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya merupakan masalah likuiditas yang lebih ekstrem (Subramanyam dan Wild, 2010:241) Jika perusahaan mengalami masalah dalam likuiditas maka sangat memungkinkan perusahaan tersebut mulai memasuki masa kesulitan keuangan (financial distress), dan jika kondisi kesulitan tersebut tidak cepat diatasi maka hal ini berakibat kebangkrutan usaha (bankruptcy) (Irham, 2011:93). 1. Rasio Likuiditas Menurut Weygandt dan Kieso (2010:396) rasio likuiditas (liquidity ratio) mengukur kemampuan jangka pendek perusahaan untuk membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo dan memenuhi kebutuhan kas yang tak terduga (di luar prediksi perusahaan). Rasio – rasio
yang
dapat
digunakan
untuk
menentukan
kemampuan
pembayaran utang jangka pendek perusahaan adalah rasio lancar, rasio cepat, perputaran piutang dan perputaran persediaan. a.
Rasio Lancar (Current Ratio) Rasio lancar (current ratio) adalah pengukuran yang digunakan secara luas untuk mengevaluasi likuiditas perusahaan dan
19
kemampuan membayar utang jangka pendek. Rasio ini dihitung dengan membagi aset lancar dengan kewajiban jangka pendek.
Rasio lancar terkadang disebut sebagai rasio modal kerja (working capital ratio) karena modal kerja merupakan selisih antara aset lancar dengan kewajiban jangka pendek. Rasio lancar adalah indikator likuiditas yang lebih dapat diandalkan dibandingkan modal kerja. Dua perusahaan dengan jumlah modal kerja yang sama mungkin memiliki rasio lancar yang berbeda secara signifikan.
Menurut Bambang (dalam Irham, 2011:60) dalam permasalahan current ratio, apabila suatu perusahaan menetapkan bahwa current ratio yang harus dipertahankan adalah 3:1 atau 300%, ini berarti bahwa setiap utang lancar sebesar Rp 1,00 harus dijamin dengan aktiva lancar Rp 3,00 atau dijamin dengan “net working capital” sebesar Rp 2,00. Adapun formulasi dari Current Ratio (CR) adalah sebagai berikut :
Rasio Lancar b.
=
Aset Lancar Kewajiban Jangka Pendek
Rasio Cepat (Quick Ratio) Rasio cepat (quick ratio) adalah pengukuran likuiditas jangka pendek segera perusahaan. Rasio ini dihitung dengan membagi
20
jumlah dari kas, investasi jangka pendek, dan piutang bersih dengan kewajiban jangka pendek. Maka, rasio ini merupakan pendukung penting terhadap rasio lancar. Adapun formulasi dari Quick Ratio (QR) adalah sebagai berikut :
Rasio Cepat
c.
=
Kas + Investasi Jangka Pendek + Piutang (Bersih) Kewajiban Jangka Pendek
Perputaran Piutang (Receivable Turnover) Likuiditas dapat diukur dengan seberapa cepat aset-aset tertentu dapat diubah menjadi kas. Rasio yang dapat digunakan untuk menilai likuiditas piutang adalah perputaran piutang (receivables turnover). Rasio ini mengukur berapa kali rata-rata piutang dapat tertagih selama satu periode. Perputaran piutang dihitung dengan membagi penjualan kredit bersih (penjualan bersih dikurangi penjualan tunai) dengan piutang bersih rata-rata. Adapun formulasi dari Receivable Turnover (RT) adalah sebagai berikut :
Perputaran Piutang =
D.
Penjualan Kredit Bersih Piutang Bersih Rata-Rata
Struktur Modal Menurut pendapat yang disampaikan Brigham dan Gapenski (dalam Ahmad dan Herni, 2010) Capital structure atau struktur modal merupakan proporsi atau perbandingan dalam menentukan pemenuhan kebutuhan
21
belanja perusahaan, apakah dengan cara menggunakan ekuitas, atau dengan menerbitkan saham. Sedangkan struktur modal adalah panduan atau kombinasi sumber dana jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan (Keown dalam Ahmad dan Herni, 2010). Menurut Ross, Westerfield dan Jordan (2009) struktur modal sebuah perusahaan adalah kombinasi spesifik ekuitas dan hutang jangka panjang yang digunakan perusahaan untuk mendanai operasinya. Menurut Bambang Riyanto (dalam Ahmad dan Herni, 2010) menjelaskan bahwa struktur modal merupakan pembelanjaan permanen dimana mencerminkan perimbangan antara hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Apabila struktur financial tercermin pada keseluruhan passiva dalam neraca, maka struktur modal hanya tercermin pada hutang jangka panjang dan unsur-unsur modal sendiri, dimana kedua golongan tersebut merupakan dana permanen atau dana jangka panjang. Menurut Harjanti dan Tandelilin (2007) struktur modal merupakan suatu pilihan pendanaan perusahaan yang terdiri dari hutang dan ekuitas. Struktur modal adalah penggabungan antara hutang jangka panjang dan ekuitas yang secara langsung dapat mempengaruhi besarnya tingkat pengembalian dan risiko perusahaan (Gitman dan Zutter 2012, 508). Menurut Amalina (2013) struktur modal merupakan hal penting dalam sebuah perusahaan, dimana didalamnya terdapat perpaduan antara utang beserta ekuitas atau biasa diartikan sebagai perimbangan antara modal asing dan modal sendiri. Modal asing terdiri dari utang jangka panjang
22
maupun jangka pendek. Sedangkan modal sendiri terbagi atas laba ditahan dan bisa juga dengan penyertaan kepemilikan perusahaan. Besar kecilnya struktur modal akan menentukan profitabilitas, sehingga struktur modal menjadi masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Berdasarkan beberapa referensi, maka dapat disimpulkan bahwa struktur modal adalah proporsi dalam menentukan pemenuhan kebutuhan belanja perusahaan, dimana dana yang diperoleh menggunakan kombinasi atau paduan sumber yang berasal dari dana jangka panjang yang terdiri dari dua sumber utama, yakni yang berasal dari dalam dan luar perusahaan. Menurut Esa dan Desy (2012) struktur modal diukur dengan menggunakan rumus Debt to Equity Ratio yaitu sebagai berikut :
DER
E.
=
Total Hutang Total Ekuitas
Ukuran Perusahaan Menurut Riyanto (2008:313) ukuran perusahaan adalah besar kecilnya perusahaan dilihat dari besarnya nilai equity, nilai penjualan atau nilai aktiva. Sedangkan menurut Scott dalam Torang (2012:93) ukuran perusahaan didefinisikan sebagai ukuran organisasi yaitu suatu variabel konteks yang mengukur tuntutan pelayanan atau produk organisasi. Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Karena semakin besar perusahaan, biasanya mereka mempunyai kekuatan tersendiri dalam
23
menghadapi
masalah
bisnis
dan
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan laba tinggi karena didukung oleh asset yang besar sehingga kendala perusahaan seperti peralatan yang memadai dan sejenisnya dapat teratasi (Rahma dan Sri, 2013). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan adalah ukuran besar kecilnya perusahaan yang merupakan
gambaran
kemampuan
finansial
perusahaan
yaitu
menghasilkan laba. Menurut Hadri (2005), ada 3 teori yang secara implisit menjelaskan hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat keuntungan perusahaan. 3 teori tersebut adalah: 1. Teori tekhnologi yang menekankan pada modal fisik, economic of scale, dan lingkup sebagai faktor-faktor yang menentukan besarnya ukuran perusahaan yang optimal serta pengaruhnya terhadap keuntungan. 2. Teori organisasi, menjelaskan hubungan profitabilitas dengan ukuran perusahaan yang dikaitkan dengan biaya transaksi organisasi. 3. Teori institutional mengaitkan ukuran perusahaan dengan faktorfaktor seperti sistem perundang-undangan, peraturan anti-trust, perlindungan patent, ukuran pasar, dan perkembangan pasar keuangan. Rajan dan Zingales dalam (Hadri, 2005) menyebutkan bahwa menurut teori critical, semakin besar skala perusahaan maka profitabilitas
24
juga akan meningkat, tetapi pada titik atau jumlah tertentu ukuran perusahaan akhirnya akan menurunkan laba (profit) perusahaan. Teori critical menekankan pada pengendalian oleh pemilik perusahaan terhadap sumber daya perusahaan seperti aset, teknologi, kekayaan intelektual sebagai faktor-faktor yang menentukan ukuran perusahaan. Menurut Rahma dan Sri (2013), ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan rumus :
SIZE
=
Ln ( Total Aktiva )
F. Kinerja Keuangan Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar (Irham, 2011:3). Menurut Irham (2011:3) ada 5 (lima) tahap dalam menganalisis kinerja keuangan suatu perusahaan secara umum, yaitu : a.
Melakukan review terhadap data laporan keuangan Review di sini dilakukan dengan tujuan agar laporan keuangan yang sudah di buat tersebut sesuai dengan penerapan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam dunia akuntansi, sehingga dengan demikian hasil laporan keuangan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
b.
Melakukan perhitungan
25
Penerapan metode perhitungan di sini adalah disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang sedang dilakukan sehingga hasil dari perhitungan tersebut akan memberikan suatu kesimpulan sesuai dengan analisis yang diinginkan. c.
Melakukan perbandingan terhadap hasil hitungan yang telah diperoleh Dari hasil hitungan yang sudah diperoleh tersebut kemudian dilakukan perbandingan dengan hasil hitungan dari berbagai perusahaan lainnya. Metode yang paling umum dipergunakan untuk melakukan perbandingan ini ada dua yaitu : a)
Time series analysis, yaitu membandingkan secara antarwaktu antar periode, dengan tujuan itu nantinya akan terlihat secara grafik.
b)
Cross sectional approach, yaitu melakukan perbandingan terhadap hasil hitungan rasio-rasio yang telah dilakukan antara satu perusahaan1 dan perusahaan lainnya dalam ruang lingkup yang sejenis yang dilakukan secara bersamaan.
c)
Melakukan penafsiran (interpretation) terhadap berbagai permasalahan yang ditemukan. Pada tahap ini analisis melihat kinerja keuangan perusahaan adalah setelah dilakukan ketiga tahap tersebut selanjutnya dilakukan penafsiran untuk melihat
26
apa-apa saja permasalahan dan kendala-kendala yang dialami oleh perbankan tersebut. d)
Mencari dan memberikan pemecahan masalah (solution) terhadap berbagai permasalahan yang ditemukan. Pada tahap terakhir ini setelah ditemukan berbagai permasalahan yang dihadapi maka dicarikan solusi guna memberikan suatu input atau masukan agar apa yang menjadi kendala dan hambatan selama ini dapat terselesaikan.
Untuk memutuskan suatu badan usaha atau perusahaan memiliki kualitas yang baik maka ada penilaian yang paling dominan yang dapat dijadikan acuan untuk melihat badan usaha atau perusahaan tersebut telah menjalankan suatu kaidah-kaidah manajemen yang baik. Penilaian ini dapat dilakukan salah satunya dengan melihat sisi kinerja keuangan (Financial Performance) (Dwi dan Siti,2014). Ada beberapa kelompok ukuran kinerja keuangan yang dapat digunakan oleh perusahaan dan salah satunya adalah menggunakan rasio profitabilitas. Rasio ini dirasa tepat karena dapat mengukur bagaimana kinerja perusahaan dilihat dari penggunaan aktiva dan modal yang ada. Sebab aktiva dan modal merupakan komponen penting dalam proses kegiatan operasional perusahaan (Dwi dan Siti,2014). Menurut Toto (2011:139) ada beberapa cara melihat profitabilitas dan secara umum perhitungan profitabilitas dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu :
27
a.
Return On Sales (ROS), yaitu tingkat profitabilitas yang dikaitkan dengan pendapatan.
b.
Return On Assets (ROA), yaitu tingkat profitabilitas yang dikaitkan dengan penggunaan aset.
c.
Return On Equity (ROE), yaitu tingkat profitabilitas yang dikaitkan dengan modal sendiri. Sedangkan menurut Hanafi & Halim (2009:81) ada tiga rasio
profitabilitas yang sering dibicarakan, yaitu : a.
Return On Assets (ROA) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat tingkat aset tertentu. ROA juga sering disebut sebagai ROI (Return On Investment). Formula untuk mencari Return On Assets dapat digunakan sebagai berikut: ROA
b.
=
Earning After Interest dan Tax Total Assets
Return On Equity (ROE) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba berdasarkan modal saham tertentu. Rasio ini merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham. Formula untuk mencari Return On Equity dapat digunakan sebagai berikut:
28
ROE
c.
=
Earning After Interest and Tax Equity
Net Profit Margin Rasio ini digunakan untuk menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu. Rasio ini bisa diinterpretasikan juga sebagai kemampuan perusahaan menekan biaya-biaya (ukuran efisiensi) di perusahaan pada periode tertentu. Formula untuk mencari Net Profit Margin dapat digunakan sebagai berikut :
NPM
=
Earning After Interest dan Tax Sales
G. Penelitian Terdahulu Hilda (2009) melakukan penelitian tentang Analisis Hubungan Rasio Likuiditas dan Leverage terhadap Rasio Profitabilitas pada PT Perkebunan Nusantara II (Persero). Rasio-rasio yang digunakan adalah current ratio dan quick ratio, debt to total equity ratio (DER) dan debt to total asset ratio (DAR), return on investment (ROI). Penelitian ini menyimpulkan bahwa likuiditas yang dihitung dengan current ratio memiliki hubungan positif dan signifikan dan quick ratio memiliki hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap profitabilitas. Sedangkan leverage yang dihitung dengan debt to total equity ratio (DER) dan debt to asset ratio (DAR) memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap profitabilitas.
29
Fitri (2012) melakukan penelitian tentang Pengaruh Current Ratio, Inventory Turnover, dan Debt To Equity Ratio Terhadap Return On Assets (Studi Pada Perusahaan Food and Beverage yang Listing di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2009). Rasio-rasio yang digunakan adalah Current Ratio, Inventory Turnover, Debt To Equity Ratio, dan Return On Assets. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Current Ratio berpengaruh negatif terhadap Return on Assets, Inventory Turnover berpengaruh positif terhadap Return on Asset, dan Debt To Equity Ratio berpengaruh negatif terhadap Return on Assets. Esa dan Desy (2012) melakukan penelitian tentang Analisis Pengaruh Struktur Modal Terhadap Kinerja Pada Perusahaan Otomotif Yang Terdaftar di BEI Tahun 2008-2010. Rasio-rasio yang digunakan adalah Debt to Assets Ratio, Debt to Equity Ratio, Long Term Debt to Equity Ratio dan Return on Investment. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Debt to Assets Ratio, Debt to Equity Ratio, Long Term Debt to Equity Ratio memiliki pengaruh terhadap kinerja (Return on Investment), sedangkan secara parsial Debt to Assets Ratio memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja (Return on Investment), Debt to Equity Ratio secara parsial tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja (Return on Investment), Long Term Debt to Equity Ratio secara parsial tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja (Return on Investment). Sri Wahyuni (2012) melakukan penelitian tentang Efek Struktur Modal Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Manufaktur yang
30
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Pada Periode Tahun 2007-2009. Rasiorasio yang digunakan adalah Short Debt to Asset Ratio, Longterm Debt to Asset Ratio, Debt to Equity Ratio, Equity to Asset Ratio dan Return on Equity. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Short Debt to Asset Ratio berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return on Equity, Longterm Debt to Asset Ratio berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return on Equity, Debt to Equity Ratio berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return on Equity, Equity to Asset Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap Return on Equity. Nurhasanah (2012) melakukan penelitian tentang Pengaruh Struktur Modal Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2011. Rasio-rasio yang digunakan adalah Debt to Assets Ratio (DAR), Debt to Equity Ratio (DER), dan Return on Equity (ROE). Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Debt to Assets Ratio (DAR) dan Debt to Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh signifikan terhadap Return on Equity (ROE). Sedangkan secara parsial Debt to Assets Ratio (DAR) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Return on Equity, dan Debt to Equity Ratio (DER) secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return on Equity (ROE). Faizatur dan Suhadak (2013) melakukan penelitian tentang Pengaruh Struktur Modal Terhadap Profitabilitas (Studi Pada Perusahaan Real Estate and Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) Periode
31
2009-2011. Rasio-rasio yang digunakan adalah Debt Ratio (DR), Debt To Equity Ratio (DER), Return On Assets (ROA), dan Return On Equity (ROE). Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Debt Ratio (DR), Debt To Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan terhadap Return On Assets (ROA), dan Return On Equity (ROE). Sedangkan secara parsial Debt Ratio (DR) berpengaruh signifikan positif terhadap ROA, sedangkan Debt To Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan negatif terhadap ROA. Sedangkan pada uji hipotesis berikutnya secara parsial DR berpengaruh signifikan positif terhadap ROE dan DER juga berpengaruh signifikan terhadap ROE. Rahma dan Sri (2013) melakukan penelitian tentang Analisis Pengaruh Leverage, Umur Perusahaan dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kinerja Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Pada Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2012. Rasio-rasio yang digunakan adalah Leverage, Firm Age, Firm Size, Return on Assets. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Leverage (DAR), Firm Age (AGE), Firm Size (Ln_TA) berpengaruh terhadap Return on Assets (ROA), sedangkan secara parsial Leverage (DAR) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return on Assets (ROA), Firm Age (AGE) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Return on Assets (ROA), Firm Size (Ln_TA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return on Assets (ROA).
32
Alfa (2012) melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Profitabilitas
Perusahaan
(Studi
Pada
Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2006-2010). Rasio-rasio yang digunakan adalah Inventory Turnover Period, Current Ratio, Ukuran Perusahaan, dan Return on Assets (ROA). Penelitian ini menyimpulkan bahwa Inventory Turnover Period berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA, Current Ratio berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ROA, dan Ukuran Perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA.
H. Rerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis 1. Pengaruh Current Ratio Terhadap Return On Assets Current Ratio (CR) merupakan rasio likuiditas yang menunjukkan kemampuan
perusahaan
untuk
membayar
kewajiban
jangka
pendeknya dengan menggunakan aktiva lancar (Rima, 2011). Sedangkan salah satu ukuran kinerja yang dapat mengukur kinerja suatu perusahaan adalah rasio profitabilitas yaitu return on assets (ROA). Menurut Dwi dan Siti (2014) apabila tingkat likuiditas baik, perusahaan akan efektif dalam menghasilkan laba dan para investor percaya untuk berinvestasi pada perusahaan sehingga perusahaan dapat memanfaatkan aktiva lancarnya sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan perusahaan sehingga tidak banyak dana yang menganggur.
Tetapi
sebaliknya
jika
perusahaan
tidak
dapat
33
memanfaatkan
aktiva
lancarnya
sebaik
mungkin
sehingga
menyebabkan banyak dana yang tidak efektif, hal ini justru mengurangi kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba atau mengurangi tingkat profitabilitas perusahaan. Menurut Horne dalam (Rima, 2011) likuiditas yang meningkat merupakan biaya dari kemampuan memperoleh laba yang menurun. Menurut Parasian (2012) perusahaan yang sebagian besar aktivanya terdiri dari aktiva lancar umumnya memiliki tingkat likuiditas yang tinggi sehingga perusahaan dapat memenuhi investasinya dengan cepat. Dalam kaitannya dengan penjualan, jika perusahaan berkeinginan melakukan investasi pada periklanan produk, peningkatan layanan penjualan, inovasi produk, dan pemberian bonus maka diharapkan dapat meningkatkan penjualan. Peningkatan penjualan perusahaan secara tak langsung akan meningkatkan profitabilitasnya, karena salah satu cara meningkatkan profitabilitas adalah melalui peningkatan penjualan. Dapat disimpulkan jika sebagian besar aktiva perusahaan terdiri dari aktiva lancar maka likuiditasnya akan tinggi sehingga mampu melakukan investasi dimana investasi ini bertujuan untuk meningkatkan profitabilitas. Menurut Fitri (2011) perusahaan yang memiliki rasio lancar yang semakin besar, maka menunjukkan semakin besar kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Hal ini menunjukkan perusahaan melakukan penempatan dana yang besar
34
pada sisi aktiva lancar. Penempatan dana yang terlalu besar pada sisi aktiva memiliki dua efek yang sangat berlainan. Di satu sisi, likuiditas perusahaan semakin baik. Namun di sisi lain, perusahaan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tambahan laba, karena dana yang seharusnya
digunakan
untuk
investasi
yang
menguntungkan
perusahaan, dicadangkan untuk memenuhi likuiditas. Semakin besar rasio ini,semakin besar likuiditas perusahaan. Menurut Horne dan Wachowicz (2009) likuiditas perusahaan berbanding terbalik dengan profitabilitas. Maksudnya, semakin tinggi likuiditas perusahaan maka kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba semakin rendah (Elfianto, 2011). Dalam penelitian Fitri (2011) menunjukkan bahwa current ratio berpengaruh terhadap return on assets. Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut : Hipotesis 1 : Current Ratio berpengaruh signifikan terhadap ROA
2. Pengaruh Debt To Equity Ratio Terhadap Return on Assets Menurut Amalina (2013) perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut disebabkan karena mereka memerlukan external financing yang sedikit. Perusahaan–perusahaan yang kurang profitable cenderung mempunyai utang yang lebih besar karena alasan dana internal yang tidak mencukupi kebutuhan dan karena utang merupakan sumber eksternal yang disukai. Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk
35
utang daripada modal sendiri karena pertimbangan biaya emisi utang jangka panjang yang lebih murah dibanding dengan biaya emisi saham. Teori pecking order bisa menjelaskan alasan perusahaan mencapai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat utang yang lebih kecil. Tingkat utang yang kecil tersebut tidak dikarenakan perusahaan yang menargetkan tingkat utang yang kecil, tetapi karena mereka tidak begitu membutuhkan dana eksternal. Tingkat keuntungan yang tinggi menjadikan dana internal mereka cukup untuk mendanai kebutuhan investasi perusahaan. Struktur
modal
yang
rendah
akan
meningkatkan
tingkat
profitabilitasnya, begitu pula sebaliknya apabila struktur modal tinggi akan menurunkan tingkat profitabilitasnya. Penggunaan hutang yang tinggi akan meningkatkan beban bunga pada perusahaan, sehingga tingginya beban perusahaan untuk melunasi kewajibannya dapat menimbulkan adanya risiko kebangkrutan pada perusahaan. Penjelasan tersebut sesuai dengan pendapat Weston dan Bringham dalam (Stein, 2012:3) yang menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai tingkat pengembalian investasi (profitabilitas) tinggi cenderung memiliki hutang dalam jumlah kecil karena penggunaan modal sendiri lebih besar. Dalam penelitian Faizatur dan Suhadak (2013) menunjukkan bahwa Debt To Equity Ratio berpengaruh terhadap Return On Assets.
36
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut : Hipotesis 2 : DER berpengaruh signifikan terhadap ROA
3. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Return on Assets Hadri (2005:85) menyebutkan bahwa menurut teori critical resources, semakin besar skala perusahaan maka profitabilitas juga akan meningkat, tetapi pada titik atau jumlah tertentu ukuran perusahaan akhirnya akan menurunkan laba (profit) perusahaan. Teori critical resources menekankan pada pengendalian oleh pemilik perusahaan terhadap sumber daya perusahaan seperti aset, teknologi, kekayaan intelektual sebagai faktor-faktor yang menentukan ukuran perusahaan. Dengan adanya sumber daya yang besar, maka perusahaan dapat melakukan investasi baik untuk aktiva lancar maupun aktiva tetap dan juga memenuhi permintaan produk. Hal ini akan semakin memperluas pangsa pasar. Dengan adanya penjualan yang semakin meningkat, perusahaan dapat menutup biaya yang keluar pada saat proses produksi. Dengan begitu, laba perusahaan akan meningkat. Dalam penelitian Rahma dan Sri (2013) menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan
berpengaruh
terhadap
return
on
assets.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut : Hipotesis 3 : SIZE berpengaruh signifikan terhadap ROA
37
I. Model Konseptual Berdasarkan rerangka pemikiran dan pengembangan hipotesis yang telah dijabarkan sebelumnya, maka penulis membuat model konseptual penelitian sebagai berikut :
LIKUIDITAS (CR)
KINERJA KEUANGAN
STRUKTUR MODAL (DER)
(ROA)
UKURAN PERUSAHAAN (SIZE)
GAMBAR 2.1. MODEL KONSEPTUAL