BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritik 1. Peran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Departemen Tenaga Kerja sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan pelayanan terhadap tenaga kerja dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja yang siap pakai sebagai hasil kerjasama dengan lembagalembaga latihan yang ada. (Sendjun Manulang, 1990:31) Pengertian Sendjun berarti bahwa Departemen Tenaga Kerja merupakan lembaga pemerintah yang bekerjasama dengan lembaga latihan untuk memberikan pelayanan dan mempersiapkan tenaga kerja memasuki dunia kerja. Sendjun tidak menyebutkan secara detail pelayanan apa saja yang diberikan dan lembaga-lembaga apa saja yang terkait. Payaman Simanjuntak (2000:24), mengartikan Departemen Tenaga Kerja adalah suatu lembaga pemerintah yang mengupayakan setiap warga negara dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yang dijabarkan dalam tiga tugas pokok yaitu melakukan pelayanan terhadap tenaga kerja dalam rangka memasuki persiapan kerja, pelayanan selama bekerja, dan pelayanan setelah tidak bekerja. Pengertian Simanjuntak berarti bahwa Departemen Tenaga Kerja merupakan lembaga pemerintah yang turut serta memperjuangkan hak-hak warga negaranya untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak
13
14
dengan memberikan pelayanan sejak persiapan masuk dunia kerja hingga setelah keluar dari dunia kerja. Berdasarkan dua pendapat tersebut, Departemen Tenaga Kerja memiliki pengertian sebagai suatu lembaga pemerintah yang mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan pelayanan sebagai upaya dalam membantu setiap warga negara memperoleh pekerjaan dan penghidupan layak. Soerjono Soekanto (1987:221) mengemukakan definisi peranan lebih banyak menunjukkan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah bahwa seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Menurut Poerwodarminta (1995:571), “peran merupakan tindakan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang dalam suatu peristiwa”. Berdasarkan pendapat Poerwodarminta maksud dari tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa tersebut merupakan tingkah laku yang diharapkan, dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Berdasarkan definisi dan konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa peran merupakan tingkah laku yang diharapkan sebagai proses penyesuaian diri seseorang atau kelompok saat menduduki suatu posisi untuk menjalankan suatu fungsi dalam masyarakat. Apabila konsep tersebut dikaitkan dengan fungsi pemerintah, maka definisi peran adalah proses keterlibatan lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi lembaga
15
pemerintah daerah, dalam hal ini adalah Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang. Peran pemerintah dalam pembangunan nasional dikemukakan oleh Siagian (2000:142-150), pemerintah memainkan peranan yang dominan dalam proses pembangunan. Peran yang disoroti adalah selaku stabilisator, innovator,
modernisator,
pelopor,
dan
pelaksana
suatu
kegiatan
pembangunan tertentu. Secara lebih jelas, peran tersebut diuraikan sebagai berikut. a. Stabilisator Peran pemerintah adalah mewujudkan perubahan tidak berubah menjadi suatu gejolak sosial, apalagi yang dapat menjadi ancaman bagi keutuhan nasional serta kesatuan dan persatuan bangsa. Peran tersebut dapat terwujud dengan menggunakan berbagai cara antara lain: kemampuan selektif yang tinggi, proses sosialisasi yang elegan tetapi efektif melalui pendidikan, pendekatan yang persuasive, dan pendekatan yang bertahap tetapi berkesinambungan. b. Innovator Dalam memainkan peran selaku innovator pemerintah sebagai keseluruhan harus menjadi sumber dari hal-hal baru. Jadi, prakondisi yang harus terpenuhi agar efektif memainkan peranannya, pemerintah perlu memiliki tingkat keabsahan (legitimacy) yang tinggi. tiga hal yang mutlak mendapatkan perhatian serius adalah penerapan innovasi dilakukan di lingkungan birokrasi terlebih dahulu, innovasi yang sifatnya konsepsional, innovasi sistem, prosedur dan metode kerja. c. Modernisator Melalui pembangunan, setiap negara ingin menjadi negara yang kuat, mandiri, diperlakukan sederajat oleh negara-negara lain. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan antara lain: penguasaan ilmu pengetahuan, kemampuan dan kemahiran manajerial, kemampuan mengolah kekayaan alam yang dimiliki sehingga memiliki nilai tambah yang tinggi, sistem pendidikan nasional yang andal yang menghasilkan sumber daya manusia yang produktif, landasan pendidikan politik yang kukuh dan demokratis, memiliki visi yang jelas tentang masa depan yang diinginkan sehingga berorientasi pada masa depan.
16
d. Pelopor Selaku pelopor, pemerintah harus menjadi panutan (role model) bagi seluruh masyarakat. Pelopor dalam bentuk hal-hal positif seperti kepeloporan dalam bekerja seproduktif mungkin, kepeloporan dalam menegakkan keadilan dan kedisiplinan, kepeloporan dalam kepedulian terhadap lingkungan, budaya dan sosial, dan kepeloporan dalam berkorban demi kepentingan negara. e. Pelaksana Meskipun benar bahwa pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan merupakan tanggungjawab nasional dan bukan menjadi beban pemerintah semata karena berbagai pertimbangan seperti keselamatan negara, modal terbatas, kemampuan yang belum memadai, karena tidak diminati oleh masyarakat dan karena secara konstitusional merupakan tugas pemerintah, sangat mungkin terdapat berbagai kegiatan yang tidak bisa diserahan kepada pihak swasta melainkan harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Secara garis besar, peran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang adalah menjalankan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan dalam mengelola bidang ketenagakerjaan pada wilayah Kota Magelang. Secara spesifik, peran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang adalah memberdayakan masyarakat Kota Magelang untuk
bersama-sama
mengembangkan
kualitas
dan
meningkatkan
produktivitas tenaga kerja. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh ahli, peneliti menyimpulkan bahwa peran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang ialah mempertahankan agar tidak adanya gejolak sosial masyarakat (stabilisator), melakukan hal-hal baru yang berkaitan dengan program pelatihan kerja (innovator), mengelola sumber daya yang dimiliki dengan berorientasi pada masa depan (modernisator), menjadi panutan untuk bekerja seproduktif mungkin (pelopor), dan sebagai pelaksana program pelatihan kerja.
17
2. Kebijakan Publik Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misal seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. (Winarno, 2007:16) Menurut William N. Dunn (Syafi’ie, 1997:107), kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain. Berdasarkan konsep dan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik diartikan sebagai pilihan-pilihan tindakan yang saling berkaitan, dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah yang berhubungan dengan tugas-tugas pemerintahan, yaitu berbagai persoalan publik yang merupakan tanggungjawab pemerintah. Serangkaian pilihan tindakan tersebut diputuskan sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan pemerintah dalam hal yang bersangkutan karena setiap tindakan selalu dipengaruhi dengan ancaman maupun peluang di sekitarnya. Dengan demikian, kebijakan yang diusulkan tersebut bertujuan untuk menggali potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada. Riant Nugroho (2008:61-62), membagi kebijakan publik ke dalam beberapa bentuk. Undang-undang No. 10/2004 tentang Pembentukan
18
Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 mengatur jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah
Produk tersebut merupakan bentuk pertama kebijakan publik, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat desa atau kelurahan adalah Kebijakan Publik karena mereka adalah aparat publik yang dibayar oleh uang publik melalui pajak dan penerimaan negara lainnya, dan karenanya secara hukum formal bertanggung jawab kepada publik. Jadi, rentetan kebijakan publik sangat banyak, namun demikian secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima peraturan yang disebut di atas. b. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar-menteri, gubernur, dan bupati atau walikota. c. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah menteri, gubernur, bupati, dan walikota. Kebijakan menekan angka pengangguran melalui program pelatihan kerja
termasuk
dalam
kebijakan
publik
yang
bersifat
makro.
Penyelenggaraan program tersebut mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan PP No. 32 Tahun 2006 tentang sistem pelatihan
19
kerja nasional. Kebijakan tersebut bersifat makro karena dasar hukum yang menjadi acuan tersebut bersifat umum dan mendasar. Kebijakan publik selalu mengandung multi-tujuan yaitu untuk menjadikan kebijakan itu sebagai kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama. Tujuan kebijakan publik menurut Riant Nugroho (2008:68-69), dapat dibedakan sebagai berikut: a. Mendistribusi sumber daya negara kepada masyarakat, termasuk alokatif, realokatif, dan redistribusi, versus mengabsorbsi atau menyerap sumber daya ke dalam negara Pemahaman pertama adalah distributif versus absortif. Banyak ilmuwan sosial menyebutnya sebagai tujuan distributif dan redistributif, yang sebenarnya bermakna sama, hanya berbeda dalam sekuensi. Ada juga yang mempergunakan istilah alokatif, yang mempunyai makna sama dengan distributif, namun lebih menekankan pada lokus atau “ruang” tempat adanya distribusi. Kebijakan distributif murni misalnya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan dari daerah untuk menguasai dan mengelola sejumlah sumber daya. Kebijakan redistributif, biasanya merupakan “koreksi” kebijakan distributif sebelumnya yang menciptakan bias kebijakan, seperti kebijakan kenaikan BBM yang diimbangi dengan kebijakan redistributif subsidi BBM dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kebijakan absortif misalnya kebijakan perpajakan yang menghimpun pendapatan untuk negara – untuk kemudian didistribusikan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. b. Regulatif versus deregulatif Kebijakan regulatif bersifat mengatur dan membatasi, seperti kebijakan tariff, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan HAM, kebijakan proteksi industri, dan sebagainya. Kebijakan deregulatif bersifat membebaskan, seperti kebijakan privatisasi, kebijakan penghapusan tarif, dan kebijakan pencabutan daftar negatif investasi. c. Dinamisasi versus stabilisasi Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumber daya nasion untuk mencapai kemajuan tertentu yang dikehendaki. Kebijakan stabilitasi bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak sistem yang ada, baik sistem politik, keamanan, ekonomi, maupun sosial.
20
d. Memperkuat negara versus memperkuat masyarakat/pasar Kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan yang mendorong lebih besar peran negara, sementara kebijakan yang memperkuat pasar atau publik adalah kebijakan yang mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar daripada peran negara. Pada praktiknya, kebijakan menekan angka pengangguran dalam penelitian ini mengandung lebih dari satu tujuan kebijakan. Kebijakan menekan angka pengangguran termasuk dalam kebijakan regulatif karena adanya batasan-batasan setiap jenjang pemerintahan dalam pengelolaan bidang ketenagakerjaan. Selain itu termasuk dalam kebijakan distributif dengan memberikan kewenangan pada daerah-daerah untuk menguasai dan mengelola sumber daya manusia yang tersedia sebagai tenaga kerja, didukung dengan kebijakan redistributif salah satunya yaitu kebijakan pemerintah
tentang
pelatihan
kerja.
Kebijakan
menekan
angka
pengangguran juga memperkuat peran pemerintah, karena tingginya jumlah pengangguran berdampak pada berbagai aspek sehingga tidak mampu diselesaikan hanya dengan melibatkan peran masyarakat saja. Kebijakan tersebut didukung adanya kepastian anggaran untuk mengadakan pelatihan kerja, dengan Pemerintah Kota Magelang sebagai penguasa anggaran dan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang sebagai pengelola anggaran. a. Kebijakan Ketenagakerjaan Kebijaksanaan dalam mengatasi pengangguran ialah memperluas kesempatan bekerja dan hal ini menjadi tugas penguasa. Jika penempatan dalam lapangan pekerjaan ini dilakukan dengan memperhatikan
21
kecakapan mereka yang bersangkutan maka tertolonglah, tidak hanya sebagian besar para pengangguran biasa dan pengangguran musiman tetapi juga apa yang biasanya disebut setengah penganggur (Oemar Hamalik, 1990:50-51) Pengangguran menurut Sadono Sukirno (2006:328), yaitu suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Berikut beberapa jenis pengangguran yang akan digunakan dalam penelitian ini, antara lain: 1) Pengangguran normal atau friksional Pengangguran friksional adalah pengangguran yang terjadi akibat pindahnya seseorang dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan akibatnya harus mempunyai tenggang waktu dan berstatus sebagai penganggure sebelum mendapatkan pekerjaan lain tersebut. 2) Pengangguran siklikal Kemerosotan permintaan agregat mengakibatkan perusahaanperusahaan mengurangi pekerja atau menutup perusahaannya, sehingga pengangguran akan bertambah. Pengangguran dengan wujud tersebut dinamakan pengangguran siklikal. 3) Penganggurean struktural Pengangguran struktural adalah pengangguran yang disebabkan karena ketidakcocokan antara struktur pencari kerja sehubungan dengan keterampilan, bidang keahlian, maupun daerah lokasinya dengan struktur permintaan tenaga kerja yang belum terisi. 4) Pengangguran teknologi Pengangguran yang ditimbulkan oleh penggunaan mesin dan kemajuan teknologi lainnya dinamakan pengangguran teknologi. 5) Pengangguran terbuka Pengangguran ini tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Jadi, mereka menganggur secara nyata atau separuh waktu. 6) Pengangguran tersembunyi Kelebihan tenaga kerja yang digunakan dalam suatu kegiatan ekonomi digolongkan dalam pengangguran tersembunyi.
22
7) Setengah menganggur Seseorang yang terpaksa menjadi penganggur sepenuh waktu. Adapula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja sepenuh waktu, dan jam mereka jauh lebih rendah dari yang normal. Pekerja-pekerja yang mempunyai masa kerja seperti itu digolongkan sebagai setengah menganggur. Kebijakan
umum
mengenai
tenaga
kerja
pada
umumnya
menyarankan agar masing-masing tenaga kerja diberi kesempatan melanjutkan pendidikan dan pengembangan pribadi sambil bekerja. Kebijakan ini maksudnya untuk menghubungkan program pendidikan dan pelatihan menurut kebutuhan pasar kerja dan para tenaga kerjanya dengan tujuan memberikan kemudahan untuk memperoleh kesempatan kerja. Kebijakan memandang pendidikan dan pelatihan sebagai alat untuk menjamin agar seluruh tenaga kerja dapat menyesuaikan diri dengan pasar kerja, sehingga dapat ikut ambil bagian sesuai kecakapan yang dimilikinya.
Kebijakan
yang
paling
umum
adalah
membantu
memperbaiki kinerja dan memberikan penghargaan terhadap pribadi mereka. Soeharsono Sagir (1989:39) mengemukakan bahwa ada beberapa kebijaksanaan
perlu
ditempuh
dalam
menangani
masalah
ketenagakerjaan yaitu dengan adanya perluasan kesempatan kerja, peningkatan mutu kerja, penyebaran dan pendayagunaan tenaga kerja, pengendalian pertumbuhan angkatan kerja dan pembinaan industrial, perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Masalah ketenagakerjaan merupakan masalah negara
yang
mengutamakan pertimbangan pilihan tindakan yang akan diputuskan
23
pemerintah, termasuk salah satunya mengenai program pelatihan kerja. Masalah yang biasanya memerlukan pertimbangan kebijakan menurut Sastrohadiwiryo (2000:208) meliputi: 1) Tujuan apa saja yang ingin dicapai melalui pendidikan dan pelatihan 2) Personalia yang bertanggungjawab atas penyelengaraan pendidikan dan pelatihan 3) Sifat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 4) Jenis pelatihan apa saja yang diperlukan 5) Titik berat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 6) Tempat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 7) Kelangsungan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 8) Kemungkinan kerjasama dengan badan atau lembaga-lembaga lain 9) Hubungan pendidikan dan pelatihan dengan program perusahaan yang lainnya Berdasarkan konsep di atas, maka dapat dikemukakan bahwa pemerintah harus menjamin hak-hak tenaga kerja, memberikan perlindungan serta mengupayakan kesejahteraan bagi kehidupan mereka. Kebijakan juga mengatur kewajiban tenaga kerja dan beberapa upaya untuk lebih meratakan serta mendayagunakan tenaga kerja. Selain itu, pemerintah
berusaha
memperluas
kesempatan
kerja
maupun
meningkatkan mutu kerja diantaranya dengan memberikan kecakapan, keahlian, dan keterampilan tenaga kerja melalui program pelatihan kerja sesuai dengan kualifikasi pekerjaan yang dibutuhkan. 3. Pendidikan dan Pelatihan Kerja Pendidikan dan pelatihan merupakan dua hal yang hampir sama maksud pelaksanaannya, namun ruang lingkupnya yang membedakan karakteristik
kedua
kegiatan
Sastrohadiwiryo (2000:199), yaitu:
tersebut.
Seperti
yang
dijelaskan
24
“Pendidikan merupakan tugas untuk meningkatkan pengetahuan, pengertian, atau sikap para tenaga kerja sehingga mereka dapat lebih menyesuaikan dengan lingkungan kerja mereka. Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kemampuan berpikir dari seorang tenaga kerja. Sedangkan pelatihan merupakan pendidikan dalam arti yang agak sempit, terutama dengan instruksi, tugas khusus, dan disiplin. Pelatihan merupakan suatu proses aplikasi, terutama terhadap peningkatan kecakapan.” Pengertian Sastrohadiwiryo tersebut cukup jelas yaitu menjelaskan bahwa pendidikan dan pelatihan dapat dibedakan dari karakteristik kedua kegiatan tersebut. Pendidikan merupakan usaha meningkatkan pengetahuan, pola pikir, maupun sikap tenaga kerja agar lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Sedangkan pelatihan merupakan usaha meningkatkan kecakapan atau kedisiplinan melalui perintah atau tugas tertentu yang bertujuan untuk membantu tenaga kerja memperoleh efektivitas dari pekerjaan mereka. Menurut Oemar Hamalik (2005:10), pelatihan merupakan suatu proses yang meliputi serangkaian tindakan atau upaya yang dilaksanakan dengan sengaja dalam bentuk pemberian bantuan kepada tenaga kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja professional kepelatihan dalam suatu waktu, dengan tujuan meningkatkan kemampuan kerja peserta dalam bidang pekerjaan tertentu guna meningkatkan efektivitas dan produktivitas dalam suatu organisasi. Pelatihan keterampilan identik dengan pelatihan kerja, karena di dalamnya melatih sumber daya manusia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menurut Sagir (1989:40), latihan kerja adalah sub sistem dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Apabila pendidikan formal lebih
25
menekankan pada pembentukan dan pengembangan kepribadian, bakat, sikap, mental, pengetahuan, kecerdasan, daya analisis, dan kreativitas, maka latihan kerja menekankan pada keterampilan yang disebut profesionalisme. Latihan memang harus selalu berkaitan dengan dunia kerja dan persyaratan kerja, oleh karena itu latihan kerja akan lebih bersifat fleksibel disbanding pendidikan formal. Latihan kerja akan terus diperlukan karena dunia kerja dan persyaratan kerja terus berkembang dan berubah dengan cepat. Fungsi latihan kerja yang “ideal” menurut Procton dan Thornton (Sugandi, 1983:4) bertujuan memberikan kesempatan dan cara kepada semua pekerja untuk: a. Menyesuaikan diri dengan puas terhadap tuntutan bisnis dan operasioperasi industri sejak hari pertama masuk bekerja b. Memperoleh kemajuan sebagai kekuatan yang produktif dalam perusahaan dengan jalan mengembangkan secara rutin kebutuhan keterampilan, pengetahuan, dan sikap Untuk mencapai tujuan ini, kesempatan harus diberikan kepada pekerja untuk memungkinkan mengembangkan potensinya secara penuh kepada situasi pekerjaannya. Ada dua hal yang dituntut oleh latihan kerja menurut pandangan Procton dan Thornton (Sugandi, 1983:4-5) yaitu: a. Pengembangan keterampilan: memberikan pengembangan kemampuan melakukan tugas-tugas yang sangat khusus b. Menggunakan seluruh potensi yang ada pada orang itu: mengembangkan pengertian dan kapasitas yang perlu jika orang itu benar-benar dipersiapkan untuk menggunakan kualitas produktifnya–kemampuannya mencipta, berkonsepsi, mengambil keputusan, dan di dalam fungsi umumnya sebagai kekuatan penalaran. Pelatihan kerja yang merupakan hak setiap pekerja dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian sesuai
26
bakat, minat, dan kemampuannya diselenggarakan oleh lembaga perwakilan pemerintah, swasta, dan perusahaan. Penyelenggaraan pelatihan kerja wajib memenuhi syarat-syarat seperti yang dijelaskan Sastrohadiwiryo (2005:16) sebagai berikut: a. Tersedianya tenaga pelatihan b. Tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja c. Kurikulum d. Akreditasi e. Sarana dan prasarana pelatihan kerja Menurut
Hamalik
(2005:35-36)
dan
Gomes
(2003:206-208),
pelaksanaan program pelatihan meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a. Tujuan pelatihan Dalam merencanakan pendidikan dan latihan, hal pertama yang harus diperhatikan adalah penentuan tujuan. Adanya tujuan pendidikan dan pelatihan membuat kegiatannya dapat terarah. b. Manfaat pelatihan Setiap pelaksanaan kegiatan diharapkan dapat memberikan manfaat, baik untuk individu maupun organisasi. Adanya manfaat bagi individu menjadikan orang termotivasi untuk selalu meningkatkan kualitas sumber dayanya. c. Peserta pelatihan Penetapan peserta erat kaitannya dengan keberhasilan suatu pelatihan, oleh karena itu perlu dilakukan seleksi untuk menentukan peserta agar memenuhi persyaratan yang telah ditentukan seperti: 1) Persyaratan akademik yang berupa jenjang pendidikan dan keahlian 2) Jabatan 3) Pengalaman kerja 4) Motivasi dan minat terhadap pekerjaannya 5) Tingkat intelektualitas yang diketahui melalui tes seleksi d. Pelatih (instruktur) Pelatih atau instruktur sebagai penyampai materi memegang peranan penting terhadap kelancaran dan keberhasilan program pelatihan, maka pelatih yang terpilih harus ahli dan berkualifikasi professional. Syarat pelatih yang dapat digunakan sebagai pertimbangan adalah:
27
e.
f.
g.
h.
i.
1) Telah disiapkan secara khusus sebagai pelatih yang ahli dalam spesialisasi tertentu 2) Memiliki kepribadian yang baik 3) Berasal dari dalam lingkungan organisasi itu sendiri Waktu pelatihan Lamanya pelatihan berdasarkan pertimbangan berikut: 1) Jumlah dan mutu kemampuan yang hendak dipelajari dalam pelatihan tersebut lebih banyak dan lebih tinggi bermutu, kemampuan yang ingin diperoleh mengakibatkan lebih lama diperlukan latihan. 2) Kemampuan belajar para peserta dalam mengikuti kegiatan pelatihan 3) Media pengajaran yang menjadi alat bantu bagi peserta dan pelatih. Materi atau bahan pelatihan Materi yang diberikan kepada peserta pendidikan dan pelatihan harus disesuaikan dengan tujuan. Fasilitas Fasilitas yang diperlukan dalam pelatihan yang mendukung kegiatan. Model atau metode pelatihan Penggunaan metode pelatihan tergantung dari tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Model pelatihan adalah suatu bentuk pelaksanaan pelatihan yang di dalamnya terdapat program pelatihan dan tata caranya. Media pelatihan Media pelatihan adalah salah satu komponen yang berfungsi sebagai unsur penunjang proses pelatihan, dan mengunggah gairah motivasi belajar. Pemilihan dan penggunaan media ini mempertimbangkan tujuan dan materi pelatihan, ketersediaan media itu sendiri, serta kemampuan pelatih untuk menggunakannya.
Metode pendidikan dan pelatihan dimaksudkan sebagai suatu cara sistematis yang dapat memberikan deskripsi secara luas serta dapat mengkondisikan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan itu untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik tenaga kerja terhadap tugas dan pekerjaannya. Metode pendidikan dan pelatihan merupakan pendekatan terhadap cara penyelenggaraan dan pelaksanaan
28
pendidikan dan pelatihan. Metode pendidikan dan pelatihan yang biasa dianut manajemen menurut Sastrohadiwiryo (2005:215-219) meliputi: a. Pelatihan di tempat kerja Pelatihan di tempat kerja adalah pelatihan yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk khusus kepada para tenaga kerja guna melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Pelatihan di tempat kerja penyelenggaraannya pada tempat kerja dan berupa pelatihan praktek dengan menggunakan situasi pekerjaan sebagai sarana untuk memberi instruksi/petunjuk. b. Kuliah dan konferensi Metode kuliah banyak sisi positifnya, yaitu selain dapat menampung peserta dalam jumlah besar, juga dapat menggunakan media cetak elektronik, misalnya bagan, chart, kaset, video, film, maupun jenis peraga lainnya. Namun disisi lain, metode ini seringkali dipandang kurang efektif karena biasanya kurang memberikan pengembangan kecakapan diantara para peserta, dan lebih banyak bersifat given, yaitu hanya memindahkan ide, pengetahuan, keahlian, dan kecakapan dari para pengajar kepada peserta pendidikan dan pelatihan. Metode konferensi dalam pendidikan dan pelatihan adalah para peserta didorong mengambil bagian dalam pembicaraan tentang masalah umum. Metode ini dalam pelaksanaannya meliputi kelompok yang terdiri antara 15 sampai dengan 30 orang peserta. c. Studi kasus Metode ini memerlukan alokasi waktu yang cukup banyak dibandingkan dengan prosedur lain. Nilainya mungkin berbeda dengan pengalaman mereka yang ikut serta dalam pembicaraan kasus. Tujuan utama metode kasus, selain memberi kebebasan kepada peserta pendidikan dan pelatihan belajar dari diri sendiri, berpikir bebas, dan mampu menggunakan pengetahuan yang dimilikinya, juga memberikan pendidikan dan pelatihan tentang informasi yang actual dan paling baru untuk memberikan pelatihan pemecahan masalah, dan memberi kesempatan membandingkan dan memprediksi berbagai kemungkinan pemecahan masalah tertentu yang sedang dianalisis. d. Permainan peran Metode role playing dapat didefinisikan sebagai suatu metode pendidikan dan pelatihan di mana terlibat proses interaksi hubungan individu baik sebenarnya maupun tiruan, yang diperankan secara spontan. Peragaan itu biasanya disusul oleh suatu diskusi dan analisis untuk menentukan hal-hal yang telah terjadi, mengapa terjadi, dan bagaimana masalah yang diperagakan dapat diadakan corrective action di masa mendatang.
29
e. Seminar dan lokakarya Seminar adalah metode pendidikan dan pelatihan yang dapat didefinisikan sebagai pertemuan ilmiah untuk membicarakan dan menemukan dalil-dalil, aksioma-aksioma, doktrin-doktrin, atau norma-norma/aturan-aturan baru mengenai suatu masalah. Pelaksanaan lokakarya sebagai salah satu metode pendidikan dan pelatihan, biasanya dibagi menjadi kelompok-kelompok berkisar antara 10 sampai dengan 25 orang.Masing-masing kelompok mengambil bagian pada pertemuan untuk membicarakan suatu masalah serta untuk memperbaiki kecakapan individu masingmasing dalam memecahkan suatu masalah, atau untuk memperluas cakrawala pengetahuan mereka tentang masalah tersebut melalui studi yang intensif, penelitian, dan diskusi. f. Symposium Symposium adalah serangkaian pembicaraan yang diberikan oleh beberapa ahli dalam bidangnya masing-masing yang berfungsi sebagai pemrasaran yang keahlian masing-masing berbeda-beda tentang berbagai aspek dari suatu masalah. Kebaikannya adalah symposium memungkinkan timbulnya berbagai sudut pandangan dan lebih komprehensif dalam melihat subjek persoalan. Kelemahannya seringkali peserta agak pasif dan kesempatan diskusi sangat terbatas. g. Kursus korespondensi Pelaksanaannya seringkali dalam waktu yang relatif singkat. Materi yang disampaikan selain berkisar pada kajian konsepsi/teoretis juga sering diadakan praktek yang sifatnya terhadap teori yang dipelajari selama kursus. Prakteknya dilaksanakan pada tempat kursus dan peninjauan langsung di lapangan. h. Diskusi kelompok Metode pendidikan dan pelatihan diskusi kelompok adalah suatu proses interaksi secara lisan/oral mengenai tujuan tertentu yang di dalamnya melibatkan beberapa peserta dengan cara tatap muka, melalui tukar-menukar informasi atau pemecahan suatu masalah/persoalan. i. Permainan manajemen Metode ini dapat didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dinamis dengan menggunakan sifat-sifat keputusan yang kronologis, menggunakan skenario yang merupakan simulasi dari kejadian manajerial, yang susunan dan operasinya terpadu. Salah satu manfaat dari metode ini, model pengambilan keputusan dapat dirancang oleh para peserta. j. Kombinasi Untuk menutupi kelemahan satu metode dalam pendidikan dan pelatihan, dan menghimpun kelebihan yang ada pada masingmasing metode, dilaksanakan metode kombinasi yaitu gabungan
30
dari dua metode atau lebih yang dilaksanakan dengan tidak mengindahkan prinsip dari masing-masing metode. Dari beberapa uraian di atas, program pelatihan kerja dinilai mampu mengurangi dampak negatif dari kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman
yang
terbatas.
Program
tersebut
merupakan
upaya
mempersiapkan dan membina SDM melalui proses pendidikan untuk memberikan bekal keterampilan khusus, dengan mengembangkan aspek kemampuan intelektual dan kepribadian masyarakat agar lebih produktif. Mendidik masyarakat dalam peningkatan kapasitas dikembangkan melalui berbagai cara didasarkan kebutuhan masyarakat. Wahyudin Sumpeno
(2009:46-47)
masyarakat
atau
mengemukakan
pelatihan
bahwa
transformatif
pelatihan
(transformative
berbasis learning)
merupakan salah satu model pengembangan kapasitas yang dilakukan untuk merangsang pemahaman, peran dan keterampilan masyarakat. Pelatihan dalam masyarakat memiliki tujuan ganda, yaitu memberikan pengalaman, keterampilan, dan penghayatan terhadap peran dan tanggungjawab yang harus dilakukan oleh masyarakat secara mandiri. Pelatihan dapat membimbing
pemerintah,
masyarakat
dan
lembaga
lain
untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan sebagai pendukung pelaksanaan penelitian ini yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Hayu Dyah Prawesti (2011) dengan judul “Upaya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul dalam Mengatasi pengangguran”. Hasil penelitian ini mendeskripsikan upaya
31
Disnakertransos Kabupaten Bantul dalam mengatasi pengangguran melalui penempatan tenaga kerja dan perluasan kerja. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam mengatasi pengangguran adalah terkait keterbatasan dana anggaran, keterbatasan SDM, kurangnya kesadaran dan kurangnya jiwa berwirausaha dari masyarakat. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul melakukan upaya untuk meminimalisir hambatanhambatan tersebut dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia sebaikbaiknya. Penelitian tersebut relevan terhadap penelitian ini karena membahas peran pemerintah daerah dalam upaya mengatasi pengangguran dengan mempersiapkan tenaga kerja yang memiliki daya saing di pasar kerja, melalui program penempatan tenaga kerja di daerah, luar daerah, maupun luar negara. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Kurnia Widyastuti (2013) dengan judul “Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Institusional di UPT BLK Kabupaten Sleman”. Hasil penelitian ini menunjukkan strategi Pemerintah Kabupaten Sleman melalui UPT BLK Kabupaten Sleman dalam menanggulangi pengangguran melalui penyelenggaraan program pelatihan keterampilan institusional. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program pelatihan keterampilan institusional adalah terkait waktu, pelatih (instruktur), fasilitas, serta belum tersedianya SKKNI. UPT BLK Kabupaten Sleman melakukan upaya untuk meminimalisir kendala-kendala tersebut dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan sebaik-baiknya. Penelitian tersebut relevan terhadap penelitian ini karena membahas peran
32
pemerintah daerah dalam upaya menanggulangi pengangguran dengan membekali keterampilan tenaga kerja untuk meningkatkan kualitas SDM, melalui program pelatihan keterampilan institusional. C. Kerangka Berfikir Salah satu penyebab banyaknya pengangguran di Kota Magelang karena kurangnya kemampuan yang dimiliki oleh para pencari kerja. Kemampuan tersebut berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja oleh lapangan kerja. Hal itu disebabkan karena lapangan kerja tidak hanya memprioritaskan pencari kerja dengan tingkat pendidikan tinggi, namun juga memperhitungkan keahlian, kecakapan, maupun keterampilan yang dimiliki oleh pencari kerja. Pemenuhan hak bidang ketenagakerjaan bagi para pengangguran belum maksimal. Perlu adanya peran pemerintah dalam pemenuhan hak bidang ketenagakerjaan bagi para pencari kerja. Dalam program-program pemenuhan hak para pencari kerja, pemerintah berperan sebagai pelayan masyarakat, fasilitator, pendamping, mitra, dan penyandang dana. Kegiatan dalam pemenuhan hak bidang ketenagakerjaan melalui peran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Magelang tersebut disesuaikan dengan Undang-undang dan peraturan yang sesuai, terutama yang berkaitan dengan aspek pendidikan dan kompetensinya telah diatur dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional dan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, serta dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan kerja telah diterbitkan
33
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Kerangka berfikir penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut: Tingginya Angka Pengangguran Peran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang Kebijakan Menekan Angka Pengangguran
Program Pelatihan Kerja
Ketercapaian
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan program pelatihan: tujuan, manfaat, peserta, instruktur, waktu, materi, fasilitas, metode, dan media
Tujuan dan Sasaran Program Hambatan dan Upaya Penyelesaian
Gambar 1. Kerangka Berfikir Diharapkan hasil penelitian ini akan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah. Penelitian ini juga digunakan sebagai referensi terhadap pelaksanaan pemberdayaan dan pemenuhan hak kesejahteraan tenaga kerja di daerah lainnya. D. Pertanyaan Penelitian 1. Apa latar belakang penyelenggaraan program pelatihan kerja di Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Magelang?
34
2. Bagaimana peran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Magelang dalam upaya menekan angka pengangguran melalui program pelatihan kerja? 3. Bagaimana hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan program pelatihan kerja di Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Magelang tahun 2013? 4. Apa faktor penghambat dalam penyelenggaraan program pelatihan kerja? 5. Bagaimana upaya Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Magelang dalam menyelesaikan hambatan yang ada?