4 BAB II DATA & ANALISA
2.1.
Data dan Literatur Metode penelitian yang digunakan : •
Wawancara
•
Buku referensi
•
Survei lapangan disertai pemotretan
•
Literatur dari internet
2.1.1. Seni tari ( sejarah dan fungsinya ) Sesungguhnya seni tari dapat digolongkan ke dalam seni teater. Teater mengandung tiga unsur, yakni penonton, tempat, dan pemain. Karena itu, teater meliputi seluruh seni pertunjukkan yang terdiri dari pentas ( drama ), seni tari, seni musik ( karawitan ), dan seni gerak lainnya. Salah satu definisi tari berbunyi “tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah” ( Soedarsono, tanpa tahun : 17 ). Kapan sebenarnya tari itu muncul tidak seorang pun yang mengetahui dengan pasti. Curt Sachs dalam bukunya World History of the Dance mengemukakan bahwa perkembangan tari sebagai seni yang tinggi telah ada pada zaman prasejarah ( Curt Sachs, 1963 : 209 ). Encyclopedia Americana menyebutkan bahwa usia tari itu setua umur adanya manusia. Selanjutnya
5 diceritakan bahwa manusia purba dengan irama nalurinya dalam keadaan setengah sadar menciptakan gerakan-gerakan tari, yang sering menirukan gerakgerik binatang. Manusia purba itu menemukan bahwa dengan menari ia dapat menyalurkan kemewahannya/kelebihannya, memperoleh kesenangan dan dapat menyatakan perasaannya tentang peristiwa-peristiwa yang terpenting dalam hidupnya. Ia percaya bahwa melalui tari ia dapat berkomunikasi dengan dunia maya ( niskala ), yang mengawasi dunia fana ( skala ), tempat tinggalnya. Karena itu tarian primitif mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kesejahteraan sesuatu suku bangsa ( tribe ). Orang primitif menari untuk merayakan kelahiran, menyembuhkan penyakit, bela sungkawa, dan berdoa demi berhasilnya suatu perbuatan berburu, mohon hujan atau kemenangan dalam peperangan. Kemudian setelah masyarakat pertanian serta pedesaan makin berkemang, maka tari itupun perlahan-lahan memisahkan diri dari suasana keagamaan dan magi, lalu makin dekat hubungannya dengan soal hiburan masyarakat ( Encyclopedia Americana VIII, 1976 : 465 ).
2.1.2. Perkembangan seni tari Bali Perkembangan tari sebagai diuraikan di atas ada persamaannya dengan keadaan masyarakat di Bali, hanya beberapa tari tertentu hingga sekarang masih tetap mempunyai kaitan yang erat dengan upacara keagamaan, sebagai cetusan rasa bakti dan terima kasih kepada Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dan Bhatara-bhatari ( arwah leluhur yang telah disucikan ). Menurut ensiklopedi dramaturgi yang bernama Natya Sasta yang digubah oleh Bhatara Muni 2000 tahun yang lalu di India, tari ( India ) itu adalah ciptaan dewa. Dewa Brahma
6 yang dianggap sebagai pencipta drama atau teater dalam arti yang luas. Diantara dewa-dewa yang dianggap sebagai raja penari adalah Dewa Siwa ( Soedarsono, tanpa tahun : 36 ). Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit ( 1519 M ), banyak warganya mengungsi ke Bali dengan memindahkan segala yang dapat dibawa, termasuk seni budaya dengan tarinya. Kemudian seni tari ini berkembang dengan suburnya terutama pada zaman keemasan pemerintahan Dalem Waturenggong ( 1460 – 1550 M ). Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir semua jenis tari yang tertera baik di dalam naskah maupun prasasti masih dapat bertahan hingga kini. Demikianlah seni tari itu terus berkembang semakin kompleks mengikuti dinamika kehidupan masyarakat. Sebagaimana diuraikan di atas, gerak tari zaman dahulu mula-mula berbentuk sangat sederhana, banyak meniru gerak-gerak binatang sebagai cetusan rasa gembira, nafsu, cinta, sedih, marah, kecewa, dan lain-lainnya. Gerak itu pada umumnya bersifat naluriah, di samping gerakan-gerakan yang bersifat sugestif di dalam berkomunikasi dengan dunia niskala yang penuh dengan kekuatan gaib, kesaktian, dan serba roh ( dinamisme dan animisme ). Kemudian setelah masyarakat manusia mengenal agama khususnya Hindu Dharma di India yang kaya dengan mitologi, seni tari itu mulai ditata, disusun, ditulis dalam naskah-naskah dan disebarluaskan dengan perincian jenis serta fungsinya. Karena sebagian besar masyarakat Bali juga menganut agama Hindu, maka fungsi tari itu tidaklah amat berbeda.
7 2.1.3. Klasifikasi Tari Bali Di Bali kita mengenal apa yang bernama tari wali, yakni tari-tarian yang dalam penyajiannya selalu dihubungkan dengan suatu upacara keagamaan dan merupakan salah satu bagian upacara. Di samping tari wali masih terdapat apa yang disebut tari bebali yang fungsinya sekedar pelengkap untuk memeriahkan jalannya upacara keagamaan, dan tari balih-balihan yang semata-mata berfungsi untuk menghibur masyarakat atau penonton, terlepas dari adanya upacara. Sebagai tindak lanjut untuk mencegah adanya penyalahgunaan tari wali itu, antara lain komersialisasi, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali menerbitkan surat keputusan tanggal 11 September 1973 nomor 2/Kesra II/d/26/73 yang antara lain berisi larangan dan himbauan agar seni tari wali jangan dipertunjukkan secara sengaja dan terencana kepada wisatawan, tanpa adanya kaitan dengan suatu upacara keagamaan. Sebagai perbandingan, menurut fungsinya tari-tarian Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok; tari upacara, kelompok tari gembira atau tari pergaulan yang juga sering disebut tari sosial, dan kelompok tari teatrikal atau tari tontonan ( Soedarsono, tanpa tahun : 32 ). Walter Spies yang tinggal lama di Bali ( 1927 – 1940 ) di dalam bukunya Dance and Drama in Bali sesuai dengan pengamatannya menggolongkan taritarian yang ada di Bali menjadi empat, yakni ceremonial dances ( tari upacara ), trance dances ( tari kesurupan ), drama of magic/dance ( drama tari lakon ), dan recreational dances ( tari hiburan ), yang diuraikan secara implisit, karena menurut pendapatnya tidak mungkin membuat batasan golongan tari secara tegas disebabkan unsur-unsur tari yang satu dengan yang lain sering jalin-menjalin ( B.
8 de Zoete and W. Spies, 1938 : 46, 47, 86, 211 ). Hal ini dapat dijumpai misalnya di dalam tari topeng, wayang, dan baris yang di satu pihak dapat digolongkan sebagai tari wali ( topeng sidakarya ), wayang lemah dan baris gede, karena berfungsi sebagai pengiring upacara, sedangkan di pihak lain bisa digolongkan tari bebali. Di dalam penyajiannya sebagai tontonan dalam bentuk lain yang dipersembahan ke hadapan Bhatara ( topeng dan wayang dengan lakon umum serta baris melampahan ). Agama Hindu di Bali yang pada umumnya mendasarkan ajaran pada bakti dan karma marga ingin mempersembahkan segala sesuatunya itu dengan penuh rasa bakti termasuk persembahan tari. Terdapat beberapa jenis tari wali yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu di dalam upacara agama seperti tari Pendet, tari Rejang, tari Baris Gede, Sanghyang, dan lain-lain. Pada dasarnya tari wali itu tidak menyajikan suatu lakon, sebaliknya tari-tarian yang tergolong tari bebali hampir semuanya terdiri dari tari lakon ( dance drama ), misalnya : topeng, gambuh, wayang wong, wayang kulit, prembon. Disamping sebagai tontonan yang dapat menumbuhkan apresiasi seni, tari bebali itu berfungsi juga sebagai penyebar pendidikan budi pekerti kepahlawanan dan informasi lainnya. Tari wali pada umumnya disajikan/mengambil tempat di halaman jeroan pura, yaitu di bagian yang dianggap suci, sedangkan tari bebali disajikan di jaba tengah ( halaman kedua ) atau sama sekali di jaba ( luar ), yang juga merupakan tempat untuk tari balihbalihan. Klasifikasi tari-tarian Bali berdasarkan koreografi dibagi menjadi tiga. Tari-tarian tradisional, yaitu tari-tarian yang telah berkembang turun-temurun merupakan warisan dari nenek moyang dan bertumpu pada pola-pola tradisi yang
9 ada. Tari-tarian kreasi baru, yaitu jenis tari-tarian yang tidak mengikuti aturanaturan serta pola tradisi karena menginginkan suatu kebebasan yang dalam pengungkapannya untuk menunjukkan bentuk-bentuk baru. Ketiga adalah tari klasik, yakni jenis tari yang telah memiliki norma-norma serta pembakuan sikap dan gerak, mempunyai nilai artistik yang cukup tinggi, dan penggarapannya ditata secara lebih rumit ( intricate ). Ke dalam tari klasik ini termasuk tari gambuh, topeng, arja, wayang wong, dan legong kraton yang penataannya pada umumnya ditangani oleh ahli-ahli tari dari kalangan istana/puri, terutama di zaman kerajaan ( tahun 1906 ke belakang ). Klasifikasi tari Bali berdasarkan karakter juga dibagi menjadi tiga. Pertama, tari laki, yang mengandung ungkapan dan watak kelaki-lakian ( masculine ) dengan ciri-ciri posisi kaki ( tampak sirang ) yang berjarak satu setengah sampai dua tapak, pundak terangkat, gerakannya keras dan patah-patah, dengan angkatan kaki yang agak tinggi, dan di dalam berjalan selalu membentuk posisi tampak sirang. Tari laki ini dapat diperinci lagi menjadi dua : yakni tari laki keras, dan tari laki halus atau manis. Kedua, tari perempuan, yang mempunyai ungkapan watak kewanitaan ( feminine ) dengan tampak sirang yang lebih sempit dengan gerakannya yang kebanyakan bersifat lembut dengan sikap badan agak condong ke depan. Waktu berjalan, posisi kaki/langkah lurus sejajar ke depan. Sama halnya dengan tari laki, tari perempuan diperinci menjadi dua bagian lagi, yakni tari perempuan keras dan tari perempuan halus. Tari banci ( bebancihan ) yang mempunyai karakter antara tari laki dan tari perempuan dapat dilihat dalam sikap dan geraknya.
10 Kemudian jenis-jenis tari itu pun menurut temanya dapat lagi dikelompokkan menjadi tari lepas atau tarian tanpa lakon ( nondramatic ) dan tari lakon ( dramatic ), baik yang memakai dialog maupun tanpa dialog yang belakangan ini lebih dikenal dengan sebutan sendratari ( seni drama tari ). Sendratari itu hampir semuanya merupakan kreasi baru yang bermaterikan tari Bali tradisional, antara lain sendratari Ramayana, Mayadanawa, Raja Pala, Puputan Margarana ( Dibia, 1977 : 18 – 30 ).
2.1.4. Pendahuluan mengenai Wayang Wong Bali
Bermacam-macam kesulitan yang dihadapi oleh para sarjana, seniman, dan seniwati dalam mempelajari wayang wong di Bali. Hal ini disebabkan oleh kurangnya catatan-catatan baik berupa prasasti ataupun tulisan-tulisan lain yang
11 membicarakan wayang wong, ditambah pula dengan makin berkurangnya sekehe wayang wong yang masih aktif mengadakan pertunjukan. Bentukan kata “wayang wong” yang dapat dipisahkan atas “wayang” dan “wong”, umumnya telah dimaklumi artinya di Bali. “Wayang” sama artinya dengan baying-bayang atau bayangan dan “wong” berarti orang. Sebagai sebuah karya seni klasik Bali, wayang ( termasuk wayang wong ) termasuk karya seni yang cukup bermutu dan hidup terus, memenuhi hampir seluruh kurun sejarah kehidupan seni budaya di Bali. Ia banyak menjadi bahan pembicaraan para ahli, ditelaah dan diteliti dari segala segi dan aspek yang dikandungnya. Wayang bukan hanya sekedar karya seni yang mengandung filsafat yang dalam. Bahwa peperangan antara kesatria putih ( berdarah putih ) dengan raksasa-raksasa dari bermacam warna, pada hakekatnya bukan merupakan peperangan antara makhluk-makhluk dengan segala kesaktiannya, tetapi merupakan peperangan di dalam batin ( hati ) manusia itu sendiri, antara perasaan yang baik atau suci dengan perasaan yang buruk, yang selalu mengganggu kesadaran manusia. Suatu peperangan yang merupakan dinamika dari kehidupan manusia yang menimbulkan keindahan luar biasa. Jelaslah bahwa dengan beberapa penjelasan ini, wayang yang merupakan peninggalan kebudayaan pra Hindu yang merupakan manifestasi dari pada penghormatan dan penyembahan kepada leluhur dalam perkembangan hidupnya, ia bukan hanya sekedar drama ( play ) yang semata-mata bersifat hiburan, tetapi juga merupakan seni pertunjukan yang banyak mengandung ajaran-ajaran
12 keagamaan dan filsafat, peperangan antara kebaikan dengan kejahatan, yang berakhir dengan kekalahan pada pihak yang jahat. Kalau wayang kulit merupakan ( seni pertunjukan ) wayang, yang “pelaku-pelaku”-nya berwujud boneka-boneka dua dimensi dari kulit yang ditatah atau diukir yang disajikan oleh seorang dalang, wayang wong adalah ( seni pertunjukan ) wayang, yang pelaku-pelakunya manusia atau orang. Ia merupakan suatu perwujudan dari tari lakon Bali, perpaduan antara tari, drama, dan musik. Dari berbagai jenis pertunjukan wayang di Bali, wayang wong merupakan satu-satunya wayang yang pelaku-pelakunya manusia atau orang dan memakai tapel ( topeng ). Di Bali ada dua jenis wayang wong, yaitu wayang wong Parwa dan wayang wong Ramayana. Perbedaannya terutama terletak pada dua hal, yaitu: wayang wong parwa mengambil lakon dari Wiracarita (epos) Mahabharata, sedang wayang wong Ramayana mengambil lakon dari Wiracarita Ramayana. Semua pelaku (pemegang peran) dalam wayang wong parwa (kecuali panakawan-panakawan) tidak memakai tapel, sedangkan pelaku-pelaku wayang wong Ramayana memakai tapel. Dalam perkembangan selanjutnya di Bali, yang dimaksud dengan wayang wong adalah wayang wong Ramayana, sedangkan wayang wong Parwa disebut Parwa saja.
13 2.1.5. Sejarah Wayang Wong
Untuk mengetahui sejarah wayang wong di Bali – walau secara singkat saja - sungguh sulit. Hal ini pertama disebabkan oleh kurangnya data yang ada dan kedua oleh adanya kenyataan di Bali, bahwa tiga aktifitas budaya – yaitu aktifitas dalam kesusastraan, wayang kulit, dan tari lakon – berkaitan bahkan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kita ambil misalnya satu contoh wiracarita Ramayana, yang dikenal sebagai salah satu karya sastra yang paling tua dan bernilai tinggi. Di samping sastra Ramayana, timbul wayang kulit Ramayana, yang terkenal di Bali dengan sebutan wayang “ngrameyana”. Di pihak lain tumbuh pula satu bentuk tari lakon yang mengambu lakon Ramayana, yang pelaku-pelakunya memakai topeng, yang disebut wayang wong.
14 Sudah tentu besar kemungkinannya pendapat di atas mendapat tantangan dari para ahli dengan segala hasil penyelidikan mereka yang meyakinkan, bahwa wayang sudah ada di Indonesia sebelum sastra Hindu terutama Ramayana dan Mahabharata masuk ke Indonesia. Hal ini dapat kita pahami, namun menurut dugaan,
wayang,
sebelum dilengkapi
dengan
ceritera
Ramayana
dan
Mahabharata, hanya merupakan alat penyembah leluhur, yang mungkin belum dipertunjukkan sebagai tari lakon seperti apa yang kita saksikan sekarang. Kesempurnaannya sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan adalah jelas setelah kesusastraan tersebut masuk. Sejak abad ke IX di Indonesia – terutama di Jawa dan Bali – sudah ada wayang ( khususnya wayang kulit ). Oleh masyarakat Jawa dan Bali pada masa itu wayang merupakan perwujudan leluhur, dengan melalui media ini ( yaitu wayang ) mereka dapat berkomunikasi dan mengadakan penghormatan kepada leluhur. Dalam hubungan ini Hazeau ( James R. Brandon, 1970 : 3 ) mengatakan bahwa pertunjukan wayang di Jawa tumbuh sebagai kepercayaan animisme, yaitu sebagai penyembahan terhadap leluhur, yang jiwa leluhur itu dibawa hidup kembali ke dalam wayang untuk dimintai bantuan magis dan petuah-petuah. Sejalan dengan ide dimana wayang pada mulanya diwujudkan sebagai salah satu media komunikasi dengan leluhur, maka besar kemungkinannya bahwa leluhur itu diabadikan ke dalam bentuk tapel ( topeng ). Di Bali, tapel-tapel itu pada umumnya sangat dikeramatkan, dimainkan pada hari-hari tertentu seperti pada hari-hari upacara di Pura dan sebagainya. Para penari yang bertapel ( bertopeng ) dan berhiaskan ambu ( daun enau muda ), janur dan praksok ( sejenis serat kayu ), menari berkeliling dari tempat satu ke
15 tempat lain, dari pintu rumah yang satu ke pintu rumah yang lain ( yang di Bali disebut “ngelawang” ). Tujuan utama ialah mengusir roh-roh jahat atau Sang Kala Tiga, dan untuk menyenangkan hati para leluhur. Dalam perkembangan selanjutnya maka tapel-tapel yang sederhana ini – atas kekayaan ide dan imajinasi para seniman sangging di Bali – dibuatlah tapeltapel yang lebih sempurna, disesuaikan dengan sifat-sifat dan perwatakan tokohtokoh atau pemegang peran yang dibawakannya, seperti yang dapat disaksikan sekarang. Tarinya pun disesuaikan dengan sifat dan bentuk tapelnya. Dari wayang kulit
“ngrameyana”
yang
menggunakan
lakon
wiracarita
Ramayana,
menumbuhkan ide para seniman untuk melahirkan pertunjukan bertapel yang gerak-gerak tari maupun tabuh iringannya tidak jauh berbeda bahkan meniru gerak-gerak tari dan tabuh wayang kulit. Pertunjukan bertapel ini dinamakan wayang wong.
Kapan wayang wong ini pertama kali lahir di Bali, sulit untuk mengetahuinya dengan pasti. Namun kalau kita meneliti sejarah, dimana kehidupan seni budaya di Bali mencapai puncaknya yang tertunggi pada masa
16 pemerintahan Dalem Waturenggong ( 1460 – 1550 ) di Gelgel ( Klungkung ), yaitu jaman yang disebut jaman keemasan Bali Klasik ( Middle Balinesse Period ), maka besar dugaan bahwa wayang wong sudah ada pada abad ke XVI. Dari catatan I Ketut Rinda menyatakan bahwa pembinaan kehidupan wayang wong diteruskan oleh I Dewa Agung Gede, dari Puri Kusamba ( Klungkung ), dan mulai disebarluaskan ke pelosok Pulau Bali, sekitar tahun 1884 Masehi. Demikian tapel-tapel wayang wong sampai sekarang masih tersimpan sebagai barang keramat ( sakral ) di Pura-Pura dan tempat suci lain, tersebar di berbagai daerah di Bali. Membuatnya tentu tidak semudah tapel-tapel yang sering dipasang di toko-toko kesenian untuk konsumsi turis. Bahannya kayu pilihan, Sanggingnya orang yang sudah suci dan masak kebatinannya, mulai membuatnya dipilihkan hari yang baik, dibuatkan upakara atau saji-sajian seperlunya. Selesai pembuatannya dibuatkan upacara suci ( di-“pasupati”-kan ) untuk memberi “mana” ( kekuatan gaib ) kepada tapel itu, dan kemudian menyimpannya pun di tempat yang suci.
2.1.6. Organisasi Wayang Wong Kehidupan kesenian Bali, termasuk kehidupan wayang wong itu sendiri, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan organisasi pendukungnya, yang merupakan kelompok masyarakat Bali yang langsung menangani serta membila kelangsungan hidup kesenian itu sendiri. Di Desa Tejakula misalnya, wayang wong ini langsung menjadi tanggung jawab Krama ( anggota ) Pamaksan sebuah Pura, yang disebut Pura Pamaksan.
17 Semua tapel-tapel wayang wong yang dikeramatkan itu disimpan di Pura Pamaksan milik warga Pasek Dangka di desa itu. Beberapa puluh tahun yang lalu, tapel-tapel tersebut disimpan di Pura Dangin Carik ( milik Desa Tejakula ), tapi karena Pura ini sulit dicapai pada waktu musim dingin karena sering banjir, tapel-tapel itu dipindahkan ke Pura Pamaksan, yang kebetulan juga mempunyai tempat pertunjukan yang cukup luas untuk mengadakan upacara ( pertunjukan ) wayang wong itu. Krama Pamaksan ( kadang-kadang disebut “Pamaksan” saja ) ini bertugas melakukan atau membuat perlengkapan seperti bebanten ( sajen ), penjor, tetaring ( bangsal ) dan lain-lainnya. Sebagian di antara mereka bertugas mengurus
pertunjukan
wayang
wong,
termasuk
menyiapkan
pakaian,
mengadakan latihan-latihan, dan sebagainya. Mereka ini umumnya langsung melaksanakan pertunjukan wayang wong, namun demikian tidak tertutup kesempatan untuk turut serta dalam pertunjukan bagi krama yang jauh ingin turut menari ( “ngaturang ayah” ). Di Desa Mas ( Gianyar ), tapel-tapel wayang wong ini disimpan di Pura Taman Pule. Penarinya dan krama yang mengurus wayang wong ini berasal dari Banjar Taman, dari warga Pasek Bendesa Mas.
2.1.7. Fungsi dan Daerah Wayang Wong Dilihat dari fungsinya, tari-tarian Bali diklasifikasikan atas tari wali ( sacred, religious dance ), tari bebali ( ceremonial dance ), dan tari balihbalihan ( secular dance ).
18 Mengikuti klasifikasi tersebut maka wayang wong termasuk kategori kedua, yaitu tari bebali. Wayang wong dipertunjukkan sebagai pengiring upacara odalan ( semacam ulang tahun ) di Pura, Macaru ( upacara kurban ), Panca Wali Krama ( upacara besar ulang tahun pura diadakan lima tahun sekali ), dan upacara lainnya yang tercakup dalam upacara Panca Yadnya. Oleh “krama” pendukungnya umumnya pementasan wayang wong ini dianggap mempunyai nilai sakral, dan banyak diantara tapel-tapel tersebut yang dikeramatkan. Tapel mana yang dikeramatkan itu antara lain bergantung kepada kepercayaan krama pendukung wayang wong itu sendiri. Yang bergantung juga pada “taksu” ( kekuatan magis pada unsur-unsur kesenian ) yang dimohon atau diharapkan dari tapel-tapel atau tokoh-tokoh itu. Pada beberapa daerah, pertunjukan wayang wong tidak dapat dilaksanakan secara lengkap karena beberapa sebab, antara lain disebabkan oleh banyaknya tapel-tapel yang telah rusak atau karena pendukungnya tidak banyak lagi yang mampu mempertunjukkannya. Tapel-tapel yang masih ada serta dikeramatkan itu diusung keliling desa, dengan berbagai upakara dan upacara yang dibuat, wayang wong berfungsi juga sebagai tari wali, menjadi sarana upacara, seperti membuat “air suci”, dipercikkan kepada masyarakat setempat yang memohonnya, sebagai pengusir malapetaka. Sebagai karya seni, wayang wong memberikan santapan rohani kepada masyarakat pendukungnya, dilihat dari bentuk gerak dan lakonnya.
19 2.2.
Buku 2.2.1. Fungsi Buku Sebelum menetapkan rencana penerbitan, kita harus memahami fungsi sebuah buku terlebih dahulu. Menurut Iyan Wb. ( Anatomi Buku, 2007 : 75 ), fungsi buku adalah sebagai berikut : 1. Sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan penulis kepada pembaca secara efektif. 2. Materi yang dibahas dan disampaikan buku dapat memberi manfaat kepada pembacanya. 3. Isi buku yang ditampilkan berusaha menarik dan memikat pembaca sehingga menghadirkan kesan tersendiri bagi pembacanya. 4. Setiap buku yang terbit ditujukan untuk meraih pembaca potensial dan meraih sukses dalam pemasaran ( best seller ). Menurut Zubaidi ( Berita Buku, 1997 : 12 ), secara garis besar buku yang baik dan akan tetap dikenang pembaca minimal harus memenuhi tiga syarat berikut : 1. Memenuhi kebutuhan pasar atau konsumen. 2. Mempunyai manfaat bagi konsumen, baik untuk sekedar menambah wawasan atau sekedar pelepas kepenatan pikiran. 3. Memiliki daya pikat ( bargaining position ), yaitu perwajahan luar yang elok dan perwajahan dalam yang baik, terutama deskripsi substansi.
20 2.2.2. Anatomi Buku Sebuah buku yang baik tentu juga memiliki kelengkapan dalam isinya. Berikut ini merupakan teori dasar dari anatomi buku ( Iyan Wb., Anatomi Buku, 2007 ). Halaman pendahulu ( preliminaries, prelims, front title ) merupakan bagian depan sebuah buku sesudah sampul. Halaman pendahulu buku teks dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut adalah : 1. Halaman prancis ( france title, half title ) 2. Halaman judul utama ( full title, page title ) 3. Halaman hak cipta ( copyright notice ) 4. Halaman persembahan ( dedikasi ) 5. Halaman ucapan terima kasih ( acknowledgements ) 6. Halaman sambutan 7. Halaman kata pengantar ( foreword ) 8. Halaman prakata ( preface ) 9. Halaman daftar isi ( contents ) 10. Halaman daftar tabel 11. Halaman daftar singkatan dan akronim 12. Halaman daftar lambang 13. Halaman daftar ilustrasi 14. Halaman pendahuluan ( introduksi ) Bagian halaman-halaman pendahulu dapat dicantumkan semua di dalam sebuah buku dan dapat juga tidak. Oleh karena itu, pertimbangan pencantuman
21 bagian-bagian halaman pendahulu di dalam sebuah buku didasarkan kebutuhan buku tersebut. Selain diletakkan di halaman pendahulu, beberapa buku menempatkan halaman daftar tabel, halaman daftar singkatan dan akronim halaman, daftar lambing, dan halaman daftar illustrasi di halaman penyudah. Halaman teks isi ( text matter ) atau disebut juga halaman isi buku merupakan inti dari sebuah buku. Oleh karena itu, halaman teks isi harus disusun secara terpadu dengan halaman lainnya ( halaman pendahulu dan halaman penyudah ), baik dari segi isi, sistematika penulisan dan penomoran, maupun penataletakkannya. Dengan kepaduan tersebut, diharapkan pembaca akan merasa nyaman dan tidak mudah jenuh ketika memahami semua kalimat yang tersaji dan terkandung di dalam buku. Unsur-unsur yang lazim terdapat di dalam buku teks adalah : 1. Judul bab 2. Penomoran bab 3. Alinea teks 4. Penomoran teks 5. Perincian 6. Kutipan ( sitiran ) 7. Ilustrasi 8. Tabel 9. Judul lelar ( page title, running title ) 10. Inisial
22 11. Catatan samping 12. Catatan kaki ( foot note ) 13. Bagian buku Tidak semua unsur halaman isi tersebut ada di dalam sebuah buku. Pencantumannya tergantung pada kebutuhan buku itu sendiri. Peletakan permulaan bab juga dapat divariasikan penempatannya, yaitu di halaman kanan dan di halaman kiri. Harus diingat bahwa jika peletakan permulaan setiap bab selalu di halaman kanan, dapat menimbulkan halaman kosong di akhir bab seandainya teks bab tersebut berakhir di halaman ganjil. Hal itu berbeda dengan peletakan permulaan bab di halaman kanan dan di halaman kiri ( berlanjut ). Penempatan seperti itu tidak akan menimbulkan halaman kosong di akhir sebuah bab. Di dalam buku teks terdapat halaman yang fungsinya tidaklah lebih penting dibandingkan halaman pendahulu dan halaman teks isi. Halaman tersebut adalah halaman penyudah ( postliminary, reference pages ). Halaman penyudah merupakan bagian akhir sebuah buku sebelum sampul belakang. Keberadaan halaman penyudah di dalam buku tidak dapat dipisahkan dengan dua halaman sebelumnya terutama teks isi karena halaman penyudah merupakan kelanjutan halaman teks isi. Seperti halaman pendahulu dan halaman teks isi, halaman penyudah dibagi menjadi beberapa bagian. Pengadaan bagian halaman penyudah di dalam sebuah buku bergantung pada kebutuhan buku tersebut. Bagian halaman penyudah yang lazim terdapat di dalam buku teks adalah : 1. Halaman daftar pustaka ( bibliografi )
23 2. Halaman daftar istilah ( glosarium ) 3. Halaman catatan akhir 4. Halaman lampiran ( apendiksi ) 5. Halaman indeks ( penjurus ) 6. Halaman pertanggungjawaban ilustrasi Peletakan setiap permulaan bagian halaman penyudah tersebut dapat dimulai di halaman kanan ( recto ) maupun halaman kiri ( verso ). Penempatan tersebut bergantung pada peletakan setiap permulaan bab di halaman teks isi. Secara garis besar, sebuah buku dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar adalah sampul dan atau jaket buku, sedangkan bagian dalam adalah isi buku. Sampul dan jaket merupakan pelindung isi buku dan merupakan bagian buku paling luar. Apabila diibaratkan pelindung tubuh manusia, sampul adalah pakaian yang dikenakan sedangkan jaket adalah pelindung pakaian dan tubuh. Sampul dan jaket mempunyai fungsi lain yang tidak kalah pentingnya bagi sebuah buku, yaitu berusaha memikat perhatian pembaca. Oleh karena itu, sampul dan jaket harus didesain semenarik dan seindah mungkin sehingga mempunyai daya saing dengan buku sejenis dan akan tampak menonjol jika dipajang di rak toko buku. Ketika dilakukan pendesaian sampul dan jaket, kedua fungsi buku tersebut; pelindung dan pemikat; harus dipadukan dan disatukan dalam bentuk visualisasi hasil akhir, agar desain tersebut tampak maksimal. Harus selalu diingat bahwa sampul dan jaket merupakan perwujudan isi sebuah buku.
24 Ilustrasi yang terdapat di bagian depan sampul atau jaket adalan salah satu sarana untuk memikat perhatian pembaca selain sebagai penyeimbang komposisi. Selain pengolahan dan pendesainan ilustrasi, unsur lain yang harus turut dipertimbangkan ketika melakukan pendesaian bagian depan sampul atau jaket adalah pemilihan dan penentuan jenis dan ukuran huruf yang tepat, serta penggunaan komposisi warna yang senada dan serasi. Jika semua unsur tersebut disatukan dan dipadukan dalam satu visualisasi yang indah dan menarik, niscaya dapat menambah jati diri suatu buku. Unsur-unsur yang terdapat di bagian belakang sampul atau jaket tentu berbeda dengan unsur yang terdapat di bagian depan meskipun terdapat pula unsur yang sama. Unsur yang terdapat di bagian belakang adalah judul buku, sinopsis isi buku ( wara ), biografi penulis, serta International Standard Book Number ( ISBN ). Bagian punggung merupakan satu bagian yang terletak di antara bagian belakang sampul atau jaket. Bagian punggung berfungsi sebagai pemandu jika buku tersebut diposisikan berdiri dan disandingkan bersama buku lain di rak buku. Dengan begitu, pembaca dapat lebih mudah menemukan buku yang dicarinya. Bagian punggung memuat nama penulis, judul buku, dan logo penerbit. Penempatan unsur tersebut lazim ditulis dari atas ke bawah. Jaket buku mempunyai kesamaan dengan sampul buku; baik fungsinya, unsurnya maupun tingginya. Sementara itu, lebar jaket lebih besar dibandingkan sampul.
25 2.2.3. Struktur Buku Berikut ini merupakan rancangan struktur isi buku dari ”Wayang Wong, Sebuah Dramatari Klasik Bali”:
Half Title Halaman Judul utama Halaman Hak Cipta ( Copyright Notice ) Halaman Persembahan ( dedications ) Kata Pengantar Daftar Isi BAB I
Sekilas tari Perkembangan Seni Tari Bali
BAB II
Keindahan Wayang Wong Bali Sejarah & Perkembangannya Organisasi Fungsi Wayang Wong Tempat Pertunjukan
BAB III
Tokoh-tokoh Rama Dewa Dewi Sita Laksmana Wibisana Rawana Kumbakarna
26 Delem Sangut Tualen Merdah Sugriwa Hanuman Anila BAB IV
Gallery
Daftar Istilah ( Glossary ) Daftar Pustaka Biografi penulis
2.3.
Data Penyelenggara
Penerbit Gramedia mulai menerbitkan buku sejak tahun 1974. Buku pertama yang diterbitkan adalah novel Karmila, karya Marga T. Sedangkan untuk buku non-fiksi pertama adalah Hanya Satu Bumi, yang ditulis oleh Barbara Ward dan René Dubois (diterbitkan bekerjasama dengan Yayasan Obor). Yang kemudian disusul oleh buku seri anak-anak pertama Cerita dari Lima Benua, dan kemudian seri-seri yang lain. Dengan misi “Ikut mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa serta masyarakat Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama berusaha keras untuk menjadi agen pembaruan bagi bangsa ini dengan memilih dan memproduksi buku-buku yang
27 berkualitas, yang memperluas wawasan, memberikan pencerahan, dan merangsang kreativitas berpikir. Melalui pengalaman jatuh-bangun dan melihat kebutuhan pasar, Gramedia Pustaka Utama akhirnya mengkonsentrasikan diri untuk menggarap dua bidang utama, yakni fiksi dan non-fiksi. Bidang fiksi dibagi menjadi fiksi anak-anak dan pra-remaja, remaja, dewasa. Bidang non-fiksi dibagi menjadi humaniora, pengembangan diri, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Inggris/ELT, kamus dan referensi, sains dan teknologi, kesehatan, kewanitaan (masakan, busana), dsb. Karena misi dan visi itu pula, Gramedia berusaha memilih penulis-penulis yang berkualitas. Di deretan fiksi kita mengenal nama-nama yang memiliki reputasi internasional seperti: John Grisham (penulis legal thriller), Sidney Sheldon, Agatha Christie, Danielle Steel, Sir Arthur Conan Doyle, dll.; dan lima penulis wanita paling top di Indonesia: Marga T., Mira W, Maria A. Sardjono, V. Lestari, dan S. Mara Gd. Di deretan non-fiksi untuk penulis lokal ada Hermawan Kartajaya, Kwik Kian Gie, Rhenald Kasali, Husein Umar, Vincent Gaspers, Andreas Harefa, Anand Krishna, Hembing W., Nila Chandra, Marry Winata, Rudy Choirudin, dll.; dan untuk penulis asing (terjemahan) ada: Jack Canfield & Mark Victor Hansen (Seri Chicken Soup for the Soul), John Gray, Daniel Goleman, John P. Kotter, Joe Girard, Andrew Weil, dll.
2.4.
Karakteristik Produk -
Informatif dan edukatif melalui informasi yang dipaparkan
-
Menghibur melalui visual yang penuh illustrasi dalam warna-warni yang menarik
-
Salah satu bentuk pencatatan budaya wayang wong Bali
28 -
Menambah ketertarikan pembaca untuk menjadikan tontonan tari wayang wong dalam salah satu agenda wisatanya
-
2.5.
Menambah kecintaan masyarakat terhadap budaya Indonesia
Target Market Pihak yang dituju sebagai target adalah kalangan dewasa baik pria maupun
wanita yang ingin mempelajari atau sekedar mengetahui dan tertarik akan salah satu budaya seni tari di Bali.
1. Demografi - Sex
: Unisex ( pria dan wanita )
- Kependudukan
: Dewasa
- Usia target
: Produktif
- Kelas ekonomi
: Menengah dan menengah ke atas
- Agama
: Mencakup semua agama
- Kebangsaan
: Indonesia
2. Geografi - Domisili
: Tengah hingga pinggiran kota
- Kepadatan
: Tingkat kepadatan perkotaan
3. Psikografi -
Tingkat sosial
: Kelas A dan B
29 -
Lifestyle
: Tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan
kesenian terutama seni tari, khususnya merupakan budayawan, dan seniman tari, senang berwisata / traveling. -
Kepribadian
: Intelek / terpelajar, berjiwa bebas, menyukai seni,
mementingkan prestige ( gengsi, wibawa, martabat ), sensitif. -
Perilaku : o Senang dengan suatu keindahan tradisional dalam kehidupan yang relatif modern. o Menghargai hal-hal yang berbau seni hingga berprofesi dalam bidang seni. o Hobi berkeliling dan berwisata / traveling. o Mempunyai keinginan yang besar untuk belajar. o Suka membaca. o Memperhatikan kualitas, dalam hal ini merupakan kualitas sebuah buku, isi, bahan kertas, dan sebagainya.
2.6.
Analisa SWOT
Strenght : -
Memberi informasi mengenai budaya tari tradisional wayang wong Bali
-
Isi buku mengenai kesenian dari Bali merupakan tema yang ketertarikannya relatif lebih tinggi dikarenakan Pulau Bali yang sudah terkenal keindahannya hingga ke mancanegara.
30 -
Isi buku mengenai salah satu tari Bali yang memberikan daya tarik luar biasa bagi penontonnya mulai dari ritual sebelum mengeluarkan topeng, hingga topeng-topeng dan tariannya yang indah.
-
Buku publikasi ini menghibur melalui gambar illustrasi sembari mempelajari secara garis besar mengenai wayang wong Bali.
-
Sebagai salah satu bentuk pencatatan budaya.
Weakness : -
Harga buku yang relatif mahal.
-
Topik yang dibahas spesifik sehingga target semakin sempit.
Opportunities : -
Merupakan topik yang sulit ditemukan di toko-toko buku.
-
Ketertarikan masyarakat akan buku yang edukatif dan menarik.
-
Buku-buku lain sejenis yang kebanyakan hanya berupa textbook.
-
Buku-buku mengenai tari di Indonesia yang ada saat ini relatif sulit ditemukan.
-
Kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan budaya tradisional Indonesia.
-
Buku-buku mengenai tari di Indonesia sebagian besar hanya berisikan tulisan dan gambar foto seadanya saja sehingga terkadang cepat bosan bila hanya membaca tulisan yang banyak sehingga menggunakan illustrasi merupakan nilai tambah buku ini.
31 Threats : -
Semakin beragam tema buku yang beredar di pasaran saat ini, berarti persaingan yang semakin ketat .