BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Dalam penelitian ini ada lima tesis yang digunakan untuk mendukung topik
yang sedang dibahas agar dapat membantu melengkapi penelitian ini. Kajian tesis ini digunakan untuk membandingkan penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan sehingga dapat dilihat posisi penelitian ini. Adapun tesis yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, “Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris dengan Menggunakan Teknik Bermain Peran pada Mahasiswa Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO” oleh Ni Luh Komang Julyanti Paramita Sari (2013). Penelitian itu mengkaji keterampilan berbicara dengan menggunakan teknik bermain peran yang diterapkan kepada peserta didik. Terdapat tiga tujuan dalam penelitian itu, yaitu mengetahui pelafalan (pronunciation), penggunaan tindak tutur, dan faktor-faktor yang menghambat mahasiswa dalam pembelajaran berbicara pada penerapan teknik bermain peran. Dalam penelitian linguistik terapan itu digunakan keterampilan berbicara dengan teknik role play, sedangkan unsur linguistiknya adalah tindak tutur. Hasil penelitian itu adalah pelafalan peserta didik masih dipengaruhi oleh bahasa pertama atau bahasa ibu, linguistik yang dikaji adalah tindak tutur, dan faktor penghambat mahasiswa dalam pembelajaran berbicara khususnya pada penerapan teknik bermain peran adalah penguasaan komponen kebahasaan, penguasaan komponen isi, serta kondisi lingkungan yang kurang efektif selama proses belajar
mengajar berlangsung. Subjek dalam penelitian itu adalah mahasiswa Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Komang Julyanti Paramita Sari berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Perbedaan tersebut, antara lain judul dan topik berbeda, objek penelitian berbeda, teknik yang digunakan berbeda, serta aspek linguistik yang diteliti adalah tindak tutur, sedangkan persamaannya terletak pada keterampilan berbicara. Jadi, menurut penulis penelitian itu cukup relevan dalam keterampilan berbicara yang penulis lakukan. Tesis kedua berjudul “Peningkatan Penguasaan Kosakata Siswa Melalui Penerapan Metode Pembelajaran Audiolingual pada Lembaga Kursus KUMON English as A Foreign Language Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris” oleh Desak Made Dewi Prabayanthi (2011). Penelitian itu mengkaji penguasaan kosakata dengan menerapkan metode audiolingual. Adapun tujuan penelitian itu adalah untuk mengetahui penguasaan kosakata siswa dengan menerapkan metode audiolingual, mendeskripsikan kosakata yang diketahui peserta didik, dan faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan penguasaan kosakata peserta didik. Dalam penelitian itu unsur linguistik terapan yang digunakan adalah kemampuan berbicara dengan penerapan metode audiolingual, sedangkan unsur linguistiknya adalah penguasaan kosakata. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penguasaan kosakata melalui metode audiolingual karena media yang digunakan lebih menarik peserta didik untuk mengingat kosakata yang diberikan dan dengan pengulangan materi mampu meningkatkan penguasaan kosakata mereka. Penelitian Desak Made Dewi
Prabayanthi memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu unsur linguistik terapan yang diteliti mengenai keterampilan berbicara dan metode audiolingual yang digunakan. Namun, yang membedakan penelitian itu dengan penelitian yang penulis lakukan adalah pada unsur linguistiknya yang menekankan
pada
penguasaan
kosakata,
sedangkan
penelitian
penulis
menekankan pada unsur fonetik. Tesis ketiga berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Langsung dalam Pengajaran Bahasa Inggris di Lembaga Kursus English Center” oleh I Gusti Bagus Wahyu Nugraha Putra (2012). Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penggunaan metode langsung dan tindak tutur guru dalam meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris peserta kursus pada level/tingkat pemula di lembaga kursus English Center. Unsur linguistik terapan yang dikaji adalah keterampilan berbicara dengan menggunakan metode langsung, sedangkan unsur linguistik yang dikaji adalah tindak tutur. Hasil penelitian itu menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan keterampilan berbicara setelah metode langsung diterapkan. Peserta kursus mampu berbicara dalam konteks percakapan sederhana. Mereka mampu menggunakan ungkapan-ungkapan dan kosakata tertentu secara komunikatif. Dari segi pelafalan/pengucapan dan pemahaman peserta didik, juga terjadi peningkatan. Selain itu, metode langsung lebih mudah dipahami juga dapat merangsang peserta kursus untuk berbicara. Unsur linguistik terapan lebih banyak digunakan dalam penelitian itu yaitu keterampilan berbicara dengan metode langsung, sedangkan unsur linguistiknya mengarah pada tindak tutur guru.
Penelitian I Gusti Bagus Wahyu Nugraha Putra cukup relevan karena terdapat persamaan dengan penelitian penulis yaitu topik sama mengenai keterampilan berbicara, metode penelitian berupa penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan yang membedakan dengan penelitian penulis adalah metodenya berbeda dan unsur linguistik yang dikaji dalam penelitian penulis adalah fonetik. Tesis keempat berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Metode Debat Plus dalam Proses Pembelajaran Bahasa Inggris pada Siswa Kelas XI IPA SMA Pariwisata Kertha Wisata Denpasar” oleh Ida Ayu Ekayudha Pratiwi (2012). Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penggunaan metode debat plus mampu meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa kelas sebelas di SMA Pariwisata Kertha Wisata Denpasar tahun ajaran 2010/2011. Unsur linguistik terapan yang dikaji dalam penelitian itu adalah keterampilan berbicara dan metode debat plus, sedangkan unsur linguistiknya adalah pelafalan, tata bahasa, dan diksi. Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan dalam metode pengajaran yang digunakan. Akan tetapi menurut penulis penelitian itu sangat relevan dengan penelitian yang penulis lakukan karena mengandung unsur fonetik dalam pelafalan serta subjek yang diteliti sama sama kelas XI tetapi objek dan tempat penelitian berbeda. Kemudian tesis yang terakhir berjudul “ The Role of Articulatory Phonetics in Improving Listening for the First-Year Students of English at STIBA Saraswati Denpasar” oleh Denok Lestari (2011). Penelitian itu bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan
menyimak
mahasiswa
dan
mengembangkan
pemahaman tentang bunyi-bunyi yang berbeda pada bahasa target. Unsur
linguistik terapan yang diteliti adalah tentang keterampilan menyimak, sedangkan unsur linguistiknya adalah fonetik artikulatoris. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan dalam linguistik terapan. Denok mengkaji keterampilan menyimak, sedangkan penelitian penulis mengkaji keterampilan berbicara, tetapi penelitian tersebut sangat relevan dengan penelitian penulis karena mengandung unsur fonetik artikulatoris yang memberikan kontribusi dalam penelitian ini. Secara keseluruhan dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa objek penelitiannya berbeda dengan penelitian ini serta metode yang diterapkan juga berbeda. Sebaliknya, yang sama adalah mengkaji keterampilan berbicara, namun penelitian ini hanya berfokus pada pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris.
2.2 Konsep Penelitian ini menggunakan beberapa konsep yakni peningkatan, pelafalan bunyi, percakapan, dan metode audiolingual. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
2.2.1
Peningkatan
Menurut Purwadarminta (1976:11), peningkatan adalah suatu proses, cara, perbuatan meningkatkan (usaha, kegiatan dan sebagainya). Peningkatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan berbicara peserta didik dalam melafalkan bahasa Inggris.
2.2.2
Pelafalan Bunyi
Lafal adalah cara mengucapkan bunyi bahasa. (Educational Top Studies, 2014). Lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa. (KBBI, 2014). Dalam sistem bunyi bahasa Inggris terdapat banyak cara pengucapan pada setiap individu yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti daerah asal, pengaruh-pengaruh awal, dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, banyak ahli bahasa Inggris yang mengemukakan deskripsi rinci tentang satu bentuk pelafalan bahasa Inggris, yang setidaknya dapat dengan mudah dipahami oleh lingkungan pengguna bahasa Inggris, walaupun tidak standar. Pada kenyataan yang sebenarnya, terdapat sejumlah alternatif pelafalan untuk ribuan kata dalam bahasa Inggris, yang seluruhnya bisa disebut benar. Bagi yang bukan penutur bahasa Inggris, cara pelafalan yang paling cocok untuk dipelajari dikenal sebagai “Slower Colloquial”, cara pelafalan di antara bentuk formal dengan pelafalan yang digunakan dalam perbincangan antarorang yang telah akrab. Cara tersebut merupakan cara yang dapat digunakan sepanjang waktu. dikutip dari yusti-arini.blogspot.co.id (2/11/2015). Pelafalan bahasa Inggris melibatkan produksi setiap bunyi dan pengucapan kata, frasa, dan kalimat dengan ejaan, penekanan dan atau intonasi yang benar. Selain itu, terdapat cara bagaimana membaca kata dengan benar yang disebut phonetic transcription (transkripsi fonetik), yang didefinisikan sebagai sejenis penulisan alfabetik, yakni setiap huruf mewakili satu bunyi. Tujuan transkrip fonetik adalah untuk memberikan informasi yang jelas dan tidak ambigu kepada
pembelajar bahasa, misalnya bunyi yang mana yang harus digunakan pada suatu kata atau frasa, dan dalam rangka apa mempergunakan bunyi tersebut. (Arini, 2014)
2.2.3 Percakapan Menurut Tarigan (1987: 106) percakapan adalah dialog antara dua orang atau lebih dalam membangun komunikasi. Berdasarkan sifatnya percakapan dibagi menjadi tiga yaitu; 1) Percakapan yang bersifat interaktif membutuhkan kontribusi percakapan yakni respon reaksi terhadap apa yang sebelumnya telah dikatakan. 2) Percakapan yang bersifat spontan merupakan percakapan yang biasa tanpa aturan tetapi dilakukan sampai batas tertentu, dan dalam beberapa cara, tak terduga. Namun, terdapat ruang lingkup spontanitas yang mengharuskan mengikuti aturan demi tujuan kebijaksanaan, misalnya talk show atau perdebatan. 3) Percakapan mengikuti aturan etiket karena percakapan adalah interaksi sosial, dan karena bergantung pada konvensi sosial. Maka percakapan pun harus mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan seperti tidak saling sindir menyindir, konten percakapan yang bersifat SARA, adu domba dan lainlain yang dapat mengganggu percakapan tersebut.
2.2.4
Metode Audiolingual Istilah “Audiolingualisme” diciptakan oleh Prof. Nelson Brooks pada
tahun 1964, yang menuntut perubahan pengajaran dari suatu seni menjadi suatu ilmu. Menurut Lado (1964) dalam bukunya yang berjudul Language Teaching: A Scientific Approach ada lima hukum empiris yang mendasari MAL (Metode Audiolingual) yaitu: hukum dasar hubungan, hukum latihan, hukum intensitas, hukum asimilasi, dan hukum pengaruh. Hukum dasar hubungan yang menyatakan bahwa apabila dua pengalaman terjadi bersama-sama, kemunculan yang satu akan mengingatkan kita kembali kepada yang satu lagi. Hukum latihan yang mengemukakan dengan tegas bahwa semakin sering suatu response dipraktikkan, semakin baik pula hal itu dipelajari dan semakin lama diingat. Hukum intensitas yang menyatakan bahwa semakin intensif suatu respon dipraktikkan, semakin mantap hal itu dipelajari dan semakin lama pula akan diingat. Untuk meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik kelas XI SMA Budi Utama, dilakukan dengan menerapkan metode audiolingual. Artinya, menggunakan kamus elektronik Chambridge Advanced Dictionary 3-rd Edition yang kemudian diterapkan dalam praktik-praktik dan latihan-latihan dalam berbahasa sehingga peserta didik mampu berbicara sesuai dengan pelafalan yang benar dan tepat. Metode audiolingual ini diharapkan mampu meningkatkan pelafalan bunyi bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama dengan menggunakan media utama kamus elektronik Chambridge Advanced Dictionary 3-rd Edition yang dikombinasikan melalui teknik latihan (drill).
2.3
Landasan Teori Sejumlah pandangan para ahli digunakan dalam penelitian ini sebagai
landasan teori yakni: (1) teori belajar behavioristik; (2) teori fonetik; (3) keterampilan berbicara; (4) penelitian tindakan kelas.
2.3.1
Teori belajar behavioristik
Teori belajar behavioristik mendefinisikan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar (Winataputra, 2007: 2.4). Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang lingkup dan relevansi pembelajaran dan dalam bentuk penyajian materi. Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respon Pavlov diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda maupun kombinasi stimulus misalnya: penyajian materi melalui uraian (ceramah), contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHP, video, komputer dan lain-lain). Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar yaitu: dalil sebab-akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan. Berdasarkan uraian di atas teori belajar behavioristik adalah salah satu teori yang dapat diterapkan dalam metode audiolingual yang menggunakan media untuk membantu
proses
belajar
mengajar.
Metode
audiolingual
menekankan
latihan/pembiasaan yang merupakan salah satu dalil dari teori belajar
behavioristik, untuk mencapai hasil yang maksimal metode audiolingual harus didukung oleh teori belajar behavioristik. Jika materi yang disampaikan oleh guru menarik dan menyenangkan maka peserta didik cenderung untuk mengulangi melakukan hal yang sama, tetapi jika sebaliknya
peserta
didik
tidak
akan
mengulangi
sesuatu
yang
tidak
menyenangkan. Oleh karena itu respon yang benar, menarik dan menyenangkan serta dengan latihan yang berulang-ulang (drill and practice) akan sangat membantu peserta didik dalam mencapai hasil yang diinginkan.
2.3.2
Teori Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu,dibedakan ada 3 jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik audiotoris. Dari ketiga jenis fonetik ini yang akan dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan. Pada umumnya bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit, sedangkan bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar yang diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi tertentu. Selain bunyi vokal dan konsonan, terdapat pula jenis bunyi yang lain seperti diftong atau bunyi vokal rangkap.
(dikutip dari academia, 2014). Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan berusaha merumuskan secara teratur tentang hal ikhwal bunyi bahasa. ( Marsono, 1999:1). Fonetik artikulatoris adalah ilmu fonetik yang mempelajari tentang bagaimana bunyi bahasa diucapkan dan dibuat, serta bagaimana bunyi bahasa diklaifikasikan berdasarkan artikulasinya. ( Marsono, 1999:2). Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda maknanya atau tidak (Abdul Chaer, 1994:102). Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia (Keraf, 1984: 30). Fonetik adalah bidang kajian ilmu pengetahuan (science) yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa yang dikeluarkan, dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk dianalisis oleh otak manusia (Ladefoged, 1982:1).
2.3.2.1 Bunyi Vokal bahasa Indonesia dan bahasa Inggris Perbedaan bunyi vokal bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dapat menyebabkan hambatan dalam melafalkan bunyi bahasa Inggris. Di bawah ini dijabarkan bunyi vokal secara umum yang diperjelas dengan bunyi vokal bahasa Indonesia dan bunyi vokal bahasa Inggris pada tabel 2.4 dan 2.5 agar lebih mudah untuk dipahami.
Tabel 2.3 Bunyi Vokal secara Umum Depan tak bulat Tinggi i e Madya ɛ Rendah a (Marsono, 1999:35) Posisi Lidah
Tengah tak bulat
Belakang bulat
ə
Striktur
netral
u o ɔ ɑ
Tertutup Semi-tertutup Semi-terbuka Terbuka
Berdasarkan tabel di atas bunyi vokal secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, striktur, dan bentuk bibir. (Marsono, 1999:29-34) 1) Tinggi rendahnya lidah a) Vokal tinggi, misalnya: [i, u]. b) Vokal madya, misalnya: [e, ɛ, ə, o, ɔ]. c) Vokal rendah, misalnya: [a, ɑ]. 2) Bagian lidah yang bergerak a) Vokal depan, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian depan; misalnya; [i, e, ɛ, a]. b) Vokal tengah, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan lidah bagian tengah; misalnya; [ə]. c) Vokal belakang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian belakang (pangkal lidah); misalnya; [u, o, ɔ, ɑ]. 3) Striktur ialah keadaan hubungan posisional articulator aktif dengan artikulator pasif. Karena vokal tidak ada artikulasi, maka striktur untuk
vokal ditentukan oleh jarak lidah dengan langit-langit. Menurut strikturnya maka vokal dapat dibedakan atas: a) Vokal tertutup (close vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal. Vokal tertutup ini dapat digambarkan terletak pada garis yang menghubungkan antara [i] dengan [u]. Jadi vokal [i] dan [u] menurut strikturnya merupakan vokal tertutup. b) Vokal semi-tertutup (half-close), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua pertiga di atas vokal yang paling rendah, terletak pada garis yang menghubungkan antara vokal [e] dengan [o]. Dengan demikian vokal [e] dan [o] adalah semi tertutup. c) Vokal semi-terbuka (half-open), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah atau dua pertiga di bawah vokal tertutup. Letaknya pada garis yang menghubungkan vokal [ɛ] dengan [ɔ], dan dengan demikian kedua vokal itu adalah semi-terbuka menurut strikturnya. d) Vokal terbuka (open vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah dalam
posisi
serendah
mungkin,
kira-kira
pada
garis
yang
menghubungkan antara vokal [a] dengan [ɑ], dan dengan demikian kedua vokal itu termasuk vokal terbuka. 4) Bentuk bibir
a. Vokal bulat (rounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat. Bentuk bibir bulat bisa terbuka atau tertutup. Jika terbuka maka vokal itu diucapkan dengan posisi bibir terbuka bulat (open rounded) yakni pada vokal [ɔ]. Jika tertutup maka vokal itu diucapkan dengan posisi bentuk bibir tertutup bulat, misalnya untuk vokal [o,u]. b. Vokal netral (neutral vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir dalam posisi netral, dalam arti tidak bulat tetapi juga tidak terbentang lebar. Misalnya, seperti vokal [ɑ] c. Vokal tak bulat (unrounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya, vokal [i, e, ə, ɛ, a]. (Marsono, 1999:29-34) Uraian di atas telah memberikan penjelasan mengenai bunyi vokal secara umum. Untuk memahami perbedaan bunyi vokal bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.4 Bunyi Vokal Bahasa Indonesia 1 Tinggi rendah lidah tinggi atas
2 Gerak lidah bagian depan
3 Striktur
4 Bentuk bibir
5 Contoh kata
tertutup
tak bulat
ini, ibu, kita, cari, lari pinggir, kerikil, kelingking ekor, eja, enak nenek, leher, geleng, dendeng ada, apa, pada emas, elang, sela, iseng otot, tokoh, dorong, roti oto, took, kado, prangko ukur, urus, turun udara, utara, bulan, paku
No
Vokal
1
[i:]
2
[I]
tinggi bawah
depan
semi-tertutup
tak bulat
3
[e]
depan
semi-tertutup
tak bulat
4
[ɛ]
madya atas madya bawah
depan
semi-terbuka
tak bulat
5
[a]
depan
terbuka
tak bulat
6
[ə]
rendah bawah madya
tengah
semi-terbuka
tak bulat
7
[ɔ]
madya bawah
belakang
semi-terbuka
bulat
8
[o]
madya atas
belakang
semi-tertutup
bulat
9
[U]
tinggi bawah
belakang
semi-tertutup
bulat
10
[u]
tinggi atas
belakang
tertutup
bulat
(Marsono, 1999:37)
Tabel 2.5 Bunyi Vokal Bahasa Inggris 1 Tinggi rendah lidah tinggi atas
2 Gerak lidah bagian depan
3 Striktur
4 Bentuk bibir
5 Contoh kata
tertutup
tak bulat
depan
semi-tertutup
tak bulat
see, feel, bead, ream it, lid, fill, rich fell, get, led bad, cat,bat bird, burn, heard ago, colour, perhaps up, cup, luck card, dark, hard box, hot, lock cord, law, saw put, pull, look pool, too, shoed
No
Vokal
1
[i:]
2
[I]
3
[ɛ]
tinggi bawah madya
4
[ӕ]
rendah
depan
5
[ə:]
madya atas
tengah
6
[ə]
madya bawah
7
[ᴧ]
8
depan
semitak bulat tertutup/terbuka hampir terbuka netral semi-tertutup
tak bulat
tengah
semi-terbuka
netral
rendah
tengah
hampir terbuka
netral
[ɑ:]
rendah bawah
belakang
terbuka
netral
9
[ɔ]
belakang
terbuka
bulat
10
[ɔ:]
belakang
semi-terbuka
bulat
11
[u]
belakang
semi-tertutup
bulat
12
[u:]
rendah bawah rendah atas tinggi bawah tinggi atas
belakang
tertutup
bulat
(Marsono, 1999:47)
2.3.2.2 Bunyi Konsonan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris Bunyi konsonan dalam setiap bahasa memiliki perbedaan termasuk bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Menurut Marsono, (1999:60) konsonan secara umum dibedakan menjadi:
1) Cara dihambat (cara artikulasi). 2) Tempat hambatan (tempat artikulasi). 3) Hubungan posisional antara penghambat-penghambatnya atau hubungan antara artikulator aktif dengan pasif (striktur). 4) Bergetar tidaknya pita suara. Untuk lebih jelas dijabarkan pada penjelasan di bawah ini. 1)
Konsonan Hambat Letup (Stops, Plosives)
Konsonan hambat letup ialah konsonan yang terjadi dengan hambatan penuh arus udara kemudian hambatan ini dilepaskan secara tiba-tiba. Jadi strikturnya rapat kemudian dilepaskan tiba-tiba. Striktur rapat yang pertama disebut hambatan, sedangkan striktur pelepasan yang kedua disebut letupan Marsono, (1999:60). Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan dapat dibedakan menjadi: 1) Konsonan hambat letup bilabial Konsonan hambat letup blabial terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, seperti bunyi: [p, b]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Bibir bawah menekan rapat pada bibir atas, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Bibir bawah yang menekan rapat pada bibir atas itu kemudian secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadilah letupan udara keluar dari rongga mulut. Perbedaan di antara keduanya ialah [p] sebagai konsonan keras tak bersuara, sedangkan [b] adalah lunak bersuara. (Marsono, 1999:61)
2) Konsonan hambat letup apiko-dental Konsonan hambat letup apiko-dental terjadi bila penghambat artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan ialah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menekan rapat pada gigi atas bagian dalam, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat gigi atas itu kemudian secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadilah letupan udara keluar dari rongga mulut. Bunyi dental [t] adalah konsonan keras bersuara, sedangkan [d] adalah lunak bersuara dan hambatannya lebih pendek daripada [t]. (Marsono, 1999:63-64) 3) Konsonan hambat letup apiko-alveolar Konsonan hambat letup apiko-alveolar terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi. Bunyi yang terjadi adalah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menekan rapat pada gusi, sehingga udara yang dihembuskan dari paruparunterhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat pada gusi itu kemudian secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadlah letupan udara keluar dari rongga mulut. Perbedaan antara alveolar [t] dengan [d], [t] adalah konsonan keras bersuara, sedangkan [d] adalah konsonan lunak bersuara dan lebih pendek hambatannya. (Marsono, 1999:65-66)
4) Konsonan hambat letup apiko-palatal Konsonan hambat letup apiko-palatal terjadi bila artikulasi aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya langit-langit keras. Bunyi yang terjadi ialah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menekan rapat pada langit-langit keras, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat pada langit-langit keras. Bunyi yang terjadi adalah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menekan rapat pada langit-langit keras, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat pada langit-langit keras itu kemudian secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadilah letupan udara keluar dari rongga mulut. Perbedaan di antara kedua bunyi itu ialah [t] konsonan keras tak bersuara, sedangkan [d] adalah lunak bersuara. (Marsono, 1999:66-67) 5) Konsonan hambat letup medio-palatal Konsonan hambat letup medio-palatal terjadi bila artikulator aktifnya adalah tengah lidah dan artikulator pasifnya langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan ialah [c,d]. Tengah lidah menekan rapat pada langit-langit keras. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak bisa keluar melalui rongga hidung sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat. Secara tiba-tiba tengah lidah yang menekan rapat kemudian dilepaskan, terjadilah letupan sehingga udara keluar dari mulut. Perbedaan antara bunyi [c] dengan [j] ialah [c] sebagai konsonan keras bersuara, sedangkan [j] adalah konsonan lunak bersuara. (Marsono, 1999:68-69)
6) Konsonan hambat letup dorso-velar Konsonan hambat letup dorso-velar terjadi bila articulator aktifnya ialah pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan ialah [k,g]. Pangkal lidah menekan rapat pada langit-langit lunak. Langit-langit lunak beserta ank tekaknya dinaikkan, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Secara tiba-tiba pangkal lidah yang menekan rapat itu kemudian dilepaskan, terjadilah letupan sehingga udara keluar dari rongga mulut. Perbedaan antara [k] dengan [g] ialah [k] sebagai konsonan keras tak bersuara, sedangkan [g] adalah konsonan lunak bersuara. (Marsono, 1999:70-71) 7) Konsonan hamzah (glottal plosive, glottal stop) Konsonan hamzah terjadi dengan menekan rapat yang satu terhadap yang lain pada seluruh panjangnya pita suara, langit-langit lunak beserta anak tekaknya dikeataskan, sehingga arus udara terhambat untuk beberapa saat. Dengan merapatnya sepasang pita suara maka glotis dalam keadaan tertutup rapat. Secara tiba-tiba kedua selaput pita suara itu dipisahkan, terjadilah letupan udara keluar, dan terdengarlah bunyi [?].(Marsono, 1999:72) 2)
Konsonan Nasal (Nasals)
Konsonan nasal (sengau) ialah konsonan yang dibentuk dengan menghambat rapat (menutup) jalan udara dari paru-paru melalui rongga mulut, jadi strikturnya rapat. Bersama dengan itu langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan, sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan jenis ini dapat diperinci lagi menjadi:
1) Konsonan nasal bilabial Konsonan nasal bilabial terjadi bila penghambat artikulator aktifnya ialah bibir bawah dan artikulator pasifnya ialah bibir atas. Nasal yang terjadi ialah [m]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan. Bibir bawah menekan rapat pada bibir atas sehingga jalannya udara dari paru-paru melalui rongga mulut terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suar ikut bergetar maka nasal [m] termasuk konsoan bersuara. (Marsono, 1999:74) 2) Konsonan nasal apiko-alveolar Konsonan nasal apiko-alveolar terjadi bila penghambat artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gusi. Nasal yang terjadi ialah [n]. langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan. Bersama dengan itu lidah ditekankan rapat pada gusi sehingga jalannya udara melalui rongga mulut terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka nasal [n] adalah konsonan bersuara. (Marsono, 1999:7576) 3) Konsonan nasal medio-palatal Konsonan nasal medio-palatal terjadi bila penghambat artikulator aktifnya ialah tengah lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Nasal yang dihasilkan ialah [ñ]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan. Bersama dengan itu tengah lidah ditekankan rapat pada langit-langit keras. Oleh karena itu maka jalannya udara melalu rongga mult terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka [ñ] juga konsonan bersuara. (Marsono, 1999:76-77)
4) Konsonan nasal dorso-velar Konsonan dorso-velar terjadi bila proses penghambat artikulator aktifnya pangkal lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit lunak. Nasal yang dihasilkan ialah [ŋ]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan. Bersama dengan itu pangkal lidah dinaikkan ditekankan rapat pada langit-langit lunak. Oleh karena itu, maka jalannya udara melalui rongga mulut terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka [ŋ] juga termasuk konsonan bersuara. Seperti pada kata: ngarai, langit, dan senang. (Marsono, 1999:77-78) 3)
Konsonan Paduan (Affricates)
Konsonan paduan adalah konsonan hambat jenis khusus. Proses terjadinya dengan menghambat penuh arus udara dari paru-paru, kemudian hambatan itu dilepaskan secara bergeser pelan-pelan. Jadi strikturnya ialah rapat kemudian dilepaskan pelan-pelan. Tempat artikulasinya ialah ujung lidah dan gusi bagian belakang (langit-langit keras bagian depan atau prepalatal). Bunyi yang terjadi ialah paduan apiko-prepalatal [tʃ, dʒ]. Ujung lidah menyentuh rapat pada gusi bagian belakang, langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan, sehingga arus udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk sementara. Ujung lidah yang menyentuh rapat itu kemudian dilepaskan secara bergeser pelan-pelan dalam posisi seperti mengucapkan [ʃ, ʒ]. Geseran dalam mengucapkan [tʃ, dʒ] tidak sedemikian panjang seperti pada geseran bunyi [ʃ, ʒ]. Perbedaan antara kedua paduan itu ialah [tʃ] paduan keras tak bersuara, sedangkan [dʒ] adalah
paduan lunak bersuara dan hambatannya lebih pendek seperti pada kata chin, riches, dan rich. (Marsono, 1999:79-80) 4)
Konsonan Sampingan (Laterals)
Konsonan sampingan dibentu dengan menutup arus udara di tengah rongga mulut sehingga udara keluar melalui kedua samping atau sebuah samping saja. Latera dlam bahasa Latin berarti „samping-samping‟. Jadi strikturnya adalah renggang lebar. Tempat artikulasinya ujung lidah dengan gusi. Bunyi yang dihasilkan disebut sampingan apiko alveolar. Bunyi itu adalah [l]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menyentuh rapat pada gusi, sehingga arus udara melalui tengah mulut terhalang. Karena udara melalui tenah mulut terhalang maka udara yang dihembuskan dari paru-paru keluar melalui kedua (salah satu) sisi lidah yang tidak bersentuhan dengan langit-langit. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka [l] adalah konsonan bersuara. Seperti pada kata: lama, pula, asal, look, holiday, oil. (Marsono, 1999:80-81) 5)
Konsonan Geseran atau Frikatif (Frikatives, Frictions)
Konsonan geseran atau frikatif ialah konsonan yang dibentuk dengan menyempitkan jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru, sehingga jalannya udara terhalang dan keluar dengan bergeser. Jadi strikturnya tidak rapat seperti pada konsonan letup tetapi renggang. konsonan geseran dapat dibedakan menjadi:
Menurut tempat artikulasinya
1) Konsonan geseran labio-dental Konsonan geseran labio-dental terjadi bila artikulator aktifnya ialah bibir bawah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang terjadi ialah [f,v]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan, udara tidak keluar melalui rongga hidung dan terpaksa keluar lewat mulut. Bibir bawah ditekankan pada gigi depan atas, dengan demikian penyempitan jalan arus udara terjadi. Karena jalannya arus udara disempitkan maka udara keluar secara bergeser melalui selasela bibir dengan gigi dan melalui lubang-lubang di antara gigi. Perbedaan di antara kedua bunyi geseran itu ialah [f] sebagai konsonan keras bersuara, sedangkan [v] adalah konsoan lunak bersuara. Seperti pada kata: fajar, nafas, taraf, valuta, devisa, fan, sofa, life, van, cover, live (Marsono, 1999:82-83) 2) Konsonan geseran apiko-dental Konsonan geseran apiko-dental terjadi bila artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan ialah [θ,ð]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dikeataskan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut. Ujung lidah ditekankan pada gigi depan atas, sehingga penyempitan jalan udara terjadi. Karena jalannya arus udara disempitkan maka udara keluar dengan bergeser melalui sela-sela ujung lidah dan gigi. Perbedaan di antara kedua bunyi itu ialah [θ] sebagai konsonan keras tak bersuara hambatannya lebih panjang, sedangkan [ð] adalah konsonan lunak bersuara hambatannya lebih pendek. Seperti pada kata: thank, nothing, both. (Marsono, 1999:83-84)
3) Konsonan geseran apiko-palatal Konsonan geseran apiko-palatal terjadi bila articulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan ialah [r]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut. Lidah membentuk lengkungan dengan ujung lidah mengarah pada langit-langit tetapi ada sela-sela sempit yang menyebabkan jalannya udara bergeser. Bibir agak dibulatkan, khususnya jika [r] itu ada pada awal kata. Pita suara ikut bergetar sehingga [r] termasuk konsonan bersuara. (Marsono, 1999:85-86) 4) Konsonan geseran lamino-alveolar Konsonan geseran lamino-alveolar terjadi bila artikulator aktifnya ialah daun lidah dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya ialah gusi. Bunyi yang tejadi ialah [s, z]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut. Daun lidah dan ujung lidah ditekankan pada gusi, sehingga ruangan jalannya udara antara daun lidah dengan gusi itu sempit sekali yang menyebabkan keluarnya udara yang bergeser. Gigi atas dan gigi bawah dirapatkan. Mulut tidak terbuka lebar. Perbedaan di antara kedua konsonan lamino-alveolar itu ialah [s] sebgai konsonan keras tak bersuara lebih panjang hambatannya, sedangkan [z] adalah konsonan lunak bersuara lebih pendek hambatannya. Jika dibandingkan dengan geseran [f,v] dan [θ,ð] maka geseran untuk bunyi lamino-alveolar ini khususnya [s] lebih kuat. (Marsono, 1999:86-87)
5) Konsonan geseran apiko-prepalatal Konsonan geseran apiko-prepalatal terjadi bila artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gusi bagian belakang atau langit-langit keras depan (prepalatal). Bunyi yang terjadi ialah [ʃ, ʒ]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut. Ujung lidah atau beserta daun lidah ditekankan pada gusi bagian belakang (langit-langit keras depan). Ruangan jalannya udara antara ujung lidah dengan gusi bagian belakang sempit sekali yang menyebabkan keluarnya udara bergeser. Ruangan di antara ujung lidah dengan gusi itu jika dibandingkan dengan [s] lebih besar], sebaliknya jalan udara di antara bagian utama lidah dengan langit-langit lebih sempit. Lidah depan lebih tinggi daripada untuk [s,z]. Bibir bulat ramping. Gigi atas dengan gigi bawah sangat berdekatan. Perbedaan di antara kedua geseran apiko-prepalatal itu ialah [ʃ] sebagai bunyi geseran apiko-prepalatal keras tak bersuara lebih panjang hambatannya, sedangkan [ʒ] adalah lunak bersuara lebih pendek hambatannya. Seperti pada kata: shop, nation, wash. (Marsono, 1999:88-89) 6) Konsonan geseran dorso-velar Konsonan geseran dorso-velar terjadi bila artikulator aktifnya pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang terjadi ialah [x]. Langitlangit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udaa tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa melalui rongga mulut. Pangkal lidah ditekankan pada langit-langit lunak sehingga ruangan jalannya udara antara pangkal lidah dengan langit-langit lunak menjadi sempit. Karena ruangan jalannya udara sempit
maka udara keluar dengan bergeser. Pita suara tidak ikut bergetar maka bunyi [x] tidak bersuara. (Marsono, 1999:90-91) 7) Konsonan geseran laringal Konsonan geseran laringal atau geseran glottal terjadi bila artikulatornya adalah sepasang pita suara. Udara yang dihembuskan dari paru-paru pada waktu melewati glottis digeserkan. Glotis dalam posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih sempit daripada posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih sempit daripada posisi glottis terbuka lebar dalam bernafas normal. Terjadilah bunyi [h], karena pita suara tidak ikut bergetar maka [h] adalah konsonan tidak bersuara. (Marsono, 1999:92) 6)
Konsonan Getar (Trills, Vibrants)
Konsonan getar atau geletar ialah konsonan yang dibentuk dengan menghambat jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru secara berulang-ulang dan cepat. Jadi strikturnya rapat renggang, yaitu dirapatkan kemudian direnggangkan atau dilepaskan (dihambat-dilepskan) berkali-kali dengan cepat. (Marsono, 1999:93) Menurut tempat artikulasinya konsonan getar ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Konsonan getar apiko-alveolar Konsonan getar apiko-alveolar terjadi bila artikulator aktif yang menyebabkan proses menggetar itu ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gusi. Bunyi yang dihasilkan ialah [r]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi keluar melalui rongga mulut. Lidah membentak lengkungan dengan ujung lidah merapat kemudian
merenggang (melepas) secara berkali-kali pada gusi belakang sehingga menyebabkan jalannya udara bergetar. (Marsono, 1999:93) 2) Konsonan getar uvular Konsonan getar uvular terjadi bila artikulator aktif yang menyebabkan bergetarnya udara itu ialah pangkal lidah (lidah belakang) dan artikulator pasifnya ialah anak tekak. Bunyi yang terjadi ialah [R]. Langit-langit luank terangkat ke atas menutup jalannya udara melalui rongga hidung. Udara keluar melalui rongga mulut. Pangkal lidah merapat kemudian merenggang (melepas) secara berkali-kali pada anak tekak sehingga menyebabkan jalannya udara bergetar. (Marsono, 1999:94-95) 7)
Konsonan Sentuhan (Tap)
Konsonan sentuhan ialah konsonan yang pembentukkannya hampir sama dengan getar tetap proses bergetar itu hanya terjadi satu kali. Penghalangan udara terjadi menyentuhkan artikulator aktif pada artikulator pasif satu kali. Jadi strikturnya rapat renggang pendek sekali. Tempat artikulasinya ialah ujung lidah dengan gusi belakang atau langit-langit. Bunyi yang dihasilkan disebut sentuhan (tap) apiko-alveolar, dilambangkan dengan [r]. (Marsono, 1999:95) 8)
Konsonan Sentuhan Kuat (Flap)
Konsonan sentuhan kuat ialah konsonan yang pembentukannya pada prinsipnya sama dengan konsonan sentuhan (tap). Perbedaannya, pada sentuhan kuat sebeum artikulator aktif disentuhkan pada artikulator pasif disertai ancangancang lebih dahulu sehingga proses sentuhannya lebih kuat, dan disebut sentuhan kuat. Strikturnya rapat renggang pendek kuat. Tempat artikulasinya sama dengan
konsonan sentuhan (tap), yaitu ujung lidah dengan gusi belakang atau langitlangit. Ujung lidah sebagai artikulator aktif disentuhkan kuat-kuat pada gusi belakang atau langit-langit sehingga menyebabkan arus udara terhambat dan bergetar satu kali. Bunyi yang dihasilkan disebut sentuhan kuat apiko-aveolar dilambangkan dengan [r]. 9)
Semi-vokal
Bunyi semi vokal secara praktis termasuk konsonan tetapi karena waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi-bunyi itu disebut semi-vokal.
Hubungan
posisional
antar penghambat
(artikulator)
dalam
mengucapkan semi-vokal adalah renggang terbentang atau renggang lebar. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) ada dua jenis semi-vokal, yaitu: 1) Semi-vokal bilabial dan labio-dental Semi-vokal bilabial terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, bunyi yang terjadi ialah [w] bilabial. Dapat juga bibir bawah bekerja sama dengan gigi atas, yang terjadi adalah [w] labiodental. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga mulut. Pangkal lidah dinaikkan mendekati langit-langit lunak, ketinggiannya sama dengan posisi pengucapan vokal [u]. Oleh karena itu, maka udara yang keluar dari paru-paru sedikit terhambat. Posisi kedua bibir hampir sama dengan pembentukan vokal [u]. Perbedaan-perbedaannya, dalam mengucapkan [u], posisi bibir bulat. Dalam [w] ini posisi kedua bibir itu agak terbentang. Pita-pita suara ikut bergetar sehingga [w] adalah bunyi bersuara. (Marsono, 1999:97)
2) Semi-vokal medio-palatal Semi-vokal medio-palatal terjadi bila artikulator aktifnya ialah tengah lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit keras. Bunyi yang terjadi ialah [y]. langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi keluar melalui rongga mulut. Tengah lidah menaik mendekati langit-langit keras, tetapi tidak sampai rapat. Ketinggian lidah ini, jika dibandingkan dengan [i], [y] sedikit lebih tinggi, tetapi lebih rendah daripada [j]. Oleh karena itu, maka udara yang keluar dari paru-paru sedikit terhambat. Pitapita suara ikut bergetar maka bunyi [y] termasuk bunyi bersuara. (Marsono, 1999:99) Untuk lebih jelasnya bunyi konsonan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.6 Bunyi Konsonan Bahasa Indonesia
Rapat lepas tiba-tiba Rapat lepas tiba-tiba
T
p p-
B
b
B
m
t t-
c
k k-
j
g
n
ŋ
?
Hambat letup d n
Nasal (sengau) T
Rapat lepas pelan-pelan Renggang lebar
Paduan (afrikat) Sampingan (lateral)
Renggang
Geseran (frikatif)
Rapat renggang Renggang lebar
B B
l
T
f
s
B
v
z
Getar (tril) Semi-vokal
x h
r B
w
(Marsono, 1999:101) Keterangan: T = Tidah bersuara
ʃ
B= Bersuara
y
Glotal hamzah
Laringal
Uvular
Dorso-velar
Medio-palatal
Lamino-patalal
Laminoalveolar
Apiko-palatal
Apiko prepalatal
Labio-dental
Apiko-dental
Apiko-alveolar
Tempat hambatan (tempat artikulasi)
Bilabial
Cara dihambat (cara artikulasi)
Bersuara dan tak bersuara
Hubungan posisional antar penghambat (striktur)
Tabel 2.7 Bunyi Konsonan Bahasa Inggris
Rapat lepas tibatiba Hambat letup Rapat lepas tibatiba
Nasal (sengau)
Renggang lebar
Paduan (afrikat) Sampingan (lateral) Geseran (frikatif)
Renggang
p ph
t th
k kh
B
b
d
g
B
m
n
ŋ
dʒ l
B T
f
θ
ʃ
B
v
ð
ʒ
s r
x
h
z R*)
Getar (tril)
Rapat renggsng 1 x Rapat renggsng 1 x kuat
Sentuhan (tap) Sentuhan kuat (flap)
B
Renggang lebar
Semi vokal
B
r*) r*) w
y
(Marsono, 1999:106) Keterangan: T = Tidah bersuara
B= Bersuara *)= Tidak ada dalam bahasa Indonesia
Bunyi Segmental Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan pita suara. Bunyi Segmental ada empat macam yaitu: 1) Konsonan Konsonan adalah bunyi yang terhambat oleh alat ucap. 2) Vokal Vokal adalah bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap. 3) Diftong Diftong adalah dua vokal yang dibaca satu bunyi, misalnya: [ai] dalam sungai, [au] dalam [kau]
Glotal hamzah
?
tʃ
B
Rapat renggang
Laringal
Uvular
Dorso-velar
Medio-palatal
Lamino-patalal
Lamino-alveolar
Apiko-palatal
T
T Rapat lepas pelanpelan
Apiko prepalatal
Apiko-alveolar
Apiko-dental
Labio-dental
Bilabial
Cara dihambat (cara artikulasi)
Bersuara dan tak bersuara
Tempat hambatan (tempat artikulasi) Hubungan posisional antar penghambat (striktur)
4) Kluster Kluster adalah dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
2.3.3
Keterampilan berbicara
Berbicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983). Menurut Tarigan (1981:15), berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktorfaktor fisik, psikologis, neurologis, semantis dan linguistik yang sangat intensif. Lebih lanjut, Tarigan (2008:17) mengemukakan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata yang bertujuan untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan orang tersebut. Berbicara sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa memiliki keterkaitan erat dengan aspek keterampilan berbahasa lainnya, yaitu antara berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara dengan membaca. 1) Hubungan Berbicara dengan Menyimak Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda yang berkaitan erat dan tak terpisahkan. Kegiatan menyimak didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya-jawab, interview, dan sebagainya. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi,
tidak ada gunanya orang berbicara bila tidak ada orang yang menyimak. Tidak mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang berbicara. Melalui kegiatan menyimak siswa mengenal ucapan kata, struktur kata, dan struktur kalimat. 2) Hubungan Berbicara dengan Membaca Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana, dan fungsi. Berbicara bersifat produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan berfungsi sebagai penyebar informasi. Membaca bersifat reseptif melalui sarana bahasa tulis dan berfungsi sebagai penerima informasi. Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui kegiatan membaca. Semakin sering orang membaca semakin banyak informasi yang diperolehnya. Pembelajaran berbicara mempunyai sejumlah komponen yang pembahasannya diarahkan pada segi metode pengajaran. Guru harus dapat mengajarkan keterampilan berbicara dengan menarik dan bervariasi. Menurut Tarigan (1987: 106) ada empat kemampuan berbicara yaitu sebagai berikut: 1) Percakapan Percakapan adalah pertukaran pikiran atau pendapat mengenai suatu topik tertentu antara dua atau lebih pembaca. Tarigan (1987: 106). Percakapan selalu terjadi dua proses yakni proses menyimak dan berbicara secara simultan. Percakapan biasanya dalam suasana akrab dan peserta merasa dekat satu sama lain dan spontanlitas. Percakapan merupakan dasar keterampilan berbicara baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. 2) Bertelepon
Menurut Tarigan (1987: 124) telepon sebagai alat komunikasi yang sudah meluas sekali pemakaianya. Keterampilan menggunakan telepon bisnis, menyampaikan berita atau pesan. Penggunaan telepon menuntut syarat-syarat tertentu antara lain: berbicara dengan bahasa yang jelas, singkat dan lugas. Metode bertelepon dapat digunakan sebagai metode pengajaran berbicara. Melalui metode bertelepon diharapkan siswa didik berbicara jelas, singkat dan lugas. Siswa harus dapat menggunakan waktu seefisien mungkin. 3) Wawancara Menurut Tarigan (1987: 126) wawancara atau interview sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya wartawan mewawancarai para menteri, pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat mengenai isu penting. Wawancara dapat digunakan sebagai metode pengajaran berbicara, pada hakekatnya wawancara adalah bentuk kelanjutan dari percakapan atau tanya jawab. Percakapan dan tanya jawab sudah biasa digunakan sebagai metode pengajaran berbicara. 4) Diskusi Diskusi sering digunakan sebagai kegiatan dalam kelas. Metode diskusi sangat berguna bagi siswa dalam melatih dan mengembangkan keterampilan berbicara dan siswa juga turut memikirkan masalah yang didiskusikan. Berbicara adalah suatu kegiatan komunikasi antara 2 orang atau lebih menggunakan bahasa lisan. Menurut Maidar dan Mukti (1993: 18) dalam berbicara ada sejumlah faktor yang menunjang keefektifan berbicara. Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Faktor kebahasaan
1) Ketepatan ucapan, pengucapan bunyi-bunyian harus tepat, begitu juga dengan penempatan tekanan, durasi, dan nada yang sesuai. 2) Pemilihan kata atau diksi, harus jelas, tepat dan bervariasi sehingga dapat memancing kepahaman dari pendengar. 3) Ketepatan sasaran pembicara, pemakaian kalimat atau keefektivan kalimat memudahkan pendengar untuk menangkap isi pembicaraan. Faktor non-kebahasaan 1) Sikap yang tidak kaku; 2) Kesediaan menghargai pendapat; 3) Pandangan ke pendengar; 4) Gerak-gerik atau mimik tepat; 5) Kenyaringan suara; 6) Kelancaran berbicara; 7) Penguasaan topik. Penilaian di dalam keterampilan berbicara ditentukan oleh 2 faktor, yaitu faktor kebahasaan dan faktor non kebahasaan (Nurgiyantoro, 1995: 152). Penilaian dari faktor kebahasaan meliputi: ucapan, tata bahasa, kosa kata, sedangkan penilaian dari faktor non kebahasaan meliputi: ketenangan, volume suara, kelancaran, pemahaman.
2.3.4 Penelitian Tindakan Kelas Penelitian tindakan kelas (PTK) atau disebut juga Classroom Action Research (CAR) adalah penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. (Burns, 2009:6). Adapun tujuan PTK adalah (1) meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah, (2) membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran, (3) meningkatkan sikap profesional guru dan tenaga kependidikan, (4) menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan. (Burns, 2009:8). Keunggulan yang dimiliki PTK yakni: 1) guru tidak perlu meninggalkan kelas atau pekerjaannya; 2) tidak memerlukan biaya yang tinggi dan dapat dilakukan kapan saja; 3) hasil penelitiannya yang direncanakan dapat dirasakan; 4) bila tindakan (treatment) dilakukan kepada responden, mereka dapat merasakan hasilnya. Tindakan (treatment) yang dilakukan memberikan motivasi kepada subjek didik untuk menghasilkan perubahan sikap. Penelitian tindakan kelas bermanfaat untuk memperluas kemampuan dan memperoleh pemahaman yang lebih tentang kelas, peserta didik dan diri sendiri sebagai guru. (Trianto, 2011:18).
Gambar 2.3 Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (1) Perencanaan
(5) Tindakan berikutnya
(4) Refleksi
(2) Tindakan
(3) Observasi
(Suparno, 2008:11) Bagan di atas menggambarkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah sebuah siklus yang dilakukan secara berulang. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1) Perencanaan Peranan dalam fase ini sangat penting karena rencana tindakan dikembangkan berdasarkan permasalahan yang ada di lapangan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan yang lebih khusus. (Burns, 2009:8) 2) Tindakan Tindakan yang dilakukan harus melalui perencanaan yang baik dengan mempertimbangkan situasi dan batasan waktu yang ditentukan. 3) Observasi Pada fase ini mencakup pengamatan secara sistematis yang merupakan dampak
dari
tindakan
yang
dilakukan
dengan
mencatat/mendokumentasikan konteks, kegiatan, dan pendapat dari semua yang ikut terlibat di dalamnya. 4) Refleksi Pada fase ini guru menganalisis kembali kegiatan yang telah dilakukan dengan menggambarkan, mengevaluasi, dan mendeskripsikan dampak dari tindakan yang dilakukan dengan tujuan memberikan penjelasan yang rasional dan memahami permasalahan yang telah dikaji lebih jelas. (Burns, 2009:8) 5) Tindakan berikutnya Apabila hasil yang dicapai belum memuaskan maka perlu dilakukan tindakan berikutnya yang pada akhirnya hasil dari tindakan yang diberikan dapat memperoleh hasil yang memuaskan.
2.3.5
Model Penelitian Pelafalan Bunyi pada Percakapan Bahasa Inggris Peserta Didik Kelas XI SMA Budi Utama Melalui Metode Audiolingual
Pratindakan
Siklus 1 dan 2
Faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan pelafalan
Metode Audiolingual
ANALISIS Kualitatif dan Kuantitatif
ANALISIS Kualitatif dan Kuantitatif menggunakan Teori :
menggunakan teori fonetik
- Teori belajar behavioristik - Teori Fonetik - Teori Keterampilan berbicara
Tujuan Penelitian
Hasil penelitian
ANALISIS Kualitatif
Penjelasan bagan : Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa penulis ikut berpartisipasi dalam proses pembelajaran sebagai guru dan juga pengamat (observer). Penelitian ini menganalisis tiga masalah yang berkaitan dengan pelafalan peserta didik, masalah pertama ditemukan pada tahap pratindakan, masalah kedua ditemukan pada siklus 1 dan 2, kemudian masalah 3 ditemukan ketika masalah pertama dan kedua ditemukan. Masalah pertama yang masih menggunakan metode ceramah pada tahap pratindakan dianalisis menggunakan teori fonetik yang ditampilkan secara kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui pelafalan peserta didik sebelum menggunakan metode audiolingual. Selanjutnya masalah kedua yang telah menggunakan metode audiolingual pada siklus 1 dan siklus 2 dianalisis menggunakan teori belajar behavioristik, teori keterampilan berbicara, teori fonetik untuk mengetahui peningkatan pelafalan peserta didik yang ditampilkan secara kualitatif dan kuantitatif. Setelah hasil analisis masalah pertama dan kedua ditemukan dilanjutkan dengan menganalisis masalah ketiga menggunakan teori fonetik untuk mengetahui faktor penyebab kekeliruan pelafalan peserta didik yang ditampilkan secara kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dari masalah pertama, kedua dan ketiga maka tujuan penelitian ini telah tercapai yang menjadi hasil penelitian.