BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1.
Data Data-data yang ada diperoleh dari -
Wawancara dengan pihak PT KA
-
Buku company-profile PT KA
-
M ajalah REL
-
Arsip dan Buku Interen PT KA
-
Survei lapangan serta pemotretan
-
Data dari internet
2.1.1. Masalah utama Kemacetan di Jakarta sudah terjadi sejak dekade 1970. Perbedaannya hanya menyangkut masalah eskalasi kemacetannya. Sementara sebelumnya baru terjadi di beberapa titik utama, setiap dekade bertambah titik jalan yang mengalami kemacetan, dan sekarang semua titik di Jakarta sudah macet. Harus dikatakan secara jujur bahwa tidak ada pemimpin yang akan sanggup memecahkan masalah kemacetan di Jakarta ini dalam waktu 100 hari. Bahkan Presiden RI yang paling kuat pun tidak akan mampu, karena masalahnya sudah terlalu kompleks dan sudah akut, bukan hanya sedang menjadi gejala. Sebagai masalah yang kompleks, hal itu tidak mampu dipecahkan dengan satu 4
5
cara (single solution). Perlu pendekatan yang multidisiplin, multicara, dan multiyears
untuk
dapat mengurai kemacetan
di Jakarta,
karena penyebab
kemacetannya juga amat kompleks.
Kelebihan kendaraan Banyak faktor yang menyebabkan kemacetan di Jakarta, antara lain banyak jalan yang mengalami disfungsi akibat dipakai untuk kegiatan ekonomi (pedagang kaki lima atau parkir), terlalu banyak kendaraan bermotor, tata ruang yang amburadul dan tidak terintegrasi dengan perencanaan transportasi, serta rendahnya disiplin berlalu lintas. Semuanya itu memiliki kontribusi terhadap timbulnya kemacetan secara signifikan sehingga tidak bisa dipecahkan melalui pendekatan tunggal. Arus urbanisasi yang tinggi punya konsekuensi terhadap peningkatan jumlah perjalanan di Jakarta. Peningkatan perjalanan itu dengan sendirinya berimplikasi pada peningkatan pemakaian kendaraan bermotor. Tatkala angkutan umum yang tersedia tidak mencukupi atau tidak menjawab kebutuhan masyarakat,
terutama
menyangkut
aspek
keamanan
dan
kenyamanan
penumpang, warga urban yang mampu kemudian memecahkan persoalan perjalanan mereka dengan menggunakan kendaraan pribadi. Jadi, secara otomatis, peningkatan urbanisasi itu memiliki dampak terhadap kepadatan lalu lintas. Jakarta merupakan salah satu kota yang mengalami pertambahan penduduk migran cukup tinggi, karena rata-rata setiap tahun setelah Idul Fitri, jumlah pendatang baru mencapai 300 ribu orang. Dalam waktu tiga tahun, terjadi
6
penambahan penduduk hampir 1 juta jiwa. Ini belum termasuk mereka yang dating secara reguler dan individual. Pertambahan jumlah penduduk itu memiliki konsekuensi pada peningkatan kebutuhan kendaraan bermotor. Kenyataan di lapangan juga membuktikan bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor (pribadi) di Jakarta terus bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Hingga sekarang, menurut data Badan Pusat Statistik (2007), jumlah kendaraan bermotor tersebut sudah mencapai 7.773.957 unit, yang terdiri atas mobil 1.816.702 unit, sepeda motor 5.136.619 unit, angkutan barang 503.740 unit, sedangkan bus hanya 316.896 unit. Sementara itu, luas ruas jalan di Jakarta, menurut data BPS tersebut, hanya mencapai 27.340.000 meter persegi. Bila semua kendaraan bermotor yang ada di Jakarta saat ini dikeluarkan, ruas jalan yang tersedia itu tidak akan mampu menampung semua kendaraan. Berdasarkan data tersebut, jelas sekali bahwa kemacetan di Jakarta terjadi karena memang jumlah kendaraan bermotor yang ada sudah berlebih, melebihi kapasitas jalan. Adapun jumlah angkutan umumnya hanya 2 persen dari total jumlah kendaraan yang ada. Tapi ironisnya, angkutan umum yang hanya 2 persen itu justru mengangkut 54 persen dari total perjalanan di Jakarta. Sementara itu, kendaraan pribadi hanya mengangkut 46 persen. Dengan kata lain, keberadaan kendaraan pribadi yang sudah mencapai 7 juta itu tidak efisien (Darmaningtyas,
DIREKTUR
LEMBAGA
SWADAYA
MASYARAKAT
TRANSPORTASI, INSTRAN, artikel ”Mengurai Kemacetan di Jakarta” submited 29 Desember 2007, http://instran.org/?q=node/212, akses 2 Maret 2008).
7
2.1.2. Sejarah Kereta Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan KA didesa Kemijen Jum'at tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, M r. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg M aatschappij" (NV. NISM ) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada Hari Sabtu, 10 Agustus 1867. Keberhasilan swasta, NV. NISM membangun jalan KA antara Kemijen Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang - Surakarta (110 Km), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun
jalan
KA
didaerah
lainnya.
Tidak
mengherankan,
kalau
pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 km, tahun 1870 menjadi 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 km. Selain di Jawa, pembangunan jalan KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), bahkan tahun 1922 di Sulawasi juga telah dibangun jalan KA sepanjang 47 Km antara M akasar - Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923, sisanya Ujungpandang - M aros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi jalan KA Pontianak Sambas (220 Km) sudah diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi pembangunan jalan KA.
8
Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6.811 km. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 km, kurang lebih 901 km raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan KA disana. Jenis jalan rel KA di Indonesia dibedakan dengan lebar sepur 1.067 mm; 750 mm (di Aceh) dan 600 mm dibeberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar semasa pendudukan Jepang (1942 - 1943) sepanjang 473 km, sedangkan jalan KA yang dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 km antara Bayah - Cikara dan 220 km antara M uaro - Pekanbaru. Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA M uaro - Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan yang memperkerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang M uaro - Pekanbaru. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, karyawan KA yang tergabung dalam "Angkatan M oeda Kereta Api" (AM KA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28 September 1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AM KA lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya
9
"Djawatan Kereta Api Republik Indonesia" (DKARI) (PT KA(persero), artikel “Sejarah Perkeretaapian Indonesia” www.kereta-api.com/sejarah.html - akses 7 maret 2008).
2.1.3. Layanan Angkutan KA
2.1.3.1. KA Kapasitas angkut penumpang yang disediakan PT Kereta Api di Jawa dan Sumatera adalah 106.638 tempat duduk/hari, dengan rasio kelas eksekutif (15%), bisnis (27%) dan ekonomi (59%). Bila tempat duduk dikaitkan dengan jarak tempuh, total kapasitas 41.528.450 tempat duduk – kilometer per hari, dengan ratio eksekutif (17%), bisnis (25%) dan ekonomi (58%) (Sujadi, Akhmad Kepala Humas PT. Kereta Api, wawancara 3 maret 2008).
a. Kelas Argo Kereta api jenis ini mulai diluncurkan tanggal 31 Juli 1995 sebagai persembahan perkeretaapian dalam rangka memperingati “50 Tahun Kemerdekaan RI” semula hanya dioperasikan dua kereta api, yaitu Argo Bromo pada koridor Jakarta – Surabaya pp. dan Argo Gede Koridor Jakarta – Bandung pp. saat ini, KA Argo Bromo dikembangkan menjadi Argo Bromo Anggrek.
10
KA Kelas Argo lainnya adalah : - KA Argo M uria koridor Gambir – Semarangtawang pp. - KA Argo Lawu koridor Gambir - Yogyakarta – Solo pp. - KA Argo Dwipangga koridor Gambir - Yogyakarta – Solo pp. - KA Argo Wilis koridor Bandung – Surabaya pp.
b. Kelas S atwa Setingkat di bawah kelas Argo, PT Kereta Api juga menyajikan pelayanan KA Kelas Satwa, yang pada KA tertentu menyediakan dua jenis layanan, yaitu eksekutif dan bisnis seperti pada KA Sancaka koridor Surabaya – Yogyakarta.
KA Kelas Satwa lainnya adalah: - KA Jatayu koridor Surabaya – M alang, - KA Lodaya koridor Bandung - Solo - Surabaya, - KA Gajayana koridor Gambir - M alang, - KA Kamandanu koridor Gambir - Semarangtawang, - KA Gumarang koridor Jakarta - Surabaya, - KA Bima koridor Jakarta - Yogyakarta - Surabaya, - KA Taksaka koridor Yogyakarta – Jakarta, - KA Sembrani koridor Jakarta – Surabaya, - KA M erak Jaya Jakarta – M erak - dan KA Turangga pada koridor Bandung – Surabaya.
11
c. Kelas Ekonomi Unggulan Dalam rangka pemerataan pelayanan kepada semua lapisan masyarakat, selain mengoperasikan sejumlah KA komersial yang berfungsi sebagai subsidi silang (cross-subsidy) pada pelayanan KA kelas ekonomi, PT. Kereta Api juga mengoperasikan sejumlah KA kelas ekonomi unggulan. M isalnya, KA Brantas pada koridor Tanah Abang – Kediri, KA Kaligung koridor Tegal – Semarang, dan KA Logawa koridor Purwokerto – Surabaya.
d. Kelas Ekonomi Kereta api kelas ekonomi tarifnya ditetapkan oleh pemerintah, sehingga secara keseluruhan biaya operasi tidak dapat ditutup dengan tarif yang dikenakan kepada masyarakat. Sampai saat ini, PT. Kereta Api melakukan “subsidi silang” dari pendapatan kelas argo dan kelas satwa pada kelas ekonomi.
e. Kereta Wisata PT. Kereta Api juga menyediakan layanan kereta wisata yang tarifnya disesuaikan dengan harga tiket tertinggi pada KA yang merangkaikan kereta wisata tersebut. Kereta wisata diberi nama dengan Nusantara, Bali dan Toraja, yang berada di Jawa. Selain itu, di Ambarawa tersedia pula kereta wisata dengan lok uap yang berjalan pada rel bergigi. Di Solo, kereta wisata Purwosari – Wonogiri menelusuri jalan Slamet Rijadi dikota Solo. Sedangkan di Sumatera Selatan, tersedia kereta wisata
12
yang diberi nama Kereta Sultan, di Sumatera Barat tersedia pula kereta wisata ke Lembah Anai dan Pantai Pariaman.
2.1.3.2. KA Barang Khusus di Jawa, pemasaran angkutan barang semula kurang diminati pasar, karena dalam perjalanan kalah prioritas dengan KA penumpang. Tetapi, sejalan dengan perkembangan terakhir, melalui modernisasi sarana angkutan barang, telah dimungkinkan hadirnya KA barang dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda dengan KA penumpang, sehingga perjalanannya lebih lancer (Sujadi, Akhmad Kepala Humas PT. Kereta Api, wawancara 3 maret 2008).
a. Baja S atwa KA barang Baja Satwa dikhususkan bagi pengangkutan barang pada koridor Jakarta (Kampung Bandan) - Surabaya Pasarturi pp. barang yang diangkut menggunakan peti kemas, yang jenis komoditas angkutannya tidak terbatas pada jenis tertentu.
b. Barang Cepat Koridor layanannya sama dengan KA Antaboga, Jakarta (Kampung Bandan) – Surabaya Pasarturi, tetapi sarana yang digunakan berupa gerbong tertutup. Komoditas yang dapat diangkut juga variatif sesuai dengan ketersediaan pasar.
13
2.1.4. KA Penumpang Seiring dengan peluncuran berbagai produk berbrand Argo, PT. Kereta Api (Persero) telah mulai membuat deskripsi yang nyata mengenai strategi dan taktik pemasaran yang dilakukannya terhadap pasar potensial golongan mengengah ke atas. Deskripsi strategi pemasaran tersebut dilakukan secara komprehensif (strategi brand), bukan strategi per produk (Sujadi, Akhmad Kepala Humas PT. Kereta Api, wawancara 3 maret 2008). Strategi peluncuran produk Argo didasari adanya sasaran perusahaan yang akan membawa kereta api sebagai moda transportasi yang handal dan dipercaya oleh masyarakat dengan kualitas pelayanan yang tinggi dan menjadi alternatif utama sarana transportasi, khususnya di Wilayah Jawa. Terkecuali itu, perusahaan ingin pula mengubah image masyarakat terhadap kereta api dan PT. Kereta Api (Persero) sebagai badan usaha yang dulu dikenal sebagai perusahaan yang hanya berorientasi mengoperasikan sarana yang ada untuk mengangkut penumpang dan barang menjadi perusahaan yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan, tentu saja dengan penyediaan jasa transportasi yang berkualitas dan terpercaya. Pembagian yang mendasari peluncuran produk Argo dilakukan dengan mengklasifikasikan pelanggan dalam beberapa tingkatan nilai (value) (Sujadi, Akhmad Kepala Humas PT. Kereta Api, wawancara 3 maret 2008):
-
Gateway value, konsumen yang menggunakan jasa kereta api hanya mendasarkan kepada fungsinya sebagai alat transportasi.
14
-
Competitive value, disamping mempertimbangkan fungsi utama sebagai alat transportasi, pelanggan mempertimbangkan pula faktor tingkat kenyamanan dan pelayanan yang dibandingkat terhadap moda pesaing.
-
Ultimate value, pelanggan tidak sekedar menuntut fungsi dan perbandingan, melainkan juga pertimbangan-pertimbangan psikologis yang tidak dapat diukur batasnya, misalnya gengsi, prestise dan kepuasan.
Pasar sasaran yang dipilih adalah pelanggan yang tidak hanya sekedar menuntut fungsi utama kereta api, akan tetapi juga pertimbangan-pertimbangan psikologis (ultimate value), atau tepatnya pemerjalan eksekutif tidak akan kehilangan prestise walau tidak naik pesawat maupun pemerjalan non eksekutif yang ingin naik kelas sosialnya tanpa harus naik pesawat. Positioning dilakukan dengan mempersepsikan produk argo sebagai moda transportasi kereta api yang terbaik, prestise, nyaman, cepat, untuk masingmasing kelas dan koridornya.
Kereta Api Penumpang: - Argo Bromo Anggrek - Argo Dwipangga - Argo Lawu - Argo Gede - Argo M uria
15
- Argo Wilis - Bangunkarta - Bima - Cirebon Ekspres - Gajayana - Gumarang - Kamandanu - Lodaya - M utiara Timur - Parahyangan - Purwojaya - Sancaka - Sembrani - Taksaka - Turangga
2.2.
Analisa Pada dasarnya kereta merupakan salah satu system transportasi tertua yang ada di
Indonesia, tetapi hanya kurang populer karena presepsi masyarakat yang berubah serta kurangnya infrastruktur yang mendukung. Kalau dibandingkan dengan kendaraan umum seperti bis dan angkot, kereta jelas lebih cepat dan ekonomis, hanya saja kurang menjamah plosok daerah ibu kota, ditambah dengan presepsi masyarakat bahwa kereta
16
itu tidak aman, penuh sumpek serta terkadang masih banyak orang yang tidak mengerti bagaimana cara menaiki kereta. M asalah keamanan juga ketidak nyamanan itu ditimbulkan sendiri oleh masyarakat dimana pada contoh kasus penumpang berlebih pada kelas kereta ekonomi juga sebetulnya bukan merupakan alasan kurangnya tempat maupun loket menjual tiket berlebihan, melainkan ketidak sabaran sipenumpang sendiri dimana sebetulnya kereta tersebut datang setiap 10 menit, jadi isu over-capacity itu sebetulnya ditimbulkan dari penumpang sendiri (Wawancara dengan pihak stasiun dan warga, 6 maret 2008 dan 11 maret 2008). Dengan menggunakan pedekatan fotografi, buku ini ingin mensosialisasikan KRL itu sendiri, serta segala kemudahan dan fasilitas yang ada, serta fakta-fakta mengenai KRL tersebut. Dengan harapan mengubah persepsi masyarakat yang negatif serta memberikan pengenalan tentang KRL Jakarta kepada sebagian masyarakat yang masih menganggap susah naik kereta. Sisi dramatis dari sisi fotogfrafi yang nanti diangkat untuk mendukung sosialisasi tersebut dibantu dengan bodycopy untuk memberikan informasi kepada masyarakat.