BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran Kimia Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (1999) dalam Sagala (2010) adalah suatu kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru (Sagala, 2010). Secara prinsip dalam Permendikbud No. 81A Tahun 2013, kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan
yang
semakin
lama
semakin
meningkat
dalam
sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia.
Oleh
karena
itu,
kegiatan
pembelajaran
diarahkan
untuk
memberdayakan semua potensi peserta didik menjadi kompetensi yang diharapkan. Menurut BSNP (2006), kimia merupakan ilmu yang termasuk dalam rumpun IPA. Di dalam kimia dipelajari tentang bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur, sifat, perubahan, dan dinamika. Terdapat dua hal yang berkaitan dengan eksistensi kimia, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran
9
10 kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. Johnstone (2006) menjelaskan bahwa ilmu kimia dipelajari melalui tiga tingkatan yang digambarkan sebagai berikut: Makro dan Nyata (macro and tangible)
Submikro (submicro)
Representasional (representational)
Gambar 2.1. Segitiga Kimia Menurut Johnstone (Sumber: Johnstone, 2006) Level makro dan nyata merupakan fenomena yang dapat diamati, disentuh, dan dicium. Level submikro merupakan fenomena yang tidak dapat diamati secara kasat mata. Sedangkan level representasional adalah representasi submikro ke dalam suatu simbol, rumus, persamaan, manipulasi matematik dan grafik. Pada materi kesetimbangan kimia, level makronya adalah terjadinya reaksi
kesetimbangan
yang
bersifat
dinamis,
artinya
terjadi
reaksi
pembentukan produk dan reaksi balik menuju reaktan secara terus menerus. Fenomena tersebut dijelaskan
melalui level submikro bahwasannya pada
reaksi kesetimbangan tersebut secara mikroskopis melibatkan reaksi pemutusan dan pembentukan ikatan antaratom dalam sistem yang tertutup. Kemudian melalui level representasional, reaksi kesetimbangan ini dapat dijelaskan secara sederhana seperti pada gambar 2.2 R (aq)
P(aq)
Gambar 2.2. Penulisan Reaksi Kesetimbangan Kimia Sederhana Huruf „R‟ pada gambar di atas mewakili reaktan, sementara huruf „P‟ sebagai produk. Tanda panah ke kanan dan ke kiri (
) menunjukkan bahwa
reaksi terjadi secara reversibel (dapat balik) dari reaktan menjadi produk dan dari produk menjadi reaktan. Reaksi ini terjadi terus-menerus selama tidak terjadi gangguan dalam sistem sehingga disebut kesetimbangan dinamis.
11 Mengacu pada definisi-definisi di atas, pembelajaran kimia dapat diartikan sebagai pembelajaran yang memfokuskan pada pemahaman ilmu dan pengetahuan materi pelajaran Kimia sehingga secara tidak langsung membentuk sikap dan keyakinan peserta didik baik terhadap pengetahuan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari. 2. Teori Belajar Menurut Snelbecker (1974) dalam Dahar (2002), teori diartikan sebagai sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik (artinya kumpulan proporsi ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, dan juga pada data yang diamati), serta yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang diamati. Penelitian ini menggunakan dua jenis teori belajar yang sudah populer, yakni teori belajar bermakna
(Ausubel) dan konstruktivisme (Vygotsky).
Dalam Dahar (2002), Snelbecker (1974) berpendapat bahwa perumusan teori sangat vital bagi psikologi dan pendidikan agar dapat maju atau berkembang, serta berguna untuk memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap bidang itu. Oleh karena itu semua ilmu harus dilandasi teori agar berkembang. a. Teori Belajar Bermakna Teori belajar bermakna dikembangkan oleh seorang ahli psikologi pendidikan bernama David Ausubel. Ausubel mengemukakan bahwa belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 2002). Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah
12 fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa (Dahar, 2002). Dalam Dahar (2002) disebutkan mengenai dua prasyarat belajar bermakna, di antaranya: 1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial 2) Anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna. Lebih lanjut mengenai kebermaknaan materi pelajaran, dalam Dahar (2002) juga dijelaskan mengenai faktor yang memengaruhi kebermaknaan materi
belajar
tersebut.
Yang
pertama,
materi
harus
memiliki
kebermaknaan logis. Yang kedua, gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang nonarbitrer dan substantif. Materi yang nonarbitrer ialah materi yang serupa dengan apa yang telah diketahui. Sebagai contoh, anak yang sudah mempelajari
konsep-konsep
segiempat
dan
bujur
sangkar
dapat
memasukkan kedua konsep ini secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi yang lebih luas, yaitu kuadrilateral (persegi empat) sebab konsep segiempat dan bujur sangkar sudah dipelajari (Dahar, 2002). Aspek kedua kebermaknaan potensial ialah bahwa dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan yang relevan. Dalam hal ini pengalaman anak-anak, tingkat perkembangan, intelegensi, dan usia harus diperhatikan (Dahar, 2002). Ausubel (1968) dalam Dahar (2002: 100) menyatakan: “The most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly.” Atau yang berarti: “Faktor terpenting yang memengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Yakinilah hal ini dan ajarlah ia demikian.” Jadi agar terjadi kebermaknaan, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.
13 Beberapa kunci pandang Ausubel yang tercantum dalam Suyono (2014: 101-102) adalah sebagai berikut: 1) Teori Subsumsi Subsumsi
berarti
menggolong-golongkan
secara
hierarkis.
Melakukan subsumsi berarti menjalinkan suatu materi baru ke dalam struktur kognitif seseorang. Bila sebuah informasi disubsumsi ke dalam struktur kognitif pembelajar, maka akan diorganisasikan secara hierarkis. Materi baru dapat disubsumsi dalam dua cara, dan dalam kedua cara itu, tidak akan terjadi pembelajarn bermakna jika tidak tersedia struktur kognitif yang mantap. Struktur kognitif ini menyediakan suatu bingkai kerja ke dalam suatu bahan/pengetahuan baru akan dijalinkan secara hierarkis, di antara informasi atau konsepkonsep terdahulu yang telah ada di dalam struktur kognitif individu. Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan konkret. Kedua jenis subsumsi itu adalah: (1) subsumsi korelatif, pengetahuan
baru
merupakan
pengetahuan
yang
sudah
perluasan
diketahui;
atau
(2)
elaborasi
subsumsi
dari
derivatif,
pengetahuan baru atau hubungan antara pengetahuan baru dengan yang sudah ada, diturunkan dari struktur kognitif yang sudah ada. Informasi digerakkan di dalam hierarki, atau dijalinkan dengan konsep lain atau informasi lain untuk menciptakan penafsiran baru tentang makna. Dari jenis subsumsi ini dapat muncul konsep baru, artinya konsep terdahulu diubah atau diperluas maknanya, makna baru ini juga mengandung makna yang lama. Ini disebut sebagai figuring out (memahami makna). 2) Advanced Organizer Advanced
Organizer
merupakan
perangkat
atau
suatu
pembelajaran mental yang bertujuan membantu siswa di dalam mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan terdahulu, mengarah kepada pembelajaran bermakna sebagai lawan dari
14 pembelajaran dengan cara menghafal. Artinya Advanced Organizer menyiapkan struktur kognitif pembelajar jika terjadi pengalaman belajar. Perangkat ini mengaktifkan skema yang relevan atau pola-pola konseptual yang relevan sehinga informasi baru ini lebih mudah disubsumsikan ke dalam struktur kognitif siswa. b. Teori Belajar Konstruktivisme Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun atau mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup (Suyono, 2014). Konstruktivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Bettencourt (1989). Lebih lanjut dia menyakatan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Suparno, 1997 dalam Suyono, 2014). Karakteristik pembelajaran konstruktivisme yang dikemukakan oleh Driver and Bell, yang tercantum dalam Suyono (2014) antara lain: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan; (2) belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa; (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal; (4) pembelajar bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi lingkungan belajar; dan (5) kurikulum bukanlah sekadar hal yang dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Sebagai tokoh yang dianggap pionir dalam filososfi konstruktivisme, Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai
15 pembelajaran kognisi sosial (social cognition). Pembelajaran kognisi sosial meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengembangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies di atas dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri, dan setiap anak manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri (Suyono, 2014).
3. Pembelajaran Joyful Learning Pembelajaran Joyful Learning merupakan model yang memungkinkan peserta didik mengerjakan kegiatan beragam untuk mengembangkan keterampilan, sikap, dan pemahamannya dengan penekanan belajar sambil bekerja (Asmani, 2013: 59). Dalam suasana yang menyenangkan siswa akan bersemangat dan mudah menerima berbagai kebutuhan belajar. Dalam suasana yang menyenangkan pula siswa akan mampu mengikuti dan menangkap materi pelajaran yang sulit menjadi mudah (Khanifatul, 2013). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Darmanysah dalam Khanifatul (2013), apabila peserta didik mendapat rangsangan yang menyenangkan dari lingkungannya, akan terjadi berbagai sentuhan tingkat tinggi pada diri peserta didik yang membuat mereka lebih aktif dan kreatif secara mental dan fisik. Joyful Learning tergolong jenis model pembelajaran aktif dan kolaboratif. Pembelajaran aktif merupakan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran dengan memberikan mereka kesempatan untuk mencari solusi, mengeksplorasi materi, bereksperimen, mencoba, dan menciptakan. Di kelas pembelajaran aktif, siswa sering berpindah tempat, berbagi, dan bekerja secara kelompok. Sementara yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif adalah proses pembelajaran yang menempatkan siswa dalam pasangan atau kelompok dengan tujuan berbagi keahlian dan kontribusi dari masing-masing individu (Udvari-Solner & Kluth, 2008).
16 Berdasarkan penelitian di lapangan, siswa cenderung memberikan respon positif terhadap pembelajaran aktif dan kolaboratif, terutama pada pembelajaran Joyful Learning. Model pembelajaran Joyful Learning terdiri dari bermacam-macam model pembelajaran yang memberi kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembelajaran (UdvariSolner & Kluth, 2008). Pembelajaran Joyful Learning dapat mengakomodasi setiap siswa dengan perbedaan dalam hal keterampilan, bahasa, budaya, atau kemampuan belajar dalam satu kelompok sehingga setiap individu dapat belajar bersama tanpa terkendala perbedaan tersebut. Udvari-Solner dan Kluth (2008) mengembangkan 50 macam model pembelajaran Joyful Learning yang terbagi dalam 5 kelompok: (1) membangun tim dan komunitas kelas; (2) mengajar dan belajar; (3) belajar dan mereview; (4) guru aktif; dan (5) penilaian dan perayaan. Sintaks yang diberikan di masing-masing model pembelajaran tersebut dapat diterapkan secara fleksibel dengan menyesuaikan keadaan lapangan. Model pembelajaran yang termasuk dalam kelompok membangun tim dan komunitas kelas berisi tentang teknik-teknik untuk membantu guru dalam membangun komunitas dan tim. Teknik ini mengambil banyak kegiatan dalam kerjasama, mendengarkan, berbagi, dan ketergantungan satu sama lain. Mengajar dan belajar berisi tentang teknik yang membantu siswa untuk belajar secara bermakna, menyenangkan, dan meyakinkan. Pembelajaran ini membantu peserta didik untuk mengingat informasi, mengajarkan materi pada temannya, dan membuat penemuan pada materi pelajaran. Belajar dan mereview memberikan guru ide untuk mendorong siswa bekerja secara kelompok untuk penilaian pembelajaran materi dengan cara mendalam. Guru aktif memberikan arahan bagi guru untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran kelas secara keseluruhan dengan tidak mengabaikan pendekatan personal pada siswa. Penilaian dan perayaan memberikan ide bagi guru sebuah pilihan pembelajaran aktif untuk mengukur kepahaman siswa, belajar
17 berbagi, dan perayaan prestasi yang sudah dicapai siswa (Udvari-Solner & Kluth, 2008). Ciri-ciri pembelajaran menyenangkan atau Joyful Learning dalam Asmani (2013: 83) antara lain: a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat (learning to do). b. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menjadi menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa. c. Guru mengatur kelas dengan cara memajang buku-buku dan bahan ajar yang lebih menarik dan menyediakan “pojok baca”. d. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk belajar kelompok. e. Guru mendorong siswa untuk menemukan cara sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan siswa dalam mencipkatan lingkungan sekolahnya. Sehubungan dengan ciri pembelajaran menyenangkan ini, Rose dan Nocholl
dalam
Asmani
(2013)
menyatakan
bahwa
dalam
ciri-ciri
pembelajaran yang menyenangkan adalah sebagai berikut: a. Menciptakan lingkungan tanpa stres (rileks), yaitu lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, namun dengan harapan akan mendapatkan kesuksesan yang lebih tinggi. b. Menjamin bahwa bahan ajar relevan. c. Menjamin bahwa belajar secara emosional terjadi ketika belajar dilakukan bersama orang lain, ketika ada humor dan dororngan semangat, waktu rehat dan jeda yang teratur, serta dukungan antusias. d. Melibatkan secara sadar semua indra dan otak kiri maupun kanan.
18 e. Menantang peserta didik untuk dapat berpikir jauh ke depan dan mengekspresikan apa yang sedang dipelajari, dengan sebanyak mungkin kecerdasan yang relevan untuk memahami bahan ajar. Dalam Khanifatul (2013), terdapat enam langkah yang hendaknya dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran Joyful Learning: a. Menciptakan Suasana Ceria Suasana yang ceria mendorong siswa untuk berani dan kreatif melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran, seperti bertanya, menjawab pertanyaan, mendemonstrasikan keterampilan dan sebagainya.
b. Ciptakan Humor Ringan Secara fisik, tertawa juga akan mengendorkan otot-otot penting yang berhubungan dengan sel-sel otak. Tertawa bisa menjadikan otak kita segar dan sehat. Kalau siswa bisa tertawa, itu berarti seorang guru telah membantu menghilangkan faktor psikologis yang bisa menghambat pembelajaran, seperti malu, takut, tertekan, dan sebagainya. c. Menggunakan Metode yang Bervariasi Metode pembelajaran seperti diskusi, proyek, demontrasi, dan sebagainya sesungguhnya tidak hanya menjadikan siswa senang, tetapi guru juga akan menikmati aktivitas mengajar. d. Teach to Learn Pembelajaran yang baik akan bisa diwujudkan kalau siswa diajarkan bagaimana cara mempelajari materi pelajaran secara tepat. e. Mendorong Siswa Terlibat Aktif Untuk mendorong siswa agar terlibat aktif dalam pembelajaran, diperlukan waktu dan kesabaran, karena mungkin yang dilakukan siswa tidak langsung benar. Seorang guru sebaiknya tidak boleh memberikan “cap salah” mutlak terhadap apa yang sudah diupayakan siswa, karena akan mematahkan semangat mereka untuk terlibat. f. Mengakhiri Pembelajaran dengan Kalimat-Kalimat Motivasi
19 Guru bisa membuat sendiri rumusan kalimat-kalimat motivasi. Guru bisa membuat sendiri rumusan kalimat-kalimat motivasi tersebut atau bisa juga mengoleksi dari buku-buku motivasi. Kalimat-kalimat motivasi ini penting untuk merawat atau memelihara semangat belajar siswa, bahkan juga merawat semangat guru untuk mengajar. Pembelajaran yang menyenangkan (joyful) perlu dipahami secara luas, bukan hanya berarti selalu diselingi dengan lelucon, banyak bernyanyi atau tepuk tangan yang meriah. Pembelajaran yang menyenangkan merupakan pembelajaran yang dapat dinikmati siswa. Siswa merasa nyaman, aman, dan asyik. Perasaan yang mengasyikkan mengandung unsur inner motivation, yaitu dorongan keingintahuan yang disertai upaya mencari tahu sesuatu. Selain itu pembelajaran perlu memberikan tantangan kepada siswa untuk berpikir, mencoba dan belajar lebih lanjut, penuh dengan percaya diri dan mandiri untuk mengembangkan potensi diri secara optimal. Dengan demikian, diharapkan kelak siswa menjadi manusia yang berkarakter penuh dengan percaya diri, menjadi dirinya sendiri dan mempunyai kemampuan yang kompetitif (Jauhar, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Permatasari, Mulyani, dan Nurhayati (2014) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model Joyful Learning disertai metode pemberian tugas dapat memacu siswa untuk membangun konsep diri. Berdasarkan hasil obervasi dan tes, pembelajaran dengan model tersebut ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi pokok Koloid. Prestasi belajar yang diujikan meliputi aspek kognitif dan afektif. Di dalam penelitian tersebut, siswa dituntut untuk aktif dalam mencari informasi materi pembelajaran, mendiskusikan informasi dengan teman dan guru, dan mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Menurut Permatasari, dkk. (2014) pembelajaran dengan model ini dapat mengurangi rasa malas dan bosan, yang keduanya sudah jelas dapat menghambat pemrosesan informasi oleh siswa. Penelitian berikutnya merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di SMA Negeri 1 Ngemplak Boyolali yang dilakukan oleh Pramesthi, Catur, dan
20 Susanti (2015). Berdasarkan observasi, angket, dan tes pada siklus I dan siklus II dengan penerapan model Joyful Learning dan metode Guided Discovery, terjadi peningkatan rasa ingin tahu dan prestasi belajar siswa pada materi pokok Hidrokarbon. Prestasi belajar yang diukur adalah aspek kognitif dan aspek afektif. Menurut Pramesthi, dkk. (2015) peningkatan persentase rasa ingin tahu siswa disebabkan oleh penerapan model Joyful Learning dan metode Guided Discovery. Dengan menggunakan model tersebut siswa menjadi lebih nyaman dalam pembelajaran sehingga siswa lebih berani mengemukakan pendapat saat berdiskusi dan lebih sering bertanya jika belum paham materi pelajaran. Selain kedua penelitian tersebut, penelitian lain tentang pembelajaran Joyful Learning juga dilakukan oleh Astriani, Hadisputro, dan Nurhayati (2013) pada materi pokok Redoks kelas X SMA N 1 Tengaran tahun pelajaran 2011/2012. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Joyful Learning berbantuan media Dox-Card (kartu redoks) terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian Astriani, dkk. (2013) menunjukkan bahwa pembelajaran Joyful Learning berbantuan media pembelajaran Dox-Card memiliki pengaruh yang signifikan pada kelas eksperimen dibanding kelas kontrol, yaitu pada prestasi belajar aspek afektif, aspek psikomotor, dan keaktifan siswa. Penelitian keempat dilakukan oleh Wei, dkk. (2011), yakni Joyful Classroom Learning System (JCLS) dengan bantuan Robot Learning Companion (RLC) untuk belajar Perkalian Matematika menunjukkan bahwa Joyful Learning memiliki dampak positif terhadap motivasi belajar yang diukur dari observasi dan wawancara. Beberapa siswa bahkan menunjukkan antusias tinggi terhadap RLC. Wei, dkk. (2011) menyimpulkan, jika siswa memiliki antusias tinggi dan persepsi menyenangkan selama proses pembelajaran, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa akan menjadi lebih baik. Hasil penelitian lain tentang pembelajaran Joyful Learning yang dilakukan oleh Chopra dan Chabra (2013) pada tahun 2012 di sekolah
21 Digantar, India, menunjukkan bahwa pembelajaran Joyful Learning memiliki pengaruh yang sangat bagus terhadap respons belajar siswa. Sekolah Digantar merupakan kelompok sekolah yang menerapkan kurikulum Digantar, yakni salah satu kurikulum di India yang menjunjung tinggi keberagaman, kebebasan berpendapat yang aman, kesetaraan, dan kewibaan manusia pada semua komponennya, baik guru dan siswa. Penelitian tersebut dilakukan melalui observasi secara langsung. Data yang diperoleh bukan data statistik melainkan data observasi dan hasil wawancara. Berdasarkan observasi, peneliti menyimpulkan bahwa seseorang akan menjadi guru yang luar biasa ketika berada dalam kondisi pembelajaran yang memberi mereka kebebasan, sehingga guru akan merasa nyaman serta menjadi sahabat bagi siswa. Setiap guru yang mengajar di sekolah Digantar memegang pemahaman bahwa, jika anak tidak dapat belajar dari cara guru mengajar, mungkin guru harus mengajar dengan cara belajar anak. Jenis model pembelajaran Joyful Learning yang digunakan dalam penelitian ini adalah Group Resume. Model ini merupakan model pembelajaran Joyful Learning yang masuk dalam kelompok membangun tim dan komunitas kelas. Meskipun resume dideskripsikan sebagai sebuah pencapaian individu, Group Resume (Silberman, 1996 dalam Udvari-Solver & Kluth, 2008) termasuk dalam pencapaian tim. Sintaks model pembelajaran Joyful Learning tipe Group Resume: a. Guru menjelaskan pada siswa bahwa setiap siswa memiliki keahlian, pengalaman, dan kesukaan yang berbeda-beda b. Guru membagi siswa ke dalam kelompok kecil dan memberi setiap tim lembar kosong dan pena berwarna c. Guru meminta setiap grup untuk menyiapkan resume kolektif untuk menunjukkan pencapaian mereka d. Setelah memberikan waktu untuk mengerjakan, guru meminta kelompok mempresentasikan hasil resume ke depan kelas
22 e. Resume mereka dapat digantung di kelas untuk sehari (atau seminggu atau setahun) sehingga yang lain dapat melihat pengetahuan dan keterampilan yang dipresentasikan di depan kelas Berikut ini merupakan cara untuk mengoptimalkan partisipasi dan keterlibatan siswa: a. Untuk meyakinkan bahwa semua siswa berpartisipasi, guru harus memberikan siswa ide tentang bagaimana merangkum suatu informasi. Siswa dari kelompok boleh bertanya ke kelompok lain atau membiarkan siswa membuat gambar sketsa idenya dibanding menuliskan terlebih dulu. b. Guru mengijinkan siswa untuk mencari sumber atau referensi dari buku atau menjelajah internet. Hal itu dapat memberikan mereka ide bagaimana menuliskan resume. 4. Media Pembelajaran Infografis dan Poster Kata media berasal dari bahasa Latin, yang merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang berarti sesuatu yang terletak di tengah (antara dua pihak atau kutub) atau suatu alat (Anitah, 2009). Menurut Heinich (1993) dalam Susilana (2009) media merupakan alat saluran komunikasi. Heinich mencontohkan media ini seperti film, televisi, diagram, bahan tercetak (printed materials), komputer, dan instruktur. Media yang digunakan dalam pembelajaran disebut dengan media pembelajaran. Pembelajaran sendiri merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai positif (Susilana, 2009). Sehingga media pembelajaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang membawa pesan untuk suatu tujuan pembelajaran (Anitah, 2009). Berdasarkan definisi keduanya, dapat dilihat bahwa media pembelajaran memiliki peran penting dalam hal mengomunikasikan pengetahuan di dalam suatu pembelajaran supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Menurut Susilana (2009), baik buruknya sebuah komunikasi ditunjang oleh penggunaan saluran dalam komunikasi tersebut. Saluran/channel yang dimaksud adalah media pembelajaran.
23 Dalam proses komunikasi, guru berperan sebagai pengantar pesan dan siswa sebagai penerima pesan. Pesan yang dikirimkan oleh guru berupa isi/materi pelajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata dan tulisan) maupun nonverbal (Sanjaya, 2013). Proses tersebut adakanya terhambat, artinya tidak selamanya pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan mudah diterima oleh penerima pesan. Bahkan adakalanya pesan yang diterima tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan. Oleh sebab itu, dalam proses komunikasi diperlukan saluran seperti yang dijelaskan Susilana (2009). Saluran ini berfungsi untuk mempermudah penyampaian pesan. Inilah hakikat dari media pembelajaran. Pengirim Pesan/ Guru
Pesan
Media
Penerima Pesan/ Peserta Didik
Gambar 2.3. Proses Komunikasi dengan Media (Sumber: Sanjaya, 2013: 206) Pada awal sejarah pembelajaran, media hanyalah alat bantu yang digunakan oleh guru untuk menerangkan pelajaran. Alat bantu yang mulamula digunakan adalah alat bantu visual, yaitu berupa sarana yang dapat memberikan pengalaman visual kepada siswa, antara lain untuk mendorong motivasi belajar, memperjelas dan mempermudah konsep yang abstrak, dan mempertinggi daya serap atau retensi belajar (Susilana, 2009). Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat bantu, Edgar Dale mengusulkan klasifikasi menurut tingkat dari yang paling kongkrit ke yang paling abstrak. Klasifikasi tersebut dikenal dengan nama „Kerucut Pengalaman‟ yang dianut secara luas dalam menentukan alat bantu yang paling sesuai untuk pengalaman belajar (Susilana, 2009). Kerucut pengalaman Edgar Dale pada saat ini dianut secara luas untuk menentukan alat bantu atau media yang sesuai agar siswa memperoleh pengalaman belajar secara mudah. Memperhatikan kerangka pengetahuan tersebut, maka kedudukan komponen media pengajaran dalam sistem proses belajar mengajar mempunyai fungsi sangat penting. Sebab, tidak semua
24 pengalaman belajar dapat diperoleh secara langsung. Dalam keadaan ini media dapat digunakan agar lebih memberikan pengetahuan yang konkret dan tepat serta mudah dipahami (Sanjaya, 2013).
We tend remember 10% of what we read
We tend remember Verbal receiving
20% of what we hear
Hearing word Looking at pictures
30% of what we see
Watching a movie
Visual receiving
PASSIVE
Reading
Watching at an exhibits 50% of what we hear and see
Watching a demonstration
70% of what we say
Participation in a disscussion Giving a talk
70% of what we say and do
Performance dramatic presentation, simulation
Receiving and participacing Doing
Doing the real thing
Gambar 2.4. Kerucut Pengalaman Edgar Dale (Sumber: Sanjaya, 2013: 200). Media pembelajaran banyak jenisnya dan tidak ada satu mediapun yang paling baik dibandingkan dengan media yang lain. Setiap media memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, guru perlu mengenal berbagai jenis media dengan karakteristik masing-masing. Dengan demikian, guru dapat memilih dan menggunakannya sesuai dengan kompetensi dasar, pengalaman belajar, serta materi yang telah disusun (Anitah, 2009). Klasifikasi media pembelajaran dalam Anitah, (2009) antara lain: (1) media visual; (2) media audio; (3) media audio-visual. Media visual disebut media pandang, karena seseorang dapat menghayati media tersebut melalui penglihatan. Media audio merupakan media untuk menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima pesan melalui indera pendengaran. Sementara media
ACTIVE
Seeing it done on location
25 audio-visual merupakan kolaborasi dari keduanya, yakni media yang dapat dimanfaatkan dalam hal audio sekaligus visual. Berbeda dengan Anitah (2009), Susilana (2009) mengelompokkan media menjadi 7 kelompok, di antaranya: (1) kelompok kesatu: media grafis, bahan cetak, dan gambar diam; (2) kelompok kedua: media proyeksi diam; (3) kelompok ketiga: media audio; (4) kelompok keempat: media audio visual diam; (5) kelompok kelima: film (motion pictures); (6) kelompok keenam: televisi; dan (7) kelompok ketujuh: multimedia. Dua contoh media pembelajaran yang merupakan media visual atau media grafis (jika mengacu pada kelompok yang disusun oleh Susilana) adalah Infografis dan Poster. a. Infografis Infografis atau infographics merupakan suatu visualisasi data atau ide yang dibuat untuk menyampaikan informasi kompleks dalam suatu model yang dapat dengan cepat diserap dan mudah dipahami oleh audiens (Smiciklas, 2012). Suatu infografis merupakan model gambar yang dipadukan dengan data dalam wadah berupa desain untuk membantu individu dan organisasi dalam menyampaikan pesan pada audiens secara ringkas. Tiga bagian penting dalam sebuah infografis adalah visual, konten, dan pengetahuan. Sejak tahun 2012, berdasarkan informasi di wikipedia, infografis mulai menjadi tren di kalangan pengguna internet. Infografis digunakan untuk menyampaikan informasi (data, fakta, dan opini), membuat kampanye, mempromosikan suatu produk, atau mengenalkan sebuah institusi. Kelebihan media infografis ini antara lain: 1) Setiap gambar selalu mewakili suatu informasi, sehingga banyak hal yang bisa diketahui audiens lewat gambar 2) Dapat meringkas informasi yang besar dalam lingkup yang sederhana 3) Gambar-gambar yang disajikan biasanya menantang penafsiran audiens Sedangkan kelemahan media infografis antara lain:
26 1) Desain lebih sulit karena harus mempertimbangkan cara audiens memahami gambar yang disajikan 2) Cenderung lebih mudah dipahami oleh kelompok yang menyukai penafsiran visualisasi data dibanding kelompok yang terbiasa dengan gambar terstruktur seperti komik b. Poster Poster adalah suatu gambar yang mengombinasikan unsur-unsur visual seperti garis, gambar, dan kata-kata, yang bermaksud menarik perhatian serta mengomunikasikan pesan secara singkat. Agar lebih efektif, biasanya poster menggunakan warna dan menimbulkan daya tarik dengan maksud menjangkau perhatian pebelajar untuk berbagai situasi belajar (Anitah, 2009). Kelebihan media pembelajaran poster antara lain: 1) Dapat dibuat dalam waktu yang relatif singkat 2) Dapat menarik perhatian khalayak 3) Bisa dipasang (berdiri sendiri) 4) Mudah dibawa dan disebarluaskan 5) Tidak perlu keterampilan membaca dan menulis 6) Dapat merangsang diskusi Sementara itu, kelemahan atau kekurangan media ini antara lain: 1) Butuh ilustrator atau keahlian menggambar kalau ingin sebagus karya profesional dan juga butuh penguasaan komputer untuk tata letak 2) Kalau dicetak biayanya lumayan mahal 3) Pesan yang disampaikan terbatas 4) Perlu keahlian untuk menafsirkan 5) Lebih cocok digunakan dalam kelompok kecil Perbedaan signifikan antara infografis dengan poster terletak pada komposisi gambar (termasuk chart atau diagram), garis, dan teks, serta cara penyampaian. Dalam infografis, komposisi gambar dan garis lebih dominan dibanding teks, sementara poster masih tetap mengunggulkan teks sebagai modal utama penyampaian informasi. Cara penyampaian dalam infografis
27 diupayakan dibuat dalam desain yang mudah dipahami oleh audiens, sementara poster cenderung menyajikan semua informasi dengan prinsip menarik perhatian audiens. Kelebihan dua media tersebut adalah: (1) dapat mempermudah dan mempercepat pemahaman siswa terhadap pesan yang disajikan; (2) dapat dilengkapi warna-warna sehingga lebih menarik perhatian siswa; dan (3) pembuatannya mudah dan harganya murah. Sementara kelemahannya adalah: (1) membutuhkan keterampilan khusus dalam pembuatannya, terutama untuk grafis yang lebih kompleks; dan (2) penyajian pesan hanya berupa unsur visual. Pemilihan dan penggunaan media pembelajaran di kelas tentu harus melalui pertimbangan tertentu karena dengan media pembelajaran yang tepat pada akhirnya memengaruhi keberhasilan pembelajaran. Menurut Susilana (2009), ada beberapa kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media, antara lain: a. Kesesuaian dengan tujuan (instructional goals). Perlu dikaji tujuan pembelajaran apa yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran. b. Kesesuaian dengan materi pembelajaran (intstructional content), yaitu bahan atau kajian apa yang akan diajarkan pada pokok pembelajaran tersebut. c. Kesesuaian dengan karakteristik pembelajar atau siswa. Dalam hal ini media harus familiar dengan karakteristik siswa atau guru. d. Kesesuaian dengan teori. Pemilihan media harus didasarkan atas kesesuaian dengan teori. Media yang diplih bkan karena fanatisme guru terhadap suatu media yang dianggap paling disukai dan paling bagus, namun didasarkan atas teori yang diangkat dari penilitian sehingga telah teruji validitasnya. e. Kesesuaian dengan gaya belajar siswa. Kriteria ini didasarkan atas kondisi psikologis siswa, bahwa siswa belajar dipengaruhi pula oleh gaya belajar siswa.
28 f. Kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung, dan waktu yang tersedia. 5. Kemampuan Logika Logika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (KBBI Offline 1.5.1) berarti pengetahuan tentang kaidah berpikir yang masuk akal. Rohman (2014) mendefinisikan kemampuan berpikir logis sebagai suatu proses menalar tentang suatu objek dengan cara menghubungkan serangkaian pendapat untuk sampai pada sebuah kesimpulan menurut aturan-aturan logika. Berpikir logis sama dengan berpikir konsisten sesuai dengan rambu-rambu atau tata cara berpikir yang benar. Aturan-aturan logika yang dipakai untuk mendapatkan pemikiran logis adalah aturan main atau tata cara yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam berpikir lurus dan benar. Untuk mewujudkan pemikiran logis, seseorang wajib memenuhi aturan main sebagai prasyarat dalam berpikir lurus dan benar, salah satunya adalah harus memenuhi komponen dasar berpikir (Rohman, 2014). Logika mempersyaratkan adanya 3 (tiga) hal sebagai komponen berpikir logis. Ketiga hal tersebut meliputi: (1) pengertian (concept); (2) keputusan (decision); dan (3) penalaran (reasoning). a. Pengertian (Concept) Menurut Rohman (2014), pengertian adalah hasil penangkapan dari inti suatu obyek. Seseorang dikatakan mengerti apabila ia telah menangkap inti obyek. Inti sesuatu di sini disebut hakikat. Kata lain dari pengertian adalah konsep yang artinya menangkap. Orang yang memiliki konsep berarti telah memiliki tangkapan tentang identitas obyek. Sehingga pengertian atau konsep adalah gambar dari hasil penangkapan terhadap suatu obyek. b. Keputusan (Decision) Keputusan dalam logika diartikan sebagai aksi manusia dalam dan dengan mana ia mengakui atau memungkiri suatu hal tentang hal lain (Rohman,
2014).
Keputusan
merupakan
kegiatan
rohani
yang
menyebabkan akal budi manusia menyatakan sesuatu tentang sesuatu yang
29 lain. Dapat juga dikatakan bahwa keputusan adalah tindakan budi manusia yang mengakui atau mengingkari sesuatu terhadap sesuatu yang lain. c. Penalaran (Reasoning) Yang dimaksud dengan penalaran adalah suatu proses rangkaian kegiatan budi manusia untuk sampai pada suatu kesimpulan (pendapat baru) dari satu atau lebih pendapat yang telah diketahui (Rohman, 2014). Hal-hal yang merupakan pendapat yang telah diketahui itu disebut data, sedangkan hal-hal yang belum diketahui merupakan pendapat baru sebagai kesimpulan. Dalam dunia ilmu pengetahuan, proses penalaran yang berpijak pada beberapa data untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan umum disebut metode ilmiah. Data merupakan informasi empirik yang diketahui manusia. Data ini bisa menjadi fakta kalau data tersebut diyakini kebenarannya (Rohman, 2014). Rohman (2014) membagi prinsip-prinsip dasar berpikir logis menjadi dua kelompok, yaitu primer dan sekunder. Prinsip primer merupakan prinsip dasar yang mendahului prinsip-prinsip lainnya. Prinsip ini tidak tergantung pada yang lain dan berlaku untuk segala sesuatu yang ada. Dalam prinsip primer dijelaskan mengenai empat prinsip dasar berpikir logis primer sebagaimana diuraikan oleh Achmad Dardiri (1986) dalam Rohman (2014), yakni: (1) suatu benda adalah benda itu sendiri dan bukan yang lain (prinsip kesamaan); (2) sesuatu itu tidak dapat positif dan negatif sekaligus (prinsip pertentangan); (3) segala sesuatu harus positif atau negatif (prinsip jalan tengah); dan (4) adanya sesuatu pastilah mempunyai alasan cukup yang menyebabkan sesuatu itu ada (prinsip cukup alasan). Sedangkan prinsip dasar berpikir logis sekunder merupakan hasil turunan dari prinsip dasar berpikir logis primer. Terdapat dua kelompok prinsip dasar berpikir logis sekunder, yakni: (1) Prinsip Komprehensi (prinsip yang melihat sudut isinya); dan (2) Prinsip Ekstensi (prinsip yang melihat sudut luasnya).
30 Prinsip Komprehensi meliputi dua prinsip, di antaranya: (1) prinsip kesesuaian yang menyatakan bahwa, “Bila ada dua hal yang sama, di mana salah satu di antaranya sama dengan hal yang ketiga, maka yang lain juga sama dengan yang ketiga”; (2) prinsip ketidaksesuaian yang menyatakan, “Bila ada dua hal yang sama, di mana salah satu di antaranya berbeda dengan hal yang ketiga, maka yang lain juga berbeda dengan hal yang ketiga.” Sementara itu Prinsip Ekstensi juga dibagi menjadi dua, yaitu: (1) prinsip penerimaan yang menyatakan bahwa, “Apa yang secara universal berlaku bagi seluruhnya, juga berlaku bagi sebagiannya”; (2) prinsip penolakan yang menyatakan bahwa, “Apa yang secara universal tidak berlaku bagi seluruhnya, juga tidak berlaku bagi sebagiannya” (Rohman, 2014: 136137). Dalam penelitian ini, model penalaran yang diukur antara lain penalaran perbandingan (proportional reasoning), pengontrolan variabel (controlling variables), penalaran peluang (probabilistic reasoning), penalaran korelasi (correlational
reasoning),
dan
penalaran
kombinasi
(combinatorial
reasoning). 6. Prestasi Belajar Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dan dipegang dalam rangka evaluasi prestasi belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip evaluator melaksanakan evaluasi prestasi belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif), dan pengalamannya (aspek psikomotor) (Sudijono, 2008). Benjamin S. Bloom dalam Sudijono (2008: 49) mengemukakan bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) ranah proses berpikir (cognitive domain); (2) ranah nilai atau sikap (affective domain); dan (3) ranah keterampilan (psychomotor domain).
31 a. Ranah Kognitif Prestasi belajar kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi dalam kawasan kognisi. Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi kegiatan sejak dari penerimaan stimulus eksternal oleh sensori, penyimpanan dan pengolahan dalam otak menjadi informasi hingga pemanggilan kembali informasi ketika diperlukan untuk menyelesaikan masalah (Purwanto, 2014) Ranah kognitif merupakan ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Dalam ranah kognitif ini terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang yang dimaksud adalah: (1) pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge);
(2)
pemahaman
(comprehension);
(3)
penerapan
(application); (4) analisis (analysis); (5) sintesis (synthesis); dan (6) penilaian (evaluation) (Sudijono, 2008). b. Ranah Afektif Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting sebagaimana yang tercantum dalam Depdiknas (2008a), yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. 1) Sikap Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Peruahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. 2) Minat Menurut Getzel, minat adalah suatu disposisi yang terorganisisr melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh
32 ojek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.
3) Konsep diri Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terahadap keampuan dan kelemahan yang dimiliki. 4) Nilai Nilai menurut Rokeach merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. 5) Moral Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. c. Ranah Psikomotor Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Prestasi belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prestasi belajar kognitif dan prestasi belajar afektif. Prestasi belajar kognitif dan afektif akan menjadi prestasi belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan afektif (Sudijono, 2008). Taksonomi prestasi belajar psikomotor yang paling banyak digunakan adalah yang berasal dari Simpson (Purwanto, 2014), yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, dan kreativitas. Persepsi (perception) adalah kemampuan prestasi belajar psikomotor paling rendah. Persepsi adalah kemampuan membedakan suatu gejala dengan gejala lain. Kesiapan (set) adalah kemampuan menempatkan diri untuk memulai suatu gerakan. Gerakan terbimbing (guided response)
33 adalah kemampuan melakukan gerakan meniru model yang dicontohkan. Gerakan terbiasa (mechanism) adalah kemampuan melakukan gerakan tanpa ada model. Kemampuan dicapai karena latihan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Gerakan kompleks (adaptation) adalah kemampuan melakukan serangkaian gerakan dengan cara, urutan, dan irama
yang
tepat.
Kreativitas
(origination)
adalah
kemampuan
menciptakan gerakan-gerakan baru yang tidak ada sebelumnya atau mengombinasikan gerakan-gerakan yang ada menjadi kombinasi gerakan baru yang orisinal (Purwanto, 2014). 7. Materi Kesetimbangan Kimia Materi yang disampaikan dalam penelitian ini merupakan salah satu Kompetensi Dasar dari silabus yang telah disusun, yaitu KD 3.3 tentang kesetimbangan dan faktor-faktor yang memengaruhi pergeseran arah kesetimbangan dengan melakukan percobaan. Secara rinci materi yang menjadi tujuan pencapaian antara lain: (1) kesetimbangan dinamis; (2) kesetimbangan
homogen;
(3)
kesetimbangan
heterogen;
(4)
tetapan
kesetimbangan; (5) asas Le Chatelier; dan (6) faktor-faktor yang memengaruhi pergeseran kesetimbangan. a. Reaksi Kesetimbangan Keadaan di mana reaksi berlangsung terus-menerus dan kecepatan membentuk zat produk sama dengan kecepatan menguraikan zat pereaksi disebut kesetimbangan dinamik. Reaksi kimia yang dapat balik (zat-zat produk dapat kembali menjadi zat-zat semula) disebut reaksi reversibel. Ciri-ciri kesetimbangan dinamis adalah: 1) Reaksi berlangsung terus-menerus dengan arah yang berlawanan. 2) Terjadi pada ruang tertutup, suhu, dan tekanan tetap. 3) Kecepatan reaksi ke arah produk (hasil reaksi) sama dengan kecepatan reaksi ke arah reaktan (zat-zat pereaksi)
34 4) Tidak terjadi perubahan makroskopis, yaitu perubahan yang dapat dilihat, tetapi terjadi perubahan mikroskopis, yaitu perubahan tingkat partikel (tidak dapat dilihat). 5) Setiap komponen tetap ada. Pada reaksi kesetimbangan peruraian gas N2O4 menjadi gas NO2, tercapai keadaan setimbang saat kecepatan terurainya N2O4 sama besarnya dengan kecepatan membentuk kembali N2O4. N2O4(g)
2NO2(g)
Dalam sistem terbuka (di alam sekitar kita) terjadi kesetimbangan kimia (reaksi bolak-balik/dua arah/reversibel), yaitu proses siklus oksigen, siklus air, dan siklus nitrogen. Dengan adanya kesetimbangan kimia (reaksi reversibel/dua arah), maka makhluk hidup tidak kehabisan oksigen untuk bernapas dan tidak kehabisan air untuk keperluan sehari-hari. (Utami, dkk, 2009) 1) Pengertian Kesetimbangan Reaksi Pada pembahasan mengenai laju reaksi, telah dipelajari bahwa NH3 terbentuk dari reaksi N2 dan H2. NH3 dapat terurai kembali menjadi N2 dan H2. Reaksi pembentukan dan pengaraian NH3 memiliki laju berbeda. Bagaimana jika laju reaksi pembentukannya sama dengan laju penguraiannya? Perhatikan reaksi pembentukan gas NH3 dari gas N2 dan gas H2: N2(g) + 3H2(g) 2NH3(g) … (1) Ketika bereaksi, konsentrasi gas N2 dan gas H2 semakin lama semakin berkurang. Sebaliknya, konsentrasi gas NH3 semakin lama semakin bertambah. Pada reaksi penguraian gas NH3 menjadi gas N2 dan H2, persamaan reaksinya dituliskan sebagai berikut. 2NH3(g) N2(g) + 3H2(g) … (2) Persamaan reaksi kesetimbangan ditulis dengan menggunakan tanda panah dua arah ( ). Reaksi kesetimbangan disebut reaksi bolak-
35 balik atau reaksi reversible (dapat balik). Jadi persamaan reaksi kesetimbangan NH3 ditulis sebagai berikut. N2(g) + 3H2(g)
2NH3(g) (Sutresna, 2008: 152)
Sebagaimana yang tercantum dalam Chang (2004) bahwasannya hanya sedikit reaksi kimia yang berlangsung satu arah. Kebanyakan merupakan reaksi reversibel. Lebih lanjut, Chang (2004) mendefinisikan kesetimbangan kimia (chemical equilibrium) sebagai keadaan ketika laju reaksi maju dan reaksi balik sama besar dan konsentrasi reaktan dan produk tidak lagi berubah seiring berjalannya waktu. Konsentrasi (mol/L) 3.0 Kesetimbangan N2
2.0
H2 1.0
NH3
0
Waktu
Gambar 2.5. Grafik Konsentrasi Terhadap Waktu Pada Reaksi Pembentukan NH3 (Sumber: Sutresna, 2008: 151) Konsentrasi (mol/L) 3.0 Kesetimbangan 2.0 NH3
1.0
N2 H2
0
Waktu
36
Gambar 2.6. Grafik Konsentrasi Terhadap Waktu Pada Reaksi Penguraian NH3 (Sumber: Sutresna, 2008: 151) Pada suatu saat, pembentukan NH3 dan penguraian NH3 memiliki laju yang sama. Saat itulah tercapai suatu keadaan yang dinamakan kesetimbangan. Laju (mol/L sekon) 3.0 Kesetimbangan N2 (g) + 3H2 (g) 2NH3 (g)
2.0
2NH3 (g) N2 (g) + 3H2 (g)
1.0
0
Waktu
Gambar 2.7. Grafik Laju Terhadap Waktu Pada Reaksi Penguraian NH3 (Sumber: Sutresna, 2008) Contoh lain dari reaksi kesetimbangan adalah reaksi reversibel yang melibatkan nitrogen dioksida (NO2) dan dinitrogen tetroksida (N2O4). N2O4(g)
2NO2(g).
2) Tetapan atau Konstanta Kesetimbangan aA + bB
cC + dD
Reaksi di atas merupakan reaksi reversibel sebagai contoh untuk mempermudah pemahaman mengenai konstanta kesetimbangan. a, b, c, dan d dalam reaksi di atas merupakan koefisien stoikiometri untuk spesi-spesi yang bereaksi, yaitu A, B, C, dan B. Konstanta kesetimbangan untuk reaksi pada suhu tertentu adalah
37 Persamaan tersebut merupakan bentuk matematis dari hukum aksi massa. Persamaan ini menghubungkan konsentrasi reaktan dan produk pada kesetimbangan yang dinyatakan dalam suatu kuantitas yang disebut konstanta kesetimbangan. Jadi, Kc merupakan suatu konstanta, berapapun konsentrasi kesetimbangan dari spesi-spesi yang bereaksi, karena konstanta ini selalu sama, hasil bagi dari dua kuantitas yang masing-masing memang konstan pada suhu tertentu. Karena konstanta laju bergantung pada suhu, maka konstanta kesetimbangan juga harus berubah dengan berubahnya suhu. Jika konstanta kesetimbangan lebih besar daripada 1 (Kc > 1), kesetimbangan akan terletak di sebelah kanan tanda panah reaksi dan lebih ke arah produk. Sebaliknya, jika konstanta kesetimbangan jauh lebih kecil daripada 1 (Kc < 1), kesetimbangan akan terletak di kiri dan lebih ke arah reaktan (Chang, 2004: 67). 3) Nilai Kc dan KP untuk Kesetimbangan Homogen Kesetimbangan homogen berlaku untuk reaksi yang semua spesi bereaksinya berada pada fasa yang sama. Contoh dari kesetimbangan fasa-gas homogen adalah penguraian N2O4.
Subskrip c pada Kc menyatakan bahwa konsentrasi spesi yang bereaksi dinyatakan dalam mol per liter. Konsentrasi reaktan dan produk dalam reaksi juga dapat dinyatakan dalam tekanan parsialnya. Karena, tekanan P dari suatu gas berbanding lurus dengan konsentrasi dalam mol per liter gas, artinya P = (n/V)RT, jadi untuk proses kesetimbangan N2O4(g)
2NO2(g)
kita dapat menuliskan
38 (Chang, 2004: 69).
4) Nilai Kc dan KP untuk Kesetimbangan Heterogen Menurut Chang (2004), kesetimbangan heterogen merupakan kesetimbangan yang dihasilkan ketika reaksi reversibel melibatkan reaktan dan produk yang fasanya berbeda. Berkaitan dengan penentuan dalam kesetimbangan heterogen, Sutresna (2008) membuat ringkasan cara menentukan fasa mana yang digunakan dalam perhitungan agar mudah diterapkan sebagai berikut: a)
Jika terdapat fasa gas dan fasa padat, yang menentukan Kc adalah fasa gas
b) Jika terdapat fasa gas dan fasa cair, yang menentukan Kc adalah fasa gas c)
Jika terdapat larutan dan fasa padat, yang menentukan Kc adalah larutan Aturan tersebut berlaku pula dalam penentuan KP. Namun harus
diperhatikan bahwa KP hanya menghitung tetapan untuk fasa gas saja. b. Pergeseran Kesetimbangan Keadaan setimbang pada suatu sistem merupakan keadaan yang stabil jika tidak ada pengaruh dari luar sistem. Jika diberikan suatu pengaruh terhadap kesetimbangan, sistem tersebut akan bergeser menuju kesetimbangan yang baru. Hal-hal yang menyebabkan pergeseran kesetimbangan
yaitu
perubahan
konsentrasi,
perubahan
tekanan,
perubahan volume, dan perubahan suhu (Sutresna, 2008). Kesetimbangan kimia merepresentasikan suatu kesetaraan antara reaksi maju dan reaksi balik. Dalam kebanyakan kasus, kesetaraan ini sangat rentan. Perubahan kondis percobaan dapat mngganggu kesetaraan dan menggeser posisi kesetimbangan sehingga produk yang diinginkan bisa terbentuk lebih banyak atau kurang (Chang, 2004). 1) Asas Le Châtelier
39 Asas ini menyatakan bahwa jika suatu tekanan eksternal diberikan kepada suatu sistem yang setimbang, sistem ini akan menyesuaikan diri sedemikian untuk mengimbangi sebagian tekanan ini pada saat sistem mencoba setimbang kembali. Kata tekanan di sini berarti perubahan konsentrasi, tekanan, volume, dan suhu (Chang, 2004). Suatu reaksi kesetimbangan mempunyai sifat berlangsung dua arah dan dinamis. Kalau ada pengaruh dari luar, sistem akan mengadakan aksi, yaitu pergeseran reaksi untuk mengurangi pengaruh tersebut. Henry Louis Le Chatelier, ahli kimia Perancis (1852-1911) mengemukakan suatu pernyataan mengenai perubahan yang terjadi pada sistem kesetimbangan jika ada pengaruh dari luar. Pernyataan ini dikenal sebagai Asas Le Chatalier yang berbunyi: “Jika suatu sistem kesetimbangan menerima suatu aksi maka sistem tersebut akan mengadakan reaksi, sehingga pengaruh aksi menjadi sekecil-kecilnya.” Asas Le Chatelier menyatakan jika kesetimbangan dinamis terganggu akibat adanya perubahan kondisi, maka kesetimbangan akan bergeser kearah yang berlawanan dengan perubahan tersebut . Sangat penting untuk memahami asas Le Chatelier, karena akan sangat membantu ketika kamu menerapkan perubahan kondisi dalam reaksi yang mengalami kesetimbangan dinamis. 2) Faktor yang Memengaruhi Pergeseran Kesetimbangan a) Perubahan Konsentrasi Reaktan atau Produk Kesetimbangan kimia dapat terganggu apabila salah satu reaktan atau hasil reaksi ditambah atau dikurangi. Misalnya, perhatikan kesetimbangan reaksi ini H2(g) + I2(g)
2HI(g)
Jika ditambahkan H2 ke dalam campuran reaksi yang dalam keadaan setimbang, makan konsentrasi H2 bertambah yang
40 menyebabkan
angka
penyebut
pada
persamaan
konstanta
kesetimbangan menjadi lebih besar. Ini berarti Qc (kuosien reaksi) akan menjadi lebih kecil daripada Kc. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sudah tidak setimbang lagi. Untuk mengatasi gangguan ini, sistem akan mengeliminasi jumlah H2 dalam sistem dengan mereaksikan dengan I2 membentuk HI. Artinya letak kesetimbangan berpindah ke kanan. Jadi, umumnya penambahan atau pengurangan suatu zat ke dalam reaksi kimia yang dalam keadaan setimbang maka: (1).
Letak
kesetimbangan
berpindah
menjauhi
zat
yang
ditambahkan (2).
Letak kesetimbangan berpindah mendekati zat yang dikeluarkan (Brady, 1999: 79-80). Bila zat diencerkan dengan menambah air pada sistem, maka
kesetimbangan bergeser pada jumlah molekul terbanyak (Utami, dkk, 2009). b) Perubahan Tekanan dan Volume Jika dalam suatu sistem kesetimbangan dilakukan aksi yang menyebabkan perubahan volume (bersamaan dengan perubahan tekanan), maka dalam sistem akan mengadakan reaksi berupa pergeseran kesetimbangan sebagai berikut. (1).
Jika
tekanan
diperbesar
(volume
diperkecil),
maka
kesetimbangan akan bergeser ke arah jumlah koefisien reaksi kecil. (2).
Jika
tekanan
diperkecil
(volume
diperbesar),
maka
kesetimbangan akan bergeser ke arah jumlah koefisien reaksi besar. Contoh: Pada reaksi kesetimbangan: N2(g) + 3H2(g)
2NH3(g)
41 jumlah koefisien reaksi di kanan = 2 jumlah koefisien reaksi di kiri = 1 + 3 = 4 Bila pada sistem kesetimbangan tersebut tekanan diperbesar (volume diperkecil), maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan (jumlah koefisien kecil). Bila pada sistem kesetimbangan tersebut tekanan diperkecil (volume diperbesar), maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri (jumlah koefisien besar) (Utami, dkk, 2009). c) Perubahan Suhu Perubahan konsentrasi, tekanan, atau volume dapat mengubah posisi kesetimbangan tetapi tidak mengubah nilai konstanta kesetimbangan. Hanya perubahan suhu yang dapat mengubah konstanta kesetimbangan. Pembentukan NO2 dari N2O4 adalah proses endotermik: N2O4(g) 2NO2(g) ΔHo = +58,0 kJ dan reaksi baliknya adalah proses eksotermik: 2NO2(g) N2O4(g) ΔHo = -58,0 kJ Pada kesetimbangan, pengaruh kalor adalah nol karena tidak ada reaksi bersih. Apa yang terjadi jika sistem kesetimbangan N2O4(g)
2NO2(g)
dipanaskan pada volume tetap? Karena proses endotermik menyerap kalor dari lingkungan, proses pemanasan akan menyebabkan terurainya molekul N2O4 menjadi NO2. Akibatnya konstanta kesetimbangan Kc meningkat dengan meningkatnya suhu. Ringkasnya,
peningkatan
suhu
menghasilkan
reaksi
endotermik dan penurunan suhu menghasilkan reaksi eksotermik (Chang, 2004). Menurut Van‟t Hoff:
42 (1). Bila pada sistem kesetimbangan suhu dinaikkan, maka kesetimbangan
reaksi
akan
bergeser
ke
arah
yang
membutuhkan kalor (ke arah reaksi endoterm). (2). Bila pada sistem kesetimbangan suhu diturunkan, maka kesetimbangan
reaksi
akan
bergeser
ke
arah
yang
membebaskan kalor (ke arah reaksi eksoterm). Contoh: 2NO(g) + O2(g)
2NO2(g) ΔH = –216 kJ (reaksi ke kanan
eksoterm). Reaksi ke kanan eksoterm berarti reaksi ke kiri endoterm. Jika pada reaksi kesetimbangan tersebut suhu dinaikkan, maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri (ke arah endoterm atau yang membutuhkan kalor). Jika pada reaksi kesetimbangan tersebut suhu diturunkan, maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan (ke arah eksoterm) (Utami, dkk, 2009). 3) Keberadaan Katalis dalam Reaksi Kesetimbangan Katalis meningkatkan laju reaksi. Untuk reaksi reversibel, katalis memengaruhi laju reaksi maju sama dengan reaksi balik. Jadi, keberadaan katalis tidak mengubah konstanta kesetimbangan dan tidak menggeser posisi sistem kesetimbangan. Penambahan katalis pada campuran reaksi yang tidak berada pada kesetimbangan mempercepat laju reaksi maju dan reaksi balik sehingga campuran kesetimbangan tercapai lebih cepat. Campuran kesetimbangan yang sama dapat diperoleh tanpa katalis, namun harus menunggu lebih lama agar kesetimbangan tercapai (Chang, 2004). B. Kerangka Berpikir Pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya agar dapat merancang model pembelajaran yang baik dan diupayakan dapat merangsang
43 siswa untuk belajar. Pemilihan model serta media yang tepat dapat menentukan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini media dan model merupakan salah satu dari sekian faktor yang berasal dari luar diri (eksternal) peserta didik. Jika guru mampu merancang pembelajaran dengan media dan model pembelajaran yang tepat, diharapkan dapat memberikan pengaruh baik terhadap prestasi belajar siswa. Selain faktor eksternal, prestasi belajar siswa juga dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari diri (internal) peserta didik sendiri. Faktor internal ini memiliki persentase yang berbeda-beda dalam masing-masing individu. Misalnya untuk kemampuan logika atau kemampuan berpikir rasional, peserta didik digolongkan menjadi kemampuan logika rendah dan tinggi. Pada penelitian ini, karakteristik materi Kesetimbangan Kimia dapat dirinci sebagai berikut: (1) bersifat abstrak; (2) merupakan materi lanjutan dengan prasyarat materi sebelumnya; (3) bersifat kasat mata (dapat dibuat fakta kongkritnya); (4) kebenarannya bisa dibuktikan dengan logika dan kajian teoritik, (5) berada pada level sub-mikroskopis, yaitu fenomena kimia yang nyata yang menunjukkan tingkat partikulat sehingga secara umum sulit untuk dilihat kecuali dilakukan praktikum di laboratorium. Berikut ini merupakan kerangka berpikir yang telah disusun sesuai dengan latar belakang dan tinjauan pustaka: 1.
Pengaruh Pembelajaran Joyful Learning Berbantuan Media Infografis dan Pembelajaran Joyful Learning Berbantuan Media Poster terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Pembelajaran menyenangkan atau Joyful Learning merupakan model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengerjakan beragam kegiatan untuk mengembangkan keterampilan, sikap, dan pemahamannya dengan penekanan belajar sambil bekerja. Sebagaimana teori belajar yang dikembangkan oleh Ausubel, siswa akan memiliki pengalaman belajar yang baik melalui penerimaan. Proses penerimaan ini sejalan dengan tujuan pembelajaran Joyful Learning. Pada pembelajaran ini, siswa berada dalam suasana yang menyenangkan, sehingga akan bersemangat dan mudah menerima berbagai kebutuhan belajar. Dalam suasana yang menyenangkan
44 pula siswa akan mampu mengikuti dan menangkap materi pelajaran yang sulit menjadi mudah. Apabila peserta didik mendapat rangsangan yang menyenangkan dari lingkungannya, akan terjadi berbagai sentuhan tingkat tinggi pada diri peserta didik yang membuat mereka lebih aktif dan kreatif secara mental dan fisik. Teori belajar lain yang mendukung penelitian ini adalah teori belajar konstruktivisme. Dalam penelitian ini, teori belajar konstruktivisme memberikan gambaran tentang bagaimana suatu pengetahuan dibentuk oleh siswa sendiri melalui pengalaman belajar. Pengalaman belajar yang dialami oleh siswa melalui pembelajaran berbantuan media akan membangun pengetahuan yang kuat dan kokoh. Setelah mengamati kelebihan dan kekurangan media infografis dan poster, diduga pembelajaran Joyful Learning berbantuan dua jenis media grafis itu memberikan pengaruh yang berbeda. Hal ini karena respons siswa terhadap visual yang ditampilkan oleh kedua media tersebut bergantung gaya belajar masing-masing individu. Dengan kata lain, pengalaman belajar bermakna dan pengetahuan yang dibangun dalam diri siswa dicapai dengan dua cara yang berbeda. 2.
Pengaruh Kemampuan Logika terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Selain faktor eksternal berupa media pembelajaran, prestasi belajar siswa juga dipengaruhi oleh faktor internal. Salah satu faktor internal yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir rasional atau kemampuan logika. Untuk kemampuan ini, peserta didik digolongkan menjadi peserta didik dengan kemampuan logika tinggi dan rendah Kemampuan berpikir logis merupakan proses menalar tentang suatu objek dengan cara menghubungkan serangkaian pendapat untuk sampai pada sebuah kesimpulan menurut aturan-aturan logika. Berpikir logis sama dengan berpikir konsisten sesuai dengan rambu-rambu atau tata cara berpikir yang benar.
45 Kaitan kemampuan ini dengan karakteristik materi Kesetimbangan Kimia dapat dilihat dari komponen materi yang menjadi konsep dasar berdirinya materi Kesetimbangan Kimia. Konsep reaksi setimbang yang menjadi dasar materi Kesetimbangan Kimia ini secara jelas melibatkan pemikiran logis. Selain itu, di subbab berikutnya, tentang pergeseran kesetimbangan diperlukan porsi kemampuan berpikir logis yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut dimungkinkan prestasi belajar siswa akan berbeda pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika tinggi dan kelompok siswa dengan kemampuan logika rendah. 3.
Interaksi Antara Pembelajaran Joyful Learning dengan Kemampuan Logika
Terhadap
Prestasi
Belajar
Siswa
pada
Materi
Pokok
Kesetimbangan Kimia Selain memerhatikan pengaruh pembelajaran Joyful Learning dan pengaruh kemampuan logika terhadap prestasi belajar siswa, kemungkinan berikutnya adalah adanya interaksi antara kedua variabel tersebut. Variabel yang dimaksud adalah pembelajaran Joyful Learning dengan media sebagai variabel bebas, sementara kemampuan logika sebagai variabel moderat. Kedua variabel dapat dikaitkan melalui pembagian kelompok uji dari dua kelas eksperimen. Dari keterkaitan tersebut dimungkinkan keberadaan keduanya secara sekaligus dapat memberikan pengaruh terhadap prestasi belajar siswa pada materi pokok Kesetimbangan Kimia. Interaksi tersebut dapat dilihat jika pada kelompok siswa dengan kemampuan logika tinggi yang diberikan pembelajaran Joyful Learning berbantuan media infografis ternyata memiliki prestasi belajar lebih baik dibanding kelompok siswa dengan kemampuan logika tinggi yang diberikan pembelajaran Joyful Learning berbantuan media poster. Hasil itu harus didukung dengan prestasi belajar kelompok siswa dengan kemampuan logika rendah. Pada kelompok ini, siswa yang diberikan pembelajaran Joyful Learning berbantuan media poster harus lebih baik prestasi belajarnya daripada siswa yang diberikan pembelajaran Joyful Learning berbantuan media infografis. Hal itu dapat berlaku sebaliknya agar kesimpulan menunjukkan adanya interaksi.
46
Pembelajaran Kimia pada materi pokok Kesetimbangan Kimia
Faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar siswa
Faktor eksternal
Model pembelajaran
Faktor internal
Kemampuan logika
Media pembelajaran
Poster
Infografis
Pembelajaran Joyful Learning
Tinggi
Rendah
Pembelajaran Joyful Learning
Pembelajaran Joyful Learning berbantuan media infografis
Pembelajaran Joyful Learning berbantuan media poster
Pengaruh kemampuan logika tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar siswa
Terdapat interaksi antara penggunaan media infografis atau poster pada pembelajaran Joyful Learning dengan kemampuan logika terhadap prestasi belajar siswa Gambar 2.8. Gambar Skema Kerangka Berpikir
47 C. Hipotesis Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang sudah dijabarkan, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: 1.
Terdapat perbedaan prestasi belajar pada pembelajaran Joyful Learning berbantuan media infografis dan pembelajaran Joyful Learning berbantuan media poster pada materi pokok Kesetimbangan Kimia
2.
Terdapat perbedaan prestasi belajar pada kelompok siswa dengan kemampuan logika tinggi dan kelompok siswa dengan kemampuan logika rendah pada materi pokok Kesetimbangan Kimia
3.
Terdapat interaksi antara pembelajaran Joyful Learning berbantuan media Infografis dan Poster dengan kemampuan logika terhadap prestasi belajar siswa pada materi pokok Kesetimbangan Kimia