BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran Remedial a. Belajar Tuntas Tujuan proses belajar-mengajar secara ideal adalah agar bahan yang dipelajari dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Belajar tuntas atau ”mastery
learning”
adalah
pendekatan
dalam
pembelajaran
yang
mempersyaratkan peserta didik menguasai tujuan pembelajaran secara tuntas pada mata pelajaran tertentu (Kunandar, 2007: 237). Namun dengan kondisi siswa yang berbeda-beda maka tidak semua siswa mampu menguasai secara penuh materi yang disampaikan oleh guru. Untuk itu masih perlu dipikirkan jalan agar setiap siswa mendapat bimbingan dalam menyelesaikan pelajarannya dengan baik. Sejumlah tokoh pendidikan yakin bahwa sebagian terbesar bahkan hampir semua siswa sanggup menguasai bahan pelajaran sepenuhnya dengan syarat-syarat tertentu. Menurut S. Nasution (1986: 38) terdapat lima faktor yang mempengaruhi belajar tuntas, yaitu: 1) bakat untuk mempelajari sesuatu 2) mutu pengajaran 3) kesanggupan untuk memahami pengajaran 4) ketekunan, dan 5) waktu yang tersedia untuk belajar Kelima faktor tersebut harus diperhatikan sebagai usaha mencapai ketuntasan belajar. Kemudian dalam usaha mencapai penguasaan penuh atau mastery learning perlu diselidiki prasyarat bagi penguasaan tersebut. Selanjutnya diusahakan metode penyampaian atau proses belajar-mengajar yang serasi dan akhirnya perlu dinilai hasil usaha sejauh manakah usaha tersebut dapat dilakukan. Salah satu prasyarat untuk ketuntasan belajar adalah merumuskan secara khusus bahan yang harus dikuasai. Prasyarat kedua adalah pemahaman bahwa tujuan tersebut harus tertuang dalam suatu
6
7 alat evaluasi yang bersifat sumatif agar dapat diketahui tingkat keberhasilan siswa. Untuk itu perlu adanya penentuan standar yang layak dan memungkinkan dapat dicapai oleh semua siswa. Standar penguasaan tersebut harus diketahui oleh guru dan juga murid. Harapan dari proses pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas adalah untuk mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi peserta didik yang lambat agar menguasai Kompetensi Inti atau Kompetensi Dasar. Sebagaimana hasil penelitian Wambugu & Changeiwo (2007: 1) pendekatan belajar tuntas menghasilkan prestasi belajar Fisika yang lebih tinggi. Selanjutnya berdasarkan konsep pendekatan belajar tuntas, Martinis Yamin (2008: 126127) mengemukakan prinsip-prinsip utama pembelajaran tuntas adalah: 1) Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran yang harus dicapai, baik yang bersifat umum maupun yang khusus. 2) Memberi pelajaran secara klasikal sesuai dengan unit pelajaran yang sedang dipelajari. 3) Memberikan tes kepada peserta didik pada akhir masing-masing unit pelajaran untuk mengecek kemajuan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran. 4) Kepada peserta didik yang ternyata belum mencapai tingkat penguasaan yang dituntut diberikan pertolongan khusus seperti mendapat pengajaran dalam kelompok kecil, disuruh mempelajari buku pelajaran lain, dan lain sebagainya. 5) Setelah semua peserta didik, paling sedikit hampir semua peserta didik mencapai tingkat penguasaan pada unit yang pelajaran yang bersangkutan, barulah guru mulai mengajarkan unit pelajaran berikutnya. 6) Setelah seluruh rangkaian unit pelajaran selesai, peserta didik mengerjakan tes yang mencakup seluruh rangkaian unit pelajaran. Tes akhir ini bersifat sumatif yang bertujuan mengevaluasi taraf keberhasilan masing-masing peserta didik terhadap semua tujuan pengajaran khusus. Benyamin S. Bloom menyebutkan tiga strategi dalam belajar tuntas, yaitu mengidentifikasi prakondisi, mengembangkan prosedur operasional, dan hasil belajar. Selanjutnya menurut Martinis Yamin (2008:
8 125-126) penerapan belajar tuntas dalam pembelajaran klasikal dengan menyesuaikan kemampuan individual meliputi: 1) Corrective technique, pembelajaran remedial yang dilakukan dengan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai oleh peserta didik dengan prosedur dan metode yang berbeda dari sebelumnya. 2) Memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang membutuhkan atau belum menguasai bahan secara tuntas. Peserta didik akan mencapai ketuntasan belajar jika nilainya sama atau di atas standar ketuntasan minimal yang ditetapkan. Ketuntasan belajar merupakan inti dan tujuan dari pembelajaran. Sehingga suatu pembelajaran dikatakan optimal jika sistem belajar tuntas dapat dilakukan dan sebagian besar hasil belajar peserta didik di atas KKM. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah tingkat pencapaian Kompetensi Dasar oleh peserta didik per mata pelajaran. b. Pengajaran Remedial Menurut Lia Yuliati (2013: 280) istilah remediasi berasal dari bahasa Inggris yaitu remediation, dimana kata remediation berakar dari kata ”to remedy” yang bermakna ”menyembuhkan”. Selain itu kata remedial merupakan kata sifat, sehingga dalam bahasa Inggris selalu disandingkan dengan kata benda, misal ”remedial work”, yang artinya pekerjaan penyembuhan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, kata remedial tidak berdiri sendiri tetapi disandingkan dengan kata kegiatan atau pembelajaran, sehingga istilah yang digunakan adalah kegiatan remedial atau pembelajaran remedial. Pembelajaran remedial pada mulanya adalah kegiatan mengajar untuk anak luar biasa yang mengalami berbagai hambatan (sakit). Dewasa ini pengertian itu sudah berkembang, dimana anak normal pun memerlukan pelayanan pengajaran remedial. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2013: 152) Remedial teaching atau pembelajaran perbaikan adalah suatu bentuk pembelajaran yang bersifat menyembuhkan atau membetulkan, atau dengan singkat pengajaran yang membuat menjadi baik. Pembelajaran remedial
9 merupakan
suatu
bentuk
pembelajaran
yang
bersifat
mengobati,
menyembuhkan, atau membetulkan pembelajaran dan membuatnya lebih baik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran (Kunandar, 2008: 237). Pembelajaran remedial dilaksanakan untuk membantu peserta didik yang lamban maupun kesulitan dalam belajar untuk memperbaiki kekurangannya sehingga mereka berada kembali setingkat dengan teman lainnya (Oemar Hamalik, 2009: 18). Kemudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 831), “Remedial berarti pengajaran ulang bagi murid yang hasil belajarnya jelek atau
bersifat
menyembuhkan”.
Sedangkan
Slameto
(2010:
199)
mengatakan,“ Remediasi adalah kegiatan perbaikan yang diberikan kepada siswa yang belum memenuhi ketentuan sesuai Satuan Pelajaran atau siswa yang belum menguasai tujuan pelajaran, walaupun waktu yang dituntut untuk keseluruhan siswa telah usai”. Pembelajaran remediasi merupakan bentuk pengajaran yang tidak sekedar mengulang terhadap bahan-bahan pelajaran pokok yang belum dikuasai oleh siswa tapi juga menangani para siswa yang lambat, mengalami kesulitan, atau kegagalan belajar (Ischak S.W. & Warji R., 1982: 33-34). Remediasi dilakukan untuk membantu mengatasi kesulitan belajar siswa dan dilakukan oleh orang yang mengetahui
permasalahan
yang
dihadapi,
pelaksanaannya
dapat
menggunakan berbagai macam alat serta metode yang disesuaikan dengan jenis dan latar belakang kesulitan belajar. Pengajaran remediasi bertolak dari konsep belajar tuntas. Pada tiap akhir unit kegiatan pembelajaran, guru melakukan evaluasi formatif sehingga dapat diketahui siswa yang sudah atau belum menguasai bahan pelajaran. Bagi siswa yang belum menguasai bahan pelajaran diberikan pengajaran remedial, agar tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai. Sehingga, pengajaran remedial sebenarnya merupakan kewajiban bagi semua guru setelah mereka melakukan evaluasi formatif dan menemukan adanya siswa yang belum mampu meraih tujuan belajar yang telah ditetapkan.
10 Sebelum pengajaran remedial diberikan, guru lebih dahulu perlu melakukan dianogsis kesulitan belajar, yaitu menentukan jenis dan penyebab kesulitan serta alternatif strategi pengajaran remedial yang efektif dan efisien. Sehingga, remediasi sebagai perbaikan terhadap kurang tercapainya ketuntasan belajar harus memperhatikan letak kesulitan siswa serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga ketika dilakukan pembelajaran remedial guru dapat menggunakan metode yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pengajaran perbaikan bertujuan agar siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat mencapai prestasi belajar yang diharapkan sekolah. Kunandar (2007: 238) menyatakan fungsi pengajaran perbaikan antara lain: 1) Fungsi korektif, yaitu melalui pembelajaran remedial dapat dilakukan pembetulan atau perbaikan terhadap hal-hal yang dipandang belum memenuhi apa yang diharapkan dalam keseluruhan proses pembelajaran. 2) Fungsi pemahaman, yaitu pembelajaran remedial memungkinkan guru, peserta didik, atau pihak-pihak lainnya dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik dan komprehensif mengenai pribadi peserta didik. 3) Fungsi pengayaan, yaitu pembelajaran remedial akan dapat memperkaya proses pembelajaran sehingga materi yang tidak disampaikan dalam pembelajaran reguler, dapat diperoleh melalui pembelajaran remedial. 4) Fungsi penyesuaian, yaitu pembelajaran remedial dapat membentuk peserta didik untuk bisa beradaptasi atau menyesuaikatan diri dengan lingkungannya. Artinya peserta didik dapat belajar sesuai dengan kemampuannya sehingga peluang untuk mencapai hasil yang lebih baik semakin besar. 5) Fungsi akselerasi, yaitu dengan pembelajaran remedial dapat diperoleh hasil belajar yang lebih baik dengan menggunakan waktu yang efektif dan efisien. 6) Fungsi terapeutik, yaitu secara langsung atau tidak langsung, pembelajaran remedial dapat menyembuhkan atau memperbaiki kondisi-kondisi kepribadian peserta didik yang diperkirakan menunujukkan adanya penyimpangan. Selanjutnya Syaiful Bahri Djamarah (2008: 251-255) menjelaskan secara garis besar prosedur pembelajaran remedial dikelompokkan menjadi 4 tahap yaitu:
11 1) Meneliti kasus dengan permasalahannya sebagai titik tolak kegiatan-kegiatan berikutnya dan menemukan kesulitan yang dihadapi (diagnosis). Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik yang meliputi: letak kesalahan menyelesaikan masalah, kesulitan yang dihadapi, dan faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan tersebut. 2) Menentukan tindakan yang harus dilakukan (prognosis). Merupakan langkah untuk memperkirakan bantuan apa yang dapat digunakan untuk membantu peserta didik mengatasi kesulitannya. 3) Treatment (pelaksanaan bantuan). Berdasarkan skala prioritas yang diberikan pada langkah prognosis, guru mencoba untuk memberikan bantuan dengan teknik atau cara bantuan yang paling efisien dan efektif, yakni bantuan yang diperkirakan memberikan hasil paling tinggi, dengan waktu, biaya, dan peralatan yang paling hemat. 4) Melakukan evaluasi kembali, sudah sejauh mana pengajaran remedial tersebut telah dapat meningkatkan prestasi mereka. Tujuan yang paling utama dari evaluasi ini adalah dipenuhinya kriteria tingkat keberhasilan minimal yang diharapkan, misalnya 75% atau 80% (tergantung dari kebijakan dari masing-masing sekolah). Bila ternyata masih belum berhasil, hendaknya dilakukan kembali diagnosis, prognosis, dan pengajaran remedial berikutnya. Siklus yang sama akan terus berlanjut hingga kriteria minimal kelulusan telah terpenuhi. Setelah memahami prosedur pelaksanan pembelajaran remedial, hal selanjutnya yang perlu diketahui adalah bentuk-bentuk pelaksanaan pembelajaran remedial. Akhmad Sudrajat (2008: 4) menjelaskan diantara bentuk-bentuk pembelajaran remedial adalah: 1) Re-teaching atau pemberian pembelajaran ulang dengan metode dan media yang berbeda. Pembelajaran ulang dapat disampaikan dengan cara penyederhanaan materi, variasi cara penyajian, penyederhanaan tes/pertanyaan. Pembelajaran ulang dilakukan bilamana sebagian besar atau semua peserta didik belum mencapai ketuntasan belajar atau mengalami kesulitan belajar. Pendidik perlu memberikan penjelasan kembali dengan menggunakan metode dan/atau media yang lebih tepat. 2) Pemberian bimbingan secara khusus, misalnya bimbingan perorangan. Jika dalam pembelajaran klasikal peserta didik mengalami kesulitan, maka perlu dipilih alternatif tindak lanjut berupa pemberian bimbingan secara individual. Pemberian bimbingan perorangan merupakan implikasi peran pendidik sebagai tutor. Sistem tutorial dilaksanakan jika terdapat satu atau beberapa peserta didik yang belum berhasil mencapai ketuntasan.
12 3) Pemberian tugas-tugas latihan secara khusus. Tugas-tugas latihan perlu diperbanyak agar peserta didik tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan tes akhir. Peserta didik perlu diberi latihan intensif (drill) untuk membantu menguasai kompetensi yang ditetapkan. 4) Pemanfaatan tutor sebaya. Tutor sebaya adalah teman sekelas yang memiliki kecepatan belajar lebih. Mereka dapat diberdayakan untuk memberikan tutorial kepada rekannya yang mengalami kelambatan belajar. Sehingga melalui teman sebaya, diharapkan peserta didik yang mengalami kesulitan belajar akan lebih terbuka dan akrab. Sedangkan menurut Warkitri (1998: 21) metode yang dapat digunakan dalam pemelajaran remedial antara lain; metode pemberian tugas, diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, tutor sebaya, dan pengajaran individual. Selanjutnya Syaiful Bahri Djamarah (2006: 108) menjelaskan bahwa pembelajaran remedial mengandung kegiatan-kegiatan seperti: 1) Mengulang pokok bahasan secara seluruhnya, hal ini dilakukan jika 75% peserta didik atau lebih belum mencapai taraf keberhasilan minimal yang telah ditetapkan dan rata-rata peserta didik belum menguasai materi secara garis besar. 2) Mengulang bagian dari pokok bahasan yang hendak dikuasai, hal ini dilakukan jika peserta didik hanya belum menguasai pokok bahasan tertentu dari materi yang sudah dipelajari. 3) Memecahkan masalah atau menyelesaikan soal-soal secara bersama-sama. 4) Memberikan tugas-tugas khusus. Selanjutnya Made Alit Mariana (2003: 26-29) menjelaskan bahwa pembelajaran remedial dapat dilaksanakan di luar jam sekolah (out-side school hours) atau menggunakan model pembelajaran remedial pemisahan (withdrawal). 1) Model pembelajaran di luar jam sekolah Model ini dilaksanakan sebelum atau sesudah jam pembelajaran reguler dilaksanakan. Keuntungan dari model ini adalah siswa dapat lebih konsentrasi dalam mengulang pelajaran tanpa tertinggal materi pada jam reguler. Guru hendaknya mengkaji intisari kurikulum yang menekankan ketuntasan belajar, membimbing siswa belajar mandiri, dan memberikan
13 ilustrasi yang lebih banyak atau memberikan bimbingan LKS pada siswa, serta banyak membahas soal-soal. 2) Model pembelajaran remedial pemisahan (withdrawal) Model withdrawal dilaksanakan dengan cara memisahkan siswa dari kelas biasa ke dalam kelas remedial. Pemisahan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar tentang materi yang dibahas. Model ini tidak digunakan untuk semua mata pelajaran, biasanya hanya topik-topik yang diangap essensial sebagai pondasi pengetahuan yang lain dan atau lanjutan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran remedial pada prinsipnya didasari pada kesadaran bahwa setiap kegiatan pembelajaran umumnya terdapat siswa yang mengalami kesulitan belajar. Kesulitan setiap individu disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda. Atas dasar asumsi inilah seorang guru harus menyusun program perbaikan bagi siswanya sehinga siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat mengatasi kesulitan belajarnya dan dapat pula mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan pembelajaran remedial, penelitian Selvarajan & Vasanthagumar (2012: 1) menemukan bahwa penerapan program remedial terbukti efektif dalam menyembuhkan kesulitan belajar siswa pada mata pelajaran matematika. Waktu-waktu yang dapat digunakan untuk pembelajaran remedial antara lain sebelum atau sesudah jam pelajaran, di akhir pekan, atau di waktu-waktu khusus seperti selesai melaksanakan ulangan pada pekan ulangan. Selanjutnya siswa perlu menempuh penilaian kembali setelah mendapatkan program remedial sehingga diketahui apakah siswa telah mencapai KKM atau masih mengalami kesulitan dalam belajarnya. Sedangkan bagi siswa yang telah mencapai di atas standar ketuntasan belajar minimum atau berada di atas rata-rata kelompoknya dapat ditindaklanjuti dengan mengikuti program pengayaan.
14 2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray a. Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Abdul Aziz Wahab (2008: 52) model pembelajaran merupakan sebuah perencanaan pengajaran yang menggambarkan proses yang ditempuh pada proses belajar mengajar agar dicapai perubahan spesifik pada perilaku siswa seperti yang diharapkan. Sedangkan Winataputra
mendefinisikan
konseptual
yang
model
melukiskan
pembelajaran
prosedur
yang
sebagai sitematis
kerangka dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pencanang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran (Sugiyanto, 2009: 141). Robert E. Slavin (2005: 103) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah solusi ideal terhadap masalah menyediakan kesempatan berinteraksi secara kooperatif dan tidak dangkal kepada para siswa dari latar belakang etnik yang berbeda. Kemudian Rusman (2011: 204) menjelaskan bahwa
pembelajaran
kooperatif
merupakan
serangkaian
kegiatan
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa di dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Anita Lie (2008: 12), model pembelajaran kooperatif atau disebut juga dengan pembelajaran gotong-royong merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang terstruktur. Menurut Johson pada umumnya hasil penelitian dari penggunaan model pembelajaran kooperatif akan menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan memisah-misahkan siswa (Anita Lie, 2002: 7). Berdasarkan penelitian Nur Ismawati & Hindarto (2011) menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray dapat meningkatkan hasil belajar Fisika siswa kelas X-3 SMA N 1 Boja.
15 Nurhadi
(2004:
61)
menjelaskan
elemen-elemen
dalam
pembelajaran kooperatif adalah; saling ketergantungan positif; interaksi tatap muka; akuntabilitas individual, dan keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan. Adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif yang diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran adalah; belajar dalam kelompok, ditekankan interaksi sosial, dan kerjasama antar siswa dalam mencapai tujuan (Isjoni, 2009: 59). Jolliffe W. (2007: 10) menjelaskan macam-macam pembelajaran kooperatif menjadi beberapa strategi/tipe, lihat Tabel 2.1. Tabel 2.1 Macam-Macam Tipe Pembelajaran Kooperatif Cooperative strategy Think, write, pair, compare
Penjelasan
Siswa menulis pemikiran mereka sebelum bertukar pikiran dengan rekan. Hal ini memastikan tangungjawab individu dimana masing-masing mengorganisir pemikiran mereka sebelum bertukar pikiran. Two stay and two Setelah mengerjakan sebuah pertanyaan/topik dua stray siswa berpindah ke kelompok lain untuk berbagi ide, kemudian kembali ke kelompok awal untuk membandingkan dan menggabungkan pendapat. Doughnut Siswa berdiri dalam dua lingkaran, saling berhadapan. Mereka berbagi informasi kemudian dari tanda yang diberikan, mereka berpindah tempat dan membagi apa yang telah ia dengar. Diamond ranking Kelompok akan diberi 5 kartu pernyataan dan harus membuat keputusan bagaimana harus mengurutkannya dalam bentuk berlian dengan ide paling penting berada paling atas. Class values lines Sebuah persoalan akan dinyatakan dan siswa memutuskan pada titik dari garis mana mereka akan berdiri yang menunjukkan apa yang mereka pikirkan mengenai persoalan. Mereka bisa berpasangan siswa di dekatnya dan menyatakan posisi mereka. Talking tokens Satu atau lebih token dapat diberikan pada masing-masing siswa dan mereka menyumbang ide, mereka letakkan pada satu token mereka. Mereka hanya dapat berbicara hingga mereka tidak memiliki token. (Sumber: Jolliffe, W., 2007: 10)
16 Berdasarkan
pengertian
di
atas
dapat
diketahui
bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang didasarkan atas kerja kelompok, yang menuntut keaktifan siswa untuk saling bekerjasama dan membantu dalam menyelesaikan masalah atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui pembelajaran kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya. Kerjasama yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah setiap anggota kelompok harus saling membantu menguasai bahan ajar. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan tinggi harus membantu siswa yang berkemampuan rendah agar dapat menguasai materi yang sedang dipelajari sehingga kelompoknya dapat berhasil. Oleh karena itu setiap anggota kelompok harus mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kelompoknya. b. Tipe Two Stay Two Stray Two Stay Two Stray (TSTS) merupakan model dua tinggal dua tamu, merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Two Stay Two Stray adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mengutamakan kesempatan kepada kelompok membagi hasil dan informasi kepada kelompok lain (Isjoni, 2009: 60). Menurut Anita Lie (2004: 60) metode TSTS bisa digunakan pada semua mata pelajaran dan untuk semua usia peserta didik. Metode TSTS merupakan sistem pembelajaran kelompok dengan tujuan agar siswa dapat saling bekerjasama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah, dan saling mendorong satu sama lain untuk berprestasi. Metode ini juga melatih siswa untuk bersosialisasi dengan baik. Kemudian struktur kelompok pada model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray antara lain: 1) Heterogen; setiap kelompok terdiri dari siswa dengan latar belakang beragam,baik kemampuan akademis, jenis kelamin, maupun status sosial. 2) Jumlah Siswa; jumlah siswa di dalam kelompok dalam model pembelajaran kooperatif teknik ini terdiri atas 4 – 5 orang siswa.
17 3) Siapa Tinggal, Siapa Bertamu; di dalam kelompok siswa akan menentukan siapa yang akan tinggal (stay) dan siapa yang akan bertamu (stray). Menurut Agus Suprijono (2009: 63) ada sebelas langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif teknik Two Stay Two Stray dapat dilihat pada Tabel 2.2 sebagai berikut: Tabel 2.2 Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS FASE-FASE Fase 1: Present goals and set Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik Fase 2: Present information Menyajikan informasi Fase 3: Organize students into learning teams Mengorganisir peserta didik ke dalam tim-tim belajar
Fase 4: Give problem to discuss Memberikan tugas untuk diskusi Fase 5: Group discussion Diskusi kelompok
Fase 6: Two stay two stray Dua tinggal dua bertamu
PERILAKU GURU Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar Mempresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal Membagi siswa dalam kelompokkelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 4 siswa. Anggota kelompok besifat heterogen, yaitu satu siswa berkemampuan tinggi dua siswa berkemampuan sedang dan satu siswa berkemampuan rendah Memberikan tugas pada setiap kelompok untuk didiskusikan dan dikerjakan bersama Meminta siswa-siswa di dalam setiap kelompok untuk bekerja sama berdiskusi menyelesaikan tugas yang diberikan Setelah bekerjasama atau berdiskusi dalam kelompok, kemudian guru meminta dua siswa (yang berkemampuan sedang) meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok lain untuk mendapatkan informasi terkait materi yang sedang didiskusikan kelompok tersebut. Dua siswa (yang berkemampuan tinggi dan rendah) tetap tinggal dikelompok asal untuk menerima tamu dari kelompok lain
18 Tabel 2.2 Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS (Lanjutan) FASE-FASE PERILAKU GURU Fase 7: Share Meminta semua siswa saling berbagi Berbagi apa yang telah mereka kerjakan untuk menyelesaikan tugas dari guru (catatan: siswa pada langkah ini saling menjelaskan, presentasi, bertanya, dan melakukan konfirmasi, lalu mencatat apa-apa yang didapatnya dari kelompok lain). Dua siswa yang tinggal dalam kelompok memiliki kemampuan tinggi dan rendah bertugas membagi hasil kerja atau memberikan informasi kepada tamunya Fase 8: Group discussion Setelah selesai bertamu, guru meminta Diskusi kelompok semua siswa kembali ke kelompok semula dan selanjutnya berdiskusi dan menjelaskan hasil temuanya kepada semua anggotanya Fase 9: Presentation Meminta perwakilan siswa dari Presentasi kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Fase 10: Class discussion Setiap kelompok kemudian Diskusi kelas membandingkan dan membahas hasil pekerjaan mereka semua dalam diskusi kelas dengan difasilitasi oleh guru Fase 11: Evaluate and Provide Mengevaluasi hasil belajar tentang Recognition materi yang telah dipelajari dan Menilai dan memberi Mempersiapkan cara untuk mengakui penghargaan usaha dan prestasi individu maupun kelompok (Sumber: Agus Suprijono, 2009: 63) Pada saat anggota kelompok bertamu ke kelompok lain maka akan terjadi proses pertukaran informasi yang bersifat saling melengkapi, dan pada saat kegiatan dilaksanakan maka akan terjadi proses tatap muka antar siswa dimana akan terjadi komunikasi baik dalam kelompok maupun antar kelompok sehingga siswa tetap mempunyai tanggung jawab perseorangan. (Anita Lie, 2002: 62). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faishal Mirza (2008: 128) bahwa model pembelajaran ini dapat meningkatkan kelima
19 unsur
proses
pembelajaran
kooperatif
yang
terdiri
atas;
saling
ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar kelompok dan evaluasi proses kelompok. Namun suatu model pembelajaran pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe TSTS menurut Muhammad Faiq (2013: 54-55) adalah: 1) 2) 3) 4)
5) 6) 7) 8) 9) 10)
11)
Model ini dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan, Lebih berorientasi pada keaktifan siswa, Belajar lebih bermakna, Dapat menciptakan interaksi positif antar siswa dan antara guru dengan siswa, sehingga iklim pembelajaran menjadi lebih kondusif, Bertukar informasi, Peningkatan prestasi belajar dan daya ingat, Melatih berpikir kritis, Membantu meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa, Memberikan kesempatan terhadap siswa untuk menemukan konsep sendiri dengan cara memecahkan masalah, Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan kreatifitas dalam melakukan komunikasi dengan teman sekelompoknya, Dapat membantu guru dalam pencapaian pembelajaran, karena langkah pembelajaran kooperatif mudah diterapkan di sekolah.
Selain memiliki banyak kelebihan, model pembelajaran kooperatif teknik two stay two stray juga mempunyai kelemahan. Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS menurut Isjoni (2009: 59-60) adalah: 1) Alokasi Waktu; penerapan model pembelajaran kooperatif teknik Two Stay Two Stray membutuhkan waktu yang relatif lama untuk persiapan dan pelaksanaannya bila dibandingkan dengan model konvensional. Solusi untuk masalah ini adalah guru harus dapat benar-benar mengelola alokasi waktu pembelajaran dengan baik sehingga pembelajaran tidak sia-sia dan materi ajar tersampaikan. 2) Guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas 3) Pelaksanaan pada saat bertamu; siswa terkadang masih kebingungan untuk saling bertukar informasi dengan kelompok lain, karena tujuan dari berbagi informasi disini bukan untuk mencontek hasil jawaban dari kelompok lain. Justru pada tahap ini siswa melakukan konfirmasi bila terjadi perbedaan pendapat mengenai hasil tugas yang telah dibahas di kelompok asal masingmasing. Siswa saling menjelaskan dan mengkritisi untuk
20
4)
5)
6) 7)
memperoleh manfaat dari tahap paling penting dari model pembelajaran kooperatif teknik TSTS. Apabila guru gagal dalam menjelaskan alur model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada peserta didik maka akan membuat pembelajaran tidak kondusif. Untuk menghindari hal tersebut, guru harus selalu memantau kegiatan siswa selama kegiatan bertamu. Pembagian kelompok; pembagian kelompok sangat berpengaruh dalam suatu diskusi agar tidak tumpang tindih antara siswa kelompok tinggi dan siswa kelompok rendah. Maka guru harus merangking siswa terlebih dahulu baru kemudian membentuk formasi kelompok. Saat diskusi terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif. Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS hanya bisa dilaksanakan pada kelas dengan jumlah peserta didik yang bisa dibagi empat. Secara umum model pembelajaran kooperatif tipe TSTS juga
memiliki dampak jangka panjang yang cukup bagus, dimana dengan pembelajaran ini akan melatih siswa untuk dapat mengkoordinir dirinya sendiri untuk lebih aktif dalam belajar secara mandiri tidak hanya bergantung untuk belajar dari guru saja atau tidak beranggapan bahwa guru hanya satu-satunya sumber belajar, tetapi siswa dapat belajar sendiri dari buku, teman maupun lingkungan di sekitarnya. Hal positif ini tentunya akan membantu meningkatkan aspek kognitif siswa dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam teknik Dua Tinggal Dua Tamu (TSTS) siswa bekerja secara berkelompok, kemudian diberikan permasalahan yang harus mereka kerjakan dengan cara kerjasama. Setelah kerjasama intra kelompok, separuh anggota kelompok dari masingmasing kelompok meninggalkan kelompok untuk bertamu dengan kelompok lainnya. Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas bertamu, tetap berada dalam kelompok untuk menerima tamu dari kelompok lain. Setelah semua proses selesai, mereka kembali ke kelompok masing-masing untuk mencocokkan dan membahas hasil yang diperoleh. Diharapkan dengan aktivitas bertamu dan menerima tamu dapat menambah minat siswa untuk mengikuti pelajaran Fisika sehingga pembelajaran Fisika lebih bermakna dan mudah diingat oleh siswa. Adapun penelitian Dwi Sulisworo dan Fadiyah
21 Suryani (2014) tentang efek pembelajaran kooperatif terhadap prestasi belajar menunjukkan bahwa rata-rata prestasi belajar Fisika untuk kelas dengan model pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang menggunakan pembelajaran konvensional. Pembelajaran kooperatif dalam hal ini TSTS memiliki strategi yang lebih baik untuk meningkatkan prestasi belajar Fisika dibandingkan dengan strategi konvensional. 3. Kriteria Ketuntasan Minimal Ada sebuah batas minimal penguasaan materi pembelajaran dalam proses pembelajaran, disebut sebagai kriteria ketuntasan minimal. Berdasarkan Permendikbud Nomor 53 (2015: 3) dijelaskan bahwa kriteria ketuntasan minimal yang selanjutnya disebut KKM adalah kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan oleh Satuan Pendidikan yang mengacu pada standar kompetensi kelulusan, dengan mempertimbangkan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan. KKM yang harus dicapai oleh peserta didik ditetapkan oleh satuan pendidikan. Selanjutnya peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedial. Prayitno (2009: 418) menyatakan bahwa, “kriteria ketuntasan minimal (KKM) merupakan acuan untuk menetapkan seorang peserta didik secara minimal memenuhi persyaratan penguasaan atas materi pelajaran tertentu”. Fungsi KKM seperti yang dijelaskan oleh Prayitno (2009: 420) adalah: a. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi siswa sesuai KD mata pelajaran yang diikuti. b. Sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaian mata pelajaran. c. Dapat digunakan sebagai bahan komponen dalam melakukan evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan sekolah. d. Merupakan kontrak pedagogic antara pendidik dengan peserta didik dan satuan pendidikan dengan masyarakat. e. Merupakan target satuan pendidikan dalam mencapai kompetensi tiap mata pelajaran. Penentuan KKM ditetapkan oleh satuan pendidikan dan dapat menentukan KKM di atas KKM yang telah ditentukan oleh pemerintah. Penetapan KKM oleh satuan pendidikan (sekolah) dengan memperhatikan: a. Intake (kemampuan rata-rata peserta didik)
22 b. Kompleksitas (mengidentifikasi indikator sebagai penanda tercapainya kompetensi dasar) c. Kemampuan daya dukung (berorientasi pada sumber belajar) Kemudian, di dalam Permendikbud Nomor 81 a tahun 2013 tentang implementasi kurikulum dinyatakan bahwa: a. Ketuntasan minimal untuk seluruh kompetensi dasar pada kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan adalah 2,66 (B-). b. Untuk KD-KD yang terdapat pada KI-1 dan KI-2, ketuntasan peserta didik dilihat dari sikap seluruh mata pelajaran, jika profil sikap peserta didik secara umum berada pada kategori baik (B) menurut standar yang ditetapkan satuan pendidikan yang bersangkutan maka ia dinyatakan tuntas. Impikasi dari ketuntasan tersebut adalah: 1) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4, diberikan remedial individu sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang memperoleh nilai < 2,66. 2) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4, diberikan kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya ke KD selanjutnya kepada peserta didik yang memperoleh nilai 2,66 atau lebih dari 2,66. 3) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4, diadakan remedial klasikal sesuai dengan kebutuhan apabila lebih dari 75% peserta didik memperoleh nilai kurang dari 2,66. 4) Untuk KD pada KI-1 dan KI-2, peserta didik dengan profil sikap belum berkategori baik, maka dilakukan pembinaan secara holistik (oleh guru kelas, guru mata pelajaran, guru BK, dan orang tua). Selanjutnya, pengolahan nilai laporan capaian kompetensi (LCK) untuk pengetahuan menggunakan penilaian kuantitatif dengan skala 1–4 diberi predikat A – D. Berikut panduan konversi skor 1-100 ke dalam skala 1-4. Tabel 2.3 Konversi Nilai Akhir Nilai akhir Konversi nilai akhir K-13 KTSP No Skala 1–100 Interval Skala 1 - 4 1 91,75 – 100,0 3,67 - 4,00 4,00 2 83,50 – 91,50 3,34 - 3,66 3,66 3 75,25 – 83,25 3,01 - 3,33 3,33 4 66,75 – 75,00 2,67 - 3,00 3,00 5 58,75 – 66,50 2,34 - 2,66 2,66 6 50,25 – 58,25 2,01 - 2,33 2,33 7 41,75 – 50,00 1,67 - 2,00 2,00 8 33,50 – 41,50 1,34 - 1,66 1,66 9 25,25 – 33,25 1,01 - 1,33 1,33 10 00,00 – 25,00 0,00 – 1,00 1 (Sumber: Budi Laksono, 2016: 2)
Nilai pengetahuan dan ketrerampilan A AB+ B BC+ C CD+ D
Nilai Sikap SB B
C K
23 4. Kemampuan Kognitif Keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari hasil belajar peserta didik. Hasil dari proses belajar tersebut dapat dinilai melalui evaluasi. Nana Sudjana (2009: 22) berpendapat bahwa hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom dibagi menjadi tiga ranah yaitu; ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor (Retno Utari, 2011: 2). Kemudian penilaian hasil belajar oleh pendidik merupakan proses pengumpulan informasi/data tentang capaian pembelajaran peserta didik dalam aspek sikap, aspek pengetahuan, dan aspek keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis yang dilakukan untuk memantau proses, kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar melalui penugasan dan evaluasi hasil belajar. Penilaian hasil belajar oleh pendidik berfungsi untuk memantau kemajuan belajar, memantau hasil belajar, dan mendeteksi kebutuhan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Penilaian hasil belajar oleh pendidik memiliki tujuan untuk: a. mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, b. menetapkan ketuntasan penguasaan kompetensi, c. menetapkan program perbaikan atau pengayaan berdasarkan tingkat penguasaan kompetensi, d. memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai instrumen penilaian berupa tes, pengamatan, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Penilaian aspek pengetahuan dilakukan melalui tes tertulis, tes lisan, dan penugasan sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Penilaian dilakukan secara menyeluruh, yaitu mencakup semua aspek kompetensi meliputi kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif. a. Kemampuan kognitif dilaksanakan melalui: 1) Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester (UTS) dan Ulangan Akhir Semester (UAS).
24 2) Tugas Terstruktur (TT) 3) Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur (KMTT) b. Kemampuan afektif dan psikomotor penilaiannya diintegrasikan ke dalam penilaian kognitif dan praktik serta penilaiannya diserahkan ke guru masingmasing serta hasil akhir penilaian disesuaikan dengan dominasi ranah. Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang artinya mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) berarti perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Slameto, 2010: 12). Kemampuan kognitif dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk menggunakan pengetahuan yang dimiliki secara optimal untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan diri dan lingkungan sekitar. Bloom ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual terdiri dari enam aspek, yakni: mengingat (remembering), memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), mengevaluasi (evaluating), dan mencipta (creating) (Anderson & Krathwohl, 2004). Dimensi berpikir menurut Bloom dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Dimensi Berpikir Dimensi proses berfikir Keterangan Mengingat (C1) Merupakan kemampuan yang bisa menjadi bagaian belajar bermakna dengan mengaitkannya pada aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang lepas dan terisolasi serta menjadi pengetahuan jangka panjang Memahami (C2) Yaitu mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran siswa Mengaplikasikan (C3) Mencakup penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas. Mengaplikasikan berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural Menganalisis (C4) Berarti menguraikan suatu permasalahan atau obyek keunsur-unsurnya dan menentukan keterkaitan unsur satu sama lain Mengevaluasi (C5) Yaitu membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada Mencipta (C6) Merupakan kemampuan menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan (Sumber: Lorin W, 2010: 2)
25 Pengajar perlu mengetahui macam-macam taraf berpikir yang ada, untuk mengetahui jenis latihan dan macam tugas yang dapat mendorong siswa melakukan kerja pikir sampai taraf tertentu. Menurut Nana Sudjana (2006: 2), dari keenam tingkatan tersebut, kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Setiap penguasaan tiap tingkatan tersebut berdasarkan pada jenjang perkembangan usia dan kedewasaan anak didik. Pada jenjang SMA kemampuan kognitif yang harus dikuasai adalah jenjang satu sampai jenjang lima, yaitu dari pengetahuan sampai evaluasi. 6. Teori Kinetik Gas a. Gas Ideal Douglas C. Giancoli (2001: 467) sifat mekanika gas yang tersusun atas sejumlah besar atom-atom atau molekul-molekul penyusunnya dijelaskan dalam teori kinetik gas. Teori kinetik gas menggunakan beberapa pendekatan dan asumsi mengenai sifat-sifat gas yang disebut gas ideal dalam menjelaskan perilaku gas. Sifat-sifat gas ideal menurut David Halliday & Robert Resnick (1985: 765-766) adalah: 1) Suatu gas terdiri dari partikel-partikel, yang dinamakan molekul-molekul. 2) Jumlah seluruh molekul sangat banyak. 3) Setiap partikel gas selalu bergerak dengan arah sembarang atau acak dan berlaku hukum Newton tentang gerak. 4) Ukuran partikel gas dapat diabaikan terhadap ukuran ruangan tempat gas berada. 5) Tidak ada gaya tarik menarik (interaksi) antar molekul kecuali selama tumbukan. 6) Tumbukan-tumbukan adalah elastik (lenting sempurna) dan tumbukantumbukan terjadi di dalam waktu yang sangat singkat. Pada kenyataannya, tidak ditemukan gas yang memenuhi kriteria gas ideal. Akan tetapi, sifat-sifat tersebut dapat dimiliki oleh gas pada temperatur tinggi dan tekanan rendah.
26 b. Hukum-Hukum Gas Teori kinetik gas membahas hubungan antara besaran-besaran yang menentukan keadaan suatu gas. Jika gas yang diamati berada di dalam ruangan tertutup, besaran-besaran yang menentukan keadaan gas tersebut adalah volume (V), tekanan (P), dan suhu gas (T). Douglas C. Giancoli (2001: 459) menyatakan bahwa hubungan antara volume, tekanan, suhu, dan massa gas disebut persamaan keadaan. Selanjutnya menurut proses atau perlakuan yang diberikan pada gas, terdapat tiga jenis proses, yaitu isotermal, isobarik, dan isokhorik. 1) Persamaan Keadaan Misalkanlah sebuah massa nM dari suatu gas dibatasi di dalam sebuah wadah yang volumenya, V; M adalah berat molekul (gram/mol) dan n adalah banyaknya mol. Menurut David Halliday & Robert Resnick (1985: 761) massa jenis ρ dari gas tersebut adalah nM/V dan jelas bahwa ρ dapat direduksi dengan memindahkan sebagian gas dari wadah (mereduksi n) atau dengan menaruh gas tersebut di dalam wadah yang lebih besar (memperbesar V). Berdasarkan hasil eksperimen pada kerapatan yang cukup rendah, semua gas bagaimanapun komposisi kimianya cenderung memperlihatkan sebuah hubungan sederhana yang tertentu diantara variabel-variabel termodinamika P, V, dan T. Hal ini menyarankan konsep mengenai suatu gas ideal, yakni gas yang akan mempunyai sifat sederhana yang sama di bawah kondisi yang sama. Pengukuran tekanan P, suhu T, dan volume V dapat dilakukan pada massa suatu gas nM di dalam keadaan kesetimbangan termal. Untuk nilai kerapatan yang cukup rendah, hasil eksperimen memperlihatkan bahwa untuk massa gas pada suhu konstan, maka tekanan berbanding terbalik dengan volume dan untuk massa gas pada tekanan konstan, maka volumenya berbanding lurus dengan suhu. Kedua hasil eksperimental tersebut dapat diikhtisarkan dengan hubungan; (1)
27 Persamaan (1) menunjukkan besaran P, V, atau T akan berubah ketika yang lainnya diubah. Hubungan ini mengecil menjadi hukum Boyle, Charles, atau Gay-Lussac ketika suhu, tekanan, atau volume secara berturut-turut tetap dijaga konstan. Selanjutnya, setiap proses yang dilakukan pada gas berada dalam ruang tertutup, jumlah molekul gas yang terdapat di dalam ruang tersebut dapat ditentukan sebagai jumlah mol gas (n) yang jumlahnya selalu tetap. Tetapan pada persamaan (1) dituliskan sebagai nR, dimana R adalah konstanta gas yang mempunyai nilai sama untuk semua gas, sehingga persamaan (1) dapat dituliskan: (2) dengan: R = tetapan umum gas (8,31 J/mol K) P = tekanan (N/m2) V = volume (m3) T = temperatur (K) Berdasarkan definisi mol zat yang menyatakan bahwa:
Maka persamaan (2) dapat dituliskan menjadi: (
)
(3)
Kemudian, jumlah molekul gas dapat dinyatakan dengan bilangan Avogadro (NA) yang besarnya sama dengan 6,02×1023 molekul/mol. Sehingga, persamaan (2) juga dapat dituliskan: (
)
(
)
(4)
dengan: N = Banyak partikel gas NA = Bilangan avogadro = 6,02 × 1023 molekul/mol Nilai R/NA pada persamaan (4) merupakan suatu nilai tetapan yang disebut konstanta Boltzman k, dimana k = 1,38 × 10–23 J/K (Douglas C. Giancoli, 2001: 466), maka persamaan (4) dapat juga dituliskan menjadi: (5)
28 2) Hukum Boyle Hasil percobaan Robert Boyle (1627-1691) menyatakan bahwa apabila suhu gas yang berada dalam bejana tertutup dipertahankan konstan (isotermal), maka tekanan gas berbanding terbalik dengan volumenya. Untuk gas yang berada dalam dua keadaan keseimbangan yang berbeda pada suhu konstan, secara matematis dinyatakan dengan persamaan (Douglas C. Giancoli, 2001: 459): (6) Keterangan: P = tekanan gas (N/m2) V = volume gas (m3) 3) Hukum Charles Jacques Charles (1746-1823), seorang ilmuwan asal Prancis, meneliti hubungan antara volume gas (V) dan temperatur (T) gas pada tekanan tetap (isobarik). Jika suhu gas dinaikkan, maka gerak partikelpartikel gas akan semakin cepat sehingga volumenya bertambah. Hubungan tersebut dikenal dengan Hukum Charles yang dinyatakan “Apabila tekanan gas yang berada dalam ruang tertutup dijaga konstan, maka volume gas berbanding lurus dengan suhu mutlaknya”. Secara matematis, pernyataan tersebut dapat dituliskan (Douglas C. Giancoli, 2001: 460): (7) Keterangan: T = suhu gas (K) V = volume gas (m3) 4) Hukum Gay-Lussac Seorang ilmuwan Perancis lainnya, Gay-Lussac, menyatakan hubungan antara tekanan (P) terhadap temperatur (T) suatu gas yang berada pada volume tetap (isokhorik). Hasil penelitiannya kemudian dikenal sebagai Hukum Gay-Lussac yang menyatakan apabila volume gas yang berada pada ruang tertutup dijaga konstan, maka tekanan gas
29 berbanding lurus dengan suhu mutlaknya”. Menurut Douglas C. Giancoli (2001: 461) persamaan matematis dari Hukum Gay-Lussac dinyatakan dengan persamaan berikut: (8) Keterangan: P = tekanan gas (N/m2) T = suhu gas (K) c. Prinsip Ekipartisi Energi Berdasarkan teori kinetik, molekul-molekul gas ideal bergerak secara acak mematuhi hukum gerak Newton. Partikel-partikel tersebut dapat bergerak karena memiliki energi yang disebut energi kinetik. Energi kinetik rata-rata partikel gas besarnya memenuhi suatu aturan tertentu yakni, “jika pada gas berlaku hukum Newton maka semua derajat kebebasan gerak partikel akan menyumbang energi kinetik sebesar kT”. Aturan tersebut dikenal sebagai Azas ekuipartisi atau azas bagi rata. 1) Tekanan Gas dalam Ruang Tertutup Berdasarkan sifat-sifat gas ideal, telah diketahui bahwa setiap dinding ruang tempat gas berada, mendapat tekanan dari tumbukan partikel-partikel gas yang tersebar merata di dalam ruang tersebut. Bayangkan gerak satu partikel yang berada di dalam ruang berbentuk kubus dengan panjang rusuk kubus L. Massa partikel tersebut adalah m dan kecepatan partikel menurut arah sumbu-x dinyatakan sebagai vx (perhatikan Gambar 2.1). Jika partikel gas ideal tersebut menumbuk dinding ruang, tumbukan yang terjadi adalah tumbukan lenting sempurna. Oleh karena itu, jika kecepatan awal partikel saat menumbuk dinding A adalah +vx, kecepatan akhir partikel setelah terjadinya tumbukan dinyatakan sebagai -vx. Perubahan momentum (∆px) yang dialami partikel adalah ∆px= pakhir – pawal = -mvx - (mvx) = -2mvx.
30
Gambar 2.1 Gerak Molekul Gas dalam Dinding Bejana (Paul A. Tipler, 1998: 577) Setelah menumbuk dinding A, partikel gas ideal tersebut menumbuk dinding B. Demikian seterusnya, partikel gas tersebut akan bergerak bolak-balik menumbuk dinding A dan dinding B. Sehingga, dapat dihitung selang waktu antara dua tumbukan yang terjadi pada dinding A dengan persamaan: (9) Pada saat partikel gas tersebut menumbuk dinding, partikel memberikan gaya sebesar Fx pada dinding. Pada konsep momentum, telah dipelajari bahwa besarnya gaya yang terjadi pada peristiwa tumbukan sama dengan laju perubahan momentumnya
.
Sehingga, besar gaya Fx tersebut dapat diketahui sebagai berikut: (10) Jika di dalam ruang berbentuk kubus tersebut terdapat sejumlah N partikel gas, dengan kecepatan rata-rata seluruh molekul gas tersebut dinyatakan dengan vx, gaya yang dialami dinding dinyatakan sebagai Ftotal. Sehingga, persamaan (10) dapat dinyatakan menjadi: ̅̅̅̅
(11)
Besarnya tekanan (P) yang dilakukan oleh gaya total (Ftotal) yang dihasilkan oleh N partikel gas ideal tersebut pada dinding A adalah: (12)
31 Oleh karena luas dinding adalah perkalian antara dua panjang rusuk dinding tersebtu (A = L2) maka dengan mensubtitusikan persamaan (11) ke dalam persamaan (12), persamaan tekanan dapat ditulis dengan: ̅̅̅̅
̅̅̅̅ (13)
dengan: P = tekanan pada dinding (N/m2) V = volume ruang (m3) N = jumlah molekul m = massa molekul (kg) vx = kecepatan molekul pada sumbu-x (m/s) Pada tinjauan tiga dimensi (tinjauan ruang), kecepatan rata-rata gerak partikel merupakan resultan dari tiga komponen arah kecepatan menurut sumbu-x
̅ , sumbu-y ̅̅̅ , sumbu-z
sama. Oleh karena itu, dapat dituliskan ̅
̅
̅
yang besarnya (̅̅̅)
̅ . Jika
setiap komponen pada kedua ruas persamaan kecepatan tersebut dikuadratkan, akan diperoleh ̅̅̅
̅̅̅̅. Sehingga persamaan (13) dapat
diubah menjadi: ̅̅̅
(14)
2) Hubungan antara Tekanan Gas dan Energi Kinetik Dari persamaan (5) dan persamaan (14) dapat diturunkan persamaan: (15) Oleh karena menjadi (
maka persamaan (15) dapat dituliskan )
sehingga diperoleh: (16)
Berdasarkan persamaan (16) terlihat bahwa energi kinetik gas berbanding lurus dengan temperaturnya. Jadi, jika suhu gas naik, energi kinetiknya akan membesar. Demikian juga sebaliknya, jika suhu gas turun, energi kinetiknya akan mengecil. Energi kinetik dapat dituliskan
32 (
), besaran
disebut juga sebagai derajat kebebasan gas.
Derajat kebebasan berhubungan dengan kebebasan partikel gas untuk bergerak di dalam ruang. Jadi, jika energi kinetik suatu gas dinyatakan sebagai
, dapat dikatakan bahwa gas tersebut memiliki 3 derajat
kebebasan menurut sumbu-x, sumbu-y, dan sumbu-z. Derajat kebebasan ini berlaku untuk gas monoatomik, seperti Helium (He), Argon (Ar), dan Neon (Ne). Semakin tinggi suhu suatu gas, energi kinetiknya akan semakin besar. Secara fisis, meningkatnya energi kinetik gas tersebut berhubungan dengan meningkatnya jumlah derajat kebebasan yang dimilikinya. Pada gas-gas diatomik, seperti H2, N2, dan O2, energi kinetiknya pada suhu rendah adalah suhu tinggi
, pada suhu sedang
, dan
.
Gambar 2.2 (a) Gerak Translasi, (b) Gerak Rotasi, (c) Gerak Vibrasi (Ramon A. Seway, 2010: 104) Perhatikan Gambar 2.2 di atas, derajat kebebasan gas-gas diatomik pada suhu rendah diperoleh dari kebebasan gerak partikelpartikelnya saat bertranslasi menurut sumbu-x, sumbu-y, dan sumbu-z ̅̅̅
̅̅̅̅ . Pada suhu sedang, partikel-partikel gas diatomik tersebut
dapat bertranslasi dan berotasi. Namun, rotasi yang dialami partikel gas menurut sumbu-x diabaikan karena nilainya sangat kecil. Sehingga, energi kinetiknya,
. Jika temperatur gas
diatomik tersebut dinaikkan lagi hingga mencapai ±1.000 K, gerak yang dilakukan oleh partikel-partikel gas adalah gerak translasi, rotasi, dan
33 vibrasi (bergetar pada sumbunya). Energi kinetik gas pada suhu tinggi dinyatakan dengan: (
)
(
)
(17)
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa jumlah derajat kebebasan partikel gas menentukan energi yang dimiliki atau disimpan oleh gas tersebut. Peninjauan energi partikel gas inilah yang dinamakan Prinsip Ekuipartisi Energi oleh James Clerk Maxwell. 3) Energi Dalam Gas Ideal Energi kinetik sejumlah partikel gas yang terdapat di dalam suatu ruang tertutup disebut sebagai energi dalam gas (U). Jika di dalam ruangan tersebut terdapat N partikel gas, energi dalam gas dituliskan dengan persamaan: (18) Sehingga, energi dalam untuk gas monoatomik atau gas diatomik pada suhu rendah adalah: (19) Adapun, energi dalam untuk gas-gas diatomik dan poliatomik pada suhu sedang dinyatakan dengan: (20) Dan energi dalam gas-gas diatomik dan poliatomik pada suhu tinggi: (21) 4) Kecepatan Partikel Gas Ideal Besaran lain yang dapat ditentukan melalui prinsip ekuipartisi energi gas adalah akar dari rata-rata kuadrat kelajuan (vrms = root mean square speed) gas, yang dirumuskan dengan: √ Karena Ek = 3/2 kT, maka persamaan (18) dapat dituliskan menjadi:
(22)
34
√
(23)
Berdasarkan persamaan gas ideal, diketahui bahwa pV = NkT. Jika hanya terdapat satu mol gas, persamaan gas ideal tersebut dapat dinyatakan PV = kT. Sehingga, persamaan (21) dapat dituliskan:
√
(24)
Ingat bahwa massa jenis adalah perbandingan antara massa terhadap volume zat tersebut. Oleh karena itu, persamaan (24) dapat dituliskan menjadi: √
( )
√( )
(25)
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan hasil pengamatan pembelajaran di kelas XI MIA SMAN 1 Gemolong menunjukkan bahwa guru selalu mengunakan model pembelajaran yang sama dalam mengajar, yakni model konvensional. Proses pembelajaran masih berpusat pada guru sebagai sumber informasi, sehingga siswa kurang terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Guru tidak pernah menggunakan model pembelajaran inovatif guna meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, serta untuk mencari solusi dari masalah kesulitan-kesulitan siswa dalam belajar. Selain itu pemberian soa-soal latihan untuk siswa masih sangat kurang. Siswa hanya diam mendengarkan guru menyampaikan materi, kemudian mencatat materi yang diajarkan. Kemudian, hasil ulangan harian bab Teori Kinetik Gas menunjukkan prestasi belajar siswa kelas XI MIA SMA Negeri 1 Gemolong masih tergolong rendah. Hal ini dibuktikan dengan 85% nilai ulangan harian siswa kelas XI MIA 2 pada materi Teori Kinetik Gas belum mencapai batas tuntas (KKM). Prestasi yang masih rendah ini dimungkinkan karena metode pembelajaran yang kurang sesuai dengan karakteristik materi dan siswa. Untuk itu, siswa yang belum mencapai
35 KKM yang telah ditentukan oleh sekolah perlu mendapatkan pengajaran remedial untuk membantu mengatasi kesulitan belajarnya. Pelaksanaan remediasi dapat menggunakan metode pembelajaran yang inovatif sehingga pembelajaran tidak membosankan dan dapat meningkatkan minat belajar serta hasil belajar siswa. Materi teori kinetik gas berisi konsepkonsep abstrak, namun sebenarnya mempunyai banyak contoh penerapan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan lebih menyenangkan apabila materi tersebut disampaikan melalui model pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif memberi kesempatan bagi peserta didik untuk menyampaikan ide, berbagi pengalaman, maupun mendapat bantuan dari teman sebayanya. Two stay two stray merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran remedial. Pembelajaran remedial menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS melibatkan siswa sejak awal pembelajaran sehingga memudahkan baginya untuk berorientasi lebih jauh terhadap situasi kompetensi pembelajaran yang ingin dicapai. Model pembelajaran
kooperatif
tipe
TSTS
diprediksi
dapat
diterapkan
untuk
meremediasi kesulitan belajar pada materi pokok Teori Kinetik Gas kelas XI MIA 2 SMAN 1 Gemolong yang berisi konsep-konsep abstrak. Hal ini dikarenakan metode TSTS menuntut seluruh siswa untuk aktif mempelajari sebuah konsep melalui aktivitas pemecahan masalah, mengungkapkan ide, melakukan diskusi dan presentasi. Pembagian kelompok kecil kemudian berganti kelompok diharapkan dapat membuat siswa berbagi informasi dengan temannya sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan motivasi belajar siswa. Aktivitas dan motivasi belajar yang tinggi dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa yang ditandai dengan hasil belajar yang mampu mencapai KKM yang telah ditentukan. Nilai kognitif siswa yang mencapai ketuntasan dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan atau tujuan dalam pembelajaran remedial. Kerangka berpikir dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.3.
36 Teori Kinetik Gas
- Berisi konsep-konsep abstrak - Ada banyak contoh penerapan dalam kehidupan sehari-hari
Model Pembelajaran Konvensional - Pembelajaran berpusat pada guru - Siswa kurang aktif dalam pembelajaran - Model pembelajaran tidak sesuai dengan karakter materi dan karakter siswa - Hasil belajar siswa XI MIA 2 masih rendah - 85% hasil belajar siswa di bawah KKM
Pembelajaran remedial dengan model kooperatif tipe two stay two stray
- Pembelajaran akan lebih menyenangkan - Memberi kesempatan bagi peserta didik untuk menyampaikan ide, berbagi pengalaman, maupun mendapat bantuan dari teman sebayanya - Melibatkan siswa sejak awal pembelajaran - Seluruh siswa untuk aktif mempelajari sebuah konsep melalui aktivitas pemecahan masalah, mengungkapkan ide, melakukan diskusi dan presentasi
Meningkatkan aktivitas dan motivasi belajar siswa
Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa Hasil belajar siswa XI MIA 2 pada materi Teori Kinetik Gas mampu mencapai KKM Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
37 C. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan: pembelajaran remedial menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray dapat membantu siswa kelas XI MIA 2 SMAN 1 Gemolong mencapai KKM (ketuntasan belajar aspek kognitif) pada materi Teori Kinetik Gas.