13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL
2.1. Kajian Pustaka Topik tulisan ini belum ditemukan apabila diamati dari buku-buku serta hasil penelitian yang telah ada. Dalam beberapa buku disinggung tentang Gamelan Batel dalam seni pertujukan wayang kulit dalam kajian seni pertunjukan. Sumber pustaka mempunyai peranan penting untuk menunjang penelitian ini, buku-buku atau hasil penelitian yang berhubungan dengan Gamelan Batel dalam seni pertunjukan wayang kulit dapat dijadikan acuan atau sebagai sumber data tertulis disamping melalui studi lapangan. Lisa Gold (1992), dalam disertasi yang berjudul The Gender Wayang Repertoire in Theatre and Ritual: A Study of Balinese musical Meaning. Menyatakan bahwa repertuar gender wayang memiliki peranan yang amat penting dalam mengungkap makna tetrikal dan ritual. Melihat kenyataan bahwa bukan hanya barungan gemelan gender wayang ( seperangkat gamelan atau gender wayang yang terdiri dari empat tungguh) yang digunakan masyarakat Bali dalam kegiatan ritual dan seni pertunjukan, maka eksistensi dan peranan karawitan sebagai paying dalm semua jenis gamelan dan seni suara perlu dikaji dari sudut pandang rasa dan kejiwaan. Colin McPHEE dalam buku Musik in Bali ( 1966 : 202), menyatakan pertunjukan wayang kulit, dilihat dari alat musik iringannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Gamelan Batel dan
gamelan gender wayang. Dalam
14
pertunjukan cerita Ramayana menggunakan iringan Gamelan Batel dengan instrmentasi antara lain empat tungguh gender wayang, sepasang kendang lanang wadon, kempur, ceng ceng ricik, tawa-tawa, krenet, dan suling. Gamelan batel dalam cerita Ramayana memberikan suasana yang ramai, menggemparkan, dan mampu memberi suasana peperangan yang terdapat dalam peperangan antara raksasa dan pasukan Rama. Buku ini memberi pemahaman yang jelas kepada peneliti tentang Gamelan Batel. Djohan ( dalam bukunya yang berjudul Psikologi Musik
yang
diterbitkan oleh Best Publisher Yogyakarta. Buku ini secra garis besar banyak mengulas tentang hubungan antar musik dengan emosi, musik dengan kognisi. Buku ini sangat berguna dalam mengulas berbagai dimensi dalam penelitian ini, dimana segala aspek yang termagsud sebagai bentuk dari musik sangat berhubungan dengan berbagai persoalan psikologis. Terlebih lagi dalam memahami musik tradisi yang kita punya. Estetika Sebuah Pengantar karya A.A.M. Djelantik ( 2008). Buku ini mengungkapkan secara umum, keindahan meliputi keindahan alam dan keindahan buatan manusia. Keindahan buatan manusia sering disebut dengan kesenian. Dengan demikian kesenian dapat dikatakan merupakan salah satu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan ( Djelantik, 2008: 17). Ada tiga unsur unsur estetika yang terkandung dalam benda dan peristiwa kesenia yaitu: 1) Wujud atau rupa (appearance) yang terdiri dari bentuk (form) atau unsur yang mendasar dan susunan atau struktur (structure).
15
2) Bobot terdiri dari tiga aspek yaitu: suasana (mood), gagasan (idea), ibarat atau pesan (massage). 3) Penampilan yang terdiri dari tiga unsur yaitu: bakat (talent), keterampilan (skill ), saran atau media Buku ini member tambahan wawasan yang dijadikan landasan untuk mengkaji keindahan yang terdapat dalam Gamelan Batel yang ada di Desa Sibanggede, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. I Made Bandem (1986) dalam bukunya Prakempa, Sebuah Lontar Gamelan Bali . Prakempa adalah sebuah lontar mitologi gamelan Bali yang di duga cukup tua umurnya. Dalam konteknya dengan gamelan Bali, Prakempa kiranya dimagsud sebagai seluk beluk gamelan Bali yang pada hakekatnya berintikan tatwa (filsafat atau logika), susila (etika) lango (estetika), dan gegebug (teknik), yang bertalian dengan gamelan Bali. Kemunculan lontar prakempa ini member petunjuk yang jelas bahwa suatu masa para ahli gamelan telah mencatat tentang gamelan Bali. Ditemukannya lontar Prakempa merupakan suatu usaha pelestarian dari beberapa aspek gamelan Bali dan naskah ini merupakan literature seni yang tak ternilai harganya. Salah satu aspek yang disebutkan oleh lontar Prakempa yaitu uraian mengenai filsafat atau logika dalam gemelan-gamelan Bali dimulai dengan terciptnya bunyi, suara, nada dan ritma oleh Sang Hyang Tri Wisesa dimana nada-nada itu diwujudkan dengan simbul “ penganggening Aksara “ seperti taleng (
) , cecek (
), tedong (
), suku (
), dan ulu (
).
Gamelan yang berfungsi sebagai musikal instrument sebagai musik tak dapat dipisahkan dari konsep kesimbangan hidup orang Bali yang meliputi konsep
16
keseimbangan hidup manusia dengan tuhan, manusia dengan alam , manusia dengan manusia itu sendiri. Buku ini sangat relevan dipakai sebagai bahan acuan menyangkut tentang filsafat, atau logika , etika, estetika, tentang gamelan Bali. Soedarsono (2002) dalam buku “Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi” memaparkan dalam artikel yang berjudul “ Berbagai Fungsi Seni Pertunjukan Dalam Masyarakat”. Secara garis besar seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer yaitu sebagai sarana ritual, sebagai ungkapan pribadi yang pada umumnya berupa hiburan pribadi dan sebagai presentasi estetis. Dijelaskan pula tentang perbedaan seni pertunjukan yang ada di Negara berkembang dengan di negara maju. Di negara berkembang fungsi seni pertunjukan cenderung menitik beratkan pada fungsi ritual, sedangkan di negara maju sebagai hiburan. Disamping itu ciri-ciri khas seni pertunjukan ritual juga diuraikan dengan jelas. Piliang dalam buku “Hipersemiotka : Tapsir Cultural Studies Atas Matinya Makna”, (2003) menguraikan ada dua aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam proses seni, salah satunya adalah aspek subyektif yang berkaitan dengan kemampuan artistik dan daya kreatifitas seniman, yang dibentuk oleh kebudayaan, mitos, kepercayaan, idiologi atau ketaksadaran seniman itu sendiri. Di samping menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan proses seni sesuai dengan keberadaan penelitian, buku ini juga menguraikan teori yang dipakai untuk membedah penelitian ini. Dari tulisan-tulisan yang pernah dibaca tentang seni karawitan khususnya Gamelan Batel, terlihat perbedaannya dengan penelitian yang akan
17
dilakukan. Tulisan-tulisan sebelumnya lebih banyak mengulas tentang seni karawitan secara umum. Di samping itu, penelitian ini menjadi berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena dikaji dalam perspektif kajian budaya. Penelitian ini menjadi lebih menarik untuk diteliti setelah membaca pendapat I Wayan Dibia yang mengatakan berbagai seni pertunjukan yang hingga kini diwarisi oleh masyarakat Bali, dalam kurun waktu yang cukup panjang telah mengalami perubahan yang menyangkut isi, bentuk dan tatanan penyajian kesenian itu sendiri. Sesuai dengan pertunjukan wayang kulit dewasa ini telah mengalami pergeseran dalam bidang pementasan terutama pada iringan
dari
wayang kulit. Menyadari hal tersebut sangat menarik untuk diteliti. Sumbersumber tersebut diatas merupakan data yang akan diolah dengan melakukan penggabungan, pengkaitan, perbandingan dan analogi. Pustaka lainnya yang sifatnya mendukung, dengan memanfaatkan sumber-sumber diatas, kemudian dipadukan secara cermat dengan studi lapangan, maka hasilnya diharapkan mampu menjawab permasalahan yang diajukan dan mendekati kebenaran.
2.2 Konsep Konsep sangat dipentingkan dalam penelitian, biasanya digunakan sebagai pendukung analisis sehingga dapat memberikan bingkai analisis sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena sosial yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian atau peristiwa, keadaan, kelompok maupun individu tertentu (Hadi,2000: 17). Konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati
18
sehingga konsep menentukan adanya variable-variabel di mana ditemukan hubungan empiris. Konsep adalah definisi secara singkat dari sekolompok fakta atau
gejala.
Dalam penelitian
ini
akan
dikembangkan
konsep-konsep;
1.Marginalisasi, 2.Gamelan Batel, 3. Seni pertunjukan wayang kulit.
2.2.1 Marginalisasi Marginal atau keterpinggiran adalah kata sifat yang mengacu pada suatu posisi yang diperbandingkan dengan suatu posisi yang lain. Ia tidak bisa berdiri sendiri. Keberadaan dan pengertiannya sangat tergantung pada antitesenya, yakni posisi yang bukan di pinggir ( biasa disebut “pusat” atau “tengah”). Kontras antara tengah dan pinggir dalam pengertian marginalitas biasanya dikaitkan dengan distribusi kekuasaan atau lebih tepat keberdayaan, yang bergradasi menurun dari pusat ke pinggir. Pusat atau tengah adalah posisi yang paling berdaya. Mereka yang menduduki posisi tersebut dianggap penting sebagai inti atau sumber acuan, dan karenanya mendapat perhatian. Sebaliknya, posisi pinggiran paling jauh dari keberdayaan karena dianggap kurang penting. Marginalitas juga dapat diartikan sebagai suatu posisi yang berada pada perbatasan, yang tidak dimiliki atau memiliki yang berada di tengah karena identitas yang tidak jelas ( Wahyudi,2004: 87-88)).
2.2.2 Gamelan Batel Gamelan adalah istilah yang dipakai masyarakat Bali untuk menyebutkan satu barung instrument sedangkan kata batel merupakan salah satu bentuk gending
19
yang bisa
ditemukan pada jenis-jenis
gending pengarjan, bebarongan,
pegambuhan, gegandrungan, gender wayang dan petopengan.
Jadi Gamelan Batel merupakan sebuah barungan alit yang tergolong gamelan madya dipakai mengiringi wayang kulit, barong bangkal dan barong landung. Dalam banyak hal barungan ini merupakan pengiring prosesi, karena bisa dimainkan sambil berjalan. Dalam mengiringi tari barong landung dan barong bangkal agak berbeda dengan barungan gamelan Bali lainnya, batel barong tidak mempergunakan instrumen pembawa melodi. Oleh karena itu musik yang ditampilkan cenderung ritmis dan dinamis. Untuk mengiringi wayang kulit di tambahkan intrumen berupa 2 pasang Gender Wayang. Gender Wayang adalah barungan yang sangat tua dan sakral, karena gamelan gender wayang ini dipentaskan atau dimainkan pada waktu mengiringi upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya , Rsi Yadnya, dan Dewa Yadnya. Seperti namanya, gamelan gender wayang sangat erat hubungannya dengan iringan pakeliran di Bali yaitu digunakan untuk mengiringi wayang parwa. Gender Wayang merupakan dua buah kata yang melahirkan suatu pengertian tertentu. Kata “Gender” jika didalam pengucapan tidak disertai dengan kata wayang, kadang-kadang mempunyai pengertian berbeda, seperti misalnya kata Gender rambat dan Gender Barangan. Gender rambat adalah salah satu jenis instrumen dalam gamelan Pelegongan atau Samara pagulingan, sedangkan Gender Barangan adalah jenis instumen dalam gamelan pelegongan atau pada gender wayang. Gender adalah gamelan yang mempunyai bilah yang dibuat dari perunggu (karawang), yang digantung diatas resonator bambu yang di topang
20
dengan tumpuan kayu atau besi, agar tidak bersentuhan antara bilah dengan bilah yang lainnya. Wayang merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional rakyat Bali yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Wayang juga merupakan teater daerah Bali, yang mempunyai fungsi yang sangat komplek di masyarakat, serta di gemari oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia terutama suku Jawa dan Bali. Gender Wayang, adalah seperangkat gemelan (barungan) yang di pakai untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit di Bali. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Jaap Kunst dalam bukunya yang berjudul Hindu Javanese Musical Instrumens, mengatakan bahwa satu-satunya instumen yang menyertai pertunjukan wayang kulit di Bali pada kenyataannya adalah gender wayang. Seperangkat gender wayang terdiri dari dua tungguh gender yang gede dan dua tungguh gender yang lebih kecil atau gender barangan yang juga biasa di sebut gender cenik. Sedangkan di Bali utara biasanya dipakai dua tungguh gender gede saja. Gender wayang yang terdapat di Bali masing-masing mempunyai karakter tersendiri sesuai selera individu yang memiliki. Dengan demikian gender wayang dari desa satu dengan yang lainya tidak biasa dimainkan bersama. Gender wayang dilaras lima nada yang di sebut saih gender wayang dan mempunyai 10 bilah yang terdiri dari 2 octave. Ombak (gelombang) dalam gender wayang lebih pelan di bandingkan dengan ombak gamelan gong kebyar. Satu tungguh gender lebih tinggi sedikit suaranya (gender pengisep) dari pada gender yang lainnya (pengumbang), apabila
21
di pukul bersamaan akan menimbulkan getaran atau gelombang suara. Selain gender wayang dalam barungan batel untuk mengiringi wayang kulit digunakan juga intrumen seperti :2 buah kendang kecil,1buah kajar,1buah kempur,1buah klenang,1buah kemong,dan 1pangkon ricik.
2.2.3 Seni Pertunjukan Wayang Kulit Konsep pertunjukan dalam tulisan ini yang dijelaskan adalah konsep seni pertunjukan yang
diuraikan
dalam buku “Seni Pertunjukan Dari Perspektif
Politik, Sosial, dan Ekonomi dijelaskan
bahwa seni pertunjukan merupakan
sebuah cabang seni yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Sebagai seni yang hilang dalam waktu, seni pertunjukan hanya bisa dinikmati apabila seni sedang dipertunjukan (Soedarsono, 2003: 1). Menurut Dibia (2004: 3) seni pertunjukan adalah presentasi ide, gagasan atau pesan kepada penonton oleh pelakunya melalui peragaan. Sebagai sebuah karya seni, seni pertunjukan memadukan hampir semua unsur seni yaitu seni rupa, seni sastra, seni gerak, seni suara sehingga mampu memberi kepuasan estetis yang sangat lengkap. Rina Martiara, dalam “Kembang Setaman” (2003: 170) mengatakan bahwa seni pertunjukan memiliki arti : tontonan yang bernilai seni berupa drama, musik dan seni yang disajikan sebagai pertunjukan didepan penonton. Diungkapkan pula pendapat Sal Murgianto yang mengembangkan pengertian seni pertunjukan menjadi lebih luas mencakup seluruh prilaku manusia yaitu
22
performative behavior atau budaya pertunjukan dan cultural performance atau pertunjukan budaya. Wayang kulit merupakan pertunjukan yang sudah dipertunjukan sejak zaman purba, informasi ini diketahui melalui prasasti bebetin yang berangka 916 masehi. Pertunjukan wayang kulit di Bali ada dua yaitu Wayang lemah adalah Wayang yang dipertunjukan pada saat adanya upacara Yadnya, baik Upacara Dewa Yadnya, Manusa yadnya, Pitra Yadnya, Buta yadnya, yang semua pertunjukan ini diiringi oleh barungan gamelan gender wayang. Wayang peteng adalah wayang yang dipentaskan pada waktu malam hari, menggukan kelir, lampu blenjong, jejuluk, tali, pohon pisang dan lain-lain. Dalam pementasannya ada dua iringan wayang peteng, parwa menggunakan gender dan Ramayana dengan menggunakan iringan batel. Di Bali ada beberapa barungan batel seperti Samara Pagulingan, Angklung. Gamelan Batel yang dimaksud dalam penelitian ini, seni pertunjukan karawitan yang mengiringi pertunjukan Wayang kulit, yang beranggotakan dua belas (12) personil,antara lain: Satu pasang kendang lanang wadon, empat tungguh gender wayang, cenceng rincik, klenang,
kempur, tawa-tawa,krenet,
suling.
2.3. Landasan Teori Landasan teori, dapat memberi kerangka teoritis untuk menganalisa dan mengklasifikasi fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian. Teori juga berfungsi sebagai pendorong proses berpikir deduktif yang bergerak dari alam
23
abstrak kealam fakta-fakta kongkrit. Teori bisa dipahami sebagai narasi yang bertujuan memilah-milah dan menguraikan ciri-ciri umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan, dan menjelaskan kejadian-kejadian yang terus menerus muncul (Barker,2005:43-44). Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa teori yaitu : Dekontruksi, semiotika. Estetika
2.3.1 Teori Dekonstruksi Secara garis besar menurut Derrida, dekonstruksi bertujuan untuk membongkar oposisi biner, menolak adanya satu pusat sebagaimana dipahami oleh
strukturalisme.
Penolakkan
dilakukan
dengan
perbedaan sekaligus
penundaan. Penolakkan terhadap adanya satu pusat dilakukan dengan decentering, struktur tanpa pusat dan tanpa hieerki. Dalam dekonstruksi tidak ada yang abadi, semua berupa jejak ( Ratna, 2005: 595 ). Teori ini akan digunakan untuk membedah pertunjukan Gamelan Batel dalam mengiringi pementasan wayang kulit sebagai usaha dalam memberikan arti pada kelompok kesenian tradisi, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan, karena teori ini merupakan salah satu postrukturalisme yang paling kritis dalam memahami dinamika aspek-aspek kebudayaan. Postrukturalisme membawa kehidupan manusia pada keseimbangan yang dinamis sebab oposisi biner telah diubah gravitasinya. Studi kultural menampung masalah-masalah yang dihasilkan oleh mekanisme dekonstruksi dengan cara menampilkan ke dalam suatu pemahaman yang dapat diterima oleh semua pihak (Ratna, 2005 : 267).
24
Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan ini menyimpulkan bahwa, masa depan mendesentralisir teater dan dunia “tidak dinantikan maupun ditemukan kembali.” Magsud Derrida adalah bahwa tidak akan menemukan masa depan di masa lampau, juga tidak boleh berdiam pasif menunggu nasib atau takdir kita untuk berkembang. Masa depan ditemukan, diciptakan menurut apa yang sedang kita lakukan sekarang. Kita semua dalam menulis masa depan, namun kita tidak mengetahui, tidak bisa mengetahui, seperti apa masa depan itu. ( Ritzer, 2004: 209 ). Menurut Derrida, ada “dua interpretasi atas interpretasi” yang pertama berupaya memaparkan impian-impian mengenai pemaparan suatu kebenaran atas asal-usul, yang kedua mendukung permainan dan berupaya melampaui manusia dan humanisme (Beilharz, 2005:77). Juga menyatakan disini atau di mana saja, pelajaran pertama dekonstruksi adalah bahwa tak ada teks yang dapat ditotalisasikan tanpa melibatkan signifikasi: senantiasa ada yang terabaikan, sebuah aspek atau dimensi teks yang tereduksi, terlewatkan, terberangus atau terdiamkan. Magsud derrida adalah tetap terbuka dan responsive terhadap yang lain ( Beilharz, 2005; 78 ). Dekonstruksi berupaya mengembalikan posisi yang menjadi objek ke dalam posisi yang signifikan. Dalam hal ini, dekonstruksi memberi arti pada kelompok-kelompok yang lemah, termalginalkan dan kelompok-kelompok monoritas. Dekonstruksi tidak serta merta melakkan pembongkaran tetapi dekonstruksi merupakan gerakan perlawanan postmodernisme terhadap pemikiran postmodernisme yang fungsional, stukturalis dan paradigmatic. Dekonstruksi
25
memang melakukan pembongkaran , tatapi tujuannya adalah penyusunan kembali kedalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi berarti sebagai usaha memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh perhatian, bahkan diabaikan sama sekali. Dalam penelitian ini teori dekonstruksi dipakai sebagai teori utama dalam membedah rumusan masalah dua dan tiga
2.3.2 Teori Semiotika Semiotika adalah ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Semiotika ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya dalam masyarakat. Oleh sebab itu, semotika mempelajari relasi di antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya ( Pilliang, 2003:47 ). Menurut
Peirce
dalam
buku
semiotika
komunikasi,
semiotika
berdasarkan obyeknya dapat dibagi tiga yaitu ikon, indeks, simbol. Teori semiotika dalam kaitannya dengan seni pertunjukan, semeotika berhubungan dengan proses pemaknaan, yaitu sebagaimana suatu makna ditarik dari tandatanda suatu kesenian tersebut. Sebagaimana dalam konsep bahasa, semiotika dalam seni pertunjukan terdapat proses interpretasi lambang yang didalamnya terdapat bagian yang saling berkaitan yaitu pengamat dan obyek. Oleh sebab itu,
26
seniman atau pelaku seni pertunjukan, penonton atau pengamat, interpretasi dari lambang-lambang dalam usaha memahami proses pertunjukan. Dalam aspek-aspek seni pertunjukan juga mempunyai ikon, indeks dan simbol. Ikon merupakan lambang yang wujudnya menyerupai yang dilambangkan, indeks adalah tanda yang menunjukan akan ada sesuatu yang lain dan simbol menunjukan lambang yang tidak menyerupai yang dilambangkan (Subur : 41-42). Teori semiotika dalam penelitian ini dipergunakan sebagai teori pendukung untuk membedah rumusan masalah ketiga yang berkaitan dengan dampak dan makna marginalisasi terhadap gamelan batel yang ada di desa Sibanggede, kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.
2.3.3 Teori Estetika Estetika berasal dari kata Yunani aisthetikos, atau kata aistanomai yang berarti mengamati dengan indra. Disamping itu pengertian ini juga dihubungi dengan kata Yunani aisthesis yang berarti pengamatan. Dengan demikian maka ada yang melihat estetika sebagai ilmu pengetahuan pengamatan. Estetika dapat pula dirumuskan sebagai renungan filsafati tentang seni atau filsafat seni. Bersama sama dengan etika dan logika, estetika membentuk apa yang disebut dengan tri tunggal ilmu pengetahuan yang normative. Menurut Hegel etika dan logika tanpa estetika tak akan mampu membentuk totalitas pemikiran yang normative yang utuh. Estetika sebagai sebuah teori ilmu pengetahuan tidak hanya untuk menyimak
keindahan
dalam
pengertian
konvensional,
melainkan
telah
27
berkembang kearah wacana dan fenomena. Perubahan pandangan estetika dari masa ke masa ini secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu (1) Estetika klasik/ pramodernisme, dengan prinsip bentuk mengikuti fungsi makna ( form follows meaning), (2) Estetika modernisme dengan prinsip bentuk mengikuti fungsi ( form follows fungtion), (3) Estetika posmodernisme, dengan prinsip bentuk mengikuti kesenangan ( form follows fun) ( Sachari,2006:9). Gamelan Batel adalah sebuah gamelan yang lahir dari prinsip estetika posmodernisme yang lahir akibat dari proses kreatif seniman pendukungnya sebagi pengembangan dari bentuk-bentuk estetika klasik. Teori ini dianggap relevan dipakai untuk membedah beberapa hal yang berkaitan dengan bentuk kesenian gamelan batel jika dilihat dari bentuk instrument, penyajian, serta fungsinya dalam seni pertunjukan Wayang Kulit.
2.4. Model Model digunakan sebagai landasan berfikir untuk mengkaji seni batel dalam mengiringi seni pertunjukan wayang kulit sebuah kajian budaya.
28
Seni Pertunjukan
Faktor Eksternal
Faktor Internal
Gamelan Batel dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit
Marginalisasi Gamelan Batel dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit di Desa Sibanggede
Bagaimana Bentuk Marginalisasi Gamelan Batel
Faktor – faktor apa yang menyebabkan Gamelan Batel Termarginalisasi
Apa dampak dan Makna ditinggalkannya Gamelan Batel
Penjelasan Kesenian merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan seorang seniman. Sepanjang perjalanan kehidupan seni di Bali umumnya, kesenian telah mengalami perubahan yang Signifikan. Dari banyaknya perubahan, ada beberapa kesenian yang menjadi korban dalam kreatifitas dari seniman itu sendiri.Gamelan batel adalah gamelan yang dari tahun 2000 an, menjadi gamelan yang mengalami keterpurukan dalam pertunjukan wayang kulit. Segala aktifitas yang semestinya dilakukan oleh Gamelan Batel, kini telah diambil
29
oleh barungan lain. Gamelan batel mengalami pergeseran fungsi,
baik dari
pertunjukan, filosofi yangdisebabkan oleh adanya kebutuhan iringan yang tidak dimiliki oleh gamelan batel itu sendiri.