12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, peneliti mengemukakan beberapa konsep dan teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang penelitian yang meliputi:
2.1 Tunagrahita Tunagrahita bukanlah sebuah penyakit, meskipun tunagrahita merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap fungsi intelektual dan fungsi adaptif (Gunarsa, 2006).
2.1.1 Pengertian Tunagrahita Tunagrahita (mental retardation) adalah keadaan dengan inteligensi yang kurang (IQ <70) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak), dan biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Tunagrahita disebut juga olegofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) (Maramis, 2009). Tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap yang ditandai dengan adanya kelemahan (impairment) keterampilan atau kecakapan (skills) selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial (DSM-IV, 1994 dalam Lombantobing, 2006). Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tunagrahita merupakan suatu keadaan dengan adanya gangguan perkembangan
12
13
mental secara menyeluruh sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak) ditandai dengan adanya kelemahan (impairment) keterampilan atau kecakapan (skills) sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial.
2.1.2 Penyebab Tunagrahita Tunagrahita primer merupakan tunagrahita yang disebabkan oleh faktor keturunan (retardasi mental genetik) atau bahkan faktor yang tidak diketahui (retardasi mental simpleks). Sementara itu, penyebab tunagrahita sekunder adalah faktor-faktor dari luar yang diketahui dan faktor- faktor ini mempengaruhi otak pada waktu pranatal, perinatal atau postnatal (Maramis, 2009).
2.1.3 Karakteristik Tunagrahita Karakteristik merupakan ciri khas, watak atau tabiat yang dimiliki oleh seseorang (KBBI, 2008). Karakteristik anak tunagrahita dibedakan berdasarkan tingkat ketunagrahitaannya. Intelligence Quotient (IQ) bukanlah satu-satunya patokan yang dipakai untuk menentukan ringan-beratnya tunagrahita, namun dapat juga dipakai kemampuan untuk dididik atau dilatih dan kemampuan sosial atau kerja (vokasional). Gambaran penting tunagrahita adalah fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ <70) yang disertai dengan adanya keterbatasan dalam area fungsi adaptif seperti keterampilan komunikasi, perawatan diri, keterampilan, interpersonal atau soaial, penggunaan sumber masyarakat, tinggal di rumah, penunjuk diri, keterampilan akademik, pekerjaan, kesehatan, dan keamanan (King, 2000 dalam Napolion, 2010).
14
Karakteristik tunagrahita ditinjau dari segi intelektual (IQ), sosial, dan pendidikan (DSM-IV, 1994 dalam Lumbantobing, 2006; Hallahan & Kauffman, 2006; Maramis, 2009), yaitu: a. Tunagrahita ringan Intellegencia Quotient (IQ) 50-70, dapat mencari nafkah secara sederhana dalam keadaan baik, serta dapat dilatih dan dididik di sekolah khusus. b. Tunagrahita sedang Intellegencia Quotient (IQ) 35-49, mengenal bahaya, tidak dapat mencari nafkah, tidak dapat dididik, namun dapat dilatih. c. Tunagrahita berat Intellegencia Quotient (IQ) 20-34, mengenal bahaya, tidak dapat mencari nafkah, tidak dapat dididik, namun dapat dilatih. d. Tunagrahita sangat berat Intellegencia Quotient (IQ) <20, tidak mengenal bahaya, tidak dapat mengurus diri sendiri, tidak dapat dididik, dan tidak dapat dilatih. Sebagai bahan pertimbangan untuk mempelajari tentang karakteristik anak tunagrahita, dapat dilihat pada tabel 2.1.
15
Tabel 2.1 Ciri-Ciri Perkembangan Penderita Tunagrahita Tingkat Tunagrahita
Umur pra-sekolah : 0 -5 tahun Pematangan dan Perkembangan
Umur Sekolah : 6 – 20 tahun Latihan dan pendidikan
Berat Sekali
Retardasi berat; kemampuan minimal untuk berfungsi dalam bidang sensori-motorik; membutuhkan perawatan.
Perkembangan motorik sedikit; dapat bereaksi terhadap latihan mengurus diri sendiri secara minimal atau terbatas. Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; dapat dilatih dalam kebiasaan kesehatan dasar; dapat dilatih secara sistemik dalam kebiasaan.
Masa dewasa: 21 tahun atau lebih Kecukupan Sosial dan Pekerjaan
Perkembangan motorik dan bicara sedikit; dapat mencapai mengurus diri sendiri secara sangat terbatas; membutuhkan perawatan. Berat Perkembangan motorik Dapat mencapai kurang; bicara minimal; sebagian dalam pada umumnya tidak mengurus diri sendiri di dapat dilatih untuk bawah pengawasan mengurus diri – sendiri; penuh; dapat keterampilan komunikasi mengembangkan secara tidak ada atau hanya minimal berguna sedikit sekali. keterampilan menjaga diri dalam lingkungan yang terkontrol. Sedang Dapat berbicara atau Dapat dilatih dalam Dapat mencari nafkah belajar berkomunikasi; keterampilan sosial dalam pekerjaan kasar kesadaran sosial kurang; dan pekerjaan; sukar (“unskilled”) atau perkembangan motorik untuk maju lewat setengah terlatih dalam cukup; dapat mengurus kelas 2 SD dalam keadaan yang diri sendiri; dapat diatur mata pelajaran terlindung; memerlukan dengan pengawasan akademik; dapat pengawasan dan sedang. belajar bepergian bimbingan bila sendirian di tempat mengalami stres sosial yang sudah dikenal. atau stres ekonomi yang ringan. Ringan Dapat mengembangkan Dapat belajar Biasanya dapat keterampilan sosial dan keterampilan mencapai keterampilan komunikasi; akademik sampai kira- sosial dan pekerjaan keterbelakangan minimal kira kelas 6 pada umur yang cukup untuk dalam bidang belasan tahun (dekat mencari nafkah, tetapi sensorimotoik; sering umur 20 tahun); dapat memerlukan bimbingan tidak dapat dibedakan dibimbing ke arah dan bantuan bila dari normal hingga usia konformitas sosial. mengalami stres sosial lebih tua. atau stres ekonomi yang luar biasa. Sumber: Freedman, A.M., H.I. dan Sadock, B.J. : Modem Synopsis of Comprehensive Textbook of Psychiatry, Williams & Wilkins Co, Baltimore, 1972, HI. 313 dalam Maramis, 2009.
16
2.1.4 Dampak Keterbatasan Anak Tunagrahita a. Orang tua Kebanyakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menyembunyikan anaknya. Orang tua menganggap bahwa kondisi anaknya disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga orang tua merasa tidak mampu, rendah diri gagal dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya (Napolion, 2010). Hal tersebut akan berdampak pada munculnya tugas maladaptif sebagai orang tua. Adapun tugas maladaptif orangtua yang mempunyai anak dengan tunagrahita meliputi: 1)
tidak/kurang menerima keadaan anak dengan tunagrahita,
2)
tidak/kurang memperhatikan dan merawat setiap kebutuhan anak tunagrahita,
3)
tidak/kurang mampu memenuhi kebutuhan normal perkembangan anak tunagrahita,
4)
tidak/kurang mampu memenuhi kebutuhan terkait perkembangan anggota keluarga lainnya,
5)
tidak/kurang mampu mengatasi stres dan krisis periodik,
6)
tidak/kurang ada upaya orang tua dalam membantu anggota keluarga dalam mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan,
7)
tidak/kurang mampu mengajarkan anggota keluarga yang lain tentang kondisi anak, dan
8)
tidak/kurang mampu melaksanakan sistem pendukung (Dewi, 2011).
17
b. Saudara Kandung Allen, Lowe, Moore & Brophy (2007 dalam Dewi, 2011) menemukan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa saudara kandung dari anak yang mengalami tunagrahita, beresiko tinggi gagal melakukan penyesuaian. Namun penelitian lainnya menjelaskan bahwa ikatan hubungan saudara kandung pada anak tunagrahita tidak memiliki resiko mengalami masalah psikiatrik berat (O`brien, 2003 dalam Dewi, 2011). c. Anggota keluarga besar dan masyarakat Menurut Wong (2009), anggota keluarga yang bukan inti atau beberapa teman dekat dapat merasakan efek dari keterbatasan anak tunagrahita. Stres dapat muncul dari sumber eksternal keluarga, seperti teman, tetangga, atau bahkan dari orang asing sekalipun. Ketidakmampuan untuk mengatasi pendapat atau pandangan curiga orang lain mengenai gangguan tunagrahita dapat mendorong kecenderungan untuk mengisolasi atau menyembunyikan anak tunagrahita dari dunia luar (Dewi, 2011).
2.1.5 Upaya untuk Mengatasi Anak dengan Tunagrahita Menurut Isaacs (2005), upaya untuk mengatasi anak dengan tunagrahita, yaitu: a. Pencegahan Primer dan Sekunder Pencegahan dilakukan dengan imunisasi bagi anak dan ibu sebelum kehamilan, konseling perkawinan, pemeriksaan kehamilan rutin, nutrisi yang baik, persalinan oleh tenaga kesehatan, memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga, pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat dan program mengentaskan
18
kemiskinan dengan tujuannya yaitu untuk meningkatkan kesehatan calon anak (Arifin, 2009 dalam Napolion, 2010). Pencegahan sekunder dilakukan dengan deteksi dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan sekolah sehingga tindakan tepat dapat segera diberikan dengan cara konseling individu dengan program bimbingan sekolah dan layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami stres (Isaac, 2005). b. Dukungan Terapeutik Dukungan diberikan kepada anak yang mengalami tunagrahita dengan pikoterapi individu, terapi bermain dan program pendidikan khusus seperti Sekolah Luar Biasa (Isaac, 2005). c. Terapi Keluarga dan Penyuluhan Kesehatan Penyuluhan kesehatan untuk keluarga khususnya orang tua berisi tentang perkembangan anak untuk tiap tahap usia dukung keterlibatan orang tua dalam perawatan anak, bimbingan antisipasi, dan manajemen menghadapi perilaku anak yang sulit, informasikan sarana pendidikan yang ada dan kelompok swabantu (Arifin, 2009 dalam Napolion, 2010). d. Farmakologi Menurut Townsend (2003 dalam Napolion, 2010), pengobatan khusus untuk anak dengan tunagrahita sampai saat ini belum ada, pengobatan dilakukan jika anak mengalami keadaan khusus seperti cemas berat itupun dilakukan bukan sebagai prioritas utama.
19
2.2 Keluarga (Orang Tua) dengan Anak Tunagrahita
2.2.1 Pengertian Keluarga Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga yang terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama (Friedman, 1998 dalam Achjar 2010). Keluarga merupakan unit terkecil yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di bawah satu atap di suatu tempat dalam keadaan saling ketergantungan (DepKes R.I., 1988 dalam Achjar, 2010). Menurut UU No.10 (1992 dalam Napolion, 2010) tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, suami-istri dan ananknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga disebut sebagai sebuah sistem dikarenakan beberapa alasan yaitu pertama, keluarga memiliki subsistem seperti anggota, peran, fungsi, aturan, budaya, dan lainnya yang dapat dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan keluarga. Kedua, dalam sebuah keluarga terdapat saling berhubungan dan ketergantungan antara subsistem. Ketiga, keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang dapat mempengaruhi suprasistemnya (Friedman, 2010). Sementara itu, pengertian orang tua adalah ayah dan ibu (KBBI, 2008).
20
2.2.2 Fungsi Keluarga Fungsi keluarga didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Menurut Friedman (1998 dalam Achjar, 2010) terdapat beberapa fungsi keluarga, yaitu: a. Fungsi Afektif Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan kepribadian dari anggota keluarga, dimana fungsi ini dapat dilihat dari bagaimana cara keluarga mengekspresikan kasih sayang (Achjar, 2010). Menurut Friedman (2010 dalam Dewi, 2011) peran utama orang tua dalam keluarga dengan anak tunagrahita adalah fungsi afektif
yang berhubungan
dengan: 1) pemberian kasih sayang dan rasa aman dari orang tua terhadap anak tunagrahita, 2) pemberian perhatian di antara anggota keluarga, khususnya dalam memenuhi kebutuhan dasar anak, 3) membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dalam menghadapi krisis yang mungkin muncul karena memiliki anak tunagrahita, dan 4) memberikan identitas keluarga sebagai wujud tanggung jawab kepala keluarga dalam meningkatkan harga diri keluarga menghadapi stigma sosial tentang anak tunagrahita. b. Fungsi Sosialisasi Fungsi sosialisasi tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan
21
perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak, serta meneruskan nilai-nilai budaya keluarga (Achjar, 2010). Anak tunagrahita akan mengalami stigma sosial (Wong, 2009) karena keterbatasan yang dimiliki sehingga berdampak terhadap penerimaan masyarakat akan keberadaannya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang turut berkontribusi terhadap kesulitan anak tunagrahita untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Selain itu, menurut Allen, Lowe, Moore & Brophy (2007 dalam Dewi, 2011), beberapa anak juga mengalami kelemahan dalam keterampilan bersosialisasi, seperti dalam komunikasi verbal dan perumusan bahasa yang tepat. Orang tua yang memahami dan menyadari akan kelemahan anak retardasi mental merupakan faktor utama untuk membantu perkembangan anak dengan lingkungan (Suryani, 2005 dalam Dewi, 2011). c. Fungsi Perawatan Kesehatan Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi keluarga dalam melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga termasuk anggota keluarga
dengan
tunagrahita
serta
menjamin
pemenuhan
kebutuhan
perkembangan fisik, mental, dan spiritual dengan cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali keadaan sakit setiap
anggota keluarga.
Keluarga diartikan sebagi sentral pelayanan keperawatan karena keluarga dapat menjadi sumber kritikal untuk pemberian pelayanan keperawatan, sehingga intervensi yang dilakukan pada keluarga merupakan hal yang perlu penting pemenuhan kebutuhan individu (Achjar, 2010).
22
d. Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan, dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dan keluarga. Mencari sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penghasilan keluarga, serta menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut Sethi, Bhargava & Dhiman (2007 dalam Dewi, 2011), beban yang dirasakan keluarga ketika memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi fungsi ekonomi. Keluarga akan dihinggapi perasaan cemas tentang masa depan pembiayaan anak, terkait dengan kemunduran produktivitas kepala keluarga dan kekhawatiran bahwa anak tidak mampu berfungsi optimal secara ekonomis, dikarenakan keterbatasan yang dimilikinya (Hassall, Rose & Mc.Donald, 2005). e. Fungsi Biologis Fungsi biologis keluarga (orang tua) bukan hanya ditujukan untuk meneruskan keturunan tetapi untuk memelihara dan membesarkan anak untuk kelanjutan generasi selanjutnya. Beberapa keluarga dengan anak berkebutuhan khusus akan mengalami stres dan ketegangan dalam hidupnya sehingga terkadang tidak memiliki cukup waktu dan perhatian dalam perencanaan pengaturan anak. Mereka akan disibukkan tentang beban yang tinggi dalam perawatan dan masa depan anak, sehingga fungsi reproduksi dalam keluarga sering kali terabaikan (Tsai & Wang, 2007 dalam Dewi, 2011).
23
f. Fungsi Psikologis Fungsi psikologis tercermin dari bagaimana keluarga memberikan kasih sayang, rasa aman, memberikan perhatian di antara anggota keluarga membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga (Achjar, 2010), termasuk pada anggota keluarga yang menyandang tunagrahita. Kasih sayang dari keluarga/orang tua sangat dibutuhkan oleh anak tunagrahita. Anak yang hidup di lingkungan yang penuh kasih sayang akan tumbuh lebih baik daripada anak yang hidup di lingkungan keluarga yang tertekan dan tidak harmonis (Napolion, 2010). g. Fungsi Pendidikan Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Anak tungarahita dengan inteligensinya yang kurang (Maramis, 2009) akan menjadi pekerjaan lebih bagi orang tua dalam mendidik dan melatihnya.
2.2.3 Tugas dan Peran Keluarga Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh keluarga, komunitas, dan kultur. Perilaku diasarkan pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi (Potter & Perry, 2005). Peran keluarga sangat diperlukan saat mengahadapi masalah yang muncul pada keluarga, hal ini terkait dengan adanya hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan setiap anggota keluarga. Salah satu peran atau tugas keluarga adalah merawat anggota keluarga yang sakit
24
atau tidak mampu (Achjar, 2010). Mohr (2006) membagi peran keluarga yang memiliki anak tunagrahita menjadi lima, yaitu: 1) memberikan respon terhadap setiap kebutuhan anggota keluarga terutama kebutuhan stimulasi tumbuh kembang pada anak tunagrahita, 2) membantu mengatasi setiap masalah psikososial dalam keluarga secara aktif akibat memiliki dan atau merawat anak tunagrahita 3) pembagian tugas dengan distribusi yang merata terkait stimulasi tumbuh kembang anak tunagrahita, 4) menganjurkan interaksi di dalam dan di luar keluarga, serta 5) meningkatkan kualitas kesehatan pada setiap anggota keluarga.
2.3 Masalah Psikososial Orang Tua: Ansietas Orang tua dengan anak tunagrahita akan mengalami suatu periode krisis karena merawat anak berkebutuhan khusus. Masalah psikososial yang kerap dialami orang tua ketika merawat anak tunagrahita yaitu ansietas (Dewi, 2011).
2.3.1 Pengertian Ansietas Kata ansietas berasal dari bahasa Latin, angere, yang berarti tercekik atau tercekat. Respon ansietas sering kali tidak berkaitan dengan ancaman yang nyata, namun tetap dapat membuat seseorang tidak mampu bertindak atau bahkan menarik diri (Maramis, 2009). Menurut Saddock & Saddock (2007), ansietas merupakan suatu respon normal individu terhadap pertumbuhan, perubahan, pengalaman baru, penemuan identitas, dan makna hidup. Ansietas adalah perasaan tidak khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya atau frustasi yang akan
25
membahayakan rasa aman, keseimbangan, atau kehidupan seseorang atau kelompok sosialnya. Sedangkan menurut Depkes RI (2009 dalam Dewi, 2011), ansietas adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam. Setelah mencermati beberapa pengertian di atas, konsep ansietas dapat dibedakan dengan ketakutan. Pada ansietas, sumber penyebab tidak jelas. Sementara pada ketakutan, sumber ketakutan jelas atau individu tahu takut terhadap apa (Maramis, 2009).
2.3.2 Faktor Predisposisi Ansietas tidak dapat dihindarkan dari kehidupan orang tua selama merawat anak tunagrahita. Pengalaman ansietas orang tua tidak sama pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal. Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan ansietas pada orang tua anak tunagrahita, meliputi: a. Pandangan biologis Ansietas diduga bersifat turunan, karena terdapat komponen yang bersifat diwariskan dari satu generasi ke generasi sesudahnya. Disfungsi neurotransmiter gama amino butirat acid (GABA) diyakini dapat mempengaruhi terjadinya ansietas. Selain GABA, terdapat beberapa neurotransmiter lainnya yang turut berperan dalam proses terjadinya ansietas, sebagaimana halnya dengan endorphin. Selain itu telah dibuktikan bahwa status kesehatan umum seseorang mempunyai kontribusi terhadap faktor predisposisi ansietas, karena dapat menurunkan kapasitas seseorang dalam mengatasi stresso (Videbeck, 2007).
26
b. Pandangan psikoanalitik Ansietas diartikan sebagai konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya. Ego atau aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya (Videbeck, 2007). c. Pandangan Interpersonal Menurut Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi, & Sumijatun (2005), ansietas muncul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik. d. Pandangan perilaku Ansietas timbul sebagai produk frustasi, yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Videbeck, 2007). Beberapa pakar menganggap ansietas sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. e. Pandangan keluarga Gangguan ansietas adalah hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga (Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi & Sumijatun, 2005), terdapat tumpang tindih antara gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.
27
2.3.3 Stresor Presipitasi Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi & Sumijatun (2005) menyatakan bahwa stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan ansietas. Stresor pencetus ansietas dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu: a. Biologi Menurut Tarwoto & Wartonah (2010), jika seorang individu yang terkena gangguan fisik, seperti penyakit kronis, cacat, pasca operasi, aborsi, dan sebagainya, akan lebih mudah mengalami stres. Selain itu, gangguan fisik juga akan lebih mudah untuk mencetuskan terjadinya ansietas, dikarenakan gangguan integritas fisik akan mempengaruhi konsep diri individu. b. Psikologi Faktor pencetus ansietas meliputi identitas diri dan harga diri individu. Ancaman eksternal terkait dengan kondisi psikologis dapat mencetuskan ansietas, seperti peristiwa kematian, kelahiran, pernikahan, putus kerja, dan sebagainya (Dewi, 2011). c. Sosial ekonomi Faktor sosial ekonomi akan mempengaruhi kemampuan individu dalam mengelola stres, yang jika terus berlanjut dan sulit untuk diantisipasi akan menyebabkan ansietas. Pernyataan tersebut didukung oleh Tarwoto & Wartonah (2010) yang menyatakan bahwa status sosial ekonomi dan pekerjaan akan mempengaruhi timbulnya stres dan ansietas.
28
2.3.4 Gejala-Gejala Ansietas Gejala-gejala ansietas terdiri dari 2 komponen, yaitu komponen psikis dan komponen fisik. Gejala psikis dapat berupa ansietas atau kecemasan itu sendiri; ada berbagai istilah yang sering digunakan oleh orang banyak, misalnya khawatir tau was-was. Komponen fisik merupakan manifestasi dari keterjagaan yang berlebihan
(hyperousal
syndrome):
jantung
berdebar,
napas
mencepat
(hiperventilasi, yang sering dirasakan sebagai „sesak‟), mulut kering, keluhan lambung (maag), tangan dan kaki merasa dingin dan ketegangan otot, biasanya di pelipis, tengkuk tau punggung. Hiperventilasi sering tidak disadari oleh penderita anxietas, yang dikeluhkan dalah gejala-gejala akibat berubahnya keseimbangan asam-basa di darah, terjadi hipokapnea; yang paling sering terjadi dalah perasaan pusing seperti melayang rasa kesemutan di tangan dan kaki, kalau parah dapat terjadi spasme otot tangan dan kaki (spasme karpopedal) (Maramis, 2009).
2.3.5 Rentang Respon Ansietas Rentang respon individu terhadap ansietas berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif seperti terlihat pada gambar 2.1.
ADAFTIF
Antisipasi
MALADAFTIF
Ringan
Sedang
Berat
Panik
Gambar 2.1 Rentang Respon Ansietas (Sumber: Stuart dan Sundeen, 2007)
29
Menurut Peplau (1989 dalam Videbeck, 2007; Stuart & Sundeen, 2007), tingkatan ansietas dapat dibagi atas: a.
Ansietas ringan Ansietas pada tingkat ini berhubungan dengan ketegangan yang dialami
sehari-hari. Hal tersebut menyebabkan seseorang menjadi waspada, lapangan persepsi meningkat, dan individu masih mampu memproses informasi. Ansietas ringan dapat memotivasi belajar serta menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, mudah tersinggung, lapang persepsi meningkat, berjaga-jaga, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, mampu mengenali tanda-tanda ansietas, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi. b.
Ansietas sedang Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun. Individu
lebih memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Individu mengalami perhatian yang selektif namun masih dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lapang persepsi menyempit, kemampuan konsentrasi menurun, mampu untuk belajar namun tidak optimal, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah, dan menangis.
30
c.
Ansietas berat Pada tingkat ini lahan persepsi individu menjadi sangat sempit. Individu
dengan ansietas berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang rinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk menguragi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lapang persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada diri sendiri dan keinginan untuk menghilangkan ansietas tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, serta disorientasi. d.
Tingkat panik Pada tahap ini lapangan persepsi sudah terganggu dan individu sudah tidak
dapat mengendalikan diri lagi, serta tidak mampu melakukan walaupun dengan pengarahan. Manifestasi yang muncul pada keadaan ini adalah susah bernapas, palpitasi, pucat, dilatasi pupil, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi, dan delusi. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.
2.3.6 Tingkat Ansietas dalam Skala Hamilton Tingkat ansietas seseorang, baik itu ringan, sedang, berat, atau panik, dapat diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikenal dengan nama Hamilton
31
Anxiety Rating Scale (HARS). Cara penilaian tingkat ansietas menggunakan HARS dapat diidentifikasi dengan berdasar pada 14 kelompok gejala yang mengindikasikan respon ansietas, dimana masing-masing kelompok akan diberi bobot skor 0-4 (Hawari, 2008). Menurut Hamilton (dalam Hawari, 2008), skala ansietas dalam HARS dapat dibagi dalam dua aspek, yang meliputi : a. Aspek Psikologis 1) Perasaan cemas: cemas, firasat buruk, mudah tersinggung. 2) Ketegangan: merasa tegang, mudah letih, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah, tidak dapat istirahat. 3) Ketakutan: pada gelap, takut ditinggal sendiri, takut pada orang asing, takut pada binatang besar, takut pada kerumunan orang banyak, dan takut pada keramaian lalu lintas. 4) Gangguan kecerdasan: sukar berkonsentrasi, daya ingat buruk, mudah lupa. 5) Perasaan depresi: hilang minat, sedih, perasaan berubah setiap hari. b. Aspek Fisiologis 1) Gangguan tidur: sukar tidur, terbangun pada malam hari, mimpi buruk, mimpi menakutkan, tidur tidak pulas, bila terbangun badan lemas, sering mimpi. 2) Gejala somatik atau otot-otot: nyeri otot, kaku, kedutan, gigi gemerutuk, suara tidak stabil. 3) Gejala sensorik: penglihatan kabur, gelisah, muka merah, merasa lemas. 4) Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri dada, denyut nadi meningkat, merasa lemah, denyut jantung berhenti sejenak.
32
5) Pernafasan: merasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik nafas pendek. 6) Ganguan gastrointestinal: sulit menelan, gangguan pencernaan, nyeri lambung, mual, muntah, pernafasan perut. 7) Gangguan urogenital: tidak dapat menahan kencing, frigiditas, amenorrhoe, ereksi melemah, atau impotensi. 8) Gangguan otonom: mulut kering, muka merah, berkeringat, bulu roma berdiri. 9) Perilaku sesaat: gelisah, tidak tenang, jari gemetar, muka tegang, tonus otot meningkat, mengerutkan dahi, nafas pendek dan cepat.
2.3.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ansietas Faktor-faktor yang mempengaruhi ansietas (Tarwoto & Wartonah, 2010) secara umum terdiri dari: a. Faktor Internal 1) Potensi Stresor Psikososial Potensi stresor psikososial adalah setiap peristiwa atau keadaan yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan individu, sehingga individu tersebut perlu beradaptasi untuk menanggulangi stresor yang timbul. Jika mekanisme koping individu maladaptif, maka akan mengakibatkan timbulnya ansietas, depresi, dan menarik diri (Tarwoto & Wartonah, 2010; Dewi, 2011). Pada keluarga anak tunagrahita, ansietas dipengaruhi oleh perubahan status kesehatan salah satu anggota yang bersifat permanen, dimana adanya ketergantungan anak tunagrahita akan mempengaruhi kesiapan dan kemampuan
33
keluarga khususnya orang tua dalam beradaptasi. Jika orang tua mengalami kegagalan dalam beradaptasi, akan mengantarkan dalam pemilihan mekanisme koping yang maladaptif, seperti ansietas, bahkan jika kondisinya semakin parah, akan mengarah kepada depresi, frustasi, dan menarik diri (Dewi, 2011). 2) Kematangan (Maturitas) Tarwoto & Wartonah (2010) menyatakan bahwa individu yang matang adalah individu yang mengalami kematangan kepribadian sehingga akan lebih sukar mengalami gangguan akibat stres. Orang tua anak tunagrahita yang memiliki kematangan kepribadian akan lebih sukar untuk mengalami ansietas. Hal tersebut disebabkan karena individu yang matang memiliki kemampuan adaptasi yang optimal, yang dapat menangkal setiap munculnya stresor, sehingga respon atau perilaku terhadapnya menjadi adaptif. Sebaliknya, individu yang tidak matang akan rentan dari stres, karena memiliki ambang stres yang rendah. Individu ini cenderung irritable dan mudah terpengaruh dengan adanya stressor kepribadian lebih banyak dipengaruhi faktor internal dan eksternal, seperti tipe kepribadian, pengalaman hidup, dan ketersediaan dukungan sosial. 3) Usia Gangguan ansietas dapat terjadi pada semua usia, akan tetapi lebih sering menimpa pada usia dewasa, dengan rentang usia 21-45 tahun (Saddock & Saddock, 2007). Menurut Priest (1987, dalam Dewi, 2011) dan Tallis (1995 dalam Dewi, 2011) yang berpendapat bahwa hubungan antara ansietas dan usia akan tetap berpola positif karena faktor penyebab ansietas pada individu adalah masalah yang tidak dapat diselesaikan. Contoh masalah yang tidak dapat
34
diselesaikan adalah usia yang terus bertambah tua. Usia yang meningkat tidak menjamin kepribadian seseorang akan semakin matang. 4) Status Pendidikan Menurut Sethi, Bhargava & Dhiman (2007 dalam Dewi, 2011), status pendidikan berbanding terbalik dengan penerimaan individu akan stres. Ketika individu memiliki tingkat pendidikan rendah, terjadi penurunan kemampuan kognitif dalam mempersepsikan munculnya stresor, sehingga individu tersebut akan relatif lebih rentan dalam menerima stres. Pendidikan menjadi suatu tolak ukur kemampuan individu dalam berinteraksi dengan individu lain secara efektif (Stuart & Laraia, 2008). Menurut Notoatmodjo (2007), individu dengan pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi, mudah mengerti, dan mudah menyelesaikan masalah. Tingkat pendidikan rendah akan menyebabkan individu mudah mengalami stres, dibanding yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi (Saddock & Saddock, 2007; Tarwoto & Wartonah, 2010). 5) Keadaan Fisik Menurut Stuart & Laraia (2008), individu yang mengalami gangguan fisik akan lebih rentan mengalami ansietas, karena adanya ancaman terhadap integritas fisik yang berpengaruh dalam pembentukan konsep diri. 6) Status Ekonomi Sethi, Bhargava & Dhiman (2007 dalam Dewi, 2011) menyatakan bahwa status ekonomi berbanding terbalik dengan kemampuan individu dalam menerima stres. Seseorang dengan status ekonomi yang kuat cenderung lebih berespon positif terhadap stresor dibanding seseorang dengan status ekonomi lemah.
35
Sebuah teori menyatakan bahwa tingkat penghasilan yang rendah berpengaruh secara negatif terhadap fungsi keluarga. Teori tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Emerson (2003 dalam Dewi, 2011) yang menemukan bahwa ibu dari anak berkebutuhan khusus, potensial mengalami masalah psikologis terkait adanya kerugian ekonomi dan kemiskinan. 7) Tipe Kepribadian Individu dengan tipe kepribadian A akan lebih rentan mengalami gangguan akibat stres, daripada individu dengan tipe kepribadian B. Ciri-ciri individu dengan tipe kepribadian A yaitu: tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa diburu-buru waktu, sangat setia terhadap pekerjaan, agresif, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah bermusuhan,
mudah
tersinggung, otot-otot mudah tegang. Sedangkan individu yang memiliki tipe kepribadian B memiliki karakteristik yang berlawanan dengan tipe kepribadian A (Dewi, 2011). b. Faktor Eksternal 1) Sosial Budaya Sosial budaya merupakan cara hidup di masyarakat yang akan mempengaruhi kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stress, dimana individu yang mempunyai cara hidup teratur, falsafah hidup yang jelas, pada umumnya lebih mampu berespon positif terhadap stresor. Selain itu, sosial budaya akan mempengaruhi terhadap ketersediaan dukungan sosial yang dibutuhkan oleh tiap individu dalam mengelola beban (Dewi, 2011).
36
2) Lingkungan Lingkungan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ansietas. Individu yang berada dalam lingkungan baru, akan menganggap lingkungan tersebut sebagai ancaman, yang menyebabkan munculnya respon ansietas sebagai kondisi yang tidak nyaman (Dewi, 2011).
2.4 Harga Diri (Self-Esteem)
2.4.1 Pengertian Harga Diri Harga diri adalah penilaian positif atau negatif individu yang dihubungkan dengan konsep diri. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga dapat mengevaluasi diri sendiri secara negatif (Lerner dan Spanier, 1980 dalam Gufron dan Risnawita, 2012). Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi merasa dirinya berharga dan berkemampuan sedangkan seseorang yang memiliki harga diri yang rendah memandang dirinya sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan, tidak berguna, gagal, dan tidak berharga (Baron-Byrne, 1994 dalam Siregar, 2006).
2.4.2 Komponen-Komponen Harga Diri Menurut Felker (Asmaradewi, 2002 dalam Siregar, 2006) terdapat 3 komponen dalam pembentukan harga diri, yaitu: a. Feeling of belonging, yaitu individu merasa bagian dari suatu kelompok dan diterima serta dihargai oleh anggota kelompoknya. Individu akan memiliki nilai positif akan dirinya apabila menilai dirinya bagian dari kelompoknya
37
atau mengalami perasaan diterima. Begitupun sebaliknya, individu akan merasa memiliki nilai negatif apabila ia merasa tidak diterima. b. Feeling of competence, yaitu individu merasa mampu mencapai hasil yang diharapkannya. Apabila individu merasa telah mencapai tujuan secara efisien, maka individu tersebut akan memberikan peniliaian positif pada dirinya. c. Feeling of worth, yaitu individu merasa dirinya berharga. Perasaan ini seringkali muncul dalam bentuk pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pandai, cantik, menawan, langsing, dan lain-lain. Individu yang mempunyai perasaan berharga akan menilai dirinya positif. Menurut Christia (2007 dalam Juniartha, 2012) aspek-aspek yang berhubungan dengan self-esteem terdapat 3 aspek, yaitu: a. Global harga diri, yaitu variabel keseluruhan dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi. b. Self-evaluation, yaitu bagaimana cara individu dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka, misalnya ada individu yang kurang yakin kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa individu tersebut memiliki harga diri yang rendah dalam bidang akademis, sedangkan individu yang berpikir bahwa dirinya terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan memiliki harga diri sosial yang tinggi. c. Emotion, yaitu keadaan emosi sesaat terutama sesuatu yang muncul sebagai konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika individu menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya telah meningkatkan harga diri mereka. Misalnya, individu memiliki harga diri yang tinggi karena mendapat
38
promosi jabatan, atau individu memiliki harga diri yang rendah setelah mengalami perceraian.
2.4.3 Karakteristik Harga Diri Coopersmith (dalam Siregar, 2006) membedakan harga diri dalam tiga tingkatan menurut karakteristik individu, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Adapun karakteristik-karakteristik tersebut yaitu: a. Individu dengan Harga Diri Tinggi Individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan menghargai dirinya, merasa dirinya berharga meskipun memiliki keterbatasan, serta berusaha untuk mengembangka dirinya (Siregar, 2006). Berikut adalah karakteristik individu dengan harga tinggi menurut Coopersmith (dalam Siregar, 2006): 1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik. 2) Berhasil dalam bidang akademik, terlebih dalam mengadakan hubungan sosial. 3) Dapat menerima kritik dengan baik. 4) Percaya pada persepsi dan dirinya sendiri. 5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau tidak hanya memikirkan kesulitannya sendiri. 6) Keyakinan akan dirinya tidak berdasarkan pada fantasinya, karena memang mempunyai kemampuan, kecakapan sosial, dan kualitas diri yang tinggi. 7) Tidak terpengaruh pada penilaian dari orang lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun negative.
39
8) Akan menyesuaikan diri dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum jelas. 9) Akan lebih banyak menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesukaan sehingga tercipta tingkat kecemasan dan perasaan tidak aman yang rendah serta memiliki daya pertahanan yang seimbangan. b. Individu dengan Harga Diri Sedang Karakteristik individu dengan harga diri sedang hampir sama dengan yang memiliki harga diri tinggi, terutama dalam kualitas, perilaku dan sikap. Pernyataan diri mereka memang positif, namun cenderung kurang moderat. Menurut Coopersmith (Asmaradewi, 2002 dalam Siregar, 2006) individu dengan harga diri sedang cenderung memandang dirinya lebih baik dari kebanyakan orang. c. Individu dengan Harga Diri Rendah Menurut Frey dan Carlock (dalam Gufron dan Risnawita, 2012), individu dengan harga diri rendah mempunyai ciri-ciri cenderung menolak dirinya dan merasa tidak puas. Berikut beberapa karakteristik individu dengan harga diri rendah menurut Coopersmith (dalam Siregar, 2006): 1) Mempunyai perasaan inferior. 2) Takut serta mengalami kegagalan dalam mengadakan hubungan sosial. 3) Tampak sebagai orang yang putus asa dan depresi. 4) Merasa tidak diperhatikan atau diasingkan. 5) Kurang mampu mengekspresikan diri. 6) Memiliki ketergantungan yang tinggi kepada lingkungan.
40
7) Tidak konsisten. 8) Secara pasif akan selalu mengikuti apa yang ada di lingkungannya. 9) Menggunakan banyak strategi pertahanan diri. 10) Cenderung mudah mengakui kesalahan.
2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga diri Menurut Gufron dan Risnawita (2012), harga diri dalam perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi seseorang dengan lingkungannya serta sejumlah penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang lain terhadap dirinya. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga diri, yaitu: a. Faktor Internal 1) Faktor Jenis Kelamin Menurut Ancok dkk (1988 dalam Gufron dan Risnawita, 2012), wanita selalu merasa bahwa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti merasa kurang mampu, kepercayaan diri kurang, atau merasa harus dilindungi. Hal tersebut mungkin dikarenakan oleh peran orang tua dan harapan-harapan masyarakat yang berbeda-beda pada pria maupun wanita. Penelitian oleh Coopersmith (1967 dalam Gufron dan Risnawita, 2012) menunjukan bahwa harga diri wanita lebih rendah daripada harga diri pria. 2) Intelegensi Intelegensi diartikan sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional seseorang yang sangat erat kaitannya dengan prestasi karena pengukuran tingkat kecerdasan selalu berdasarkan kemampuan akademis. Seseorang yang memiliki
41
harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada orang dengan harga diri yang rendah (Gufron dan Risnawita, 2012). 3) Kondisi Fisik Coopersmith (1967 dalam Gufron dan Risnawita, 2012) menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri, dimana seseorang dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan fisik yang kurang menarik. b. Faktor Eksternal 1) Lingkungan Sosial Menurut Klass dan Hodge (1978 dalam Gufron dan Risnawita, 2012), pembentukan harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari bahwa dirinya berharga atau tidak. Hal tersebut adalah hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepadanya.
2.5 Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat Ansietas Pada keluarga dengan anak tunagrahita, stigma sosial mengenai anak tunagrahita akan dirasakan oleh setiap anggota keluarga (Napolion, 2010) dan akan mempengaruhi keseimbangan sistem keluarga. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka disfungsi apapun yang terjadi pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga atau bahkan keseluruhan keluarga (Achjar, 2010). Begitu halnya pada keluarga dengan tunagahita, adanya stigma sosial mengenai tunagahita dapat memicu munculnya
42
masalah psikososial pada anggota keluarga dengan tunagrahita khususnya orang tua seperti gangguan ansietas dan penurunan harga diri. Beberapa orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menyembunyikan anaknya. Orang tua menganggap bahwa kondisi anaknya disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga keluarga merasa tidak mampu, rendah diri, gagal, dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Bila ditinjau dari teori kognitif, evaluasi diri yang negatif menjadi faktor yang dapat mempengaruhi ansietas individu (Ghufron dan Risnawita, 2012) atau dengan kata lain, tingkat ansietas individu dapat dipengaruhi oleh tingkat harga diri individu. Hal ini didukung oleh penyataan Coopersmith (dalam Siregar, 2006) yaitu, individu dengan tingkat harga diri tinggi cenderung memiliki tingkat ansietas yang lebih rendah atau ringan.